Perindustrian dalam hal ini juga mengacu pada pengelompokan ISIC oleh UNIDO tersebut Indagro, 2010.
Meskipun baru dipopulerkan di Indonesia pada tahun 1980-an Djamaran, 2007, agroindustri sebenarnya telah diperkenalkan di Indonesia sejak abad ke-16
melalui penerapan sistem tanam paksa Siahaan, 2000; Mangunwidjaya dan Sailah, 2009. Saat itu, Pemerintah Belanda menyadari betul bahwa Indonesia
secara geografis sangat cocok untuk usaha budidaya tanaman tropis dengan nilai ekonomi yang tinggi. Dimulai dari tanam paksa, berkembanglah perkebunan kopi,
gula, nilam, tembakau, teh, kina, karet serta rempah-rempah di beberapa pulau di Indonesia Mangunwidjaya dan Sailah, 2009.
2.1.1 Peran Penting Agroindustri dalam Perekonomian Nasional
Agroindustri merupakan sektor yang sangat penting di berbagai negara, khususnya Negara berkembang. Brown dan Deloitte Touche 1994
menyebutkan bahwa lebih dari separuh aktivitas manufaktur di berbagai negara berkembang di dunia terdiri dari agroindustri yang meliputi penanganan dan
pengolahan bahan baku yang bersumber dari pertanian. Aktivitas ini merupakan langkah awal untuk menuju pada industrialisasi dan mendorong munculnya
industri yang lain Soekartiwi, 2000. Pembangunan agroindustri merupakan kelanjutan dari pembangunan
pertanian Soekartiwi, 2000. Hal ini merupakan konsekuensi logis karena sebagian besar input atau bahan baku dari agroindustri berasal dari produk
pertanian agriculture.
Bila pembangunan
pertanian berhasil,
maka pembangunan agroindustri pun berhasil. Begitu pula sebaliknya, bila
pembangunan pertanian gagal, maka pembangunan agroindustri pun sulit untuk berkembang.
Menurut UNIDO 2008, pertumbuhan dan pengembangan agroindustri dalam suatu Negara dapat berperan dalam perekonomian antara lain dalam hal: a
Penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan; b Memberikan kontribusi terhadap GDP dan sektor manufaktur; c Mengembangkan kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat; d Memberikan pemerataan ekonomi daerah pedesaan dan perkotaan; dan e Integrasi ke pasar global dan pendapatan devisi bagi Negara.
Sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 2-1, kontribusi agroindustri Indonesia terhadap PDB sektor non-migas cukup besar, yaitu 44,2, yang
merupakan kontribusi terbesar bila dibandingkan dengan sektor industri lainnya seperti industri alat angkut, mesin dan peralatan sebesar 28,1, industri pupuk,
kimia dan barang dari karet sebesar 12,7, industri tekstil, barang kulit dan alas kaki sebesar 9, industri semen dan barang galian bukan logam sebesar 3,3,
industri logam dasar, besi dan baja sebesar 1,9 dan industri barang lainnya sebesar 0,8. Sedangkan kontribusi cabang industri agro terhadap industri
pengolahan tahun 2010 terbesar diberikan oleh cabang industri makanan, minuman dan tembakau yaitu sebesar 33,6 yang diikuti oleh industri barang
kayu dan hasil hutan lainnya sebesar 5,8, industri kertas dan percetakan sebesar 4,8.
Sumber: Indagro 2010
Gambar 2-1 Sumbangan Cabang-cabang Industri Terhadap PDB Sektor Industri Non Migas Tahun 2010
Pertumbuhan industri pengolahan non-migas dari tahun 2006-2009 mengalami penurunan, hal tersebut dapat dilihat pada pertumbuhan tahun 2006
sebesar 5,27, tahun 2007 turun menjadi 5,15, tahun 2008 turun menjadi 4,05, pada tahun 2009 turun menjadi 2,52, dan pada tahun 2010 mengalami
kenaikan menjadi 5,13. Walaupun pertumbuhan industri non-migas mengalami penurunan, namun kontribusi sektor agroindustri pada pertumbuhan industri non-
migas cukup signifikan. Pada tahun 2006 pertumbuhan agroindustri sebesar
5,51, tahun 2007 turun menjadi 4,38, dan pada tahun 2008 turun menjadi 1,92, namun pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi 9,21.
Data kontribusi sub sektor agroindustri terhadap PDB menunjukkan bahwa output sub sektor ini memberikan kontribusi yang selalu lebih besar dari pada sub
sektor pengolahan non agroindustri. Rata-rata kontribusi sub sektor agroindustri selama 2004-2009 mencapai 15,47 persen dari total PDB nasional. Sementara sub
sektor non agroindustri non migas memberikan kontribusi dengan ratarata mencapai 9,41 persen Rachbini, Arifin et al., 2011.
Di saat krisis ekonomi yang pernah memporak-porandakan ekonomi Indonesia pada 1997-1998, agroindustri ternyata dapat bertahan menjadi sebuah
aktivitas ekonomi yang mampu berkontribusi secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Selama masa krisis, walaupun sektor lain mengalami kemunduran atau
bahkan pertumbuhan negatif, agroindustri mampu bertahan dalam jumlah unit usaha yang beroperasi Rachbini, Arifin et al., 2011. Penyebab utama yang
membuat kelompok agroindustri maupun pertanian dapat bertahan dalam situasi krisis karena ketidakbergantungannya pada bahan baku dan bahan tambahan
impor serta peluang pasar ekspor yang besar. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang utama Dunia justru memberikan tambahan keuntungan yang
signifikan terhadap industri ini.
2.1.2 Permasalahan dan Kendala Pengembangan Agroindustri