WAJAH KEJAKSAAN DI ERA REFORMASI

108 Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar sebagai penyelidik—ketentuan umum KUHAP Pasal 1 Ayat 3 dan Ayat 4; Jaksa sebagai penuntut umum dan melaksanakan penetapan pengadilan—ketentuan umum KUHAP Pasal 1 Ayat 6 a dan b, serta pasal 7, sedangkan; Hakim adalah pejabat negara yang diberi wewenang untuk mengadili - KUHAP pasal 1 ayat 8 hingga 11

6. WAJAH KEJAKSAAN DI ERA REFORMASI

PADA tahun 1999 di Bangkok, Thailand, dalam The Asia Crime Prevention Foundation ACPF Working Group Meeting on The Role of The Prosecutor in The Changing Word, peran kejaksaan di berbagai negara dikelompokkan dalam dua sistem, pertama disebut mandatory prosecutorial system, dan kedua disebut discretionary prosecutorial system. Kedua sistem ini menjadi model kejaksaan di belahan dunia terkait kewenangannya di bidang penuntutan dalam perspektif yurisdiksi: 1 kewenangan bidang penuntutan dibarengi kewenangan untuk melakukan penyidikan dan interogasi, 2 kewenangan di bidang penuntutan terbatas hanya untuk menuntut. Dalam konteks penyidikan, ada 3 tiga model yang dianut kejaksaan di berbagai negara yaitu: 1. Jaksa hanya bertindak selaku penuntut umum, tidak melakukan penyidikan, seperti Thailand, juga dianut kejaksaan di negara China, India, Singapura, Sri Lanka, Papua Nugini, Inggris, dan Filipina. 2. Jaksa sebagai penuntut umum, juga memiliki peran untuk berpartisipasi dalam penyidikan sebagaimana yang dianut kejaksaan di Amerika Serikat. Ketiga, jaksa tidak saja memiliki kewenangan melakukan penuntutan tetapi juga dapat langsung melakukan penyidikan sendiri seperti yang dianut kejaksaan di negara Korea, Jepang, Swedia, dan juga Belanda, seperti yang dianut kejaksaan RI pada masa HIR masih berlaku. Kejaksaan RI atau lazim disebut Korps Adhyaksa masuk ke dalam kedua kelompok tersebut, baik mandatory prosecutorial system di dalam penanganan perkara tindak pidana umum, dan discretionary prosecutorial system khusus di dalam penanganan Andi Sofyan 109 tindak pidana korupsi, mengacu pada pasal 284 ayat 2 KUHAP jo Pasal 26 Undang-Undang RI No 311999 jo Undang-Undang No 202001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 44 ayat 4 serta Pasal 50 ayat 1,2,3 dan 4 Undang-Undang RI No 302002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 30 huruf d Undang-Undang RI No 162004 tentang Kejaksaan RI, sedangkan berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia mengacu kepada Pasal 21 ayat 1 Undang-undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Beberapa dekade terakhir, ekspektasi masyarakat yang mencuat ke per-mukaan terkait dengan kinerja Korps Adhyaksa, hanya berkutat dengan pemberantasan korupsi. Kriteria ini juga dijadikan acuan masyarakat untuk mengukur keberhasilan igur seorang Jaksa Agung. Keberhasilan seorang Jaksa Agung memimpin Korps Adhyaksa diukur dari sisi keberaniannya di dalam menindak koruptor, walaupun pemberantasan korupsi itu hanya bagian kecil dari upaya penegakan hukum dalam pengertian mikro dan selain itu sebenarnya keberhasilan pemberantasan korupsi tidak dapat dilepaskan dari penanggulangan faktor-faktor lain yang menstimulusnya. Undang-undang RI Nomor 162004 tentang Kejaksaan RI tampaknya tidak berbeda jauh dengan UU sebelumnya. Kejaksaan RI masih ditetapkan sebagai lembaga pemerintahan vide pasal 2 ayat 1, Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden vide pasal 19 ayat 2 serta bertanggung jawab kepada presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat vide pasat 37 ayat 2, meskipun dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang tersebut dilakukan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya vide pasal 2 ayat 1 dan 2 serta penjelasannya dan penegasan ini memang tidak dimuat di dalam undang-undang sebelumnya. Karakteristik kewenangan ini sejalan dengan penggarisan PBB pada tahun 1990 yang menyetujui Guidelines on The Role of Prosecutor dan Ketetapan International Association of Prosecutors, bahwa menjamin profesi ini tidak boleh diintimidasi, diganggu, atau diintervensi di dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. 110 Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar Pengaturan yang demikian, mengandung makna dari sudut kedudukan. Kejaksaan adalah bagian dari eksekutif, sedangkan dari sisi kewenangan dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan menjalankan kekuasaan yudikatif yang bermuara ke Mahkamah Agung RI sebagai the last corner stone. Kondisi objektif ini tentu saja memunculkan dual obligation, di satu sisi harus berorientasi kepada hukum, di sisi lain sebagai bagian eksekutif harus berorientasi kepada pemerintah. Tanpa mengabaikan kebijakan pemerintah yang lalu, di era Kabinet Indonesia Bersatu, komitmen pemerintah dalam penegakan hukum nuansanya tampak lebih kental. Kejaksaan bak mendapat durian runtuh, kekhawatiran adanya dual obligation diharapkan pupus menjadi one way obligation, dengan keluar-nya berbagai produk-produk hukum pemerintah. Diawali dengan Instruksi Presiden No 52004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan kepada jajaran kejaksaan agar mengoptimalkan upaya-upaya penyidikanpenuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara, mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan jaksapenuntut umum dalam rangka penegakan hukum serta meningkatkan kerja sama dengan Kepolisian Negara RI, BPKP, PPATK, dan institusi negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Menyusul kemudian Instruksi Presiden No 42005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Dalam inpres tersebut Presiden meminta kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan serta 11 Menteri terkait, Kapolri, Panglima TNI, Kepala BIN, para gubernur dan para bupatiwali kota, sesuai dengan kewenangan masing-masing untuk melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia dan menindak tegas serta memberi sanksi terhadap oknum petugas yang terlibat dengan kegiatan penebangan kayu secara ilegal. Andi Sofyan 111 Khusus kepada Jaksa Agung diinstruksikan melakukan pencegahan dan penangkalan terhadap oknum yang diduga melakukan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya, melakukan tuntutan yang tegas dan berat terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan berdasarkan semua peraturan perundangan yang berlaku dan terkait dengan tindak pidana di bidang kehutanan serta mempercepat proses penyelesaian perkara tindak pidana yang berhubungan dengan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya pada setiap tahap penanganan baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun tahap eksekusi. Terakhir Keputusan Presiden No 112005 tentang Tim Koordinasi Pem-berantasan Tindak Pidana Korupsi. Kebijakan ini merupakan upaya peningkatan kerja sama dan koordinasi antara Kejaksaan dan Kepolisian Negara RI, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan BPKP. Tim yang selanjutnya disebut dengan Timtas Tipikor ini, terdiri dari unsur Kejaksaan RI, Kepolisian Negara RI dan BPKP, diketuai oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan tugas fungsi dan wewenangnya masing-masing serta bertanggung jawab langsung kepada presiden. Karena komitmen pemerintah yang kuat di dalam pemberantasan korupsi dan tindak pidana lain. Timtas Tipikor bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntut-an sesuai ketentuan hukum acara pidana yang berlaku terhadap kasus danatau indikasi tindak pidana korupsi, mencari dan menangkap para pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi, serta menelusuri dan mengamankan seluruh aset- asetnya dalam rangka pengembalian keuangan negara secara optimal. 112 Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar Andi Sofyan 113

BAB VIII PENASIHAT HUKUM-ADVOKAT DAN