Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar undang-undang secara positif positif wettelijke bewijs theorie

244 Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar ada dalam perkara itu, dan bukanlah semata-mata mencari kesalahan seseorang.

2. Masalah Pembuktian dalam KUHAP

Terkait masalah pembuktian, terdapat beberapa istilah yang dapat ditemukan dalam KUHAP, antara lain sebagai berikut: 1. Alat-alat bukti, artinya alat-alat bukti macam apa yang dapat diperguna-kan untuk menetapkan kebenaran dalam penuntutan pidana keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. 2. Peraturan pembuktian, artinya peraturan-peraturan cara bagaimana hakim boleh mempergunakan alata-alat bukti itu cara penyumpahan saksi-saksi, cara pemeriksaan saksi dan terdakwa, pemberian alasan-alasan pengetahuan pada kesaksian dan lain-lain. 3. Kekuatan alat-alat bukti, artinya ketentuan banyaknya alat- alat bukti yang harus ada untuk dapat menjatuhkan pidana misalnya keterangan terdakwa itu hanya merupakan alat bukti yang syah apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentuakn dalam pasal 189 KUHP

3. Sistem Atau Teori Pembuktian

Dalam sistem atau teori pembuktian secara umum terbagi atas 3 teori, sebagai berikut:

1. Berdasar undang-undang secara positif positif wettelijke bewijs theorie

Teori ini dikatakan ”secara positif”, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu, artinya jika sesuatu perbuatan telah terbukti sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan lagi. Jadi sistem pembuktian ini disebut juga teori pembuktian formal formele bewijstheori Menurut Simons 6 , bahwa sistem atau teori pembuktian 6 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Pen. Ghalia Andi Sofyan 245 berdasar undang-undang secara positif positif wettelijke bewijs theorie ,: ”untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras”. Lanjut Simons 7 dalam bukunya ”Beknopte handleideng tot het Wetboek van Strafvordering” yang diterbitkan pada tahun 1925, menceritera-kan pada halaman 149, bahwa ”Sistem ”positief wettelijk” ini dibenua Eropa biasa dipakai pada zaman masih merajalelala berlakunya suatu hukum acara pidana yang bersifat ”inquisitoir”. Peraturan Acara Pidana semacam ini menganggap seorang terdakwa sebagai suatu barang atau suatu hewan objek belaka dalam suatu pemeriksaan yang mendekati hal mencari suatu barang atau memburu suatu khewan, dalam mana seorang hakim hanya merupakan suatu alat perlengkapan saja.” Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro 8 menyatakan tentang teori ini bahwa ”Teori ini sudah selayaknya tidak dianut lagi di Indionesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat”. Untuk lebih jelasnya dapat dicontohkan, misalnya suatu peraturan yang menetapkan bahwa, apabila ada dua orang saksi yang telah disumpah dan mengatakan kesalahan terdakwa, maka hakim harus menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa, walaupun Hakim itu berkeyakinan bahwa terdakwa adalah tidak bersalah, dan sebaliknya apabila dua orang saksi tidak terpenuhi, maka hakim membebaskan terdakwa dari tuntutan, walaupun Hakim berkeyakinan, bahwa terdakwalah yang bersalah. Indonesia, Jakarta, 1983, h. 229 7 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Pen. Sumur Bandung, 1983, h. 111 8 Ibid. 246 Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar Dengan demikian menurut teori ini, bahwa ”bersalah atau tidaknya tergantung sepenuhnya kepada sejumlah alat-alat bukti yang telah ditetapkan terlebih dahulu, sedangkan keyakinan hakim harus dikesampingkan.”. Teori ini berkembang pada bada pertengahan dan sekarang ini sudah ditinggalkan, artinya teori ini tidak dianut lagi untuk diterapkan di Indonesia.

2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Melulu conviction intivie