Kerangka Pemikiran The design of spatial based decision support model in crude palm oil industry development

d Pajak dan pungutan-pungutan lain; e Dukungan masyarakat; dan f Ketersediaan tenaga kerja. Tahap keenam dilakukan evaluasi atas kriteria dan batasan yang ada untuk menentukan kesesuaian lahan untuk pengembangan industri hilir inti minyak kelapa sawit. Output dari analisis ini adalah alternatif-alternatif lokasi pengembangan industri yang memungkinkan di wilayah kajian. Atas dasar alternatif-alternatif yang teridentifikasi, selanjutnya pada tahapan ketujuh, dilakukan analisis interaksi spasial yang terkait dengan jarak, waktu tempuh dan biaya transportasi yang dalam hal ini direpresentasikan dalam bahasa umum analisis jaringan spasial sebagai cost. Analisis interaksi spasial ini dilakukan dengan menggunakan algoritma Djikstra yang digambarkan prosesnya dalam bentuk diagram pada Gambar 3-3. Interaksi spasial ini dilakukan baik antara PKS dengan KKS maupun antara PKS dengan alternatif lokasi pengembangan industri hilir. Output dari tahap ketujuh berupa matrik interaksi jarak, waktu tempuh dan biaya selanjutnya digunakan pada tahap kedelapan untuk menentukan volume interaksi antar enttitas tersebut diatas yang diakibatkan oleh kepentingan pasokan bahan baku. Proses penentuan ini dilakukan menggunakan model transportasi dengan fungsi tujuan meminimalkan biaya dan dengan kendala-kendala yang terkait dengan batasan suplai, permintaan dari masing-masing entitas dan waktu tempuh maksimum agar kualitas TBS masih memenuhi persyaratan pengolahan di pabrik pengolahan minyak kelapa sawit. Proses ini dilakukan dalam multi periode tahunan untuk mengakomodasi produktivitas dari tanaman kelapa sawit yang berakibat pada kemampuan suplainya. Diagram alir proses ini ditunjukkan pada Gambar 3-4. Atas dasar kesesuaian lahan dan interaksi spasial yang telah dianalisa pada tahap-tahap sebelumnya, tahap kesembilan ini merupakan tahapan pengambilan keputusan alternatif lokasi pengembangan industri yang terbaik. Tahapan ini dilakukan dengan menggunakan spatial multi criteria decision tool IKG2012 yang dibangun dalam penelitian ini. Diagram alir yang menggambarkan proses pengambilan keputusan ini diperlihatkan pada Gambar 3-5. Gambar 3-3 Diagram Alir Model Shortest Path dengan Algoritma Djikstra START + Tetapkan node dan bobot untuk setiap lintasan + Tentukan node AWAL I dan TUJUAN j + Tandai semua node selain node AWAL sebagai UNVISITED + Bentuk himpunan node yang telah dikunjungi, sebut sebagai himpunan VISITED + Masukkan node AWAL ke dalam himpunan VISITED + Set CURRENT = node AWAL + Tentukan tetangga-tetangga dari CURRENT yang termasuk dalam himpunan UNVISITED + Ambil bobot yang paling kecil sebagai node SELANJUTNYA Bila ditemukan lintasan dari node X ke node SELANJUTNYA yang jumlah bobotnya ternyata LEBIH BESAR dari lintasan CURRENT ke node SELANJUTNYA, maka hapus X dari himpunan VISITED Masukkan node SELANJUTNYA ke dalam himpunan VISITED Apakah CURRENT = node TUJUAN? Set CURRENT = node SELANJUTNYA Tidak Ya Ci,j END Gambar 3-4 Diagram Alir Penentuan Volume Interaksi Spasial Multi Periode For Tahun t = 1 to Batas Proyeksi p MULAI Umur Tanaman, Luas Kebun, Demand PKS D j Hitung Kapasitas Produksi KKS Si Dapatkan Cost ci,j dari berkas Shortest Path Model Shortest Path dengan Algoritma Djikstra Hitung Volume Interaksi Spasial xi,j Xi,j t Volume Interaksi Ton SELESAI Gambar 3-5 Penentuan Alternatif Lokasi Pengembangan Industri dengan Spatial MCDM Keseluruhan tahapan proses yang dijelaskan diatas, diterjemahkan dalam sebuah sistem pendukung keputusan spasial yang dapat digunakan sebagai alat bantu pengambilan keputusan lokasi pengembangan industri hilir minyak kelapa sawit maupun untuk keperluan industri lainnya yang mirip. Penentuan Lokasi Pengembangan Industri Hilir Minyak Kelapa Sawit Kriteria Evaluasi Kendala Persyaratan Lokasi Alternatif Lokasi yang Sesuai Kendalapeta alternatif yang layak Peta Kriteria Matriks keputusan Decision matrix Decision rule Pengurutan alternatif Analisa sensitivitas Rekomendasi Final Preferensi pengambil keputusan Bobot Kriteria

3.3 Tata Laksana

Tahapan umum yang dilakukan pada penelitian terdiri ini dari pengumpulan data, pengembangan sistem, validasi dan verifikasi. Pengumpulan data spasial terkait dengan beberapa node kebun dan pabrik CPO eksisting dilakukan dengan menggunakan teknologi GPS seperti yang terlihat pada Gambar 3-6 berikut ini. Sementara untuk peta wilayah, peta rupa bumi, peta jalan, peta topografi, peta bathymetri, peta sungai, alur pelayaran diolah dari peta yang diperoleh dari Bakosutranal dan Pemerintah Daerah. Arus, gelombang, dan angin diperoleh dari BMKG. Gambar 3-6 Teknik Pengumpulan Data dengan Teknologi GPS Setelah tahapan pengumpulan data, kemudian dilakukan pengembangan sistem melalui pengembangan basis data, model dan interface. Tahap akhir dilakukan verifikasi dan validasi. Teknik validasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah face validity Eriyatno, 2012. Face validity dilakukan dengan cara menjaring pengetahuan pakar dalam hal pengembangan dan pengelolaan agroindustri minyak kelapa sawit CPO. Face validity ini berkaitan dengan kesesuaian dan perilaku model, serta kemampuan model dalam mencapai tujuan yang diharapkan. DATA FORMAT CONVERSION GIS MODUL PENGENDALI GPS SATELIT GPS ANTENNE GPS DATA STORAGE WAYPOINT UNTUK KEBUN, PABRIK, PELABUHAN DAN PELANGGAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 RANCANG BANGUN MODEL

4.1.1 Konfigurasi Sistem Industri CPO

Sistem industri CPO memiliki elemen-elemen yang banyak, begitu pula dengan rantai pasoknya. Elemen-elemen penyusun sistem industri CPO berdasarkan urutan entitas yang terlibat mulai dari hulu ke hilir adalah sebagai berikut: a. Kebun kelapa sawit; b. Pabrik minyak kelapa sawit; c. Industri hilir pengguna CPO; d. Pelanggan akhir. Dalam penelitian ini, elemen-elemen yang dipertimbangkan dibatasi pada kebun kelapa sawit KKS, pabrik kelapa sawit PKS dan industri hilir inti minyak kelapa sawit. Dimana penghubung antar elemen-elemen tersebut adalah jaringan dan infrastruktur transportasi. Kebun kelapa sawit yang merupakan suplier bahan baku terdiri dari perkebunan sawit milik rakyat, perkebunan sawit milik negara BUMN dan perkebunan sawit milik swasta. Produsen CPO atau pabrik minyak kelapa sawit merupakan pengolah bahan baku tandan buah segar TBS yang dihasilkan oleh kebun kelapa sawit menjadi CPO. Produsen CPO di Indonesia mayoritas milik Negara dan Swasta. Konsumen industri luar negeri minyak sawit meningkat secara signifikan baik dalam volume maupun nilai ekspornya. Peningkatan tersebut dapat dilihat dari data Badan Pusat Statistik BPS, 2005. Pada tahun 2000 volume ekspor CPO baru mencapai 4.110.027 ton dengan nilai US 1.087.278 tetapi kemudian meningkat menjadi 10.375.792 ton dengan nilai US 3.756.557 pada tahun 2005. Menurut data dari Kementrian Perdagangan RI 2011 Hasil produksi CPO Indonesia pada tahun 2011 yang baru saja berlalu sebesar 23 juta ton. Dari angka tersebut, 17,5 juta ton diekspor ke berbagai negara dengan China sebagai pembeli utama. 122 Hasil identifikasi sistem dengan batasan-batasan entitas sebagaimana yang telah dijelaskan dan dipaparkan sebelumnya, dapat digambarkan secara lengkap sebagai sebuah sistem rantai usaha agroindustri crude palm oil CPO sebagaimana yang digambarkan secara secara sedehana pada gambar Gambar 4-1. Gambar 4-1 Pemetaan Elem-elemen Rantai Usaha Agroindustri CPO Kebun kelapa sawit KKS menghasilkan tandan buah segar sebagai bahan baku pabrik minyak kelapa sawit MKS. Tandan buah segar yang dihasilkan, sangat bergantung dengan umur dari tanaman tersebut. 3 tahun setelah penanaman, KKS dapat menghasilkan sekitar 7 ton per ha nya dan naik terus sampai tahun ke 12 sekitar 28 ton per ha. Selanjutnya produktivitas tanaman kelapa sawit akan menurun secara gradual sampai tahun ke 25 hanya menghasilkan sebesar 17 ton per ha nya. Setelah umur 25 tahun, tanaman kelapa sawit sudah tidak dimungkinkan untuk dipanen karena terlalu tinggi. Setiap ton produk minyak kelapa sawit secara normal membutuhkan kurang lebih 5 ton tandan buah segar TBS dengan kualitas yang sesuai dengan persyaratan Pahan, 2010. In = indeks untuk Industri Inti i = Indeks Kebun Kelapa Sawit j = Indeks Pabrik CPO Perkebunan Kelapa Sawit Pabrik Kelapa Sawit Pasar Industri Industri Inti m = indeks untuk pasar 123 Minyak kelapa sawit yang dihasilkan oleh PKS selanjutnya dikirimkan ke pelanggan untuk diproses lebih lanjut melalui pelabuhan-pelabuhan pemuatan yang terdekat dengan lokasi pabrik. Lokasi pelabuhan muat yang ada di Indonesia secara geographis pada umumnya berjarak cukup jauh dari PKS dan memiliki infrastruktur transportasi yang pada umumnya juga belum memadai dibandingkan dengan konstribusi dari komoditas ini terhadap pendapatan Negara. Di pelabuhan muat, sebelum MKS tersebut dikapalkan, kadangkala harus disimpan terlebih dahulu dalam tanki-tanki menunggu kedatangan kapal yang akan memuat ke pelabuhan tujuan. Keterbatasan tanki dan keterbatasan pelabuhan sangat mempengaruhi proses pengiriman dari produk minyak kelapa sawit ini. Selanjutnya MKS ini dikirimkan ke pelabuhan-pelabuhan tujuan yang membutuhkan komoditas tersebut. Kondisi pelabuhan muat dan pelabuhan tujuan akan mempengaruhi tipe alat transportasi laut yang digunakan. Semakin kecil volume komoditas yang diangkut tentu saja akan meningkatkan biaya transportasi dari komoditas MKS. Penjualan komoditas MKS sebagian besar ditujukan untuk pasar ekspor dibandingkan dengan pasar domestik.

4.1.2 Analisis Kebutuhan

Pelaku-pelaku utama atau pihak-pihak yang berkepentingan yang terlibat atau yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan terkait dengan rantai pasok Agroindustri CPO adalah: 1. Pelaku Agroindustri CPO 2. Penyedia bahan baku TBS 3. Pembeli CPO Konsumen 4. Pemerintah 5. Lembaga Keuangan Adapun kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing pelaku yang teridentifikasi dalam hal ini adalah seperti yang terlihat pada Tabel 4-1 berikut ini.