Dimana, S adalah total skor untuk alternatif ke-i
Cji adalah skor kriteria untuk alternatif i dan kriteria j Wj adalah bobot dari kriteria
Penjumlahan terbobot
memungkinkan untuk
mengevaluasi dan
mengurutkan alternatif atas dasar preferensi kriteria dari pengambil keputusan.
2.4.5.3 Pengambilan Keputusan Multi Kriteria dan GIS
Sistem Informasi Geografis SIGGIS memiliki kemampuan untuk menangani permasalahan spasial dan sering digunakan untuk mendukung keputusan yang
terkait dengan permasalahan spasialkeruangan. Memecahkan permasalahan multi kriteria spasial tanpa alat analitis dan visual akan sangat menyulitkan dalam
komputasinya dan bahkan menjadi tidak mungkin Malczewski, 1999. Teknik-teknik multi kriteria sebagai sebuah alat yang berdiri sendiri telah
dikomputerisasi dan saat ini telah banyak dihasilkan perangkat lunak yang dapat digunakan khusus untuk keperluan ini. Namun, perangkat lunak-perangkat lunak
yang tersedia tersebut tidak umum untuk digunakan memecahkan permasalahan spasial dalam bentuk peta. Menurut Jankowski 1995, ada dua strategi yang dapat
ditempuh dalam menangani permasalahan MCDM dan GIS ini, yaitu strategi Loose
dan Strategi Tight Jankowski, 1995. Strategi Loose dilakukan dengan cara menyediakan mekanisme pertukaran file antara dua perangkat lunak tersebut.
Tugas yang berbeda dilakukan oleh masing-masing perangkat lunak. GIS digunakan untuk melakukan analisis kesesuaian lahan, memilih sekumpulan
kriteria dan melakukan penilaian untuk di ekspor ke tabel dalam program MCDM. Program MCDM selanjutnya digunakan untuk mengeksekusi kriteria evaluasi dan
hasilnya ditransfer kembali ke GIS untuk ditampilkan. Sebaliknya strategi tight coupling direalisasikan oleh interface dan basis data yang umum dan terbuka
untuk GIS dan MCDM. Dengan kata lain fungsi-fungsi multi kriteria dilekatkan pada perangkat lunak GIS. Keunggulan cara ini adalah bahwa semua fungsi-
fungsi yang diperlukan ada dalam satu tempat dan kemungkinan kesalahan- kesalahan dalam pertukaran data dapat dihindari. Namun tidak semua perangkat
lunak aplikasi GIS yang telah dikembangkan memiliki fasilitas tersebut.
Penggunaan GIS untuk melakukan evaluasi multi kriteria dapat dilakukan dalam dua tahap 1 Survey dan 2 Identifikasi lokasi lahan awal. Pada langkah
pertama, area disaring untuk mendapatkan alternatif-alternatif yang layak dengan menggunakan kriteria keputusan deterministik. Seluruh lahan diseleksi secara
simultan. Yang tidak memenuhi kendala constraints diidentifikasi dan dikeluarkan dari analisis. Tahap ini sering disebut sebagai tahap analisis
kesesuaian yang secara tradisional dilakukan menggunakan overlay peta manual namun dalam hal ini menggunakan GIS sebagai alat bantu.
Langkah kedua yang disebut sebagai identifikasi lokasi awal dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik MCE. Pertama, seluruh faktor-faktor yang
ada dielaborasi dan kemudian dilakukan pembobotan menurut tingkat kepentingannya. Tahap kedua memungkinkan untuk menangani permasalahan
multi objective . Ovelay multi kriteria diusulkan oleh McHarg 1969 dalam
Aminu 2007 yang menyarankan menyarankan untuk mengidentifikasi kriteria fisik, ekonomis dan lingkungan dalam rangka memastikan kelayakan sosial dan
ekonomis dari proyek. Kompleksitas permasalahan keputusan akan menentukan apakah teknik overlay nilai biner atau jamak yang harus digunakan.
Dalam analisis geograpis, sebagian besar operasi umum yang digunakan adalah AND dan OR Boolean, yang mana akan berkoresponden dengan
“intersection” dan “union”. Jika faktor-faktor keputusan memiliki perbedaan tingkat kepentingan, overlay terbobot seharusnya digunakan. Namun, prosedur
agregasi skor yang spesifik diperlukan untuk menghasilkan keputusan yang bernilai Store dan Kangas, 2000. Ilustrasi dari analisis keputusan kriteria
majemuk spasial dalam perspektif input-output diperlihatkan pada Gambar 2-27.
Gambar 2-27 Perspektif Input-Output dalam Analisis Keputusan Kriteria Majemuk Spasial
2.4.5.3.1 Kriteria Evaluasi Kriteria evaluasi merupakan terminologi yang digunakan baik untuk
permasalahan keputusan kriteria majemuk untuk multi tujuan maupun multi atribut Malczewski, 1999. Atribut-atribut berisi ukuran-ukuran yang digunakan
untuk menilai tingkat pemenuhan kriteria untuk masing-masing alternatif. Kriteria evaluasi dipresentasikan dalam GIS sebagai peta tematik atau layer-layer data.
Atribut-atribut keputusan ini harus memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, atribut-atribut tersebut harus terukur dan mudah untuk dimasukkan nilai-nilai
numerik sehingga mudah untuk menentukan tinggat pencapaian tujuannya. Kedua, sebuah atribut seharusnya secara jelas mengindikasikan tingkat
pemenuhan tujuan, yang tidak ambigu dan mudah dipahami oleh pengambil keputusan. Hal ini disebut comprehensiveness dari atribut. Ketiga, atribut
seharusnya dapat dioperasionalkan. Jika atribut yang ada dipahami dengan baik oleh pengambil keputusan, mereka akan dapat menjelaskan dengan benar
hubungan antara atribut dan tingkat pemenuhan tujuan yang dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Keempat, kumpulan atribut seharusnya
lengkap, yang berarti bahwa semua aspek pengambilan keputusan diakomodasi. Kelima, atribut-atribut yang teridentifikasi sebaiknya seminimal mungkin dan
tidak ada yang redundan. Yang terakhir, atribut-atribut yang ada sebaiknya dapat dipecah-pecah decomposable. Biasanya kriteria evaluasi dapat dibuat dalam
bentuk struktur hierarkies Malczewski, 1999.
INPUT Data Geografis
OUTPUT Keputusan
GIS MCDM
Memilih rangkaian kriteria evaluasi yang tepat dapat dilakukan melalui studi literatur, studi analitis atau survey opini. Sekumpulan tujuan dan atribut
yang digunakan dalam untuk pengambilan keputusan tertentu dipengaruhi oleh ketersediaan data. Demikian juga pemilihan atribut juga dibatasi oleh waktu dan
biaya Malczewski, 1999.
Gambar 2-28 Analisis Spasial Multi Kriteria dalam GIS
2.4.5.3.2 Peta Kriteria Peta kriteria merupakan output dari tahap identifikasi kriteria evalusi. Peta ini
dihasilkan setelah input data ke GIS akuisisi, reformatting, georeferensi, compiling
dan dokumentasi data-data yang relevan disimpan dalam bentuk
Rumusan Permasalahan
Kriteria Evaluasi Kendala
Alternatif
Kendalapeta alternatif yang layak
Peta Kriteria
Matriks keputusan Decision matrix
Decision rule
Pengurutan alternatif
Analisa sensitivitas
Rekomendasi Final Preferensi
pengambil keputusan
Bobot Kriteria
tabular dan grafis, dimanipulasi dan dianalisa untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Dengan bantuan berbagai teknik di GIS peta dasar pada area studi
dapat dibuat dan digunakan untuk memproduksi beberapa peta kriteria. Masing- masing kriteria dipresentasikan pada peta sebagai sebuah layer dalam GIS. Setiap
peta merepresentasikan satu kriteria dan disebut sebagai layer tematik atau data layer. Peta-peta tersebut merepresentasikan seperti apa atribut-atribut
didistribusikan dalam ruang dan bagaimana entitas tersebut meraih tujuannya. Dengan kata lain, sebuah layer peta merepresentasikan sekumpulan alternatif
lokasi untuk pengambilan keputusan. Masing-masing alternatif dibagi menjadi beberapa klas atau diberikan nilai untuk merepresentasikan tingkat preferensi dari
alternatif berdasarkan kriteria yang diberikan. Atribut-atribut harus terukur dalam ukuran tertentu yang merefeksikan variabilitasnya. Skala diklasifikasikan sebagai
skala kualatatif maupun skala kuantitatif. Sebagai contoh kondisi sosial dan politik sebuah wilayah dapat direpresentasikan dengan menggunakan skala
kualitatif, namun untuk jumlah penduduk, jarak, kapasitas produksi menggunakan skala kuantitatif.
2.4.5.3.3 Standarisasi Kriteria Untuk memungkinkan pembandingan antara masing-masing alternatif, skala
pengukuran kriteria yang berbeda-beda harus disamakan terlebih dahulu. Hal ini sangaat penting dalam evaluasi kriteria jamak. Peta kriteria harus distandarisasi
terlebih dahulu Malczewski, 1999. Menurut Malczewski 1999 prosedur linier dan non linier dapat digunakan untuk keperluan ini. Terkait dengan metode linier
terdapat dua prosedur yang dapat dipertimbangkan penggunaannya, yaitu prosedur skor maksimum dan prosedur rentang nilai. Metode standarisasi yang
lain seperti hubungan probabilistik dan fuzzy dijelaskan oleh Malczewski 1999. Prosedur maksimum skor adalah salah satu metode transformasi skala linier.
Prosedur ini menggunakan formula yang sederhana yang membagi masing- masing skor baris dengan nilai maksimum dari kriteria yang bersangkutan
Malczewski, 1999:
Dimana adalah skor yang telah distandarisasi untuk objek ke i alternatif
yang layaklokasi dan atribut ke j, adalah skor dari objek dan
adalah skor maksimum dari atribut ke-j. Skore yang telah terstandarisasi nilainya berkisar
antara 0 sampai 1. Kriteria benefit adalah kriteria yang seharusnya dimaksimumkan. Sebagai contoh, semakin tinggi skor yang diberikan semakin
baik kinerjanya. Namun, jika kriteria yang ada harus diminimalkan, atau semakin kecil semakin baik, maka formula yang digunakan adalah sebagai berikut:
Kriteria seperti ini sering dirujuk sebagai kriteria cost. Kelebihan dari transformasi langsung ini adalah bahwa urutan besaran proporsional maupun
relatif adalah sama. Kekurangan dari metode ini adalah jika skor lebih beasar dari 0, standarisasi skor minimal tidak akan sama dengan 0. Hal ini membuat
interpretasi alternatif yang paling tidak atraktif menjadi sulit Malczewski, 1999. Alternatif yang terbaik akan bernilai 1.
Metode alternatif yang lain adalah prosedur rentang nilai yang dihitung dengan formula sebagai berikut:
Untuk kriteria benefit, dan
Untuk kriteria cost. Faktor xj min adalah skor minimum dari atribut ke-j, xj max adalah skor
maksimum untuk atribut ke-j, dan adalah rentang nilai dari
kriteria. Rentang nilai adalah dari 0 sampai dengan 1, skor terburuk yang telah distandarisasi adalah 0 dan yang terbaik adalah 1. Tidak seperti prosedur skor
maksimum, prosedur rentang nilai tidak menjaga perubahan proporsional dalam hasil. Transformasi skala linier dapat digunakan salah satunya untuk
menstandarisasi peta proximity Malczewski, 1999. Prosedur standarisasi yang telah dirumuskan diatas dapat dengan mudah kemudian ditransformasikan untuk
keperluan standarisasi model data GIS berbasis raster seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2-29.
Gambar 2-29 Prosedur Rentang Skor Nilai dalam GIS
2.4.5.3.4 Penentuan Bobot Bobot untuk kriteria biasanya ditentukan melalui proses konsultasi dengan
pengambil keputusan decision makers yang kemudian akan menghasilkan nilai rasio yang dimasukkan kedalam masing-masing peta kriteria criterion map.
Bobot tersebut merefleksikan preferensi relatif dari satu kriteria dengan kriteria yang lain. Dalam hal ini bobot dapat diekspresikan dalam sebuah vektor kardinal
atas preferensi kriteria ternormalisasi sebagai berikut:
Normalisasi dimaksudkan untuk memperoleh total bobot sama dengan 1 atau 100, tergantung apakah akan dipresentasikan dalam prosentase atau rasio. Cara
lain untuk mengekspresikan preferensi adalah mengkaitkan dengan skor kriteria. Dengan demikian akan dapat ditentukan batas nilai minimum maupun
maksimumnya atau tingkat aspirasi yang diinginkan Jankowski, 1995. Pendekatan yang kedua ini lebih cocok untuk diterapkan pada kendala-kendala
lokasi Aminu, 2007.
70 18 18 95 30 30
33 33 52
18 18 18 18 18 18
18 18 18
95 95 95 95 95 95
95 95 95 52 0
77 12 12 15 15 34
77 77 77 77 77 77
77 77 77 0,675
0,000 0,000
1,000 0,156
0,156 0,195
0,195 0,442
� �
� �
Peta nilai minimum
Peta nilai maksimum
Peta kriteria
� �
� �
Peta kriteria yang telah distandarisasi
� �
� �
-
-
Penentuan bobot atau tingkat kepentingan masing-masing faktor biasanya dilakukan diluar perangkat lunak GIS meskipun ada beberapa perangkat lunak
GIS yang telah memiliki fasilitas tersebut dalam salah satu modulnya Jankowski, 1995.
Ada beberapa teknik untuk menentukan bobot kriteria. Beberapa yang paling populer adalah: metode ranking, metode rating, dan metode perbandingan
berpasangan. Karakteristik umum dari metode-metode tersebut adalah bahwa semuanya melibatkan pertimbangan subyektif dari pengambil keputusan terkait
dengan kepentingan relatif dari faktor-faktor keputusan. Ide dasar dari metode rating adalah mengatur kriteria dalam urutan menurut kepentingan relatifnya.
Kriteria diurutkan mulai dari yang paling penting sampai yang kurang penting. Setelah ranking disusun, beberapa prosedur untuk menghitung bobot numerik
dapat digunakan. Salah satu metode yang paling sederhana adalah mengurutkan jumlahnya sebagaimana ditunjukkan dalam formula berikut ini:
∑ Dimana
adalah bobot yang telah dinormalisasi untuk faktor ke-j, n adalah jumlah faktor yang dipertimbangkan dan
adalah posisi urutan dari faktor. Contoh dari perhitungan nilai ranking diperlihatkan pada Tabel 2-6.
Tabel 2-6 Contoh Prosedur Straight Rank Weighting
Ranking Bobot
∑
Bobot setelah dinormalisasi
1 5
0.333 2
4 0.267
3 3
0.200 4
2 0.133
5 1
0.067 Jumlah
15 1
Sumber: Rapaport dan Snickars 1998; Jankowski 1995 Metode rangking adalah metode pembobotan kriteria yang paling
sederhana. Hal ini kemudian mendatangkan kritik dari banyak pakar keputusan karena ketiadaan dasar teori untuk mengintepretasikan tingkat kepentingan dari
kriteria Malczewski, 1999. Kelompok kedua metode pembobotan adalah metode
rating. Ada dua pendekatan yang umum digunakan: prosedur point allocation dan prosedur ratio estimation. Karakteristik umumnya adalah bahwa pengambil
keputusan memiliki total poin, biasanya 100 yang diinginkan untuk didistribusikan diantara kriteria keputusan bergantung dengan tingkat
kepentingannya. Faktor yang lebih penting akan mendapatkan skor yang lebih tinggi dan faktor yang tidak memiliki kepentingan terhadap keputusan akan
diberikan nilai 0. Metode ini mirip dengan alokasi budget pada sebuah perusahaan. Pada pendekatan alokasi poin disini digunakan skala 0 sampai 100
atau 0 sampai 10. Poin-poin ini kemudian ditransformasikan kedalam bobot yang berjumlah 1. Prosedur estimasi rasio sebagimana yang ditunjukkan pada Tabel 2-7
merupakan modifikasi dari metode alokasi poin. Kriteria yang paling penting diberikan nilai 100 dan atribut-atribut yang lainnya diberikan nilai yang lebih
kecil proporsional dengan tingkat kepentingannya. Rasio yang terkecil digunakan sebagai dasar untuk menghitung rasio. Setiap nilai kriteria dibagi oleh nilai yang
terendah dan kemudian bobot di-normalisasi dengan membagi masing-masing bobot dengan total bobotnya. Mirip dengan metode rangking, metode rating tidak
memiliki dasar teoritis dan formal karena makna dari bobot sulit untuk dijustifikasi Malczewski, 1999.
Tabel 2-7 Penilaian Bobot dengan Menggunakan Prosedur Estimasi Rasio
Ranking Skala estimasi
ratio Bobot asli
Bobot setelah dinormalisasi
1 100
6.667 0.333
2 75
5.000 0.250
3 70
4.667 0.233
4 40
2.667 0.133
5 15
1.000 0.050
Jumlah 15
20 1.000
Metode berikutnya adalah Analytical Hierarchy Process AHP yang diusulkan oleh Saaty 1980 yang menggunakan metode perbandingan
berpasangan untuk pembobotan kriteria. Metode ini memiliki tiga langkah penting. Pertama, dilakukan perbandingan berpasangan untuk kriteria dan
hasilnya dimasukkan kedalam sebuah matrik perbandingan. Nilai sel matrik bernilai 1 sampai dengan 9 dan fraksi dari 19 sampai ½ yang merepresentasikan
tingkat kepentingan satu faktor dengan faktor yang lain secara berpasangan. Nilai dari matrik harus konsisten, yang mana berarti jika a dibandingkan dengan b
mendapatkan skor 5 kepentingan kuat, b dibandingkan dengan a seharusnya memiliki skor 15 sedikit tidak penting. Kriteria yang dibandingkan dengan
dirinya sendiri mendapatkan nilai 1 sama penting. Langkah berikutnya adalah menghitung bobot kriteria. Pertama-tama nilai dari masing-masing kolom
dijumlahkan dan setiap elemen dalam matrik dibagi dengan jumlah kolom dari masing-masing kolom. Matrik yang baru kemudian disebut sebagai matrik
perbandingan berpasangan yang telah dinormalisasi. Yang terakhir, rata-rata elemen pada masing-masing baris matrik yang telah dinormalisasi dikalkulasi.
Selanjutnya rasio konsistensi dihitung dalam upaya untuk memastikan apakah perbandingan kriteria yang dibuat oleh pengambil keputusan sudah konsisten atau
belum. Bobot yang diperoleh berdasarkan metode ini diinterpretasikan sebagai rata-rata semua bobot yang mungkin. Metode perbandingan berpasangan tersebut
diilustrasikan pada Tabel 2-8. Metode AHP ini lebih canggih dibandingkan dengan yang sebelumnya.
Namun metode ini masih tetap mendatangkan kritik terkait dengan cara untuk memperoleh rasio tingkat kepentingan. Kuisioner menanyakan tentang
kepentingan relatif dari kriteria tanpa melihat skala pengukurannya. Kritik yang lain adalah terkait dengan semakin hanyak kriteria yang digunakan semakin sulit
untuk memperoleh konsistensi yang yang memenuhi syarat. Namun kelebihannya adalah bahwa metode ini hanya membutuhkan 2 kriteria untuk dibandingkan pada
saat yang sama Malczewski, 1999. Pada saat memilih metode tertentu, sebaiknya dipertimbangkan
pemahaman pengambil keputusan terhadap permasalahan dan kemampuan dalam bidangnya. Akurasi yang diinginkan dan hasil hasil versus kesederhanaan metode
adlah juga faktor yang patut untuk dipertimbangkan dalam pemilihan metode. Malczewski 1999 menyatakan bahwa metode perbandingan berpasangan adalah
lebih tepat digunakan jika akurasi dan dasar teoritis menjadi titik perhatian. Metode rangking dan rating digunakan ketika kemudahan penggunaan, waktu dan
biaya merupakan pertimbangan yang utama. Yang perlu diperhatikan juga adalah
semakin canggih sebuah metode yang digunakan, semakin kurang transparan proses yang dilakukan untuk publik Malczewski, 1999.
Tabel 2-8 Ilustrasi Metode Pembandingan Berpasangan
Sumber: Saaty 1980 Teori keputusan yang lain yang mirip dengan AHP adalah Analytical
Network Process ANP. Thomas Saaty yang telah mengenalkan AHP mengembangkan kerangka yang lebih maju untuk menentukan prioritas yang
dikenal sebagai Analytical Network Process ANP. ANP memiliki perbedaan dengan AHP dalam hal proses perbandingan berpasangan yang dilakukan agar
supaya model keputusan yang dibuat dapat dibangun sebagai jaringan kerja yang melibatkan decision objective, kriteria, pihak-pihak yang berkepentingan,
alternatif, skenario dan faktor-faktor lingkungan yang lain yang mempengaruhi satu prioritas dengan prioritas yang lainnya. Konsep kunci dari ANP adalah
bahwa pengaruh tidak selalu harus mengalir ke bawah sebagaimana yang dilakukan dalam AHP. Pengaruh dapat mengalir diantara faktor-faktor dalam
jaringan yang menyebabkan hasil prioritas yang non linier dari pilihan alternatif. Sebagai contoh, ketika pengambil keputusan meningkatkan bobot kriteria,
alternatif mulai mendapatkan prioritas yang lebih tinggi, namun apabila bobot kriteria tersebut semakin tinggi, efek umpan balik dari dari jaringan kenyataannya
menyebabkan alternatif mulai mendapatkan prioritas yang semakin rendah. Kedua metode, baik AHP maupun ANP menggunakan skala prioritas
untuk elemen-elemen maupun kelompok elemen dengan membuat perbandingan berpasangan dari elemen-elemen tersebut. Meskipun banyak permasalahan
keputusan paling baik untuk dikaji dengan menggunakan ANP, namun tetap harus dibandingkan antara hasil yang diperoleh dengan menggunakan AHP atau
Langkah III a
b c
a b
c Bobot
a 1
4 8
0.725 0.769
0.571 0.688
b 0.25
1 5
0.181 0.192
0.357 0.244
c 0.13
0.2 1
0.094 0.038
0.071 0.068
Jumlah 1.380
5.200 14.000
1.000 1.000
1.000 1.000
Langkah I Langkah II
pendekatan keputusan yang lain dengan mempertimbangkan hasil, usaha yang dilakukan serta akurasi dan relevansi dari hasil.
ANP sangat berguna dalam pemodelan prediktif dimana pengaruh sistem yang lebih luas dapat difaktorkan dalam keputusan. Aplikasi terbaik dari ANP
adalah pada keputusan-keputusan dimana risiko dan ancaman merupakan faktor utama dalam proses pengambilan keputusan, dan keberhasilan organisasi sangat
tergantung pada pemahaman yang menyeluruh tentang keseluruhan sistem dan bukan hanya tujuan dan sasaran bisnis semata Aminu, 2007.
Bentuk umum dari analytical network process ANP super matrix dapat dijelaskan pada Gambar 2-30.
Gambar 2-30 Struktur Umum Super Matrix
Dimana CN menunjukkan klaster ke-N, eNn menunjukkan elemen ke n dalam klaster ke-N, dan blok matriks Wij terdiri dari kumpulan vektor bobot prioritas
w yang mempengaruhi elemen-elemen dalam klaster ke i . Jika klaster ke-i tidak memiliki pengaruh pada klaster ke-j, maka Wij = 0. Matrik yang diperoleh pada
langkah ini disebut sebagai super matriks awal. 2.4.5.3.5 Decision Rules
Langkah berikutnya adalah menyusun semua alternatif yang diperoleh dalam tabel keputusan menurut kinerjanya. Metode untuk mengagregasi skor alternatif disebut
sebagai decision rule. Tabel keputusan disusun dari kriteria evaluasi dan atributnya untuk setiap alternatif yang layak. Tabel keputusan dapat ditulis dalam
sebuah matriks seperti berikut: [
]
Dimana, i = alternatif
j = kriteria
Matriks tersebut selanjutnya dikalikan dengan vektor bobot untuk mendapatkan nilai dari masing-masing alternatif. Cara paling mudah adalah dengan
menggunakan metode simple additive weighting SAW dengan menjumlah hasil perkalian tersebut untuk setiap alternatif. SAW meranking alternatif dari yang
terbesar sampai yang terkecil demikian juga sebaliknya dilakukan inverse additive weighting jika yang terbaik adalah yang memiliki nilai yang terkecil.
Gambar 2-31 Metode Additive Weighting Sederhana pada Data Raster
70 18
18 0.675
0.000 0.000
0.75 0.506
0.000 0.000
95 30
30 1.000
0.156 0.156
0.750 0.117
0.117 33
33 52
0.195 0.195
0.442 0.146
0.146 0.331
0.506 0.000
0.210 7
1 2
0.750 0.347
0.327 8
4 3
0.376 0.376
0.541 5
5 6
25 25
4 0.000
0.000 0.840
0.25 0.000
0.000 0.210
25 2
4 0.000
0.920 0.840
0.000 0.230
0.210 2
2 3
0.920 0.920
0.840 0.230
0.230 0.210
PETA SKOR KRITERIA PETA KRITERIA
TERSTANDARISASI PETA KRITERIA TERBOBOT
PETA SKOR KESELURUHAN
PETA RANKING
2.4.6 Model Lintasan Terpendek Shortest Path