atribut-atribut non spasial dari objek yang dimaksudkan, selanjutnya disebut sebagai data atribut atau data tematik. Data posisional atau data referensi
geografis dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk, elemen-elemen yang paling primitif dari data spasial biasanya secara geometris berupa objek-objek titik, garis,
dan area Goodchild, 1987.
2.4.2.2 Pengukuran
Secara teknis, pengukuran yang dimaksudkan disini adalah proses untuk menentukan simbol-simbol pada atribut-atribut dari objek-objek maupun kejadian.
Simbol-simbol tersebut merupakan angka atau memiliki implikasi kuantitatif. Pemodelan dalam analisis spasial tidak selalu merupakan model
kuantitatif. Model kuantitatif akan membutuhkan data kuantitatif, sementara model kualitatif akan menggunakan data kualitatif. Stevens 1964 dalam
Malczewski 1999 mengklasifikan pengukuran ini menjadi bebrapa skala kualitatif maupun kuantitatif, antara lain: a Skala kualitatif non metrik, yang
terbagi atas skala ordinal dan skala nominal; dan b Skala kuantitatif, yang terbagi atas skala interval dan skala rasio.
2.4.2.3 Informasi Geografis
Agar data spasial memiliki manfaat, data tersebut harus ditransformasikan ke dalam bentuk informasi. Ketika data telah dapat diorganisasikan dengan baik,
dipresentasikan, dianalisa dan diinterpretasikan dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan, maka data tersebut telah menjadi sebuah informasi. Dua
contoh berikut Gambar 2-10 dan Gambar 2-11 Malczewski, 1999 menggambarkan informasi yang terkait dengan entitas geograpfis dan interaksi
antar entitas secara berturut-turut.
Gambar 2-10 Konversi Data Geografis kedalam Informasi Geografis
Gambar 2-11 Contoh Data dan Informasi untuk Jumlah Interaksi Antar Entitas
2.4.2.4 Informasi dan Pengambilan Keputusan Spasial
Proses mengkonversi data menjadi informasi akan menambahkan nilai ekstra terhadap data aslinya Cassettari, 1993. Pada proses pengambilan keputusan, data
asli akan diolah sedemikian rupa dan diinterpretasikan serta dianalisa untuk mengmbil keputusan. Situasi pengambilan keputusan akan menentukan kebutuhan
dan karakteritik informasi yang dibutuhkan. Informasi yang dibutuhkan dapat berupa “hard information” maupun “soft information” atau seringkali dirujuk
sebagai informasi obyektif dan informasi subyektif secara berturut-turut
SAMPLE SITES PENGUKURAN
Asal i Tujuan l Populasi
pada i Pi
Populasi pada j
Pl Jarak i ke j
dil Jumlah
Interaksi Iil
1 2
31,000 34,000
20 589,204 1
3 31,000
57,500 122
10,843 1
4 31,000
33,500 25 332,320
1 5
31,000 27,000
30 69,794
1 6
31,000 31,000
47 63,457
1 7
31,000 102,000
83 50,381
- 100,000
200,000 300,000
400,000 500,000
600,000 700,000
20 40
60 80
100 120
140
Int e
ra k
si
Jarak
Malczewski, 1999. Informasi obyektif hard information ini dapat berupa fakta, estimasi kuantitatif, data pengindeeraan jarak jauh remote sensing, survey
meteorologi. Sementara informasi subyektif soft information merepresentasikan opini dari pengambil keputusan atas dasar intuisi, survey ad hoc, kuisioner,
komentar-komentar, dan sumber-sumber yang serupa. Tipe informasi ini digunakan oleh pengambil keputusan karena pertimbangan-pertimbangan nilai
sosial dan politik juga memasuki perhitungan dari pengambil keputusan Eriyatno, 2012. Inti dari proses pengambilan keputusan yang terkait dengan permasalahan
spasial dalam hal ini adalah menentukan tipe informasi yang mana yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan dan mencari kombinasi yang tepat dari
sekumpulan informasi hard dan soft yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan Boroushaki dan Malczewski, 2008.
Adalah penting bahwa data dan informasi spasial baik yang bersifat soft maupun hard mungkin memiliki ketidakpastian. Kenyataannya memang
pengambilan keputusan spasial dikelilingi oleh ketidakpastian. Keberadaan informasi akan mengurangi ketidakpastian, oleh karena itu informasi menjadi
bernilai Malczewski, 1999. Selanjutnya keputusan-keputusan yang bersifat tidak pasti ini dapat dikelompokkan menjadi 2 atas dasar informasi yang digunakan
yaitu, keputusan yang melibatkan informasi stokastik dan keputusan yang melibatkan informasi yang imprecise. Dengan demikian ada 3 tiga katagori
besar dalam permasalahan keputusan spasial, yaitu: deterministik, stokastik dan fuzzy Leung, 1988; Munda, 1995
. 2.4.3
Teori Lokasi dan Analisa Spasial
Teori lokasi merupakan teori dasar yang sangat penting dalam analisa spasial dimana tata ruang dari lokasi kegiatan ekonomi merupakan unsur utama. Teori
lokasi memberikan kerangka analisa yang baik dan sistematis mengenai pemilihan lokasi kegiatan ekonomi dan sosial, serta analisa interaksi antar wilayah Sjafrizal,
2008. Analisis-analisis yang dikembangkan oleh Von Thunen, Weber, Losch, dan Christaller di abad ke-19 dan awal abad ke-20 pada dasarnya berupaya
mencari jawaban tentang “dimana” dan “mengapa” aktivitas ekonomi memilih lokasi Rustiadi, Saefulhakim et al., 2011. Teori lokasi itu menjadi penting dalam
permasalahan bisnis dan industri karena pemilihan lokasi yang baik akan memberikan penghematan yang besar pada biaya transportasi sehingga
mendorong terjadinya efisiensi baik dalam produksi maupun pemasaran Church dan Murray, 2008. Sedangkan interaksi antar wilayah akan dapat mempengaruhi
perkembangan bisnis yang pada gilirannya dapat pula mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah Sjafrizal, 2008.
Hingga tahun 1950-an, teori lokasi lebih banyak didominasi oleh pendekatan-pendekatan lokasi geografis dan oleh karya-karya teori lokasi klasik
antara lain dari: von Thunen, Weber, Palander, Hotelling, Predohl, Losch, dan lain-lain Murray, 2009. Sejak tahun 1950-an teori lokasi berkembang dan
diperkaya oleh analisis-analisis kuantitatif khususnya ekonometrika Aguilar, 2009; LeSage dan Pace, 2009, model-model optimasi, dan model dinamis Owen
dan Daskin, 1998; ReVelle dan Eiselt, 2005. Pencetus teori lokasi pada umumnya berasal dari German, dimulai dari
Von Thunen 1851 yang sering disebut sebagai Bapak Transportasi yang membahas tentang analisa lokasi kegiatan pertanian berdasarkan fakta-fakta yang
terdapat di Eropa Fujita, 2012. Teori ini dikembangkan lebih lanjut oleh para pakar-pakar di beberapa bagian dunia, salah satunya adalah William Alonso
Tabuchi, 1984 sebagai landasan teori penggunaan lahan land-use di daerah perkotaan. Kemudian, pada saat revolusi industri di Jerman mulai berkembang,
muncul Alfred Weber 1929 yang menulis buku tentang lokasi industri dengan mengambil contoh pada kasus pemilihan lokasi pabrik besi baja untuk memenuhi
permintaan industri kereta api Chapman, 2009. Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Edgar Hoover 1948 dan Leon Moses 1958. August Losch
1954 melakukan analisa lokasi perusahaan berdasarkan konsentrasi permintaan dan persaingan antar wilayah spatial competition. Teori ini selanjutnya
dikembangkan oleh Greenhut dan Ohta Greenhut, Mai et al., 1986 ke dalam kerangka analisa yang lebih luas tentang teori harga spasial dan areal pasar.
Dengan berkembangnya teori lokasi, aspek tata ruang dan lokasi kegiatan ekonomi dapat dimasukkan ke dalam analisa ekonomi secara lebih kongkrit. Hal
ini telah
mendorong banyak
ahli pada
tahun limapuluhan
untuk
mengkombinasikan Teori Lokasi dengan Teori Ekonomi, baik Mikro maupun Makro. Perkembangan ini selanjutnya mendorong timbulnya analisa ekonomi
spasial yang kemudian menjadi dasar utama bagi munculnya Ilmu Ekonomi Regional yang menekankan analisanya pada pengaruh aspek lokasi dan ruang
terhadap pengambilan keputusan sosial, ekonomi dan bisnis. Upaya ini dilakukan dalam rangka mewujudkan analisa ekonomi yang lebih kongkret dan realistis
sesuai kondisi geografi pada wilayah yang bersangkutan Sjafrizal, 2008.
2.4.3.1 Faktor Penentu Pemilihan Lokasi Kegiatan EkonomiIndustri