PENDAHULUAN SENGKETA WEWENANG MENGADILI

Andi Sofyan 235

BAB XIV SENGKETA WEWENANG MENGADILI

1. PENDAHULUAN

Menurut Undang-undang RI No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan terakhir diubah dengan Undang- undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 25 yang berbunyi bahwa 1 Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. 2 Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwe- nang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pida na dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 3 Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwe- nang memeriksa, mengadili, memutus, dan menye lesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 4 Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 5 Peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi misalnya wewenang peradilan umum secara mutlak untuk ”memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata dan pidana”, maka secara mutlak peradilan militer, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara tidak boleh memeriksa, 236 Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar mengadili dan memutus perkara perdata dan pidana, demikian pula seblakinya. Sekalipun undang-undang telah menentukan kewenangan masing-masing peradilan untuk memeriksa, memutus dan mengadili suatu perkara berdasarkan batas keewenangannya, namun dalam kenyataan sering terjadi sengketa sebagai akibat perbedaan pendapat yang terjadi di antara dua atau lebih lingkungan peradilan. Maka untuk menjamin adanya kepastian tentang sengketa wewenang mengadili, perlu diatur ketentuan yang berhubungan dengan acara penyelesaian persengketaan tersebut di atas. Adapun masalah yang akan dibahas, hanya berkisar pada sengketa mengadili secara relatif, yakni permasalahan yang menyangkut persengketaan wewenang mengadili antara satu pengadilan negeri dengan pengadilan negeri lainnya, atau antara satu pengadilan tinggi dengan pengadilan tinggi lainnya. Menurut Pasal Pasal 147 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, bahwa ”agar tidak terjadi pelanggaran atau wewenang mengadili bagi pengadilan negeri, maka ”Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya”, kemudian menetapkan: • Apakah itu termasuk wewenang pengadilan negeri yang dipimpinnya; • Apakah tidak termasuk wewenangnya, tapi termasuk wewenang pengadilan negeri yang lain Jadi apabila ketua pengadilan negeri berpendapat, bahwa ”termasuk wewenangnya” yang dipimpinnya untuk mengadilinya, maka perkara tersebut segera diperiksa sesuai proses acara pemeriksaan sebagaimana yang ditentukan dalam undang- undang, yaitu antara lain menetapkan anggota majelis hakim, dan lain sebagainya, namun sebaliknya, apabila ketua pengadilan negeri berpendapat, bahwa ”tidak termasuk wewenangnya” yang dipimpimnya untuk mengadilinya, maka dia harus menempuh ketentuan yang telah digariskan sebagaimana diatur dalam Bagian Andi Sofyan 237 kedua Bab XVI.

2. SURAT PENETAPAN TAK BERWENANG MENGADILI