Tujuan dan Orientasi Usaha Kehutanan
bersama pihak lain, termasuk memberikan hak pengusahaan hutan kepada perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta.
Dalam UU 4199 tentang Kehutanan – pengganti UUPK 567 – usaha kehutanan diatur dalam konteks yang lebih luas, yakni pengelolaan
hutan yang meliputi kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,
rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan perlindungan hutan dan konservasi alam. Usaha kehutanan lebih lanjut diatur dan mengerucut dalam kegiatan
”pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan”. Dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, disebutkan
bahwa pemanfaatan hutan, sebagai rujukan hukum usaha kehutanan, bertujuan memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh
masyarakat secara adil dan lestari. Dalam UU ini, pemanfaatan hutan terbuka untuk semua kawasan hutan, kecuali cagar alam dan zona inti pada
Taman Nasional. Dengan begitu, tampak bahwa usaha kehutanan berada pada rejim pemanfaatan hutan alam produksi. Selain terbuka untuk semua
kawasan hutan, UU ini juga mengatur bahwa pemanfaatan hutan produksi dapat mencakup bentuk pemanfaatan yang lebih luas di banding aturan
serupa yang telah digariskan dalam UUPK 567. Dalam UU 4199 pemanfaatan hutan produksi alam dapat berupa
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan
kayu. Diatur pula, bahwa pemanfaatan hutan produksi ini dilaksanakan masing-masing melalui pemberian izin usaha pemanfaatan: kawasan, jasa
lingkungan, hasil hutan kayu, dan hasil hutan bukan kayu. Selain itu diatur pula izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan
bukan kayu
12
Selanjutnya, izin pemanfaatan kawasan, pemungutan kayu dan non kayu dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi; sementara, izin
pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan kayu dan non kayu dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS, BUMN, dan BUMD.
12
Pasal 28 UU 4199 tentang Kehutanan
Untuk maksud pemberdayaan ekonomi setempat, pelaksanaannya diwajibkan bekerjasama dengan koperasi masyarakat setempat.
Untuk memenuhi dan bahkan menjamin asas keadilan, pemerataan, dan kelestarian, UU ini mengatur bahwa izin usaha pemanfaatan hutan
dibatasi dengan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha yang teknis pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah. Sejalan dengan
hal ini, UU 4199 menggariskan pula bahwa para pemegang izin berkewajiban menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat
usahanya. Sampai disini tampak ada sedikit pergeseran orientasi usaha
kehutanan, setidaknya secara teks legal, untuk tujuan yang kurang lebih sama. Pergeseran tampak antara lain pada pemosisian usaha kehutanan
sebagai manifestasi pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan alam yang adalah bagian unsur pengelolaan hutan. Pergeseran lainnya adalah
terbukanya macam pemanfaatan dan penggunaan kawasan pada apapun kawasan hutan, kecuali cagar alam dan zona inti Taman Nasional.
Pergeseran yang juga tampak adalah keberpihakan kepada masyarakat dalam bentuk kewajiban para pemanfaat sumberdaya hutan ini
bekerjasama dengan koperasi masyarakat setempat. Dengan pergeseran orientasi demikian, sumberdaya hutan alam
melalui UU 4199 diposisikan masih sebagai karunia dan bahkan amanah Tuhan, yang disadari dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia. Hutan juga
diposisikan sebagai kekayaan yang dikuasai Negara, yang diklaim memberi manfaat serbaguna bagi umat manusia. Dengan pemosisian
seperti itu, UU ini menggariskan bahwa hutan wajib disyukuri, dan karenanya wajib diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, dijaga
kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Inilah gambaran bagaimana teks
legal perundangan menempatkan hutan sebagai hal yang utama. Hal lain, melalui UU ini juga muncul pengakuan, bahwa hutan,
dengan berbagai posisi legalnya tadi, diakui cenderung menurun kondisinya. Dengan begitu UU ini menggariskan bahwa keberadaan hutan
demikian harus dipertahankan secara optimal: ”.......dijaga daya dukungnya secara lestari, diurus dengan akhlak mulia, adil, arif,
bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat”. Selanjutnya dengan kerangka itu pula, UU ini menggariskan bahwa pengurusan hutan
yang berkelanjutan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai
masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional. Disini, menampun menjadi kata kunci, bahwa hal-hal diluar hutan masih
diposisikan sebagai eksogen exogenous. Dengan berbagai pergeseran ini pula, UU 4199 secara tegas
menyebutkan bahwa UU 567 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8 perlu diganti, karena
dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan. Pergeseran ini masih
menyisakan pertanyaan, apakah perubahan ini dilandasi dan atau berimplikasi pada perubahan aliran kerangka pikir. Bila dicermati teks
legalnya, dimana tidak cukup gambaran adanyaterjadinya keterlibatan para pihak pemangku kepentingan potensial potential benefeciaries,
keterlibatan modal bentuk lain selain hutan alam, dan masih diposisikannya hutan alam sebagai hal pokok, maka pergeseran itu
sesungguhnya belum mencerminkan perubahan kerangka pikir. Dan dengan alasan yang sama kerangka pikir yang ada masih sangat kental
sebagai aliran ”the forest first”.