Gambar 3-1 Tahapan Umum Proses Rancang Bangun
Metode pengembangan prototipe dipilih dengan alasan untuk mengatasi sistem yang kompleks. Dengan metode prototyping akan memungkinkan proses
pembentukan model versi sistem secara iteratif sampai menghasilkan sistem yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Pendekatan seperti ini merupakan
implementasi dari konsep “think small strategize big” dari Turban et al.2011 dimana pengembang pertama-tama fokus pada penyelesaian permasalahan kunci
untuk meraih keberhasilan-keberhasilan kecil secara bertahap. Pendekatan ini dipandang lebih efektif dan efisien dalam pengembangan sistem pendukung
keputusan Turban, Sharda et al., 2011.
3.2 Kerangka Pemikiran
Kerangka berpikir yang melandasi sistem pendukung keputusan berbasis spasial untuk penentuan lokasi pengembangan industri ini terbagi menjadi beberapa
tahapan utama. Tahap pertama adalah merumuskan tujuan sistem dengan jelas yang dalam hal ini adalah untuk menentukan lokasi pengembangan industri hilir
minyak kelapa sawit yang terbaik. Tahap kedua dilakukan pengumpulan data-data entitas spasial yang terlibat
dalam proses pengambilan keputusan beserta dengan atribut-atribut yang diperlukan. Entitas-entitas yang terlibat dalam hal ini adalah Kebun Kelapa Sawit
KKS, Pabrik Minyak Kelapa Sawit PKS, Jaringan Jalan, dan Wilayah.
Identifikasi Kebutuhan
Perancangan Prototype
Pembentukan Prototype
Evaluasi Prototype Sesuai
Kebutuhan? Produk
Rekayasa Tidak = Perbaikan
Ya
Gambar 3-2 Langkah-langkah Penelitian
Basic Digital Map Wilayah
Peta Lokasi Pabrik CPO
Peta Lokasi KKS
Layering
Relation
Viewing
Analisis Spasial
View Informasi
View Teranalisis
Data Overlay
Shape File Peta Lokasi
Pelabuhan
Peta Jalur Transportasi
Eksisting
MULAI
Peta Tematik Lainnya
Shortest Path Algoritma Dijkstra
Data Tabular
Analisis Interaksi Spasial
Simulasi Sistem Kesesuaian
Lahan
Valuasi
SELESAI
Tahap ketiga, entitas-entitas yang teridentifikasi tersebut selanjutnya dipetakan lokasi geografisnya dalam sistem informasi geografis yang dibangun
dalam penelitian ini dalam bentuk layer-layer data. Untuk data berupa image manual, dilakukan scanning untuk mendapatkan data digital. Proses layering
disini merupakan proses untuk memisahkan kategori-kategori layer yang ada dalam data digital. Hasil dari layering ini adalah data vektor yang sudah terbagai
menjadi beberapa data layer sesuai dengan coveragenya masing-masing. Masing- masing layer akan mendapatkan informasi dari data tabular pada proses relation.
Output dari proses ini adalah sebuah shape file file yang berextensi.shp, dimana file inilah yang sudah siap digunakan untuk menampilkan informasi yang berbasis
geografis. Tahap keempat, dilakukan pengukuran dan standarisasi ukuran atas
atribut-atribut yang diperlukan dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan lokasi masing-masing entitas baik yang terkait dengan kebun, pabrik, jalan
maupun wilayah. Beberapa overlay yang diperlukan dalam analisis, dilakukan pada tahapan ini.
Tahap kelima, diidentifikasi dan dirumuskan kriteria-kriteria dan batasanpersyaratan-persyaratan untuk menentukan lokasi awal pengembangan
industri hilir minyak kelapa sawit. Kriteria-kriteria ini diakuisisi dari pengetahuan dan pengalaman ahli dalam bidang pengembangan infrastruktur industri dan
agroindustri minyak kelapa sawit. Adapun kriteria-kriteria tersebut adalah terkait dengan kesesuaian lahan untuk pengembangan industri, antara lain aspek pisik,
lingkungan serta ekonomi, sosial dan politik. Kriteria-kriteria untuk aspek pisik adalah: a Luas area yang tersedia; b Kedekatan dengan perairankemudahan
pengapalan; c Ketersediaan Utilitas infrastruktur; d Akses jarak pada sumber air bersih; e Kondisi tanah; f Jarak ke jaringan jalan; g Kedalaman
perairan. Kriteria-kriteria untuk aspek lingkungan adalah: a Angin; b Cuaca; c Tinggi gelombang; d Kecepatan arus; e Pasang surut; f Angin; g
Sedimentasi; h Alur laut. Sementara untuk aspek ekonomi, sosial dan politik yang dipertimbangkan dalam hal ini adalah: a Biaya investasi infrastruktur
industri; b Biaya operasional pengelolaan kawasan; c Kemudahan perizinan;
d Pajak dan pungutan-pungutan lain; e Dukungan masyarakat; dan f Ketersediaan tenaga kerja.
Tahap keenam dilakukan evaluasi atas kriteria dan batasan yang ada untuk menentukan kesesuaian lahan untuk pengembangan industri hilir inti minyak
kelapa sawit. Output dari analisis ini adalah alternatif-alternatif lokasi pengembangan industri yang memungkinkan di wilayah kajian.
Atas dasar alternatif-alternatif yang teridentifikasi, selanjutnya pada tahapan ketujuh, dilakukan analisis interaksi spasial yang terkait dengan jarak,
waktu tempuh dan biaya transportasi yang dalam hal ini direpresentasikan dalam bahasa umum analisis jaringan spasial sebagai cost. Analisis interaksi spasial ini
dilakukan dengan menggunakan algoritma Djikstra yang digambarkan prosesnya dalam bentuk diagram pada Gambar 3-3. Interaksi spasial ini dilakukan baik
antara PKS dengan KKS maupun antara PKS dengan alternatif lokasi pengembangan industri hilir.
Output dari tahap ketujuh berupa matrik interaksi jarak, waktu tempuh dan biaya selanjutnya digunakan pada tahap kedelapan untuk menentukan volume
interaksi antar enttitas tersebut diatas yang diakibatkan oleh kepentingan pasokan bahan baku. Proses penentuan ini dilakukan menggunakan model transportasi
dengan fungsi tujuan meminimalkan biaya dan dengan kendala-kendala yang terkait dengan batasan suplai, permintaan dari masing-masing entitas dan waktu
tempuh maksimum agar kualitas TBS masih memenuhi persyaratan pengolahan di pabrik pengolahan minyak kelapa sawit. Proses ini dilakukan dalam multi periode
tahunan untuk mengakomodasi produktivitas dari tanaman kelapa sawit yang berakibat pada kemampuan suplainya. Diagram alir proses ini ditunjukkan pada
Gambar 3-4. Atas dasar kesesuaian lahan dan interaksi spasial yang telah dianalisa pada
tahap-tahap sebelumnya, tahap kesembilan ini merupakan tahapan pengambilan keputusan alternatif lokasi pengembangan industri yang terbaik. Tahapan ini
dilakukan dengan menggunakan spatial multi criteria decision tool IKG2012 yang dibangun dalam penelitian ini. Diagram alir yang menggambarkan proses
pengambilan keputusan ini diperlihatkan pada Gambar 3-5.
Gambar 3-3 Diagram Alir Model Shortest Path dengan Algoritma Djikstra
START + Tetapkan node dan bobot untuk setiap lintasan
+ Tentukan node AWAL I dan TUJUAN j
+ Tandai semua node selain node AWAL sebagai UNVISITED + Bentuk himpunan node yang telah dikunjungi, sebut sebagai
himpunan VISITED + Masukkan node AWAL ke dalam himpunan VISITED
+ Set CURRENT = node AWAL
+ Tentukan tetangga-tetangga dari CURRENT yang termasuk dalam
himpunan UNVISITED + Ambil bobot yang paling kecil sebagai
node SELANJUTNYA
Bila ditemukan lintasan dari node X ke node SELANJUTNYA yang jumlah bobotnya ternyata LEBIH BESAR dari lintasan
CURRENT ke node SELANJUTNYA, maka hapus X dari himpunan VISITED
Masukkan node SELANJUTNYA ke dalam himpunan VISITED
Apakah CURRENT = node TUJUAN? Set CURRENT = node SELANJUTNYA
Tidak
Ya Ci,j
END
Gambar 3-4 Diagram Alir Penentuan Volume Interaksi Spasial Multi Periode
For Tahun t = 1 to Batas Proyeksi p
MULAI
Umur Tanaman, Luas Kebun,
Demand PKS D j
Hitung Kapasitas Produksi KKS Si
Dapatkan Cost ci,j dari berkas Shortest Path
Model Shortest Path dengan
Algoritma Djikstra Hitung Volume Interaksi Spasial xi,j
Xi,j
t Volume
Interaksi Ton
SELESAI
Gambar 3-5 Penentuan Alternatif Lokasi Pengembangan Industri dengan Spatial MCDM
Keseluruhan tahapan proses yang dijelaskan diatas, diterjemahkan dalam sebuah sistem pendukung keputusan spasial yang dapat digunakan sebagai alat
bantu pengambilan keputusan lokasi pengembangan industri hilir minyak kelapa sawit maupun untuk keperluan industri lainnya yang mirip.
Penentuan Lokasi Pengembangan Industri Hilir
Minyak Kelapa Sawit
Kriteria Evaluasi Kendala
Persyaratan Lokasi Alternatif Lokasi
yang Sesuai
Kendalapeta alternatif yang layak
Peta Kriteria
Matriks keputusan Decision matrix
Decision rule
Pengurutan alternatif
Analisa sensitivitas
Rekomendasi Final Preferensi
pengambil keputusan
Bobot Kriteria
3.3 Tata Laksana
Tahapan umum yang dilakukan pada penelitian terdiri ini dari pengumpulan data, pengembangan sistem, validasi dan verifikasi. Pengumpulan data spasial terkait
dengan beberapa node kebun dan pabrik CPO eksisting dilakukan dengan menggunakan teknologi GPS seperti yang terlihat pada Gambar 3-6 berikut ini.
Sementara untuk peta wilayah, peta rupa bumi, peta jalan, peta topografi, peta bathymetri, peta sungai, alur pelayaran diolah dari peta yang diperoleh dari
Bakosutranal dan Pemerintah Daerah. Arus, gelombang, dan angin diperoleh dari BMKG.
Gambar 3-6 Teknik Pengumpulan Data dengan Teknologi GPS
Setelah tahapan pengumpulan data, kemudian dilakukan pengembangan sistem melalui pengembangan basis data, model dan interface. Tahap akhir
dilakukan verifikasi dan validasi. Teknik validasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah face validity Eriyatno, 2012. Face validity dilakukan
dengan cara menjaring pengetahuan pakar dalam hal pengembangan dan pengelolaan agroindustri minyak kelapa sawit CPO. Face validity ini berkaitan
dengan kesesuaian dan perilaku model, serta kemampuan model dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
DATA FORMAT CONVERSION
GIS
MODUL PENGENDALI GPS
SATELIT GPS
ANTENNE GPS
DATA STORAGE WAYPOINT UNTUK
KEBUN, PABRIK, PELABUHAN DAN
PELANGGAN
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 RANCANG BANGUN MODEL
4.1.1 Konfigurasi Sistem Industri CPO
Sistem industri CPO memiliki elemen-elemen yang banyak, begitu pula dengan rantai pasoknya. Elemen-elemen penyusun sistem industri CPO berdasarkan
urutan entitas yang terlibat mulai dari hulu ke hilir adalah sebagai berikut: a. Kebun kelapa sawit;
b. Pabrik minyak kelapa sawit; c. Industri hilir pengguna CPO;
d. Pelanggan akhir. Dalam penelitian ini, elemen-elemen yang dipertimbangkan dibatasi pada
kebun kelapa sawit KKS, pabrik kelapa sawit PKS dan industri hilir inti minyak kelapa sawit. Dimana penghubung antar elemen-elemen tersebut adalah
jaringan dan infrastruktur transportasi. Kebun kelapa sawit yang merupakan suplier bahan baku terdiri dari perkebunan sawit milik rakyat, perkebunan sawit
milik negara BUMN dan perkebunan sawit milik swasta. Produsen CPO atau pabrik minyak kelapa sawit merupakan pengolah bahan baku tandan buah segar
TBS yang dihasilkan oleh kebun kelapa sawit menjadi CPO. Produsen CPO di Indonesia mayoritas milik Negara dan Swasta.
Konsumen industri luar negeri minyak sawit meningkat secara signifikan baik dalam volume maupun nilai ekspornya. Peningkatan tersebut dapat dilihat
dari data Badan Pusat Statistik BPS, 2005. Pada tahun 2000 volume ekspor CPO baru mencapai 4.110.027 ton dengan nilai US 1.087.278 tetapi kemudian
meningkat menjadi 10.375.792 ton dengan nilai US 3.756.557 pada tahun 2005. Menurut data dari Kementrian Perdagangan RI 2011 Hasil produksi CPO
Indonesia pada tahun 2011 yang baru saja berlalu sebesar 23 juta ton. Dari angka tersebut, 17,5 juta ton diekspor ke berbagai negara dengan China sebagai pembeli
utama.