Pengambilan Keputusan Multi Kriteria dan GIS

Dimana, S adalah total skor untuk alternatif ke-i Cji adalah skor kriteria untuk alternatif i dan kriteria j Wj adalah bobot dari kriteria Penjumlahan terbobot memungkinkan untuk mengevaluasi dan mengurutkan alternatif atas dasar preferensi kriteria dari pengambil keputusan.

2.4.5.3 Pengambilan Keputusan Multi Kriteria dan GIS

Sistem Informasi Geografis SIGGIS memiliki kemampuan untuk menangani permasalahan spasial dan sering digunakan untuk mendukung keputusan yang terkait dengan permasalahan spasialkeruangan. Memecahkan permasalahan multi kriteria spasial tanpa alat analitis dan visual akan sangat menyulitkan dalam komputasinya dan bahkan menjadi tidak mungkin Malczewski, 1999. Teknik-teknik multi kriteria sebagai sebuah alat yang berdiri sendiri telah dikomputerisasi dan saat ini telah banyak dihasilkan perangkat lunak yang dapat digunakan khusus untuk keperluan ini. Namun, perangkat lunak-perangkat lunak yang tersedia tersebut tidak umum untuk digunakan memecahkan permasalahan spasial dalam bentuk peta. Menurut Jankowski 1995, ada dua strategi yang dapat ditempuh dalam menangani permasalahan MCDM dan GIS ini, yaitu strategi Loose dan Strategi Tight Jankowski, 1995. Strategi Loose dilakukan dengan cara menyediakan mekanisme pertukaran file antara dua perangkat lunak tersebut. Tugas yang berbeda dilakukan oleh masing-masing perangkat lunak. GIS digunakan untuk melakukan analisis kesesuaian lahan, memilih sekumpulan kriteria dan melakukan penilaian untuk di ekspor ke tabel dalam program MCDM. Program MCDM selanjutnya digunakan untuk mengeksekusi kriteria evaluasi dan hasilnya ditransfer kembali ke GIS untuk ditampilkan. Sebaliknya strategi tight coupling direalisasikan oleh interface dan basis data yang umum dan terbuka untuk GIS dan MCDM. Dengan kata lain fungsi-fungsi multi kriteria dilekatkan pada perangkat lunak GIS. Keunggulan cara ini adalah bahwa semua fungsi- fungsi yang diperlukan ada dalam satu tempat dan kemungkinan kesalahan- kesalahan dalam pertukaran data dapat dihindari. Namun tidak semua perangkat lunak aplikasi GIS yang telah dikembangkan memiliki fasilitas tersebut. Penggunaan GIS untuk melakukan evaluasi multi kriteria dapat dilakukan dalam dua tahap 1 Survey dan 2 Identifikasi lokasi lahan awal. Pada langkah pertama, area disaring untuk mendapatkan alternatif-alternatif yang layak dengan menggunakan kriteria keputusan deterministik. Seluruh lahan diseleksi secara simultan. Yang tidak memenuhi kendala constraints diidentifikasi dan dikeluarkan dari analisis. Tahap ini sering disebut sebagai tahap analisis kesesuaian yang secara tradisional dilakukan menggunakan overlay peta manual namun dalam hal ini menggunakan GIS sebagai alat bantu. Langkah kedua yang disebut sebagai identifikasi lokasi awal dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik MCE. Pertama, seluruh faktor-faktor yang ada dielaborasi dan kemudian dilakukan pembobotan menurut tingkat kepentingannya. Tahap kedua memungkinkan untuk menangani permasalahan multi objective . Ovelay multi kriteria diusulkan oleh McHarg 1969 dalam Aminu 2007 yang menyarankan menyarankan untuk mengidentifikasi kriteria fisik, ekonomis dan lingkungan dalam rangka memastikan kelayakan sosial dan ekonomis dari proyek. Kompleksitas permasalahan keputusan akan menentukan apakah teknik overlay nilai biner atau jamak yang harus digunakan. Dalam analisis geograpis, sebagian besar operasi umum yang digunakan adalah AND dan OR Boolean, yang mana akan berkoresponden dengan “intersection” dan “union”. Jika faktor-faktor keputusan memiliki perbedaan tingkat kepentingan, overlay terbobot seharusnya digunakan. Namun, prosedur agregasi skor yang spesifik diperlukan untuk menghasilkan keputusan yang bernilai Store dan Kangas, 2000. Ilustrasi dari analisis keputusan kriteria majemuk spasial dalam perspektif input-output diperlihatkan pada Gambar 2-27. Gambar 2-27 Perspektif Input-Output dalam Analisis Keputusan Kriteria Majemuk Spasial 2.4.5.3.1 Kriteria Evaluasi Kriteria evaluasi merupakan terminologi yang digunakan baik untuk permasalahan keputusan kriteria majemuk untuk multi tujuan maupun multi atribut Malczewski, 1999. Atribut-atribut berisi ukuran-ukuran yang digunakan untuk menilai tingkat pemenuhan kriteria untuk masing-masing alternatif. Kriteria evaluasi dipresentasikan dalam GIS sebagai peta tematik atau layer-layer data. Atribut-atribut keputusan ini harus memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, atribut-atribut tersebut harus terukur dan mudah untuk dimasukkan nilai-nilai numerik sehingga mudah untuk menentukan tinggat pencapaian tujuannya. Kedua, sebuah atribut seharusnya secara jelas mengindikasikan tingkat pemenuhan tujuan, yang tidak ambigu dan mudah dipahami oleh pengambil keputusan. Hal ini disebut comprehensiveness dari atribut. Ketiga, atribut seharusnya dapat dioperasionalkan. Jika atribut yang ada dipahami dengan baik oleh pengambil keputusan, mereka akan dapat menjelaskan dengan benar hubungan antara atribut dan tingkat pemenuhan tujuan yang dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Keempat, kumpulan atribut seharusnya lengkap, yang berarti bahwa semua aspek pengambilan keputusan diakomodasi. Kelima, atribut-atribut yang teridentifikasi sebaiknya seminimal mungkin dan tidak ada yang redundan. Yang terakhir, atribut-atribut yang ada sebaiknya dapat dipecah-pecah decomposable. Biasanya kriteria evaluasi dapat dibuat dalam bentuk struktur hierarkies Malczewski, 1999. INPUT Data Geografis OUTPUT Keputusan GIS MCDM Memilih rangkaian kriteria evaluasi yang tepat dapat dilakukan melalui studi literatur, studi analitis atau survey opini. Sekumpulan tujuan dan atribut yang digunakan dalam untuk pengambilan keputusan tertentu dipengaruhi oleh ketersediaan data. Demikian juga pemilihan atribut juga dibatasi oleh waktu dan biaya Malczewski, 1999. Gambar 2-28 Analisis Spasial Multi Kriteria dalam GIS 2.4.5.3.2 Peta Kriteria Peta kriteria merupakan output dari tahap identifikasi kriteria evalusi. Peta ini dihasilkan setelah input data ke GIS akuisisi, reformatting, georeferensi, compiling dan dokumentasi data-data yang relevan disimpan dalam bentuk Rumusan Permasalahan Kriteria Evaluasi Kendala Alternatif Kendalapeta alternatif yang layak Peta Kriteria Matriks keputusan Decision matrix Decision rule Pengurutan alternatif Analisa sensitivitas Rekomendasi Final Preferensi pengambil keputusan Bobot Kriteria tabular dan grafis, dimanipulasi dan dianalisa untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Dengan bantuan berbagai teknik di GIS peta dasar pada area studi dapat dibuat dan digunakan untuk memproduksi beberapa peta kriteria. Masing- masing kriteria dipresentasikan pada peta sebagai sebuah layer dalam GIS. Setiap peta merepresentasikan satu kriteria dan disebut sebagai layer tematik atau data layer. Peta-peta tersebut merepresentasikan seperti apa atribut-atribut didistribusikan dalam ruang dan bagaimana entitas tersebut meraih tujuannya. Dengan kata lain, sebuah layer peta merepresentasikan sekumpulan alternatif lokasi untuk pengambilan keputusan. Masing-masing alternatif dibagi menjadi beberapa klas atau diberikan nilai untuk merepresentasikan tingkat preferensi dari alternatif berdasarkan kriteria yang diberikan. Atribut-atribut harus terukur dalam ukuran tertentu yang merefeksikan variabilitasnya. Skala diklasifikasikan sebagai skala kualatatif maupun skala kuantitatif. Sebagai contoh kondisi sosial dan politik sebuah wilayah dapat direpresentasikan dengan menggunakan skala kualitatif, namun untuk jumlah penduduk, jarak, kapasitas produksi menggunakan skala kuantitatif. 2.4.5.3.3 Standarisasi Kriteria Untuk memungkinkan pembandingan antara masing-masing alternatif, skala pengukuran kriteria yang berbeda-beda harus disamakan terlebih dahulu. Hal ini sangaat penting dalam evaluasi kriteria jamak. Peta kriteria harus distandarisasi terlebih dahulu Malczewski, 1999. Menurut Malczewski 1999 prosedur linier dan non linier dapat digunakan untuk keperluan ini. Terkait dengan metode linier terdapat dua prosedur yang dapat dipertimbangkan penggunaannya, yaitu prosedur skor maksimum dan prosedur rentang nilai. Metode standarisasi yang lain seperti hubungan probabilistik dan fuzzy dijelaskan oleh Malczewski 1999. Prosedur maksimum skor adalah salah satu metode transformasi skala linier. Prosedur ini menggunakan formula yang sederhana yang membagi masing- masing skor baris dengan nilai maksimum dari kriteria yang bersangkutan Malczewski, 1999: Dimana adalah skor yang telah distandarisasi untuk objek ke i alternatif yang layaklokasi dan atribut ke j, adalah skor dari objek dan adalah skor maksimum dari atribut ke-j. Skore yang telah terstandarisasi nilainya berkisar antara 0 sampai 1. Kriteria benefit adalah kriteria yang seharusnya dimaksimumkan. Sebagai contoh, semakin tinggi skor yang diberikan semakin baik kinerjanya. Namun, jika kriteria yang ada harus diminimalkan, atau semakin kecil semakin baik, maka formula yang digunakan adalah sebagai berikut: Kriteria seperti ini sering dirujuk sebagai kriteria cost. Kelebihan dari transformasi langsung ini adalah bahwa urutan besaran proporsional maupun relatif adalah sama. Kekurangan dari metode ini adalah jika skor lebih beasar dari 0, standarisasi skor minimal tidak akan sama dengan 0. Hal ini membuat interpretasi alternatif yang paling tidak atraktif menjadi sulit Malczewski, 1999. Alternatif yang terbaik akan bernilai 1. Metode alternatif yang lain adalah prosedur rentang nilai yang dihitung dengan formula sebagai berikut: Untuk kriteria benefit, dan Untuk kriteria cost. Faktor xj min adalah skor minimum dari atribut ke-j, xj max adalah skor maksimum untuk atribut ke-j, dan adalah rentang nilai dari kriteria. Rentang nilai adalah dari 0 sampai dengan 1, skor terburuk yang telah distandarisasi adalah 0 dan yang terbaik adalah 1. Tidak seperti prosedur skor maksimum, prosedur rentang nilai tidak menjaga perubahan proporsional dalam hasil. Transformasi skala linier dapat digunakan salah satunya untuk menstandarisasi peta proximity Malczewski, 1999. Prosedur standarisasi yang telah dirumuskan diatas dapat dengan mudah kemudian ditransformasikan untuk keperluan standarisasi model data GIS berbasis raster seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2-29. Gambar 2-29 Prosedur Rentang Skor Nilai dalam GIS 2.4.5.3.4 Penentuan Bobot Bobot untuk kriteria biasanya ditentukan melalui proses konsultasi dengan pengambil keputusan decision makers yang kemudian akan menghasilkan nilai rasio yang dimasukkan kedalam masing-masing peta kriteria criterion map. Bobot tersebut merefleksikan preferensi relatif dari satu kriteria dengan kriteria yang lain. Dalam hal ini bobot dapat diekspresikan dalam sebuah vektor kardinal atas preferensi kriteria ternormalisasi sebagai berikut: Normalisasi dimaksudkan untuk memperoleh total bobot sama dengan 1 atau 100, tergantung apakah akan dipresentasikan dalam prosentase atau rasio. Cara lain untuk mengekspresikan preferensi adalah mengkaitkan dengan skor kriteria. Dengan demikian akan dapat ditentukan batas nilai minimum maupun maksimumnya atau tingkat aspirasi yang diinginkan Jankowski, 1995. Pendekatan yang kedua ini lebih cocok untuk diterapkan pada kendala-kendala lokasi Aminu, 2007. 70 18 18 95 30 30 33 33 52 18 18 18 18 18 18 18 18 18 95 95 95 95 95 95 95 95 95 52 0 77 12 12 15 15 34 77 77 77 77 77 77 77 77 77 0,675 0,000 0,000 1,000 0,156 0,156 0,195 0,195 0,442 � � � � Peta nilai minimum Peta nilai maksimum Peta kriteria � � � � Peta kriteria yang telah distandarisasi � � � � - - Penentuan bobot atau tingkat kepentingan masing-masing faktor biasanya dilakukan diluar perangkat lunak GIS meskipun ada beberapa perangkat lunak GIS yang telah memiliki fasilitas tersebut dalam salah satu modulnya Jankowski, 1995. Ada beberapa teknik untuk menentukan bobot kriteria. Beberapa yang paling populer adalah: metode ranking, metode rating, dan metode perbandingan berpasangan. Karakteristik umum dari metode-metode tersebut adalah bahwa semuanya melibatkan pertimbangan subyektif dari pengambil keputusan terkait dengan kepentingan relatif dari faktor-faktor keputusan. Ide dasar dari metode rating adalah mengatur kriteria dalam urutan menurut kepentingan relatifnya. Kriteria diurutkan mulai dari yang paling penting sampai yang kurang penting. Setelah ranking disusun, beberapa prosedur untuk menghitung bobot numerik dapat digunakan. Salah satu metode yang paling sederhana adalah mengurutkan jumlahnya sebagaimana ditunjukkan dalam formula berikut ini: ∑ Dimana adalah bobot yang telah dinormalisasi untuk faktor ke-j, n adalah jumlah faktor yang dipertimbangkan dan adalah posisi urutan dari faktor. Contoh dari perhitungan nilai ranking diperlihatkan pada Tabel 2-6. Tabel 2-6 Contoh Prosedur Straight Rank Weighting Ranking Bobot ∑ Bobot setelah dinormalisasi 1 5 0.333 2 4 0.267 3 3 0.200 4 2 0.133 5 1 0.067 Jumlah 15 1 Sumber: Rapaport dan Snickars 1998; Jankowski 1995 Metode rangking adalah metode pembobotan kriteria yang paling sederhana. Hal ini kemudian mendatangkan kritik dari banyak pakar keputusan karena ketiadaan dasar teori untuk mengintepretasikan tingkat kepentingan dari kriteria Malczewski, 1999. Kelompok kedua metode pembobotan adalah metode rating. Ada dua pendekatan yang umum digunakan: prosedur point allocation dan prosedur ratio estimation. Karakteristik umumnya adalah bahwa pengambil keputusan memiliki total poin, biasanya 100 yang diinginkan untuk didistribusikan diantara kriteria keputusan bergantung dengan tingkat kepentingannya. Faktor yang lebih penting akan mendapatkan skor yang lebih tinggi dan faktor yang tidak memiliki kepentingan terhadap keputusan akan diberikan nilai 0. Metode ini mirip dengan alokasi budget pada sebuah perusahaan. Pada pendekatan alokasi poin disini digunakan skala 0 sampai 100 atau 0 sampai 10. Poin-poin ini kemudian ditransformasikan kedalam bobot yang berjumlah 1. Prosedur estimasi rasio sebagimana yang ditunjukkan pada Tabel 2-7 merupakan modifikasi dari metode alokasi poin. Kriteria yang paling penting diberikan nilai 100 dan atribut-atribut yang lainnya diberikan nilai yang lebih kecil proporsional dengan tingkat kepentingannya. Rasio yang terkecil digunakan sebagai dasar untuk menghitung rasio. Setiap nilai kriteria dibagi oleh nilai yang terendah dan kemudian bobot di-normalisasi dengan membagi masing-masing bobot dengan total bobotnya. Mirip dengan metode rangking, metode rating tidak memiliki dasar teoritis dan formal karena makna dari bobot sulit untuk dijustifikasi Malczewski, 1999. Tabel 2-7 Penilaian Bobot dengan Menggunakan Prosedur Estimasi Rasio Ranking Skala estimasi ratio Bobot asli Bobot setelah dinormalisasi 1 100 6.667 0.333 2 75 5.000 0.250 3 70 4.667 0.233 4 40 2.667 0.133 5 15 1.000 0.050 Jumlah 15 20 1.000 Metode berikutnya adalah Analytical Hierarchy Process AHP yang diusulkan oleh Saaty 1980 yang menggunakan metode perbandingan berpasangan untuk pembobotan kriteria. Metode ini memiliki tiga langkah penting. Pertama, dilakukan perbandingan berpasangan untuk kriteria dan hasilnya dimasukkan kedalam sebuah matrik perbandingan. Nilai sel matrik bernilai 1 sampai dengan 9 dan fraksi dari 19 sampai ½ yang merepresentasikan tingkat kepentingan satu faktor dengan faktor yang lain secara berpasangan. Nilai dari matrik harus konsisten, yang mana berarti jika a dibandingkan dengan b mendapatkan skor 5 kepentingan kuat, b dibandingkan dengan a seharusnya memiliki skor 15 sedikit tidak penting. Kriteria yang dibandingkan dengan dirinya sendiri mendapatkan nilai 1 sama penting. Langkah berikutnya adalah menghitung bobot kriteria. Pertama-tama nilai dari masing-masing kolom dijumlahkan dan setiap elemen dalam matrik dibagi dengan jumlah kolom dari masing-masing kolom. Matrik yang baru kemudian disebut sebagai matrik perbandingan berpasangan yang telah dinormalisasi. Yang terakhir, rata-rata elemen pada masing-masing baris matrik yang telah dinormalisasi dikalkulasi. Selanjutnya rasio konsistensi dihitung dalam upaya untuk memastikan apakah perbandingan kriteria yang dibuat oleh pengambil keputusan sudah konsisten atau belum. Bobot yang diperoleh berdasarkan metode ini diinterpretasikan sebagai rata-rata semua bobot yang mungkin. Metode perbandingan berpasangan tersebut diilustrasikan pada Tabel 2-8. Metode AHP ini lebih canggih dibandingkan dengan yang sebelumnya. Namun metode ini masih tetap mendatangkan kritik terkait dengan cara untuk memperoleh rasio tingkat kepentingan. Kuisioner menanyakan tentang kepentingan relatif dari kriteria tanpa melihat skala pengukurannya. Kritik yang lain adalah terkait dengan semakin hanyak kriteria yang digunakan semakin sulit untuk memperoleh konsistensi yang yang memenuhi syarat. Namun kelebihannya adalah bahwa metode ini hanya membutuhkan 2 kriteria untuk dibandingkan pada saat yang sama Malczewski, 1999. Pada saat memilih metode tertentu, sebaiknya dipertimbangkan pemahaman pengambil keputusan terhadap permasalahan dan kemampuan dalam bidangnya. Akurasi yang diinginkan dan hasil hasil versus kesederhanaan metode adlah juga faktor yang patut untuk dipertimbangkan dalam pemilihan metode. Malczewski 1999 menyatakan bahwa metode perbandingan berpasangan adalah lebih tepat digunakan jika akurasi dan dasar teoritis menjadi titik perhatian. Metode rangking dan rating digunakan ketika kemudahan penggunaan, waktu dan biaya merupakan pertimbangan yang utama. Yang perlu diperhatikan juga adalah semakin canggih sebuah metode yang digunakan, semakin kurang transparan proses yang dilakukan untuk publik Malczewski, 1999. Tabel 2-8 Ilustrasi Metode Pembandingan Berpasangan Sumber: Saaty 1980 Teori keputusan yang lain yang mirip dengan AHP adalah Analytical Network Process ANP. Thomas Saaty yang telah mengenalkan AHP mengembangkan kerangka yang lebih maju untuk menentukan prioritas yang dikenal sebagai Analytical Network Process ANP. ANP memiliki perbedaan dengan AHP dalam hal proses perbandingan berpasangan yang dilakukan agar supaya model keputusan yang dibuat dapat dibangun sebagai jaringan kerja yang melibatkan decision objective, kriteria, pihak-pihak yang berkepentingan, alternatif, skenario dan faktor-faktor lingkungan yang lain yang mempengaruhi satu prioritas dengan prioritas yang lainnya. Konsep kunci dari ANP adalah bahwa pengaruh tidak selalu harus mengalir ke bawah sebagaimana yang dilakukan dalam AHP. Pengaruh dapat mengalir diantara faktor-faktor dalam jaringan yang menyebabkan hasil prioritas yang non linier dari pilihan alternatif. Sebagai contoh, ketika pengambil keputusan meningkatkan bobot kriteria, alternatif mulai mendapatkan prioritas yang lebih tinggi, namun apabila bobot kriteria tersebut semakin tinggi, efek umpan balik dari dari jaringan kenyataannya menyebabkan alternatif mulai mendapatkan prioritas yang semakin rendah. Kedua metode, baik AHP maupun ANP menggunakan skala prioritas untuk elemen-elemen maupun kelompok elemen dengan membuat perbandingan berpasangan dari elemen-elemen tersebut. Meskipun banyak permasalahan keputusan paling baik untuk dikaji dengan menggunakan ANP, namun tetap harus dibandingkan antara hasil yang diperoleh dengan menggunakan AHP atau Langkah III a b c a b c Bobot a 1 4 8 0.725 0.769 0.571 0.688 b 0.25 1 5 0.181 0.192 0.357 0.244 c 0.13 0.2 1 0.094 0.038 0.071 0.068 Jumlah 1.380 5.200 14.000 1.000 1.000 1.000 1.000 Langkah I Langkah II pendekatan keputusan yang lain dengan mempertimbangkan hasil, usaha yang dilakukan serta akurasi dan relevansi dari hasil. ANP sangat berguna dalam pemodelan prediktif dimana pengaruh sistem yang lebih luas dapat difaktorkan dalam keputusan. Aplikasi terbaik dari ANP adalah pada keputusan-keputusan dimana risiko dan ancaman merupakan faktor utama dalam proses pengambilan keputusan, dan keberhasilan organisasi sangat tergantung pada pemahaman yang menyeluruh tentang keseluruhan sistem dan bukan hanya tujuan dan sasaran bisnis semata Aminu, 2007. Bentuk umum dari analytical network process ANP super matrix dapat dijelaskan pada Gambar 2-30. Gambar 2-30 Struktur Umum Super Matrix Dimana CN menunjukkan klaster ke-N, eNn menunjukkan elemen ke n dalam klaster ke-N, dan blok matriks Wij terdiri dari kumpulan vektor bobot prioritas w yang mempengaruhi elemen-elemen dalam klaster ke i . Jika klaster ke-i tidak memiliki pengaruh pada klaster ke-j, maka Wij = 0. Matrik yang diperoleh pada langkah ini disebut sebagai super matriks awal. 2.4.5.3.5 Decision Rules Langkah berikutnya adalah menyusun semua alternatif yang diperoleh dalam tabel keputusan menurut kinerjanya. Metode untuk mengagregasi skor alternatif disebut sebagai decision rule. Tabel keputusan disusun dari kriteria evaluasi dan atributnya untuk setiap alternatif yang layak. Tabel keputusan dapat ditulis dalam sebuah matriks seperti berikut: [ ] Dimana, i = alternatif j = kriteria Matriks tersebut selanjutnya dikalikan dengan vektor bobot untuk mendapatkan nilai dari masing-masing alternatif. Cara paling mudah adalah dengan menggunakan metode simple additive weighting SAW dengan menjumlah hasil perkalian tersebut untuk setiap alternatif. SAW meranking alternatif dari yang terbesar sampai yang terkecil demikian juga sebaliknya dilakukan inverse additive weighting jika yang terbaik adalah yang memiliki nilai yang terkecil. Gambar 2-31 Metode Additive Weighting Sederhana pada Data Raster 70 18 18 0.675 0.000 0.000 0.75 0.506 0.000 0.000 95 30 30 1.000 0.156 0.156 0.750 0.117 0.117 33 33 52 0.195 0.195 0.442 0.146 0.146 0.331 0.506 0.000 0.210 7 1 2 0.750 0.347 0.327 8 4 3 0.376 0.376 0.541 5 5 6 25 25 4 0.000 0.000 0.840 0.25 0.000 0.000 0.210 25 2 4 0.000 0.920 0.840 0.000 0.230 0.210 2 2 3 0.920 0.920 0.840 0.230 0.230 0.210 PETA SKOR KRITERIA PETA KRITERIA TERSTANDARISASI PETA KRITERIA TERBOBOT PETA SKOR KESELURUHAN PETA RANKING

2.4.6 Model Lintasan Terpendek Shortest Path