Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 7 dan 10

Laporan Kinerja Dinas Kesehatan Tahun 2016 | 198 - Pembinaan teknis secara berjenjang dimulai dari dinkes provinsikabkota hingga puskesmas, maupun pembinaan program UKS dengan lintas sektor terkait ke TP UKS provinsikabkota kecamatan sampai dengan TP Sekolah - Penyediaan dan distribusi buku-buku pedoman teknis penjaringan kesehatan anak sekolah sebagai acuan pelaksanaan penjaringan kesehatan Faktor penghambat dalam pelaksanaan indikator puskesmas melaksanakan Penjaringan peserta didik Kelas 1, Kelas 7 dan 10 Kedua indikator ini merupakan baru di Renstra 2015-2019. Bila di Renstra 2015-2019 indikator penjaringan yang menjadi sasaran adalah sekolah, maka di Renstra 2015-2019 yang menjadi sasaran adalah puskesmas. Perluasan indikator juga dilakukan pada Renstra 2015-2019 dari yang semuala hanya kelas 1, di tahun 2015-2019 indikator diperluas sampai ke kelas 7 dan 10. Pencapaian cakupan indikator sangat diperlukan banyak faktor, karena didalam kegiatannya membutuhkan peran banyak sektor, berikut adalah faktor-faktor penghambat sehingga cakupan indikator ini belum tercapai: - Walaupun sosialisasi terkait indikator telah dilakukan sejak akhir tahun 2014 sosialisasi dalam pertemuan, email yang dikirmkan berkala ke pengelola program anaka di kabupatenkota perubahan indikator ini diperlukan waktu yang cukup lama untuk sampai ketingkat kabupaten, sehingga banyak kabupaten yang belum menggunakan indikator baru ini. - Terkait penjaringan kelas 7 dan 10 walaupun pelaksanaan pelayanan ini telah lama berjalan, namun belum dilaksanakan secara menyeluruh, dan belum dilaporkan secara berkala, sehingga banyak puskesmas yang belum memenuhi definisi operasional terkait penjaringan kesehatan kelas 7 dan 10 - Walaupun penjaringan kesehatan terhadap peserta didik kelas 1 SD telah masuk SPM bidang Kesehatan di kabupatenkota, dan telah didukung oleh UU Kesehatan No 36 pasal 79 tentang kesehatan sekolah, dan telah adanya edaran dari Kementerian terkait SKB 4 Laporan Kinerja Dinas Kesehatan Tahun 2016 | 199 Menteri kepada Gubernur dan Bupati yang telah diperbaharui menjadi peraturan bersama antara Menteri Pendidikan dan kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri tentang Pembinaan Pelaksanaan Usaha Kesehatan SekolahMadrasah, pelayanan kesehatan terhadap anak usia sekolah dan remaja termasuk penjaringan kesehatan belum dianggap prioritas. Hal ini menyebabkan kurangnya komitmen pimpinan daerah dalam melaksanakan SPM terkait penjaringan kesehatan padahal ini merupakan tanggung jawab pemerintah kabupatenkota untuk mencapainya dan akan menjadi kondidate keberhasilan kinerja pemerintahan. - Kurangnya komitmen ini mempengaruhi alokasi dana di daerah untuk kegiatan penjaringan kesehatan, sementara ini belum berjalan mekanisme reward and punishment bagi kabupatenkota dalam pencapaian target. - Penjaringan masih dianggap hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan, belum menjadi kegiatan bersama lintas sektor - Masih adanya beberapa pemangku kepentingan yang tidak mengerti dan mengetahui manfaat penjaringan kesehatan, sehingga dukungan terhadap kegiatan tersebut masih kurang. - Penyediaan sarana rujukan hasil penjaringan kesehatan masih kurang memadai.

7. Persentase KabKota dengan Puskesmas mampu laksana PKPR

Indikator puskesmas melaksanakan kegiatan kesehatan remaja merupakan transformasi dari indikator puskesmas PKPR Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja di tahun 2010 – 2014. Sejak tahun 2013, model pelayanan kesehatan pada remaja yang memenuhi kebutuhan dan selaras remaja diperkenalkan dengan sebutan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja PKPR, yaitu pelayanan kesehatan yang ditujukan dan dapat dijangkau remaja, menyenangkan, menerima remaja dengan tangan terbuka, menghargai remaja, menjaga kerahasiaan, peka akan kebutuhan terkait dengan kesehatannya, serta efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Laporan Kinerja Dinas Kesehatan Tahun 2016 | 200 PKPR ditujukan untuk semua remaja 10-19 tahun baik di sekolah maupun di luar sekolah, seperti kelompok remaja mesjid, gereja, karang taruna, pramuka dll. Pelayanan kesehatan remaja dapat pula diperluas pada kelompok remaja yang tidak terorganisir misalnya anak jalanan, jermal- jermal atau pekerja anak di daerah industri. Berdasarkan SDKI 2012 hanya sebesar 2 perempuan dan 4,2 laki-laki yang mengetahui PKPR sebagai salah satu layanan kesehatan remaja, hal ini menunjukan rendahnya akses remaja terhadap layanan PKPR. Tahun 2016 puskesmas PKPR masuk kedalam indikator Renstra sebagai bentuk penanganan di Hulu dalam upaya penurunan AKI dan AKB. Analisis Capaian Kinerja Indikator Puskesmas Melaksanakan Kegiatan Kesehatan Remaja Indikator puskesmas melaksanakan kegiatan kesehatan remaja dapat mencapai target tahun 2016 sebesar 30. Provinsi Riau memiliki 224 dua ratus dua puluh empat puskesmas yang tersebar di kabupatenkota dengan adanya puskesmas yang sudah aktif dalam melaksanakan pelayanan kesehatan remaja diharapkan pencapaian target indikator puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan remaja bisa lebih baik lagi. Grafik 3.54 Tren Cakupan Puskesmas Melaksanakan Kegiatan Kesehatan Remaja Di Provinsi Riau Tahun 2015-2019 Bila melihat tren target sampai tahun 2019, indikator ini memperlihatkan gap dengan target 2015 sebesar 7 poin dan sebesar 2 poin terhadap target , 5 1 Laporan Kinerja Dinas Kesehatan Tahun 2016 | 201 2016 sebesar 30. Upaya yang harus ditingkatkan adalah sebesar 13 poin untuk mencapai target tahun 2019. Grafik 3.55 Jumlah Puskesmas Melaksanakan Kegiatan Kesehatan Remaja Di Provinsi Riau Tahun 2016 Dari 12 dua belas kabupatenkota sudah semua puskesmas melaksanakan pelayanan kesehatan remaja. Bila dilihat dari Grafik diatas sudah 76 tujuh puluh enam puskesmas yang melaskanakan Kesehatan Remaja secara aktif di Provinsi Riau. Faktor pendukung pencapaian cakupan puskesmas yang melaksanakan pelayanan kesehatan remaja - Perubahan Kebijakan Perubahan kebijakan dimana pada Renstra 2015-2019 penanganan ke hulu menjadi hal yang prioritas dalam penurunan AKI dan AKB menempatkan periode remaja menjadi hal yang prioritas. Hal ini ditunjukan dengan perubahan indikator kabkota mampu PKPR minimal 4 puskesmas menjadi persentase puskesmas melaksanakan kegiatan kesehatan remaja. Dengan masuknya indikator ini kedalam RPJMN dan Renstra 2015-2019, diharapkan akan berpengaruh pada ketersediaan dana dan komitmen pemerintah provinsi dan kabupatenkota untuk melaksanakan kegiatan ini. - Konsep metode pelatihan integrasi PKPR, Penjaringan, Algoritma Kesehatan Remaja konsep pelatihan integrasi disatu sisi membantu 5 ? 8 5 8+ 1 1 1 Laporan Kinerja Dinas Kesehatan Tahun 2016 | 202 mempercepat pembangunan PKPR karena pelatihan dilakukan 1 kali secara serentak dan juga meringankan beban tugas para pemegang program di daerah yang memiliki keterbatasan anggaran dan SDM - Pelaporan Data Setiap kabupatenkota sudah memiliki penanggung jawab jelas yang bertugas mengolah dan mengirim data ke provinsi. Sehingga diharapkan pelaporan capaian berjalan dengan lancar dan tepat waktu. Faktor pendukung pencapaian cakupan puskesmas yang melaksanakan pelayanan kesehatan remaja Capaian cakupan puskesmas yang melakukan pelayanan kesehatan remaja di tahun 2016 sebesar 32 dari dari target 30. Namun tetap ada beberapa faktor yang dirasa berpotensi menjadi penghambat indikator ini baik didalam pencapaian target maupun kualitas pelayanannya, yaitu: - Sosialisasi Perubahan Indikator belum maksimal Perubahan indicator pelayanan kesehatan remaja dari “Kabupatenkota minimal memilki 4 puskesmas mampu laksana Pelayanan Kesehatan Peduli RemajaPKPR” menjadi “persentase puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja” memerlukan sosialisasi. Walaupun kegiatam sosialisasi sudah dilaksanakan kepada para pemegang program di daerah lewat berbagai macam pertemuan, namun agar informasi ini sampai ke tingkat kabkota dan mulai komitmen dan pelaksanaannya membutuhkan waktu. - Pemahaman tentang Metode HEEADSS rendah HEEADSS adalah teknik pengenalan kesehatan remaja yang diadaptasi dari Buku WHO Job Adolescent Aid. Namun pengetahuan metode HEEADSS dalam penatalaksanaan kasus remaja masih minim, karena tenaga kesehatan belum menyadari pentingnya melakukan konseling remaja sebagai ciri khas pelayanan kesehatan pada remaja. Dengan minimnya pemahaman ini, maka pelayanan yang ada masih perlu ditingkatkan kualitasnya. - APBD belum menyentuh pelayanan kesehatan remaja Pembiayaan oleh pemerintah daerah melalui APBD belum menyentuh pelayanan kesehatan remaja. Padahal perilaku remaja yang berisiko erat Laporan Kinerja Dinas Kesehatan Tahun 2016 | 203 kaitannya dengan kematian ibu dan bayi. Kehamilan pada remaja tidak hanya berpengaruh terhadap kondisi fisik, mental dan sosial remaja, tetapi juga dapat meningkatkan risiko kematian bayibalita, seperti yang ditunjukan SDKI 2012 dimana kehamilan dan persalinan pada ibu dibawah umur 20 tahun memiliki kontribusi dalam tingginya Neonatal Mortality Rate 341000 KH, Postnatal Mortality 161000KH, Infant Mortality Rate 501000KH dan Under-5 Mortality Rate 611000 KH - Jumlah remaja yang mengakses puskesmas rendah Rendahnya jumlah yang mengakses puskesmas [dikarenakan waktu pelayanan puskesmas bersamaan dengan jam sekolah dan stigma negatif yang dilekatkan pada remaja yang mengunjungi puskesmas, puskesmas dan rumah sakit belum maksimal dalam menerapkan konsep “pelayanan kesehatan ramah remaja”. Merupakan salah satu alasan kepala puskesmas kurang antusias untuk mengadakan pelayanan kesehatan remaja di puskesmas binaannya.

8. Persentase Puskesmas mampu laksana KTA

Anak adalah tumpuan dan harapan orang tua. Anak jugalah yang akan menjadi penerus bangsa ini. Sedianya, wajib dilindungi maupun diberikan kasih sayang. Namun fakta berbicara lain. Maraknya kasus kekerasan pada anak sejak beberapa tahun ini seolah membalikkan pendapat bahwa anak perlu dilindungi. Begitu banyak anak yang menjadi korban kekerasan keluarga, lingkungan maupun masyarakat dewasa ini. Kekerasan terhadap Anak KTA merupakan masalah sosial yang berdampak besar pada masalah kesehatan anak yaitu trauma fisik maupun psikis yang menyebabkan gangguan pada proses tumbuh kembang anak. Anak korban KTA yang tidak ditangani secara komprehensif akan mempengaruhi kelangsungan hidup anak dan kualitas sumber daya manusia dikemudian hari. Petugas kesehatan di Puskesmas atau di Rumah Sakit seringkali menjadi pihak pertama yang dihadapkan dengan korban KTA. Kesiapan mereka dalam penanganan kasus KTA akan menentukan keberhasilan langkah selanjutnya dalam upaya pemulihan kesehatan anak korban kekerasan secara optimal. Upaya penanganan KTA tidak semata-mata Laporan Kinerja Dinas Kesehatan Tahun 2016 | 204 terhadap aspek medis saja, akan tetapi bersifat mediko-legal dan berkaitan dengan aspek psikososial. Oleh karena itu, penanganan KTA perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dengan melibatkan semua sektor terkait termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat serta dukungan masyarakat. Sampai dengan Akhir Tahun 2016 diharapkan minimal 4 puskesmas per KabKota telah melaksanakan penanggulangan kekerasan terhadap anakKtA sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Pelaksanaan upaya penanggulangan kekerasan terhadap anak Puskesmas KtA di Provinsi Riau Tahun 2016 dinilai sudah mulai berjalan dengan baik, Namun Belum menyeluruh pada semua KabupatenKota yaitu Target yang ditentukan 50. Dengan pencapaian sebesar 69,44. Bila dibandingkan dengan Pencapaian di Tahun 2015 sudah mengalami peningkatan yaitu target 60 sementara capaian hanya 30. Pada tahun 2015 ada perubahan target dari Provinsi Riau dan Kementerian Kesehatan dan ini berpengaruh pada capaian realisasi pada tahun ini. Pencapaian Penanggulangan kekerasan terhadap anak KtA belum memenuhi sasaran dikarenakan: a. Keterbatasan SDM baik di Kabupaten Kota maupun Puskesmas b. Program Penanggulangan kekerasan terhadap anak KtA dianggap tidak menjadi Program Prioritas tidak termasuk Basic six c. Kegiatan penanggulangan kekerasan terhadap anak memerlukan koordinasi dengan lintas sektor terkait seperti: BP3AKB, BKKBN, P2TP2A, Kemenkumham, Dinas Pendidikan dan lain-lain. d. Perbedaan struktur di Dinkes KabKota dengan Provinsi terutama terkait dengan penanggung jawab Program remaja sering menjadi kendala dalam hal koordinasi pelaksanaan program Keterbatasan anggaran yang mendukung pelaksanaan Penanggulangan kekerasan terhadap anak KtA 9. Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4 K 4 adalah Cakupan ibu hamil yg telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai standar, paling sedikit 4 kali dengan distribusi yaitu Laporan Kinerja Dinas Kesehatan Tahun 2016 | 205 minimal 1 kali pada triwulan pertama, 1 kali pada triwulan kedua dan 2 kali pada triwulan ketiga. Pelayanan Antenatal Care dengan standard 10 T antara lain : - Timbang Berat Badan dan Ukur Tinggi Badan - Ukur Tekanan Darah - Nilai status gizi Ukur LILA - Ukur tinggi fundus uteri - Presentase janin dan DJJ - Nilai status imunisasi TT dan berikan bila perlu - Berikan tablet FE minimal 90 Tab - Tes Laboratorium Rutin dan khusus - Tatalaksana kasus - Temu Wicara konseling P4K serta KB Pasca Salin Grafik 3.56 Persentase Ibu Hamil Yang Mendapatkan Pelayanan Ante Natal K4 Di Provinsi Riau Tahun 2016 Capaian indikator kinerja sasaran berupa persentase ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan Ante Natal Care K4 berdasarkan data yang di rekapitulasi di Dinas Kesehatan Provinsi Riau sudah mencapai 81,37 dari target 72. Namun apabila dibandingkan dengan capaian tahun 2016 terjadi penurunan capaian, hal ini disebabkan data capaian K4 di tahun 2016 masih menggunakan data akses belum sesuai DO sedangkan data di tahun 2016 sudah menggunakan data K4 murni sudah sesuai DO dimana data ? 8 Target 72 Laporan Kinerja Dinas Kesehatan Tahun 2016 | 206 akses adalah cakupan kunjungan dihitung 4 kali atau lebih tidak memandang usia kehamilan. Sedangkan yang seharusnya adalah data ”murni” sesuai dengan defenisi operasionalnya dimana kunjungan antenatal minimal 4 kali dihitung berdasarkan kunjungan sbb; 1 kali trimester I, 1 kali trimester II dan 2 kali Trimester III.

a. Faktor Penghambat

- Berdasarkan hasil kunjungan ke Puskesmas, masih banyak bidan terutama bidan didesa belum memahami pelayanan Ante Natal Care sesuai standar 10 T - Masih banyak bidan desa yang belum memahami sistem pencatatan di register kohort ante natal care - Petugas puskesmas belum melakukan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi P4K secara optimal khususnya kunjungan rumah kepada ibu hamil - Belum semua Puskesmas melakukan kelas ibu hamil - Belum semua Ibu hamil mengikuti kelas ibu hamil

b. Faktor Pendukung

- Permenkes No. 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa hamil, Persalinan dan masa sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta Pelayanan Kesehatan Seksual - Permenkes No. 43 Tahun 2016 tentang SPM Bidang Kesehatan - Adanya dana DAK Nonfisik BOK untuk kegiatan meningktkan capaian di Puskesmas - Adanya Program Jampersal

c. Upaya yang telah dilakukan

- Melakukan kunjungan rumah ibu hamil - Melaksanakan Kelas ibu hamil - Kemitraan bidan dan dukun Laporan Kinerja Dinas Kesehatan Tahun 2016 | 207 10. Cakupan Komplikasi Kebidanan Yang Ditangani Penanganan Komplikasi PK : jumlah komplikasi kebidanan yang mendapatkan penanganan defenitif suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu Grafik 3.57 Persentase Penanganan Komplikasi Pada Ibu Hamil, Bersalin Dan Nifas PK Di Provinsi Riau Tahun 2016 Capaian indikator penanganan komplikasi masih belum mencapai target 77 baru tercapai 9,11, Hanya Kabupaten Siak yang sudah mencapai target. Apabila dibandingkan dengan capaian tahun 2015 terjadi penurunan capaian dimana data tahun 2014 capaian Penanganan Bumil Komplikasi hanya 43,74.

a. Faktor Penghambat

- Sistem pencatatan dan pelaporan yang belum maksimal dimana di register kohort ibu banyak form yang harusnya diisi tetapi kosong tidak diisi - Kurang kompetennya tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan menangani komplikasi kebidanan - Tenaga kesehatan dan bidan desa kurang faham tentang defenisi operasional sehingga banyak kasus ibu hamil dengan resti yang tidak ? 8 Target 77 Laporan Kinerja Dinas Kesehatan Tahun 2016 | 208 tercatat padahal pengelola puskesmas sudah melakukan penanganan komplikasi tersebut. - Perlu bimbingan, monitoring dan evaluasi dari pengelola program kabupaten ke bidan koordinator dalam deteksi rujukan dan bidan koordinator ke bidan desa tentang penjaringan bumil resiko - Defenisi operasional Penanganan Komplikasi yang masih banyak kurang difahami oleh petugas

b. Faktor Pendukung

- Permenkes No. 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa hamil, Persalinan dan masa sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta Pelayanan Kesehatan Seksual - Permenkes No. 43 Tahun 2016 tentang SPM Bidang Kesehatan - Adanya dana DAK Nonfisik BOK untuk kegiatan meningktkan capaian di Puskesmas - Adanya Program Jampersal

c. Melakukan kunjungan rumah ibu hamil

- Kemitraan bidan dan dukun - Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi P4K - Melakukan pembinaan kepada Dinas Kesehatan KabupatenKota dan petugas puskesmas dalam sistem pencatatan dan pelapaoran serta tekhnis program