memosisikan hutan alam sebagai isu sentral. Artinya, hutan alam dipandang sebagai suatu ekosistem multimanfaat, sehingga pengusahaannya secara lestari
harus dilaksanakan dengan dikerangka agar tetap menjaga keseimbangan sistem alami hutan alam itu. Dengan begitu, ruang kebijakan policy space
bagi usaha kehutanan lestari pun berada sebatas pada lingkup internal hutan alam itu bio-centris. Latar aliran pemikiran seperti telah ini mendorong
pemanfaatan dan usaha kehutanan lestari memerlukan banyak jenis peraturan kerja yang sangat teknikal karena alasan perbedaan kondisi dari satu
ekosistem hutan ke ekosistem lainnya; selain juga karena relatif banyaknya jenis kegiatan yang harus dilakukan oleh para pelaku usaha. Namun dalam
pelaksanaan, aturannya itu sendiri diposisikan seragam one size fit all. Dengan kerangka berpikir seperti di atas dapat dipahami mengapa
pemerintah begitu sering membuat termasuk merubah, menyempurnakan banyak aturan dan berbagai aturan itu kebanyakan lebih di tataran
administratif dan teknikal sebagaimana berkembang dalam diskursus di atas. Hal ini tampak misalnya pada bagaimana kelestarian dimaknai dan
diposisikan. Lalu, dapat dipahami pula mengapa lawas diskursus seputar usaha kehutanan mengerucut kepada dimensi meso dalam pendekatan
Alvesson-Karreman 2000. Keseluruhan argumen dalam kerangka pikir ini dapat juga diposisikan sebagai penjelas mengapa spirit eksploitatif atas hutan
alam dari waktu ke watu dalam kurun lima dekade dengan empat periode penguasaan ini konsisten dan menguat.
Dari sisi proses tidak teridentifikasi dengan jelas wujud interaksi, terlebih interaksi yang berupa transaksi antar para pihak yang berkepentingan dalam
menata aturan main usaha kehutanan. Siapa saja sesungguhnya pihak yang berinteraksi dan sekaligus bertransaksi tidak terindikasi secara tegas. Dari teks
terdapat gambaran bahwa pihak atau aktor yang disebut dalam aturan main kegiatan usaha kehutanan terdiri dari pemerintah pusat dan provinsi,
pemegang hak, mayarakat pihak ketiga, dan masyarakat adat. Teks mengindikasikan begitu kuat, bahwa pemerintah tampak begitu dominan
didalam menentukan aturan main, sehingga kesan sepihak dalam proses
penentuan itu sulit dihindari. Relatif sulit pula untuk memastikan bagaimana gambaran proses interaksi dan transaksi para pihak dalam mengkonstruksi
aturan main ini. Sampai disini, relatif sulit untuk dapat menjawab secara gamblang tiga pertanyaan yang diusung IDS 2006.
Fenomena tidak teridentifikasinya proses interaksi dan transaksi di atas memperlihatkan situasi bahwa rumusan akhir kebijakan tidak berangkat dari
debat para pihak. Pemerintah hanya melakukan dan mengakumulasi klaim, tidak tampak adanya proses komunikasi dan kontestasi ide, beradu info, fakta
dan idelologi – atau bahkan teori – antar para pihak pemangku kepentingan. Tidak tampak pula seberapa jauh ilmuwan kehutanan diberi peran dalam
proses. Maka, macam kebenaran yang dominan dibalik narasi kebijakan ini baru sebatas kebenaran hukum, bunyi pasal-pasal, dan yang dipenuhi baru
sebatas kebutuhan untuk membuat dan menjalankan aturan, belum menyentuh kebutuhan dan masalah pihak lain terutama para pemegang konsesi dan
kebutuhan dan masalah objektif usaha kehutanan di lapangan.
Reflek para pihak pemangku kepentingan yang berpartisipasi dalam penelitian ini atas hutan alam, mencerminkan kerangka pikir yang kurang
lebih sama. Hampir keseluruhan dari mereka menempatkan hutan alam sebagai isu sentral dengan beragam alasan, termasuk yang senada dengan
fenomena di atas. Lebih dari itu diskusrus yang berkembang memosisikan juga hutan alam produksi “layak” untuk terus diusahakan.
Reflek para pemangku kepentingan tersebut di atas menguat, bersamaan dengan kesadaran mereka juga bahwa hutan alam produksi saat ini telah rusak
dengan beragam ilustrasi kualitatif. Bukan itu saja, hampir keseluruhan para pihak juga menyadari bahwa usaha kehutanan di hutan alam produksi sejauh
ini disadari tidak berhasil, hutannya tidak lestari. Para pihak juga mengakui bahwa tidak ada perubahan kebijakan dalam dua kurun sebelum dan sesudah
1998 kearah yang lebih baik. Mereka berpandangan, kebijakan kehutanan dalam periode itu dinilai sama saja, tidak ada perubahan atau perbaikan
berarti.
Para pemangku kepentingan pun memperlihatkan kerangka pikir yang unik. Di satu sisi hampir keseluruhan dari mereka menempatkan hutan alam
sebagai isu sentral dengan beragam alasan dan karenanya memandang “layak” untuk terus diusahakan; disisi lain mereka mengakui juga tiga hal: hutan alam
produksi Luar Jawa kondisinya sudah rusak parah, kinerja usaha kehutanan lestari tidak baik, hutan alamnya sendiri diakui tidak lagi lestari. Ini menjadi
pengetahuan bagaimana diskursus lepas dari makna. Pengetahuan ini sekaligus menegaskan bahwa pengetahuan para pihak tidak hadir dalam
tataran praktis, termasuk saat mengkonstruksikan kebijakan. Khusus dalam menilai kebijakan usaha kehutanan, para pemangku
kepentingan melihat bahwa yang terpenting dari kebijakan adalah adanya proses diagnosa atas realitas objektif lapangan sebelum kebijakan dikonstruksi
atau dieksekusi. Maka, kesenjangan antara teks aturan dimana kebijakan ditetapkan dan interaksi sosial bagaimana kebijakan itu di respon dan
diimplementasikan, dapat dipersempit atau dihilangkan. Selain bahwa masih adanya kesenjangan antara teks aturan dengan
interaksi sosialnya, kualitas kebijakan juga berkaitan dengan lepasnya makna dari diskursus, dan sejauh ini tidak mampu mendorong perubahan perilaku,
termasuk perilaku para pihak menuju ke kelestarian. Corak keseluruhan diskursus, baik yang dibangkitkan dari teks
perundangan maupun yang “berkontestasi “ dalam wawancara dalam polling, memperlihatkan beberapa situasi. Kentalnya relasi kuasa yang dilakukan
komponen pemerintah untuk memproduksi pengetahuan yang mendominasi pemakanaan atas keseluruhan aspek usaha kehutanan, khususnya melalui
pendekatan regulasi. Saat yang sama, komponen pemerintah memproduksi dan menetapkan regim kebenaran, yang dari ciri-cirinya kental berasosiasi
dengan aliran the forest first. Aliran inilah yang oleh komponen pemerintah melalui proses dominasi dan hegemoni dalam pendekatan Gramsci digiring
agar “khalayak” mengikutinya. Diskursus dengan corak ini sekaligus menjawab tiga pertanyaan kunci IDS 2006 terkait bagaimana diskursus telah
berkembang – dan diproduksi, siapa sesunggunya aktor yang paling berpengaruh dalam konstruksi atau memproduksi kebijakan, dan bagaimana
lintasan politik-ekonomi saat kebijakan diproduksi. Dengan demikian, diskursus usaha kehutanan di kalangan para pihak dan apapun corak aliran
pemikiran disebaliknya adalah produk dari relasi kuasa dan sekaligus hegemoni kekuasaan yang terjadi selama ini.
BAB V. IMPLIKASI PENTING A.
Pendahuluan
Beragam kecenderungan dan peta serta kontestasi kerangka pikir di balik diskursus dan kebijakan usaha kehutanan telah berhasil dibangkitkan,
dikompilasi dan disintesis. Bab ini coba menarik beberapa implikasi penting dan relevan dilihat dari sisi kebijakan itu sendiri, aspek praktis-operasional,
corak dan kualitas diskursus dan posisi metodologis dibalik kegiatan penelitian kualitatif ini.
B.
Kebijakan: Pelurusan kerangka pikir, melepas hegemoni
Sintesis terhadap hasil kompilasi kerangka pikir, baik atas teks perundangan maupun hasil wawancara dan polling sebagaimana telah dijabarkan secara
rinci dan panjang lebar pada Bab IV, sampai pada pembuktian awal dan sekaligus menjawab salah satu pertanyaan penelitian ini, bahwa kebijakan
usaha kehutanan yang ada sejauh ini dilahirkan dengan kerangka pemikiran “the forest first” sebagaimana dimaksud Sfeir-Younis 1991
1
dan kental dengan pengutamaan kayu timber primacy dengan konsep kelestarian hasil
dalam pendekatan Gluck 1987. Sekedar untuk pendalaman, sintesis berikut coba menguatkan pembuktian awal ini.
Dari peta diskursus dan kontestasi para pihak Bab IV, dapat dibangkitkan tiga kemungkinan “kualifikasi” kebijakan: 1 kebijakan P lahir
dilandasi aliran pemikiran baik “the forest first” FF maupun “the forest second” FS – meminjamn pendekatan Sfeir-Younis 1991; asumsinya
kualitas diskursus para pihak pemangku kepentingan memang menguatkan kedua aliran ini, 2 kebijakan lahir lebih kental dengan aliran “the forest
first”, sekalipun – asumsinya, kedua macam aliran ini memiliki kekuatan yang relatif sama dalam diskursus para pihak pemangku kepentingan, namun aliran
“the forest second” akhirnya sebagai pihak yang “kalah” dalam kontestasi dan
1
Senada pula dengan pendekatan Kaivo-Oja tt dan McCreely tt yang keduanya “komplain” terhadap diksursus kelestarian yang sangat bio-centris steril dari human being – lihat Bab I
diskursus, 3 sama seperti poin kedua, namum penyebabnya lebih karena dalam diskursus tidak muncul secara kuat aliran “the forest second”. Ketiga
kemungkinan ini dapat diilustrasikan sebagaimana Gambar 21.
Gambar 21. Tiga kemungkinan “kualifikasi” kebijakan
Hasil kompilasi peta diskursus dan kontestasi para pihak pemangku kepentingan yang terlibat dalam penelitian ini juga memperlihatkan pola,
dimana pemerintah G dan praktisi bisnis B begitu kental menggunakan aliran FF. Dalam hal ini pemerintah telah memosisikan hukum atau aturan itu
sebagai alat pemaksa driving force instrument; sementara praktisi bisnis melihat hal itu dan memosisikan pemerintah tak lebih sebagai “grand
regulator”. Hanya akademisi A dan masyarakat sipilLSM L yang mengusung isu-isu di luar hutan, yakni terkait sosial-ekonomi-politik dan
hukum. Sementara dalam sintesis sebelumnya pun telah disinggung, bahwa pemerintah begitu dominan dan lalu disusul praktisi bisnis; sementara para
akademisi dan masyarakat sipilLSM cenderung kurang diperhitungkan, terutama pada awal-awal usaha kehutanan mengalami booming kayu 1970-
1980an. Pola ini secara skematis, tampak pada Gambar 22.
Hukum alat pemaksa driving force instrument
Grand regulator
G B
Sosial, Ekonomi, Politik, Hukum
A,L
Forest First FF Forest Second FS
Gambar 22. Pola aliran pemikiran dibalik peta diskursus
n pendekatan Bolman and Deal 1985 dan Alvesson dan Kar
ihak yang berpartisipasi dal
Bila ketiga peluang “kualifikasi” kebijakan yang ada Gambar 21 dan pola aliran pemikiran yang mengemuka dalam diskursus Gambar 22 kita
coba tumpang-tindihkan superimpose, maka segmen kualitas kebijakan yang ada jatuh pada opsi kedua, yakni teks kebijakan dilandasi secara kuat oleh
aliran pemikiran “the forest first” FF, karena aliran kedua FS sekalipun muncul dalam diskursus terutama pasca 1998 masih terlalu lemah untuk
memenangi kontestasi. Kemungkinannya karena ia muncul sebatas symbol dan diskursusnya sendiri lepas dari makna sebagaimana saat peta diskursus itu
coba ditapis denga reman 2000.
Apa yang salah dengan aliran pemikiran FF? Kembali ke Sfeir-Younis 1991, maka jawabannya adalah ketidaklengkapan incompleteness faktor
yang ditimbang dan masuk dalam teks kebijakan usaha kehutanan, terutama karena sifat aliran ini yang disebut sebagai monolitik bio-centris – yang
menganggap hal-hal di luar hutan sebagai eksogen. Dalam analisis Sfeir- Younis 1991 konsep monolitik bio-centris ini menyebabkan kehancuran
hutan yang bahkan tidak dapat balik irreversible. Fakta empiris terkait kinerja usaha kehutanan menggenapi pengetahuan ini: pengadopsian aliran
pemirikiran FF menjadi penyebab – atau setidaknya secara fenomenologis – memperlihatkan keterkaitan yang erat dengan kinerja usaha kehutanan yang
memprihatinkan dan diklaim keseluruhan para p am penelitian ini sebagai rusak dan tidak lestari.
Akumulasi pengetahuan di atas memberikan implikasi bahwa meluruskan dan menata ulang kerangka atau aliran pemikiran menjadi sebuah kebutuhan
bagi agenda pembaruan kebijakan usaha kehutanan. Dalam bahasa sederhana dapat dibangun argumen: bila kebijakan usaha kehutanan sejauh ini lebih
dilandasi aliran FF dan ini dihadapkan dengan fakta empiris kegagalan kinerja usaha kehutanan dalam mengusung mandat konstitusional sebagaimana
tercantun dalam Pasal 33 UUD 45, maka aliran pemikiran apapun yang menjadi landasan proses konstruksi kebijakan itu perlu diubah. Dari akumulasi
pengetahuan dan bangunan situasi masalah yang ada sejauh ini, maka arah perubahan ini setidaknya perlu mencakup dua hal pokok, yakni terkait hal-hak
praktis operasional dan teoretis. Hal pertama lebih banyak berkaitan dengan perbaikan kebijakan dari sisi substansi dan proses. Hal kedua lebih berkaitan
dengan perbaikan kualitas diskursus sebagai konsekwensi logis dari keperluan merubah aliran pemikiran. Namun, berbagai perbaikan ini hampir mustahil
dapat dilakukan efektif, terutama bila abai atas sejumlah isyarat, bahwa corak diskursus yang ada dan sekaligus corak aliran pemikiran disebaliknya justru
merupakan produk dari dominasi dan hegemoni kekuasaan – dalam pengertian Gramsci, selama ini. Dengan mengkalkulasi isyarat ini, maka mengurai dan
me oni manjadi syarat pemungkin untuk melakukan pelurusan
C.
lepas hegem kerangka pikir dan lainnya.
Tataran Praktis-Operasional: benahi substansi dan proses
Hal-hal praktis-operasional dari sisi substansi dan proses dapat dibangkitkan antara lain dari narasi kebijakan yang dirinci per hirarki perundangan
sebagaimana ringkasan dan sintesisnya tercantum dalam Tabel 17 dan Tabel 18 pada Bab IV. Merujuk pada hirarki itu dapat diamati, masalah substansinya
sesungguhnya ada dimana? Betulkah pada tingkatan UU tidak ada masalah, melainkan di tingkat PP?. Atau masalahnya justru sudah ada dimulai di tingkat
UU. Menjawab pertanyaan ini adalah menarik ulang argumen yang menyertai ringkasan narasi kebijakan Tabel 19 dan Tabel 20. Disebutkan, bahwa
kecenderungannya untuk masing-masing aspek narasi, sebelum ke hilir substansi aturan sudah relatif rinci, semakin teknis, sangat administratif
prosedural, dan fokus lebih tertuju pada wilayah kelola terkecil atau unit manajemen, biofisik hutan. Artinya, semakin ke hilir fokus dan orientasi
pengaturan semakin menempatkan bio-fisik hutan sebagai faktor utama. Ini jelas ciri dari aliran pemikiran FF. Kecenderungan ini menegaskan, bahwa di
tingkat UU fokus dan orientasi pengaturan masih cukup lebar, setidaknya relatif masih menjangkau hal-hal diluar biofosik hutan, misalnya bicara
kesejahteraan, keadilan dan pemerataan saat memosisikan hutan alam produksi dan memaknai kelestarian hutan. Namun, baik di hulu maupun di
hilir keduanya sama-sama masih mengundang kemungkinan situasi masalah, terutama di tataran rumusan dan implementasi. Di hulu, di tingkat UU, fokus
dan orientasi relatif terbuka, sehingga sangat mungkin melahirkan multi tafsir dengan rentang yang cukup lebar. Penyimpangan tafsir sangat mungkin
terjadi, tergantung kepada seberapa luas dan serius para pemangku kepentingan berpartisipasi dalam mengkonstruksi aturan atau kebijakan
dim
antar para pemangku, aka
aksud. Penyimpangan tafsir juga sangat mungkin disebabkan karena kualitas diskursus dari para pemangku kepentingan.
Pengalaman praktis dan latar pengetahuan para pemangku kepentingan sangat berperan dalam menentukan kualitas diskursus. Dalam bahasa IDS
2006 hal ini semua pada akhirnya akan sangat menentukan kualitas jaringan aktor, ruang kebijakan dan sekaligus kepedulian politik. Ketersediaan formula
dan mekanisme proses perumusan kebijakan yang dapat memastikan perumusan kebijakan melibatkan para pemangku kepentingan sehingga terjadi
proses interaksi, negosiasi, debat dan kontestasi ide n sangat menentukan seberapa jauh suatu tafsir menjadi kepedulian dan
bahkan aksi bersama collective concern and actions. Ditingkat hilir, PP dan seterusnya, dimana substansi aturan cenderung
semakin terlalu rinci, terlalu teknis, dan administratif prosedural sangat memungkinkan juga melahirkan sejumlah situasi masalah. Setidaknya peluang
mereduksi maksud dan tujuan dibuatnya aturan. Penyimpangan tafsir ditingkat ini pun seringkali berakhir tidak saja dengan peningkatan biaya transaksi
tetapi juga dengan beragam moral hazard yang akhirnya melahirkan ekonomi biaya tinggi. Penyimpangan tafsir di tingkat ini juga sering menimbulkan
inefisiensi dan ketidakefektifan administrasi. Analisis terhadap dokumen renstra Ditjen BPK Kemenhut dan juga studi yang dilakukan DKN 2008
menunjukkan bahwa ada lebih dari seratus peraturan-perundangan diduga telah berakibat pada ekonomi biaya tinggi, hambatan atas pemahaman dalam
implementasi perundangan itu, dan minimnya efisiensi dan efektivitas administrasi usaha kehutanan. Sehingga, yang terjadi kemudian, banyak
proses yang harus dilakukan yang secara fungsional tidak lagi relevan dan bermanfaat. Berikut, sekedar contoh ril yang terjadi di lapangan, dicuplik dan
diolah ulang dari studi yang dilaksanakan APHI Komda Kalimantan Tengah
2
, terkait isu pengawasan dan pembinaan yang dialami para pemegang unit usaha
20 HPH data tahun 2009 dan 2010 sebagaimana diilustrasikan intisarinya
Tabel 29. Jumlah orang dan hari dalam kegiatan pengawasan dan peme
ada Uni di Kali
HPH: 2009-2010
nth san
n pengawasan per HPHth
pada Tabel 29.
riksaan p t HPH
manan Tengah data 20
Aktor Pengawas Rentang
Frekuensi
a pengawas
Rataan a
pengaw per tahu
Rentang dan Rataan jumla pengawas dan lama
h
Kemenhut+UPT 0 – 17 kali
2,85 kali Pemerintah Provinsi
0 – 18 kali 6,7 kali
KabupatenKota 0 – 21 kali
6,4 kali Non-kehutanan
0 – 4 kali 1,0 kali
58 ; 6 – 172 98; 15 – 27
orangHPHth HPHth
0 hari
Biaya pe gawas n
an per H uHO
PHth dengan asumsi IDR 700 rib K, maka:
Skenario inggi 172 orang x 270 hari x IDR 700.000
t IDR 32,51 M th
Skenario rendah 6 orang x 15 hari x IDR 700.000
IDR 63 juta th Skenario rataan
58 orang x 98 hari x IDR 700.000 IDR 3,98 MTh
Data dan informasi pada Tabel 29 menunjukkan, bahwa dari 20 HPH, data 2009 dan 2010, diperoleh gambaran biaya yang dikeluarkan oleh pemegang
unit usaha HPH pertahun sebesar IDR 32,5 M tertinggi dan IDR 60 juta terendah dan rata-rata HPH mengeluarkan tidak kurang dari IDR 3,98 M
setiap tahunnya untuk keiatan pengawasan ini. Yang menarik, selain besaran angkanya, adalah bergesernya fungsi dan tujuan aturan dari pengawasan itu
menjadi bagian dari – dan memperbesar – biaya transaksi yang mendongkrak
2
APHI 2010 Pemeriksaan Kegiatan Pengusahaan Hutan di Provinsi Kalimantan Tengah. APHI Komda Kalimantan Tengah.
ekonomi biaya tinggi. Ini dimungkinkan, antara lain karena substansi aturan yang semakin detail, teknikal dan administratif itu yang di tataran
implementasi bisa bergeser seperti itu. Angka ini tentu, belum memperhitungkan kontribusi HPH yang resmi yang sering diklaim relatif
kec
n situasi ma
pakan produk dari proses hegemoni kekuasaan. Maka, pembenahannya il terhadap PDB. Begitulah salah satu fenomena empiris dari kinerja
kebijakan usaha kehutanan itu, bahkan sampai saat ini. Sampai disini diperoleh pengetahuan, bahwa dari tataran praktis
operasional pembenahan kebijakan usaha kehutanan perlu didekati dari dua sisi baik dari substansi maupun proses. Dari sisi substansi perubahan perlu
diarahkan agar substansi kebijakan menggambarkan dengan jelas tujuan yang ingin dicapai oleh lahirnya kebijakan itu, siapa yang diharapkan harus berubah
perilakunya untuk mencapai tujuan kebijakan itu, sebab-akibat terjadinya sesuatu atau situasi tertentu yang menjadi kepentingan dibalik kebijakan,
instrumen yang akan digunakan, dan program serta kegiatan untuk memastikan kebijakan bisa berjalan efektif. Melihat bangunan da
salah sebagaimana dijelaskan diatas, maka perubahan substansi semacam ini diperlukan, baik di tingkat UU, terlebih di tingkat PP dan kehilir.
Dari sisi proses, maka pembaruan perlu ditekankan pada keterbukaan proses pembuatan kebijakan, termasuk proses pembuatan teksnya untuk
menguatkan hubungan antara tujuan, masalah dan solusi. Untuk itu, maka proses penetapan kinerja, program dan kegiatan harus didasarkan pada
masalah yang dihadapi para pemangku kepentingan, khususnya pembuat, pelaku dan pelaksana kebijakan; misalnya melalui mekanisme semacam
public hearing, termasuk melakukan penilaian oleh pihak ketiga independen independent third party atas kriteria dan indikator penilaian kinerja, program
dan kegiatan. Dengan pemahaman, bahwa pelaksanaan kebijakan juga sangat ditentukan oleh informasi dan interpretasi para pemangku kepentingan atas
substansi kebijakan itu Birkland, 2001, IDS, 2006, maka berbagai arah perubahan ini selayaknya perlu dukungan perbaikan pula dari sisi kualitas
diskursus. Persoalannya, kembali bahwa kualitas diskursus ini terindikasi kuat meru
praktis memerlukan ikhtiar untuk mengurai dan melepas hegemoni kekuasaan
D.
tasi bio-centris yang kental, masuk ini.
Kualitas Diskursus: pengetahuan, pendidikan dan politik ekonomi
Dari peta diskursus dan gambaran kontestasi para pihak sebagaimana telah diuraikan dalam Bab IV, dapat dipahami secara kualitatif seberapa dalam
kualitas diskursus yang dapat diidentifikasi. Dari kecenderungan aliran pemikiran yang melandasi teks kebijakan dan kontestasi persepsi dari para
pemangku kepentingan, yang keduanya cenderung mengkristal kepada aliran FF, maka kualitas diskursus, terutama yang memenangi kontestasi waktu itu,
dapat dipahami tidak terlalu jauh dari hutan sebagai faktor utama. Maka ruang kebijakan dan jejaring aktor serta kepedulian politik para pemangku
kepentingan hanya berputar diseputar hutan dalam pengertian yang sempit bio-centris, monolitik. Melihat siapa aktor yang paling menentukan dibalik
proses kebijakan yang ada, maka pemerintah teridentifikasi kuat sebagai yang dominan dan diklaim para pihak sebagai grand regulator. Dari pengetahuan
ini, semakin dapat dibayangkan betapa kualitas diskursus menjadi sangat terhegemoni oleh pandangan-pandangan “sepihak” dan cenderung “mendikte”
dari pemerintah
3
. Dari sisi inilah, dengan kualitas diskursus yang ada, sumberdaya hutan dengan bahasa dan orien
agenda politik ekonomi orang-orang pemerintah. Kecenderungan ini dapat diamati, misalnya dari deskripsi historis terkait usaha kehutanan Indonesia,
sebagaimana disarikan dalam Lampiran 8. Intisari
sejarah kehutanan tersebut menunjukkan setidaknya tiga hal,
diskursus yang berkembang, aktor pemangku kepentingan yang sesungguhnya terlibat dan sangat menentukan kebijakan kehutanan, serta lintasan pathways
politik ekonomi dalam usaha kehutanan. Ketiga hal ini, tidak lain hal yang ditanyakan IDS 2006. Dalam diskursus tampak bahwa hutan sejak awal
1819 – saat penetapan pemangkuan hutan kayu diposisikan sebagai komoditi ekonomi dan sekaligus alat politik. Dalam kurun yang sama, semangatnya
3
Untuk ujisilang hal ini, lihat dan dalami setidaknya masing-masing satu PP, SK Menteri, FA, dan SK HPH, selami mulai dari pemilihan teks, penggunaan kalimat, rasa bahasa dan penetapan unsur-unsur hak dan
kewajiban dalam usaha kehutanan. Akan tampak, bahwa pemangku usaha, masyarakat sipil dan akademisi nyaris tidak memiliki ruang dan peran menentukan dalam kebijakan, terutama dalam kurun sebelum 1998.
tampak jelas dan konsisten, yakni eksploitatif, bahkan sampai saat ini. Secara ekonomi, kehutanan menjadi sumber keuangan negara setidaknya sejak 1938
saat Djatibedrifj dilebur menjadi dienstvak melalui produksi kayu dengan pembentukan afdeling baru untuk tujuan ekplorasi hutan. Secara politik,
tampak jelas, bahwa diskursusnya adalah memosisikan pendapatan negara dari hutan bagi kepentingan peperangan dan perjuangan 1819-1945,
menuntaskan revolusi 1945-1949 dan mengisi kemerdekaan 1960an. Dengan demikian, lintasan kebijakan usaha kehutanan tidak terlepas dari
lintasan historis perjuangan politik dan kemerdekaan Lampiran 8. Selama
Nasional dan lain-lain. kurun itu, tampak jelas bahwa kebijakan kehutanan lebih sebagai aturan atau
hukum yang lebih difungsikan oleh kekuasaan sebagai alat pemaksa, meminjam istilah Gramsci, dalam nuansa law enforcement.
Dari sisi aktor, yang paling berpengaruh tampak jelas dari lintasan sejarah ini adalah pemerintah, baik pemerintahan penjajah, orde perjuangan, orde
lama, bahkan orde baru, termasuk orde reformasi. Dalam kekuatan pengaruh itu, penataan hutan menjadi semacam regim pemanfaatan dalam bangunan
logika pemerintah, bukan merupakan kesepakatan sebagai sebuah bangsa; dan tidak sedikit yang tidak sepakat dengan regim yang ada, tapi terindikasi
kebanyakan akhrinya kompromi dan permisif sebagai sesuatu yang “sudah terlanjur”. Terlanjur jadi wujud HPH, jadi Taman
Inilah situasi yang menguatkan, bahwa kekuasaan telah memproduksi, menempatkan dan menggiring satu regim kebenaran agar diikuti masyarakat
kebanyakan. Ini sejalan dengan pemikiran Foucault. Dalam perjalanannya, karena lintasan historisnya tidak lepas dari sejarah
bangsa ini, maka kehutanan dan usaha kehutanan tidak luput dari kepentingan politik-ekonomi para penguasa dan pemerintah dari waktu ke waktu. Saat
Belanda menyerah tanpa syarat kepada sekutu dan Jepang 8 Maret 1942, pengelolaan dan organisasi kehutanan berganti nama menjadi ringyoo tyuoo
zimusyo, dengan kebijakan kehutanan yang pokok waktu itu ekploitasi hutan untuk memproduksi kayu demi kelangsungan dan memenangkan peperangan.
Lalu, memuncaknya ketegangan agresi Belanda kedua 19 Desember 1949 telah memosisikan hutan sebagai sumber produksi dan pertahanan, sehingga
pemerintah saat itu mengeluarkan PP 591948 tentang Militerisasi Jawatan Kehutanan. Dalam kurun ini tercatat produksi kehutanan sebesar hampir 700
ribu m3 kayu pertukangan dan 5,7 juta sm kayu bakar. Dalam lintasan ini, terminologi kelestarian hutan dan usaha kehutanan hampir sama sekali tidak
diusung dalam diskursus, kecuali pada kurun 1960an, dimana untuk mengantisipasi kerusakan hutan saat itu diagendakan “pembinaan” hutan
berupa reboisasi dan penanggulangan tanah-tanah kosong. Sementara kelestarian saat itu baru dimaknai sebatas perlindungan flora-fauna, sehingga
us yang ada? ntuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat menelusuri paling tidak
keorganisasian nan saat ini, yang sec
a Tabel 30.
Lembaga
kegiatannya lebih banyak berupa perlindungan dan pengawetan alam dan ekspedisi. Intisari sekuen lintasan ini secara lebih rinci dapat dilihat pada
Lampiran 8. Sekalipun tidak secara gamblang dapat dilihat, sekuen dari lintasan historis
ini menggambarkan pula corak dan sekaligus kualitas diskursus. Sulit untuk membantah, bahwa warna diskursus yang ada dalam kurun itu sangat kental
FF, bahkan orientasinya pun sangat timber primacy. Seperti apapun kualitas diskursus ini sangat dipengaruhi setidaknya oleh latar pengetahuan dan
pengalaman para pihak yang berpartisipasi dalam diskursus, yang dari sekuen historis yang ada tampak lebih didominasi oleh komponen pemangku
pemerintah. Artinya, latar pengetahuan dan pengalaman pemerintah menjadi pertanyaan penting, seperti apa persisnya dan seberapa jauh; lalu adakah hal-
hal yang bersifat kontestasi inovasi yang muncul dalam diskurs U
“diskursus” yang terjadi di dunia riset, pendidikan dan kehuta
ara ringkas disajikan pad
Tabel 30. Pembidangan dan Eselonisasi di beberapa lembaga
PembidanganEselonisasi Pendidikan – Fahutan IPB
Manajemen Hutan, Hasil Hutan, Konservasi SDH dan Ekowisata, Silvikultur
Riset – Balitbang Kemenhut si,
ehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Perubahan Iklim Kebijakan
Administrasi, Konservasi dan Rehabilita Peningkatan Produktivitas, Keteknikan K
Organisasi – BUK Kem
Administrasi, Rencana Pemanfaatan dan Usaha enhut
Kawasan, Usaha Hutan Alam, Usaha Hutan Tanaman, Pengolahan dan Pemasaran Hasil hutan
Sumber: Panduan Program Sarjana 2010; IPB Kepmenhut P 402010
Tabel 30 mengindikasikan bahwa unsur pembidangan sebagai bagian diskursus, tampak tidak memuat aspek sosial, ekonomi dan hukum secara
memadai. Telaah lebih lanjut pada tingkatan di bawah pembidangan tersebut menghasilkan gambaran serupa dan kalau pun ada maka lawasnya sangat
kecil, yakni di eselon paling bawah riset dan keorganisasian dan di tingkat mata ajaran pendidikan. Indikasi ini memberikan gambaran lawas
pengetahuan dan sekaligus alasan, kecilnya peluang membicarakan atau mengusung soal sosial, ekonomi dan hukum kedalam ruang diskursus dan
sekaligus ke dalam ruang kebijakan policy space. Dengan demikian, tingkat kebenaran argumen yang terbangun dalam diskursus pun akan cenderung
mengerucut kebanyakan pada kebenaran pada tataran teknis dan hukum, dan belum merupakan kebenaran substansial yang, dalam pendekatan Dunn
2000, juga memerlukan dukungan kebenaran ekonomis dan pengakuan atau penerimaan sosial social acceptability. Apakah situasi ini mewakili penilaian
bahwa kini dan saat itu pemerintah didominasi orang-orang atau rimbawan yang tekno-centris, selain bio-centris? Jawabannya iya, setidaknya menurut
Kartodihardjo 2006. Berangkat dari pembahasan pengelompokkan cara berpikir – epistemologi dan ontologi – ia menarik dua garis silang yang saling
berpotongan, sumbu vertikal u horisontal untuk ontologi, sehingga menghasilkan empat kuadran Gambar
23.
Constructivism
ntuk kelompok epistemologi dan yang
IV: Doa III. Kelestarian
Ekologi
I: Transfer Teknologi
II Pengelolaan Ekosistem
Re du
ctio nis
m
Positivism Hol
ism
Gambar 23. Kuadran cara berpikir dalam Pengelolaan SDH: tekno-sentris
Sumber: Kartidihardjo 2006
Dijelaskan, bahwa kerangka pikir rimbawan berada pada kuadran I diarsir dengan label “transfer teknologi” untuk menunjukkan, bahwa: a kuadran ini
memang kuadran tekno-sentrik, yang mewakili b orang yang pemikirannya didasarkan pandangan epistemik – positivistik-reduksionis, dimana c dalam
pengembangan teknologi orang ini masih bertumpu pada paket teknologi hasil pengembangan pakar dengan cara pikir linear, yang umumnya d
menekankan keharusan berbuat sesuatu, sesuai pedoman, standar, dan sebaliknya tidak mengendalikan perilaku
4
pihak-pihak melalui pendekatan insentif-disinsentif, sehingga e ilmu dan teknologi dianggap netral dan sulit
menerima fakta bahwa transfer teknologi mengandung unsur politik disebaliknya. Karakteristik pemikiran seperti ini senada dengan aliran
pemikiran FF yang disebut Sfeir-Younis 1991 yang memosisikan hutan sebagai faktor utama bio-centris seolah steril dari hal lain sehingga
diposisikan sebagai eksogenus. Hal ini senada pula dengan bahasan Kaivo-Oja tt dan McCleery tt pada saat diamatinya bahwa kebanyakan orang
kiran yang tampak, adalah produk kekuasaan, maka berbagai upaya perbaikan dan pembaruan tersebut hampir mustahil dilakukan sejauh
mendefinisikan kelestarian hutan yang dalam kalkulasinya hanya seputar bio- centris, lepas dari unsur human being dan tidak mengenal apa yang mereka
sebut sebagai self-sustaining. Uraian di atas dapat merupakan akumulasi pengetahuan, yang
menekankan menuntun dan menentukan dalam hal apa dan kearah mana perbaikan kualitas diskursus perlu dilakukan. Aspek pendidikan, riset dan
keorganisasian kehutanan, misalnya, dapat merupakan sasaran awal pembaruan itu, dengan keyakinan bahwa kualitas pendidikan, riset dan
organisasi teknis yang baik dan berkualitas, pada akhirnya akan sangat menentukan kualitas pengetahuan para pemangku kepentingan dan publik
secara umum. Saat yang sama, kualitas diskursus diharapkan akan relatif lebih baik. Namun, saat disadari bahwa apapun corak dan kualitas diskursus serta
aliran pemi
4
Di tingkat ini, sangat mungkin untuk muncul fenomena abai ignorance atas realitas perilaku para pihak pemangku kepentingan usaha kehutanan.