Persepsi atas Kebijakan Usaha Kehutanan

Dari penilaian kelompok ini, hampir semua pihak memiliki pengaruh atas proses perumusan atau perubahan kebijakan. Disebutkan, yang paling berpengaruh antara lain: masyarakat terpapar dampak kebijakan, DPR, pemerintah, NGO, pengusaha, forester. Namun ini semua pihak yang paling berpengaruh menjadi tidak jelas saat ada ”black-box”. Adapun masalah yang banyak memengaruhi proses perumusanperubahan kebijakan adalah masalah pemerintah sendiri, masalah pengusaha, dan masalah bagaimana mencapai kemakmuran rakyat. Diluar itu semua, disebutkan bahwa yang paling berpengaruh itu adalah kelompok-kelompok yang memiliki akses dan power besar, termasuk di dalamnya adalah swasta besar. ”......Pihak yang paling dominan memengaruhi, tidak bisa merujuk hanya pada kelompok pemangku kepentingan tertentu, tapi lebih kepada mereka yang memiliki akses dan power besar, termasuk di dalamnya swasta besar” Staf Khusus Menteri Kehutanan era setelah 1998; Wawancara 29 Maret 2011 Semua nara sumber dalam kelompok ini melihat ada persoalan cara pikir dalam proses perumusan dan perubahan kebijakan usaha kehutanan. Namun indikator yang digunakan bermacam-macam. Ada yang mengaitkan dengan tidak terbuka, kurang mampu mengaitkan peran hutan dengan pembangunan nasional, kurang antisipatif, cenderung otoriter, sepihak, top down, pandangan lebih jangka pendek, tidak memiliki perspektif jangka panjang, tidak fokus, ego rimbawan, terjebak di hal-hal teknikal dan cenderung apolitik, lurus-lurus saja. Persoalan cara pikir lain, antara lain disebut keterjebakan hanya sekedar menjalankan aturan, walau sadar aturanya itu sendiri tidak tepat atau bahkan keliru – sementara, untuk hal substansi yang secara objektif perlu dan dibutuhkan, tidak dilakukan pengaturan, karena tidak ada aturan di atas nya. Persoalan lainnya disebutkan pula, pemerintah pembawaannya mau mengatur, yang diatur bahkan hal-hal teknis. Ada pula yang mengaitkan persoalan cara pikir ini dengan desentralisasi yang belum tuntas, sehingga banyak pihak di daerah yang ragu melangkah dalam menjalankan peraturan. Atau ada pula yang mengaitkan dengan soal tupoksi 26 institusi yang disebutnya ”memengaruhi cara berpikir”. ”..... Ada, karena ada Tupoksi. Tupoksi itulah yang memengaruhi cara pikir. Sementara mekanisme sendiri kita punya Biro Hukum, yang bisa jadi ada conflicting saat bicara substansi. Untuk substansi A bisa saja biro hukum mengartikan dan mendeskripsikan B, sehingga formulasi substansi kebijakan awal tidak tercapai. Soal black-box bisa saja ada, tapi bukan tanggung jawab dan bukan kapasitas saya untuk masuk kesana. Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional, Kemenhut, era setelah 1998; Wawancara 2 Mei 2011 Perbaikan kebijakan menurut kelompok ini, sekecil apapun ada, walau masih banyak kelemahan, dan tidak signifikan. Adanya perubahan ditunjukkan, terutama dalam hal niat, cara pikir, orientasi dan landasan akademik-ilmiah yang lemah. Perbaikan juga tampak setidaknya pada adanya usaha untuk mendefinisikan dan memastikan tujuan, yang dulu tidak ada. Dari sisi proses kelompok ini melihat telah melibatkan cukup banyak para pihak pemangku kepentingan. Dari isu yang muncul, isu masyarakat dan lingkungan pun sudah cukup kuat, lebih karena spirit yang melatari waktu itu ”hutan lestari, rakyat sejahtera”. Dari sisi substansi, perubahan ke arah perbaikan dinilai ada, terkait pembenahan governance, fokus dan proritas. Diakui pula, perubahan kerangka pikir juga terjadi, terindikasi dari banyak generasi baru yang masuk dengan pengetahuan barunya. Dicontohkan, muncul banyak ide penetapan jatah tebang, prinsip-prinsip standard atas pelaksanaan REDD+ 27 dan lain-lain; diakui itu semua menunjukkan digunakannya ilmu dalam konstruksi kebijakan. Pengakuan lain, ada pula perubahan kerangka pikir, terkait gagasan untuk segera bergeser ke HT, atau bahkan hutan campuran; sementara untuk komoditi juga mengalami pergeseran, tak hanya kayu; lalu pengaturan kawasan kini tidak dapat bertahan seperti dulu, karena harus menimbang ada sektor lain. Sementara pandangan lain di kelompok ini menunjukkan, bahwa kurun setelah 1998 lebih banyak konsolidasi manajemen kehutanan lalu soft- landing dan penurunan kuota jatah tebangan. 26 Kepanjangan dari Tugas Pokok dan Fungsi. Fenomena keraguan ini diperoleh, antara lain pada saat diskusi dengan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, 20 Juli 2011 dan APHI Komda Jambi 21 Juli 2011. 27 Sebuah inisiatif global yang menguat dalam kurun tiga tahun terakhir ini terkait upaya global mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pengurangan tingkat deforestasi dan kerusakan hutan. Dalam mengindentifikasi hal terpenting dari kebijakan kelompok akademisi tidak banyak menyinggung proses. Dari sisi substansi disebutkan bahwa hal terpenting adalah: berangkat dari konsep yang jelas, sehingga masalah yang ingin dijawab pun jelas, fokus pada keseimbangan tarik-menarik kepentingan antar para pihak pemangku kepentingan, fokus perhatian hendaknya tidak sekedar pada aspek yuridis, sosiologis dan filosofis, tetapi pada aspek penting mencapai tiga pilar kelestarian dan identitas budaya. Sementara terkait analogi resep vs diagnosa, kelompok ini meyakini diagnosa dan resep salah, alasannya karena tidak ada konsep; sehingga resep dan diagnosa bisa terjadi masing-masing ataupun bersamaan. Pandangan lain, diagnosa lemah, dimungkinkan karena keterbatasan kapasitas SDM dan teknologi, dan kekurang seriusan. Atau resep keliru, dimungkinkan karena kepentingan politik yang dominan, sehingga keliru pula di tingkat implementasi. Kalangan ini melihat pemerintah atau penguasa dan pengusaha dinilai paling memengaruhi proses perumusan atau perubahan kebijakan, terutama sebelum masa reformasi. Selain kedua pihak ini, diakui pula bahwa masyarakat sipil seperti akhir-akhir ini, turut memengaruhi, namun masih semu. Dalam diskursus muncul pula pemikiran, bahwa pemerintah identik dengan politikus yang lebih menyuarakan kepentingan politik baik lokal, regional, nasional maupun internasional. Pelaku usaha identik dengan menyuarakan kepentingan ekonomi. Sementara kepentingan akan lingkungan dan sosial lebih disuarakan secara dominan oleh masyarakat sipilLSM. Sementara akademisi diposisikan sebagai pihak yang diperlukan oleh keseluruhan para pihak ini, sehingga diyakini idealnya tidak mengusung kepentingan praktis tertentu. Keseluruhan narasumber di kelompok ini melihat bahwa ada persoalan kerangka pikir di balik proses perumusan dan perubahan kebijakan. Indikasinya antara lain, cenderung dominan positivistik, tanpa menimbang realitas secara memadai, tidak mengakar ke pengetahuan lokal, memandang hutan sekedar sumberdaya input produksi, memprioritaskan kepentingan ekonomi, hutan adalah sumberdaya dapat diperbaharui baik secara alam maupun manusia, sehingga tidak perlu khawatikan. Dengan keyakinan demikian, kelompok ini memandang tidak ada perubahan baik kualitas kebijakan maupun kerangka pikir di baliknya, karena esensinya sama saja. Yang merasa ada perubahan menunjukkan bahwa sebelum 1998 orientasi dan keberpihakan kepada masyarakat dan lingkungan relatif kurang, lebih banyak pada pelaku usaha dan industri kehutanan. Setelah 1998 kondisinya terbalik, namun tidak melemahkan keragaan dunia usaha dan industri kehutanan. Perubahan lain dinilai kelompok ini dari spririt dan orientasi kepada masyarakat, pemisahan urusan admin dengan teknis melalui KPH, dan hutan dipandang sebagai multifungsi. Seperti halnya kelompok akademisi, kelompok praktisi bisnis tidak banyak menyoal proses dalam melihat hal terpenting dari kebijakan. Kelompok ini memandang bahwa substansi kebijakan hendaknya mampu mengakomodasi kepentingan secara keseluruhan, mengutamakan kemandirian pelaku usaha, memberlakukan pendekatan dan kontrol berbasis hasildampak outcome- based, berorientasi ke penyempurnaan besar dan alokasi pungutan resmi, tidak membebani dan bahkan bila perlu membebaskan pelaku usaha, mengatur yang memang perlu diatur, aturan tidak terlalu teknis. Lalu kelompok ini berharap pula agar para pihak, khususnya pembuat kebijakan belajar dari pengalaman, dan lebih menegaskan target yang ingin dicapai. Menanggapi analogi resep vs diagnosa, kelompok ini menilai baik resep maupun diagnosa keliru. Diakui, diagnosa kadang akal-akalan dan manipulatif, sementara dari situ resep dibangun. Resep dibuat tanpa diagnosa, sehingga sering hal yang diatur bukan yang diperlukan, karena aturan sudah terlalu detail, sehingga apa yang tertulis dan apa yang berjalan berbeda. Penilaian lain, diagnosa keliru, sehingga resep apapun tidak manjur. Diyakini kelompok ini, bahwa pemerintah cukup dominan memengaruhi proses perumusan dan perubahan kebijakan, tapi tidak disertai pengawasan yang memadai, sehingga pelaku usaha merasa tidak pernah diajak dalam proses selain saat sosialisasi, itupun aturannya sudah jadi. Dan hal demikian diakuinya terus berlangsung hingga kini, sehingga pemerintah dinilai tidak pernah belajar dari pengalaman. Kalaupun ada pihak lain yang dilibatkan, ia tidak memiliki pengaruh langsung pada perbaikan substansi aturan, sehingga tetap saja mengundang banyak peluang terjadinya moral hazard. Pandangan lain, pemerintah kini lebih pro perusahaan tambang dan abai atas pelaku usaha kehutanan; dulu, 1970-90an, terutama zamannya Bob Hasan mereka mendengar pelaku usaha kehutanan, bahkan didikte perusahaan kehutanan. “.....Aturan terakhir Kemenhut justru terlihat pro perusahaan tambang. Usulan pengusaha hutan tidak didengar sama sekali. Begitu juga saran dari masyarakat dan akademisi. Dulu 1970-90an mereka mendengar suara pengusaha. Bahkan didikte pengusaha. Terutama jamannya Bob Hasan. Sebetulnya suara siapapun asal itu upaya konsisten mencapai kelestarian hutan -- ya itu yg harus dipilih...bukan karena kepentingan sesaat....”Praktisi Usaha Kehutanan, Deputy Direktur Ekskutif APHI, Wawancara 6 Juni 2011 Keseluruhan narasumber di kelompok ini menilai ada persoalan cara pikir. Disebutkan beberapa indikasi, antara lain rimbawan dianggap tidak mengerti bisnis, sehingga perlu diatur pemerintah, profitabilitas sering dianggap lebih penting dibanding kompetensi, apa yang harus diatur hanyalah untuk aturan itu sendiri, dan aturan itu sendiri akhirnya, tidak konsisten. Indikasi lain, ada kerangka pikir yang datang dari luar, sehingga banyak aturan yang tidak perlu tapi dipaksakan, karena datang dari luar. Disebutkan sebagai contoh adalah IHMB 28 . Kelompok ini secara dominan melihat bahwa tidak ada perbaikan kebijakan usaha kehutanan, baik perbaikan substansi maupun persoalan kerangka pikir. Bahkan muncul penilaian, bahwa kekacauan substansi semakin menjadi-jadi, makin parah, dan terpuruk; antara lain karena makin tidak jelas dan multitafsir, termasuk tafsir antara pusat-daerah, akibatnya mengundang lebih banyak pihak lain untuk turut mengurusi kayu yang ujung- ujungnya membebani biaya operasional usaha dan mendongkrak pos biaya entertainment di lapangan. Satu-satunya pandangan dari kelompok ini yang menilai ada perubahan pun diujung melengkapinya dengan label ”tidak tampak jelas” hasil dan dampak perbaikan, mungkin karena tidak ada perubahan dalam cara berpikir, termasuk penilaian yang inkonsisten. 28 Yang dimaksud adalah kebijakan inventarisasi hutan menyeluruh berkala – IHMB Dalam melihat kebijakan, kelompok masyarakat sipil tidak menyinggung proses sama sekali. Dari sisi substansi disebutkan, bahwa hal penting dari kebijakan antara lain mampu menciptakan kondisi yang bermanfaat untuk semua pihak, jangka waktu panjang, memberi akses ke masyarakat, antisipatif atas kondisi lapangan, mampu menyelesaikan persoalan, dapat dijalankan, tidak bertele-tele, jelas kepentingan dan urgensinya, dan memiliki fungsi kontrol. Selain itu, perlu didukung upaya penegakan dan monitoring implementasinya. Terhadap analogi resep vs diagnosa kelompok ini berpandangan beragam: diagnosa benar-resep salah; diagnosa salah-resep jadinya asal-asalan. Ditegaskan bahwa salah resep, karena tidak mampu mendiagnosa. Diakui kalaupun diagnosa benar, resep dibuat menyimpang atau bahkan bertolak belakang. Jadi – menurut kelompok ini, ada kesengajaan disitu. Karena diagnosa salah, resep salah, aturan yang keluar sering sekedar menjawab symptom. Dengan penilaian demikian, kelompok ini berpandangan, bahwa yang keliru pikirannya, yakni hanya dari perspektif pengusaha dengan orientasi keuntungan jangka pendek. Siapapun pihak yang merumuskan kebijakan, sebaiknya tidak didominasi oleh pemikiran dan orientasi demikian. Pihak yang paling pengaruh dalam perumusanperubahan kebijakan menurut kelompok ini adalah pihak yang tingkat kepentingannya lebih menonjol, mereka bergerak lebih dominan, baik bersamaan maupun sendiri- sendiri. Namun sering pula, mereka yang memiliki kepentingan yang sama tidak sejalan. Yang terjadi kemudian, pemerintah lebih dominan, karena langkah atau eksekusi akhir ada di mereka. Sebelum reformasi, dominasi ini bersiombiosa dengan dunia usaha, sehingga tejadi kolaborasi penguasa- pengusaha. Diakui, masyarakat tidak dilihat dan akademisi cenderung hanya dijadikan sekedar legitimasi. Untuk beberapa kasus, dominansi ini bergeser. Saat isunya adalah pelepasan lahan, besaran jatah tebang, sistem silvikultur, pengusaha tampak lebih dominan. Untuk isu timber legality dan illegal logging, masuk pula masyarakat madani dan program kerjasama donor internasional turut berpengaruh. Diakui pula oleh kelompok ini, bahwa ada persoalan cara pikir dalam kebijakan usaha kehutanan. Disebutkan, bahwa kebijakan harus selalu dari pemerintah, proses dan transparansi sering dianggap tidak penting, yang penting buat dulu aturan, urusan mengakomodasi lainnya belakangan dalam sosialisasi. Indikasi lain, tahu persoalan tahu obatnya, tapi tidak melakukan tindakan, dan tindakan yang dilakukan adalah hal lain karena alasan konflik kepentingan akan merugikan yang bersangkutan sendiri. Pandangan pragmatis dari kelompok ini lebih merujuk pada kekakacau-balauan kehutanan sekarang ini yang merupakan signal dari kekacau balauan pikiran. Kelompok ini melihat tidak ada perbaikan baik dalam cara pikir maupun kualitas kebijakan. Disebutkan keduanya tidak banyak berubah; sekalipun proses agak berkembang – melibatkan lebih banyak pihak, ada konsultasi publik yang relatif lama, namun sayang masih diwarnai fenomena ”black box”, sehingga banyak pihak merasa tidak terwakili. Ditunjukkan pula, dari aspek pengelolaan saja, UU 567 dan 4199 tidak jauh berbeda, yakni pengelolaan domain pemerintah dan konsesi yang diberikan sebatas pemanfaatan. Sementara cara pikir tetap saja, tidak berubah sama sekali. Diakuinya, sebelum 1998 apa yang baik menurut Bob Hasan, jadilah kebijakan. Setelah 1998, masyarakat madani lebih vocal, karema banyak donor ikut campur, sehingga isu nya pun tergantung apa yang dibawa si donor. ”Hampir tidak ada. Tidak jauh-jauh dari aspek pengeloaan saja, UU 567 dengan 4199 tidak jauh berbeda, pengelolaan domain pemerintah, konsesi yang diberikan sebatas pemanfaatan. Tidak merubah apa-apa, sama saja pola HPH. Sementara pengawasan tetap saja lemah.” Direktur Eksekutif sebuah LSM; Wawancara 3 Mei 2011 Selanjutnya, peta diskursus kebijakan usaha kehutanan di kalangan para pihak secara ringkas disajikan sebagaimana matriks pada Tabel 27. Tabel 27. Peta Diskursus Kebijakan Usaha Kehutanan di kalangan Para Pihak Komponen Para pihak Hal ter-penting dari kebijakan Analogi Resep vs Diagnosa Pihak Masalah paling berpengaruh dalam kebijakan Ada persoalan cara pikir dalam konstruksi kebijakan Perbaikan kebijakan Birokrasi Proses dan substansi Proses: Komunikasi, terbuka, berdasar common values, mekanisme tegas, partisipatif Substansi: Fokus, tidak kaku, berangkat dari dan antisipatif atas masalah, maksud dan tujuan serta solusi yang jelas Resep tidak disebut – diagnosa keliru Diagnosa keliru- resep salah Diagnosa tepat- resep salah Diagnosa tepat- resep tepat Pelaku diagnosa banyak, bingung membuat resep, penyakitnya komplikasi Kelompok- kelompok yang memiliki akses dan power besar, termasuk di dalamnya adalah swasta besar. Masalah pemerintah, bagaimana mencapai kemakmuran rakyat Ada. Kurang terbuka, tidak antisipatif, otoriter, sepihak, top down, jangka pendek, sekedar menjalankan aturan, Sekecil apapun ada, hanya masih banyak kelemaha n dan tidak signifikan Akademisi Substansi: Berangkat dari konsep yang jelas, fokus pada keseimbang-an kepentingan Diagnosa dan resep salah, karena ketiadaan konsep; Pemerintah dan pengusaha, lalu masyarakat sipil. Masalah politik dan ekonomi Ada; terindikasi dominannya positivistik, minim realitas, tidak mengakar pada pengetahuan lokal, melihat hutan semata input produksi Masalah ekonomi lebih menonjol Tidak ada perbaikan , baik kualitas kebijakan maupun kerangka pikir Praktisi Bisnis Substansi: Akomodasi keseluruhan kepentingan, utamakan kemandirian pelaku usaha, atur yang perlu diatur, tidak mengatur terlalu teknis Keduanya keliru Diagnosa kadang akal-akalan dan manipulatif, Resep dibuat tanpa diagnosa Diagnosa keluru, shg resep apapun tidak manjur Pemerintah, namun pengawasan kurang Masalah tidak teridentifikasi Ada. Rimbawan dianggap tidak mengerti bisnis, sehingga harus diatur pemerintah, profitabilitas lebih penting daripada kompetensi; aturan sendiri tidak konsisten Tidak ada. Malah semaki menjadi parah dan terpuruk; MaspilNGO Substansi: Mencipatkan akseskondisi bermanfaat untuk semua pihak, tidak cepat berubah, antisipatif atas kondisi lapangan dan memiliki fungsi kontrol Diagnosa benar, resep salah Diagnosa salah, resep asal-asalan Diagnosa benar, resep dibuat menyimpang Pemerintah dan pihak yang tingkat kepentingannya paling menonjol; Dominasi bergeser menurut isu Ada. Kebijakan harus selalu dari pemerintah, proses dan transparansi tidak penting, tau persoalan tau obat, tapi tidak bertindak. Kacau-balaunya hutan saat ini cermin dari kekacau- balauan pikiran Tidak ada, pengelola an domian pemerinta h dan pelaku usaha sebatas pemanfaa tan Tabel diatas memperlihatkan, bahwa aspek terpenting dari kebijakan dilihat sedikit berbeda. Kecuali kelompok birokrat G, keseluruhan kelompok lain hanya melihat substansi sebagai hal terpenting dari sebuah kebijakan. Hanya kelompok birokrat yang mementingkan pula proses, selain substansi. Dari sisi substansi hampir keseluruhan mengaitkan perlunya menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan para pihak. Beberapa yang lain menekankan perlunya berangkat dari antisipasi masalah G, konsep yang jelas akademisi, A, kemandirian pelaku usaha dan tidak teknikal praktisi bisnis, B dan menciptakan akses manfaat masyarakat sipil, L. Hampir keseluruhan kelompok memberikan ilustrasi bahwa pada dasarnya yang terjadi sejauh ini proses pembuatanpembaruan kebijakan lebih didasarkan pada diagnosa dan resep yang keliru. Sementara itu, pihak dan masalah yang dianggap paling dominan oleh hampir keseluruhan kelompok adalah pemerintah dan masalahnya pun masalah pemerintah. Dan hal ini diakui pula oleh kelompok birokrat yang notabene kesehariannya adalah anasir pemerintah. Ada pula yang scara khusus menyebutkan bahwa pihak yang dominan adalah para pihak yang memiliki akses dan power yang besar, termasuk swasta besar Birokrat atau pihak yang kepentingannya paling menonjol Masyarakat SipilNGO. Hampir keseluruhan kelompok, termasuk birokrat, melihat bahwa ada persoalan cara pikir dalam pembuatanpembaruan kebijakan usaha kehutanan. Ini terkait antara lain dengan persoalan proses pembuatan kebijakan yang sepihak, top down, jangka pendek dan sekedar menjalankan aturan dari para pembuat kebijakan Birokrat atau tidak mengakar pada pengetahuan lokal dan menempatkan hutan sebagai sekedar input produksi Akademisi atau anggapan bahwa pelaku usaha tidak mengerti bisnis, sehingga perlu diatur pemerintah Praktisi bisnis. Hal lain disinggung pula antara lain bahwa kebijakan itu harus dari pemerintah, sementara proses dan transparansi tidak penting. Isyarat yang kuat dari tabel di atas adalah, bahwa hampir keseluruhan kelompok para pemangku kepentingan menilai bahwa sejauh ini tidak ada perubahan cara pikir berarti dalam proses pembuatanperubahan kebijakan. Dari keseluruhan diskursus yang berkembang tampak bahwa cara pikir yang tidak berkembang itu dapat dibaca sebagai semacam konfirmasi, bahwa para pihak, memosisikan pemerintah sebagai yang dominan, tanpa disinggung sama sekali bagaimana pentingnya keterlibatan para pemangku kepentingan potensial lainnya atau soal keseimbangan semua bentuk modal dalam usaha kehutanan. Di atas itu semua, kontestasi ini menunjukkan, bahwa di tengah diskursus yang berkembang berbagai pengetahuan dan pengalaman praktis para pihak tampaknya tidak hadir dan digunakan secara penuh dalam praktek keseharian – the absence of knowledge in practice. Kontestasi ini secara skematik sebagaimana tampak pada Gambar 19. Gambar 19. Kontestasi para pihak terkait isu kebijakan usaha kehutanan Dengan demikian, terindikasi kuat, bahwa selain soal fenomena ketidak hadiran secara penuh pengetahuan yang dimiliki para pihak di tataran praktis, diskursus yang ada juga masih berorientasi kuat atas sumberdaya hutan sebagai hal sentral. Artinya, aliran kerangka pemikiran masih kental pada “the forest first”.

E. Kualitas Kebijakan Usaha Kehutanan

1. Makna lepas dari Diskursus

Di atas terakumulasi pengetahuan bagaimana beragam “peta” kerangka pikir baik yang dibangkitkan dari hasil telaah isi dan narasi kebijakan usaha kehutanan maupun dari penjaringan persepsi melalui wawancara mendalam dan internet online polling. Beragam “peta” tersebut pada dasarnya sekaligus memberikan gambaran kualitas kebijakan usaha kehutanan yang ada. Dalam pendekatan Alvesson and Karreman 2000 kualitas itu berkaitan dengan lepasnya makna dari diskursus yang terakumulasi dalam teks kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan klaim-klaim atau pengakuan yang merepresentasikan kelestarian usaha kehutanan. Lawas diskursus yang berkembang sebatas kelas “mezo”, memperlihatkan kekurang-sungguhan dan ketidak-konsistenan antara apa yang menjadi tujuan kebijakan niat dengan apa yang akhirnya tertuang dalam teks dalam mengkerangka framing usaha kehutanan di satu sisi dengan penyiapan instrumen dan strategi pencapaian kelestarian disisi lain. Lepasnya makna dari diskursus juga teridentifikasi dari persepsi dan sekaligus posisi para pihak atas empat hal sebagaimana telah dijelaskan di atas, yakni: a hutan alam produksi Luar Jawa, b Usaha Kehutanan, c Kelestarian hutan dan pengelolaan hutan alam lestari, serta d Kebijakan usaha kehutanan. Persepsi dan posisi atas hutan alam hampir keseluruhan komponen para pihak menunjukkan setuju bahwa kondisinya rusak parah dengan beragam argumen dan ilustrasi empiris di baliknya. Namun, kondisi ini tidak sama sekali menghentikan semangat mereka untuk tetap melanjutkan memanfaatkan hutan alam sebagaimana sebelumnya Gambar 17 dan dengan tetap mengandalkan kelestarian sebagai constraint. Situasi ini identik dengan dan dapat dianggap sebagai “konfirmasi” atas situasi yang dijadikan pembuka Bab ini. Konfirmasi ini dapat dipahami sebagai penegas, bahwa teks dan narasi kebijakan yang ada bukanlah wujud dari sebuah interaksi sosial, dimana pertarungan atau kontestasi ide, teori dan pemikiran antar para pemangku kepentingan – atau setidaknya antara pemerintah dengan pemegang hak, berlangsung. Dengan kata lain, ini adalah situasi yang bantu menggambarkan adanya gap antara teks dan interaksi sosialnya. Hal demikian dapat ditafsir bahwa kebenaran yang terkandung dalam tekstual substansi aturan main masih pada tingkatan kebenaran hukum terkait bunyi pasal demi pasal. Lepasnya makna dari diksursus juga dapat dijumpai pada saat para pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud pada catatan kaki No. 24 memosisikan dan memaknai kelestarian. Di sini bahkan dapat dipahami bahwa lawas diskursus terkait kelestarian merentang dari dimensi mega – kelestarian ditempatkan sebagai mandat pencapaian Pasal 33 UUD 45 – ke dimensi mikro – kelestarian sebagai hal-hal teknikal dan administratif-prosedural yang harus dipenuhi pemegang unit usaha – dan akhirnya mengerucut pada dimensi meso, dimana kelestarian tak lebih sebagai daftar keharusan di tingkat unit managemen yang bagi pemegang konsesi usaha, eksternal sifatnya: sekedar menjalankan keharusan atau aturan yang telah ditetapkan pemerintah compliance based. Seberapapun lawas diskursus yang mengemuka, para pihak pemangku kepentingan, kecuali beberapa narasumber di komponen pemerintah, semuanya setuju bahwa usaha kehutanan di hutan alam produksi Luar Jawa tidaklah lestari. Poin ini menjadi hal ironis lainnya, manakala dikaitkan dengan pandangan para pihak ini untuk tetap melanjutkan usaha kehutanan di hutan alam Gambar 15 dan 17. Poin inipun menguatkan lepasnya makna diskursus, seperti juga dijumpai pada persepsi dan posisi para pihak atas kebijakan usaha kehutanan Tabel 27. Tanpa bermaksud melakukan simplifikasi atau menyederhanakan persoalan yang tergambar berat ini, uraian terakhir di atas, dalam bahasa sederhana dapat disebutkan bahwa para pihak pemangku kepentingan sekalipun mengakui tiga hal tidak perform kondisi hutan alam, kinerja usaha kehutanan, dan kualitas kebijakan namun semangatnya masih kuat untuk tetap melanjutkan usaha kehutanan hutan alam produksi di luar Jawa dengan alasan dan bahkan jargon yang kurang lebih tidak berubah: pembangunan ekonomi, sesuai mandat Pasal 33 UUD 45.