Andi Sofyan
309
2 Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.
2. Pasal 260 KUHAP, bahwa: 1 Permohonan kasasi demi kepentingan hukum disampaikan
secara tertulis oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan yang telah memutus perkara
dalam tingkat pertama, disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu.
2 Salinan risalah sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 oleh panitera segera disampaikan kepada pihak yang
berkepentingan. 3 Ketua pengadilan yang bersangkutan segera. meneruskan
permintaan itu kepada Mahkamah Agung. 3. Pasal 261 KUHAP, bahwa:
1 Salinan putusan kasasi demi kepentingan hukum oleh Mahkamah Agung disampaikan kepada Jaksa Agung dan
kepada pengadilan yang bersangkutan dengan disertai berkas perkara.
2 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat 2 dan ayat 4 berlaku juga dalam hal ini.
4. Pasal 262 KUHAP, bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259, Pasal 260 dan Pasal 261 berlaku bagi acara
permohonan kasasi demi kepentingan hukum terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer”.
3. Peninjauan Kembali Herziening 1 Pendahuluan
Masalah herziening atau peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap telah
lama dikenal, yaitu setidak-tidaknya telah ada sejak tahun 1848 dengan diundangkannya Reglement op de Strafvordering pada
tanggal 1 Mei 1848. Istilah herziening telah di muat dalam Reglement op de Strafvordering
Titel 18, antara lain berbunyi “Herziening van arresten en vonnissen”, yang dicakup di dalam Pasal 356 sampai
310
Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar
dengan 360…”. Munculnya kembali masalah herziening atau peninjauan
kembali adanya suatu peristiwa pada tahun 1980 dengan terjadi suatu keheboan sangat luar biasa yang telah menggoyahkan sendi-
sendi hukum di Indonesia, para ahli hukum dan para penegak hukum lainnya yaitu “kasus “Sengkon dan Karta” yang telah
menjalani hukumannya sejak tahun 1977, tapi sudah ditahan sejak tahun 1974. Berdasarkan tuduhan telah merampok dan
membunuh suami istri Suleman dan berdasarkan alat bukti yang dianggap sah oleh Pengadilan Negeri Bekasi, maka keduanya
diajtuhi hukuman masing-masing 10 dan 7 tahun penjara, tetapi pada tahun 1980 pengadilan negeri yang sama telah menjatuhkan
hukuman penjara kepada Gunei, Silih dan Wasita sebagai pelaku sebenarnya sebagaimana dituduhkan kepada Sengkon dan Karta.
Dengan berdasarkan kasus Sengkon dan Karta tersebut di atas, maka Mahkamah Agung diketuai oleh Prof. Seno Adji, S.H.
telah melahirkan Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap, walaupun sebelumnya tentang peninjauan kembali telah diatur oleh Peraturan Mahkamah
Agung RI No. 1 Tahun 1969 kemudian dicabut dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1971. Bahwa dicabutnya Peraturan
Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 1969 oleh karena telah dikeluarkannya Undang-undang RI No. 14 tahun 1970 tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, hal mana telah diatur mengenai “peninjauan kembali” pada Pasal 21. Namun Pasal 21
uu ini tidak dapat dilaksanakan karena tidak delangkapi dengan peraturan pelaksanannya.
Dengan Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap telah mengisi kekosongan hukum tentang pengaturan peninjauan kembali, namun peraturan
ini pun tidak berusia lama, karena dengan diundangkannya Undang-undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, maka
dengan sendirinya Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 1980 tidak berlaku lagi, namun masih tetap diterapkan untuk
perkara perdata request civiel.
Andi Sofyan
311
2 Pengertian
Lembaga herziening di dalam hukum diartikan sebagai
upaya hukum yang mengatur tentang tata cara untuk melakukan peninjauan kembali suatu putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap
19
. Menurut J.C.T. Simorangkir
20
, bahwa herziening adalah
peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap; revisi.
Jadi herziening adalah suatu peninjauan kembali atas putusan di semua tingkat pengadilan, seperti pengadilan negeri, pengadilan
tinggi dan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum yang tetap, kecuali atas putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum Pasal 263 ayat 1 KUHAP.
3 Dasar Hukum
Adapun dasar hukum tentang peninjauan kembali, sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal 24 Undang-undang RI No.
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa: 1 Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung,
apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
2 Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Demikian pula di atur di dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP, bahwa “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan
permintaan peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung
21
.
19
Hadari Djenawi Tahir, Bab Tentang Herziening Di Dalam KUHAP, Pen. Alumni Bandung, 1982, h. 8-9.
20
J.C.T. Simorangkir, dkk., Kamus Hukum, Pen. Aksara Baru, Jakarta, 1983, h. 76.
21
Permohonan peninjauan kembali itu ditujukan kepada Mahakamah Agung melalui Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat
pertama.
312
Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar
4 Alasan Peninjauan Kembali
Salah satu syarat pokok yang harus dipenuhi dalam mengajukan peninjauan kembali sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 263 ayat 1 KUHAP, yaitu: 1. Atas putusan pengadilan pengadilan negeri, pengadilan tinggi
dan Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap;
2. Putusan pengadilan pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap itu bukanlah putusan bebas vrijspraak atau lepas dari segala tuntutan hukum ontslag van alie rechtsvolging;
3. Yang memajukan permohonan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya
22
.
23
Demikian pula syarat-syarat lainnya sebagaimana ditentukan menurut Pasal 263 ayat 2 KUHAP, yaitu:
a. apabila terdapat keadaan baru
24
yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu
sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas vrijspraak
atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum ontslag van alie rechtsvolging
atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima niet ontvvankelijk verklaring atau terhadap
perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa
22
Menurut KUHPerdata, yang dimaksud dengan ahli warisnya adalah : Gol. Ke-1 : anak-anak danatau keturunannya dan jandaduda;
Gol Ke-2 : orang tua, saudara-saudara sekandung danatau anak-anak keturunannya dari almarhum pewaris;
Gol. Ke-3 : Kakek atau nenek dan leluhur seterusnya ke atas; Gol. Ke-4 : sanak keluarga yang lebih jauh dalam garis samping sampai ke
tingkat ke-6.
23
Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 1980 angka 11, disebutkan bahwa “Dalam perkara pidana, peninjauan kembali dapat
dimohonkan oleh Jaksa Agung, terpidana atau yang berkepentingan Pasal 10 ayat 1 PERMA No. 1 Tahun 1980.
24
“keadaan baru” biasa dikenal dengan istilah “novum”. Yaitu suatu hal
yang baru yang timbul kemudian sesudah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap yang sebelumnya tidak pernah menjadi
pembicaraan atau tidak petnah dipersoalkan atau menjadi pembuktian di dalam pemeriksaan pengadilan pada semua tingkat pengadilan.
Andi Sofyan
313
sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,
ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain
25
; c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Demikian pula menurut Pasal 263 ayat 3 KUHAP, yaitu
“Terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan
kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti
oleh suatu pemidanaan”.
Jadi berdasarkan penjelasan Pasal 263 KUHAP di atas, bahwa alasan-alasan tersebut merupakan alasan limitatif untuk dapat
dipergunakan meminta peninjauan kembali suatu putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Apabila prasyarat pada Pasal 263 ayat 1 KUHAP sudah dipenuhi, maka pada ayat 2 bersifat limitative, artinya salah persyaratan
pada ayat 2 sudah terpenuhi maka peninjauan kembali dapat dimohonkan kepada Mahkamah Agung.
5 Tata Cara Mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali
Untuk mengajukan suatu permohonan peninjauan kembali oleh terpidana atau ahli warisnya dengan memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur di dalam Pasal 263 ayat 1 dan 2 KUHAP, maka tata cara pengajuan sebagai berikut:
1. Pasal 264 KUHAP, bahwa: 1 Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 263 ayat 1 diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat
pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.
2 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat 2 berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali.
25
Bunyi Pasal 263 ayat 2 huruf b KUHAP ini, sesuai isi bunyi Pasal 356
ayat 1 angka 1 Reglement op de Strafvordering dan PERMA RI No. 1 tahun 1969 dan PERMA No. 1 Tahun 1980.
314
Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar
3 Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu
26
. 4 Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah
terpidana yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib
menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat
permintaan peninjauan kembali.
5 Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali beserta berkas perkaranya kepada
Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan. 2. Pada saat Ketua Pengadilan Negeri menerima permintaan
peninjauan kembali, maka menurut ketentuan Pasal 265 KUHAP, bahwa:
1 Ketua peagadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat 1
menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yangdimintakan peninjauankembali itu untuk memeriksa
apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat 2.
2 Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat 1, pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan
pendapatnya. 3 Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan
yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara
pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera.
4 Ketua pengadilan
segera melanjutkan
permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula,
berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya
disampaikan kepada pemohon dan jaksa.
5 Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali
26
Artinya permohonan peninjauan kembali dapat diajukan setiap saat, yaitu setelah ditemukan suatu keadaan baru atau novum.
Andi Sofyan
315
adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara
pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang bersangkutan.
6 Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung
Menurut Pasal 265 ayat 4 KUHAP, yang berbunyi bahwa “Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan
kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung
yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa”, maka selanjutnya Mahkamah Agung memeriksa
permohonan peninjauan kembali. Setelah Mahkamah Agung memeriksa permohonan tersebut, maka selanjutnya menurut
ketentuan Pasal 266 KUHAP, yang berbunyi bahwa:
1 Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 ayat 2,
Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya.
2 Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku
ketentuan sebagai berikut : a. apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan
pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan
yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya;
b. apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan
peninjauan-kembali itu dan menjatuh-kan putusan yang dapat berupa :
1. putusan bebas; 2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum; 4. putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih
316
Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar
ringan. c. Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali
tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.
Setelah Mahkamah Agung menjatuhkan putusan sebagaimana dimaksud Pasal 266 KUHAP, maka selanjutnya menurut Pasal 267
KUHAP, yang ber-bunyi bahwa: 1 Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali
beserta berkas perkaranya dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang
melanjutkan permintaan peninjauan kembali.
2 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat 2, ayat 3, ayat 4 dan ayat 5 berlaku juga bagi putusan Mahkamah
Agung mengenai peninjauan kembali.
Dalam hal terhadap permohonan peninjauan kembali, maka menurut ketentuan Pasal 268 KUHAP, yang berbunyi bahwa:
1 Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari
putusan tersebut. 2 Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima
oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali
tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya.
3 Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.
6. UPAYA HUKUM GRASI