penjagaan dan pengawasan dilakukan oleh pihak bulking station. Untuk menjaga dan menjamin kualitas dari produk yang disimpan, pihak bulking station harus
melakukan tindakan-tindakan yang perlu dan sesuai. Menurut Pahan 2010 ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada
pengapalan komoditas CPO ini, antara lain, bentuk perdagangan commercial term
yang digunakan, pelaku dalam sistem pengapalan dan kapal pengangkut.
a. Bentuk Perdagangan
Bentuk perdagangan yang umum digunakan pada perdagangan CPO di Indonesia yaitu free on board FOB dan Cost Insurance and Freight CIF Pahan, 2010.
Pada FOB, kewajiban penjual dalam jenis transaksi ini yaitu menyediakan dan memasukkan barang ke kapal dalam kuantitas, kualitas dan tempat yang
disepakati. Namun, penjual harus menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kelancaran proses transaksi, termasuk dokumen ekspor. Kewajiban pembeli
dalam hal ini yaitu mencari kapal, menyediakan ruangan dalam kapal, menetapkan pelabuhan, menginformasikan waktu sandar, serta menanggung
semua biaya dan risiko terhadap barang sejak melewati bibir tanki termasuk pembongkarannya. Bentuk-bentuk perdagangan yang lainnya, dapat dilihat pada
Gambar 2-7 yang dikutip dari International Chamber of Commerce ICC. Pada CIF, kewajiban penjual menyediakan seluruh fasilitas agar barang
yang diperdagangkan sampai di pelabuhan tujuan yang dijanjikan. Namun, risiko bukan biaya selama pengangkutan menjadi tanggung jawab pembeli yang
dilimpahkan ke asuransi atas biaya penjual. Kewajiban pembeli yaitu melakukan pembongkaran serta pengurusan seluruh dokumen yang diperlukan.
b. Pelaku dalam Sub-Sistem Pengapalan
Pengapalan merupakan titik peralihan pemilikan, tanggung jawab, biaya dan lain- lain dari pihak penjual ke pihak pembeli. Dalam unsur ini, banyak yang terlibat
seperti pihak pengapal shippers, pemilik kapal ship owner, perantara broker, agen pengapalan, surveyor, dan pembeli yang saling terkait. Ketimpangan pada
salah satu mata rantai ini akan menyebabkan kericuhan dalam seluruh sistem.
Gambar 2-7 Titik Serah Barang dalam Perdagangan Internasional
c. Kapal Pengangkut
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terhadap kapal yang akan disewa, antara lain: 1 Kesesuaian kapal untuk perdagangan minyak sawit, termasuk
negara pemilik nationality, bendera tempat kapal terdaftar flag, umur kapal, jenis tanki dan pelapisannya, serta ukuran tanki dan pompa; 2 Pemilik kapal
terbiasa dengan terminologi kebersihan sawit. Awak kapal secara kesatuan menyadari fungsi mereka sebagai pembawa dan pemelihara barang yang dibawa.
Disamping itu, pemilik kapal juga paham tentang lay days kelambatan penundaan dan praktik sesuai dengan kontrak perdagangan minyak sawit. Dalam
hal ini berlaku ketentuan the last three cargo yang berarti dipersyaratkan kapal tersebut hanya mengangkut MKS pada 3 pelayaran sebelumnya; 3 Kapal harus
terklasifikasi, disertifikasi, dan diasuransikan dengan baik dan 4 Produk dalam kapal harus dihindari dari kontaminasi logam berat .
Meskipun penjualan minyak sawit Indonesia umumnya dilakukan secara FOB, tidak berarti bahwa penjual dapat sesukanya memuat barang ke dalam tanki
yang sudah ditunjuk oleh penjual. Penjual tetap memiliki kewajiban untuk memeriksa kesiapan dan kebersihan kapal untuk memuat minyak yang
diperdagangkan. Jika ditemukan tanki kapal yang tidak layak digunakan untuk memuat minyak sawit, penjual wajib memberitahukan kepada pembeli. Keputusan
pemuatan ada di tangan pembeli dengan risiko pada pembeli pula.
2.2.5 Potensi Pengembangan
Dalam konsep pertanian yang holistik, dianut pandangan bahwa setiap bagian tanaman sejak panen dapat dijadikan bahan dasar industri secara berantai
Pahan, 2010. Paham ini melahirkan efek berganda multiplier effects yang disebut pohon industri pertanian. Pohon industri kelapa bisnis kelapa sawit secara
umum digambarkan pada Gambar 2-8 Deperin, 2011.
Gambar 2-8 Pohon Industri Kelapa Sawit
Menurut data dari Departemen Perindustrian RI, hingga tahun 2009 baru diproduksi sekitar 23 jenis produk turunan CPO di Indonesia Indagro, 2009.
Mengingat potensi minyak sawit Indonesia saat ini dan ditambah realisasi produksi CPO tahun 2011 yang telah mencapai 23 juta ton dan bahkan target 50
juta ton pada tahun 2020, maka sudah selayaknya diversifikasi produk turunan CPO ditingkatkan. Dengan pengolahan CPO ini menjadi berbagai produk turunan,
maka akan memberikan nilai tambah lebih besar lagi bagi negara karena harga relatif mahal dan stabil. Penggunaan CPO untuk industri hilirnya di Indonesia saat
ini masih relatif rendah yaitu baru sekitar 35 dari total produksi Indagro, 2010. Nilai tambah ekonomi baik nilai tambah bisnis maupun nilai tambah
teknis produk turunan CPO sangat bervariasi, tergantung dari harga bahan baku, tingkat kesulitan dalam ekstraksi produk, dan harga produk turunan di pasar.
TANDAN BUAH SEGAR Proses di
PMKS Inti Sawit
Crushing extractin
Bungkil inti sawit Blending
Pakan Ternak
Minyak inti sawit Fractionation
and Refining Refining
Splitting Minyak kelapa sawit
Olein Stearin
Confectionery fats
Margarines Hydrogenation
H.P.K.O. H.K.O. olein
Margarines Confectioneries
Filled milk Ice cream
Biscuit creams Fuel
Sisa-sisa TBS
Confectioneries Coffee whitener
Filled milk Coating fats
Fatty acids
Fatty Alcohols
Amines Amides
Glycerol Emulsifiers
Humectants explosives
Refining RBD
PO Margarines
Shortenings Vanaspati
Fryng fats Ice cream
Fractionation and refining
RBD olein
RBD stearin
Frying cooking
Shortenings Margrines
Shortenings margarines
Palm midraction
Biodiesel Blending
Cocoa butter equivalent
Soaps Splitting
Fatty acids Soaps
Food emulsifiers dll
Pupuk arang aktif
Technical uses soaps
dll
Namun, yang pasti, semakin dapat dimanfaatkandibutuhkan produk turunan tersebut, nilai tambahnya akan semakin tinggi. CPO yang diolah menjadi sabun
mandi menghasilkan nilai tambah sebesar 300 persen, apalagi kalau diproses untuk menghasilkan kosmetik, nilai tambahnya akan meningkat mencapai 600
persen Tabel 2-3 Nilai tambah CPO jika diolah menjadi minyak goreng sawit sebesar 60 persen, sedangkan jika menjadi margarin mencapai 180 persen
Kemenperin, 2011. Oleh karena itu, pemerintah terus berusaha mendorong pengembangan
produk turunan CPO, baik untuk keperluan bahan baku industri pangan maupun non pangan. Produk pangan yang dapat dihasilkan dari CPO dan PKO, seperti
emulsifier , margarine, minyak goreng, shortening, susu full krim, konfeksioneri,
yogurt, dan lain-lain. Sedangkan produk non pangan yang dihasilkan dari CPO dan PKO, seperti epoxy compound, ester compound, lilin, kosmetik, pelumas,
fatty alcohol , biodiesel, aviation biofuels Venkataramani, 2011 dan lain-lain.
Tabel 2-3 Jenis Industri, Perkiraan Nilai Investasi dan Nilai Tambah Industri Berbasis Minyak Sawit
2.2.6 Strategi Pengembangan Industri Hilir CPO
Departemen perindustrian 2009 telah membuat road map pengembangan industri CPO Nasional. Strategi pengembangan industri CPO yang telah
dirumuskan berfokus pada produk IHKS yang bernilai tambah tinggi melalui pengembangan klaster industri kelapa sawit. Adanya klaster industri berbasis
sawit ini diharapkan dapat memperkuat keterkaitan pada semua tingkatan rantai
No Produk
Bahan Baku TingkatTtekn
ologi Perkiraan Investasi
Pertambahan Nilai
1 Olein stearin CPO
Menengah 20
2 Fatty acids CPO, PKO, katalis
Tinggi 200 - 700 miliar
50 3 Ester
Palmitat, miristat Tinggi
100 - 500 miliar 150
4 Surfactant emulsifier Stearat, oleat, sorbitol, gliserol Tinggi
200 - 700 miliar 200
5 Sabun mandi CPO, PKO, NaOH,
pewarna, parfum Sederhana
Mulai kurang dari 1 milar 300
6 Lilin Stearat
Sederhana Mulai kurang dari 1 milar
300 7 Kosmetik lotion, cream bedak,
shampoo Surfaktan, ester, amida
Sederhana 1 - 200 miliar
600
Sumber ; Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, 2007
nilai value chain dari industri hulunya dan mampu meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai dengan membangun visi dan misi yang selaras.
Terdapat empat kelompok industri yang harus dikembangkan untuk mengoptimalkan nilai tambah yang diperoleh dari kelapa sawit Indagro, 2009
sebagaimana yang tergambar pada Gambar 2-9. Yang pertama adalah industri pemasok yang menghasilkan bahan baku industri yaitu CPO dan PKO. Yang
kedua merupakan kelompok industri inti yang berada pada tahap kedua dari klaster ini yaitu antara lain industri Fatty Acid, Fatty Alcohol dan Biodiesel.
Ketiga adalah industri-industri dalam kelompok industri terkait seperti industri minyak goreng, shortenings, surfaktan, dan lain sebagainya. Yang terakhir adalah
industri yang berada dalam kelompok industri pendukung seperti industri kemasan, metanol, hidrogen, katalis dan bahan kimia lainnya. Dengan
berkembangnya keempat kelompok industri ini dan dibarengi dengan peningkatan infrastruktur pelabuhan, jalan dan utilitas serta insentif dan regulasi yang tepat,
diharapkan dapat mendukung industri kelapa sawit nasional yang berkelanjutan.
Gambar 2-9 Strategi Pengembangan Industri Hilir Minyak Kelapa Sawit IHKS
Pasar Domestik Ekspor
Oleofood, Oleochemical Bioenergi
IHKS Nasional Berkelanjutan
Peningkatan Daya Saing IHKS Peningkatan Ketahanan
Pangan dan Energi Nasional Peningkatan Perolehan Devisa
Peningkatan Nilai Tambah Penciptaan Lapangan Kerja
Industri Pemasok
CPO PKO
Industri Inti
Refinery, Fraksinasi, Fatty Acid, Fatty
Alcohol, Biodiesel
Industri Terkait
Minyak Goreng, Margarine, Shortening,
SurfaktanEmulsifier, Shoapchip, Sabun
Ditergen, dll
Industri Pendukung
Industri Kemasan, Industri Metanol.
Hidrogen, Katalis Bahan Kimia Lainnya
Infrastruktur Pelabuhan, Jalan
Utilitas Insentif dan
Regulasi Pusat, Daerah
PENGEMBANGAN IHKS Institusi Pendukung
Lembaga Pendidikan, Lembaga Penelitian, Perbankan Grand Strategi Pengembangan IHKS
Pengembangan IHKS melalui pendekatan klaster untuk meningkatkan nilai tambah kelapa sawit dan mendorong produk hilir kelapa sawit Indonesia menjadi beragam produk unggulan Dunia
Fokus Pengembangan
· Fokus pada produk IHKS yang memiliki nilai tambah
tinggi · Fokus pada pengembangan
klaster IHKS di Sumut, Riau dan Kaltim
· Perbaikan infrastruktur
Insentif
· Subsidi bunga untuk pengembangan IHKS baru
· Keringanan perpajakan dan insentif lainnya untuk
pengembangan IHKS
Pengembangan R D
· Penyiapan SDM · Fokus pada produk IHKS
yang bernilai tambah tinggi · Kolaborasi riset antara
perguruan tinggi, Lemlitbang dan Industri
Pengembangan Pasar
· Pengembangan pasar domestik dan luar negeri
· Pembangunan citra produk IHKS Indonesia
· Promosi dan kampanye produk IHKS Indonesia
Kebijakan Pengembangan IHKS yang Fokus dan Konsisten pada ProdukIHKS yang Bernilai Tambah Tinggi
2.3 Pengembangan Industri dan Distribusi
2.3.1 Lokasi Industri
Apabila pada suatu daerah tidak ada jaringan transportasi atau biaya transportasinya sangat tinggi, daerah tersebut terpaksa menggantungkan dirinya
pada hasil-hasil produksi dari sumber alamnya sendiri. Akan tetapi, bila transportasi tersedia atau transportasi relatif murah, maka akan memungkinkan
adanya spesialisasi dan pembagian kerja antar daerah. Dengan adanya pembagian kerja antar daerah, suatu negara atau suatu daerah akan dapat menspesialisasikan
pada satu atau produk tertentu sesuai dengan keadaan tanah, iklim, ketrampilan tenaga kerja, sumber-sumber alam atau bahan mentah, dan sebagainya. Hal itu
merupakan cara yang paling tepat dan paling menguntungkan serta menimbulkan keunggulan kompetitif. Biaya transportasi yang relatif murah akan mendorong
produksi berskala besar yang relatif murah juga, serta akan mendorong produksi berskala besar economies of scale pada suatu daerah tertentu sehingga barang
dapat dihasilkan secara lebih ekonomis Nasution, 2008. Sampai seberapa spesialisasi atas pembagian kerja pada suatu daerahlokasi tertentu akan sangat
bergantung pada sampai dimana keuntungan ekonomis dapat diperoleh, yang melebihi biaya transportasi barang sampai di pasar. Dengan demikian kuantitas
dan kualitas jaringan dan infrastruktur transportasi yang memunuhi kebutuhan akan menentukan keberhasilan pengembangan industri maupun kawasan industri
yang dikembangkan pada daerah tertentu. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, salah satu faktor yang
memegang peranan utama dalam penetapan lokasi industri atau kegiatan ekonomi lainnya adalah besarnya biaya transportasi. Hal tersebut disebabkan biaya
transportasi merupakan salah satu komponen biaya produksi Arcelus, 1989; Artikis, 1993. Apabila biaya transportasi lebih murah, akan mengakibatkan biaya
produksi lebih rendah dan harga produk juga bisa lebih rendah sehingga menambah daya saing produk dan memperluas lokasi daerah pemasaran.
Hubungan antara biaya produksi di dalam negeri dengan harga penawaran ke luar
negeri ditambah dengan biaya transportasi, akan menentukan apakah suatu barang akan diekspor, diimpor atau dipasarkan di dalam negeri sendiri Nasution, 2008.
Besar kecilnya biaya transportasi yang merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam penentuan lokasi pengembangan suatu industri akan
sangat bergantung pada berat barang yang diangkut. Bila bahan baku lebih berat dibandingkan dengan barang jadi, maka sebaiknya dipilih lokasi dekat dengan
bahan baku zone material oriented. Sebaliknya, bila berat bahan baku lebih ringan dibandingkan dengan barang jadi, pilihan lokasi cenderung dekat pasar
market oriented, sedangkan bila bahan baku dan barang jadi relatif sama berat, maka lokasi industri yang dipertimbangkan sebaiknya berada di lokasi bahan baku
dan pasar intermediate oriented Reid, 1966; Schiele, 2008; Chapman, 2009. Sehubungan dengan pengaruh biaya transportasi untuk pemilihan lokasi
industri, Von Theunen merupakan orang yang pertama kali mengembangkan model analitis dasar yang menghubungkan antara pasar, produksi dan jarak
Rodrigue, 2011. Untuk tujuan tersebut, Von Theunen mengkaji kasus pada bidang pertanian. Menurut Theunen, biaya transportasi relatif untuk komoditas
pertanian yang berbeda-beda menuju ke pusat pasar ditentukan oleh penggunaan lahan di sekitar pasar. Aktivitas yang paling produktif akan dikuasai oleh lahan-
lahan yang memiliki jarak yang paling dekat ke pasar sementara aktivitas yang tidak produktif berlokasi jauh dari daerah pasar.
2.3.2 Distribusi Fisik
Dalam sistem distribusi menunjukkan adanya kaitan antar kegiatan dimana kegiatan transportasi berperan sebagai mata rantainya. Transportasi berfungsi
sebagai jembatan yang menghubungkan produsen dengan konsumen, meniadakan jarak diantara keduanya Khisty dan Lall, 2002. Jarak tersebut bisa dinyatakan
sebagai jarak waktu maupun jarak geographis. Jarak waktu timbul karena barang yang dihasilkan hari ini mungkin belum digunakan sampai besok, atau bulan
depan, atau tahun depan. Jarak atau keseimbangan ini dijembatani melalui pergudangan dengan teknik tertentu untuk mencegah kerusakan barang yang
bersangkutan Koo dan Larson, 1985.
Transportasi erat kaitannya dengan pergudangan dan penyimpanan Crainic dan Laporte, 1997 karena keduanya meningkatkan manfaat barang.
Angkutan menyebabkan barang dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain sehingga dapat diperoleh di tempat yang tidak memiliki barang tersebut,
dengan demikian dapat menciptakan manfaat tempat place utility. Penyimpanan atau pergudangan juga memungkinkan barang disimpan sampai dengan waktu
dibutuhkan , dan ini berarti memberikan manfaat waktu time utility.
2.3.3 Sistem Logistik Nasional dan Industri Kelapa Sawit
Dalam kebijakan perdagangan pemerintah saat ini, telah telah ditentukan 10 sepuluh ”Produk Utama”, terkait dengan perdagangan internasional ekspor,
yaitu: Tekstil, Elektronika, Karet dan Produk Karet, Kelapa Sawit dan Produk Kelapa Sawit, Produk Hasil Hutan, Alas Kaki, Otomotip, Udang dan Kakap dan
juga terdapat 10 sepuluh “Produk Potensial”, yaitu Makanan Olahan, Perhiasan,
Kerajinan, Ikan dan Produk Perikanan, Rempah-rempah, Kulit dan Produk Kulit, Peralatan Medis, Peralatan Kantor, Minyak Atsiri, dan Tanaman Obat Tamboen,
Dewandhono et al., 2008. Dalam mengembangkan sistem logistik nasional termasuk penentuan jenis
dan letak geografis dari jaringan infrastruktur pendukung kegiatan logistik, misalnya pelabuhan, jalan raya, dan lain-lain, kebijakan ini harus
dioperasionalkan lagi dengan menentukan volume dan arus barang yang terkait dengan produk-produk utama dan potensial tersebut karena unsur penentu suatu
rancangan rantai suplai dan jaringan logistik adalah “volume” atau berat dari
komoditas yang “dibawa”-nya. Untuk itu, adalah suatu tantangan bagi pemerintah untuk menentukan volume dari komoditas penentu ini sehingga sistem logistik
nasional dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang benar. Komoditas penentu key commodities dari seluruh kegiatan logistik di Indonesia utamanya
ditentukan berdasarkan volume atau berat dari komoditas tersebut, bukan nilaiharganya Tamboen, Dewandhono et al., 2008. Komoditas atau industri
penentu tersebut merupakan indikator kunci dalam menilai kinerja sektor logistik WorldBank, 2012.
Dalam menyusun kebijakan logistik nasional dibedakan 2 dua kepentingan logistik. Pertama adalah strategi logisitik untuk komoditi ekspor dan
kedua, strategi logistik untuk komoditas domestik. Untuk komoditas ekspor, sesuai acuan yang dipakai oleh Departemen Perdagangan, yaitu “10 produk
Utama dan “10 Produk Potensial”. Dari sisi logistik khususnya terkait dengan
metoda pengangkutan, produk-produk tersebut dapat di kelompokkan menjadi: Bahan Baku BBM dan Gas, Minyak Kelapa Sawit CPO, Batu Bara, Hasil
Industri Dalam Kontainer, Komoditas Dalam Kontainer, dan Hasil Laut. Minyak Kelapa Sawit dalam bentuknya yang cair akan melibatkan tangki-
tangki penimbunan dan alat angkut yang tidak dapat dicampur untuk penggunaan cairan lain Pahan, 2010. Mengingat luasnya lahan Kelapa Sawit dan pusat-pusat
proses pengolahan minyak Kelapa Sawit tersebar dibeberapa tempat yang berjauhan, maka solusi logistiknya akan mencakup pengangkutan intermodal
menggunakan beberapa modal transportasi, dengan melibatkan pipanisasi, truk pengangkut truk tangki, kemudian kapal tangki pengangkut atau containerized
tanks dengan kapal container biasa.
2.4 Analisis Spasial dalam Pengembangan Industri
2.4.1 Konsep Spasial
Proses perencanaan pengembangan industri mau tidak mau harus berurusan dengan bagian-
bagian perencanaan yang memiliki sifat “keruangan” spasial. Industri atau sekumpulan industri akan berada pada sebuah ruang di permukaan
Bumi. Oleh karenanya dalam analisis perencanaan pengembangan industri, analisis yang menyangkut objek-objek dan sistem keruangan atau analisis spasial
menjadi sangat penting. Industri harus ditempatkan pada ruang yang optimal sesuai dengan daya dukung lahan yang ditempati dan mempertimbangkan aspek
efisiensi dan efektivitas berdasarkan analisis teknis, ekonomis dan sosial wilayah. Menurut Rustiadi, Saefulhakim et al. 2011
Istilah “ruang” lebih dilihat sebagai tempat kehidupan, dengan demikian pengertian ruang merupakan
biosphere yang terdiri atas sebagian dari geosphere permukaan kulit bumi hingga
kedalaman kira-kira 3 meter dalam tanah dan 200 meter di bawah permukaan laut dan sebagian dari atmosphere hingga kira-kira 30 m diatas permukaan tanah
Rustiadi, Saefulhakim et al., 2011. Konsep ruang kehidupan biosphere ini belakangan diubah disesuaikan batasnya menjadi ruang yang didasarkan pada
kemampuan teknologi manusia dalam mengakses dan memanfaatkan sumber daya yang ada di alam, sehingga menjangkau ruang yang jauh melebihi batasan-batasan
sebelumnya. Dari sudut pandang geografi, spasial atau ruang merupakan segala hal
yang menyangkut lokasi atau tempat. Definisi suatu “tempat” atau lokasi secara geografi sangat jelas, tegas dan terukur karena setiap lokasi di atas permukaan
Bumi dapat diukur secara kuantitatif melalui sistem koordinat geografis Church, 2002. Ruang lingkup kajian dari ilmu geografi lebih banyak menekankan pada
bagaimana mendeskripsikan fenomena spasial, oleh karena itu ilustrasi-ilustrasi spasial dengan peta yang memiliki informasi spasial yang akurat di dalamnya
menjadi sangat penting Longley, Goodchild et al., 2010. Sementara dari perspektif ilmu sosial-ekonomi, aspek spasial hanya memiliki makna jika ada
kejelasan masalah didalamnya. Segala aspek spasial yang dijelaskan dalam ilmu geografi hanya akan memiliki arti spasial dalam kacamata ilmu sosial-ekonomi
jika ada masalah dan ada pemahaman sosial-ekonomi didalamnya Rustiadi, Saefulhakim et al., 2011.
Diperkirakan bahwa kurang lebih 80 dari data yang digunakan oleh para manajer dan pengambil keputusan terkait dengan elemen geografis Worrall,
1991, demikian juga dapat dirasakan bahwa dimensi spasial mewarnai hampir semua aspek kehidupan manusia di Dunia. Hukum Geografi Pertama dari
“Tobler” mengatakan bahwa “setiap hal memiliki keterkaitan dengan hal lainnya, namun yang lebih berdekatan memiliki keterkaitan lebih dari yang lainnya”
Tobler, 1970. Lebih lanjut Rajabidfard, Abbas et al. 2000 menekankan kembali pentingnya peranan posisi lokasi geografis sebagaimana yang dinyatakan
oleh hukum geografi pertama dari Tobler yaitu, a pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai lokasi dari suatu aktifitas, akan memungkinkan untuk
mengidentifikasi hubungannya dengan aktifitas yang lain atau elemen yang lain dalam daerah yang sama atau lokasi yang berdekatan; dan 2 Keberadaan sesuatu
dalam ruang lokasi memungkinkan diperhitungkannya jarak, pembuatan peta, dan pengambilan keputusan spasial yang bersifat kompleks. Penggunaan analisis
numerik dan statistik dalam memahami pola spasial dari fenomena alam dan buatan manusia untuk tujuan tertentu atau untuk pengambilan keputusan tertentu
adalah merupakan domain dari analisis spasial Goodchild, 1987.
2.4.2 Data dan Sistem Informasi Geografis
2.4.2.1 Data Geografis
Data dan Sistem informasi yang berbasiskan keruangan pada saat ini merupakan salah satu elemen yang penting, karena berfungsi sebagai pondasi dalam
melaksanakan dan mendukung berbagai macam kegunaan. Sebagai contoh, dalam bidang lingkungan hidup, perencanaan pembangunan, tata ruang, manajemen
logistik dan transportasi, pengairan, sumber daya mineral, sosial dan ekonomi, maupun untuk pengembangan industri.
Sebagai objek analisis, data dan informasi spasial memiliki karakteristik tertentu dan memerlukan pendekatan khusus dalam analisisnya dibandingkan
dengan data dan informasi non-spasial Rustiadi, Saefulhakim et al., 2011. Data geografis merupakan salah satu bentuk dari data spasial Aronoff, 1989. Data
spasial yang merujuk pada lokasi di atas permukaan bumi dikenal sebagai data geografis atau data georeferensi. Terminologi data spasial dan data geografis
seringkali dipertukarkan. Data yang melekat dengan posisi di permukaan bumi data spasial atau geo-refferenced data memiliki karakteristik khusus karena sifat
alamiahnya yang memiliki korelasi spasial spatial intercorrelation. Objek-objek atau kejadian-kejadian yang terdistribusi di dalam ruang cenderung tidak saling
bebas, namun saat diterjemahkan dalam analisis statistika cenderung diasumsikan bersifat independen saling bebas untuk tujuan penyederhanaan.
Data geografis dapat disusun dalam bentuk dua tabel, yaitu tabel matriks data struktural dan matriks data interaksi [Berry 1964 dan Wilson 1974 dalam
Malczewski 1999]. Kedua bentuk matriks tersebut juga dirujuk sebagai matriks data geografis dan matriks data perilaku spasial secara berturut-turut. Tabel 2-4
menampilkan matriks data struktural. Baris dari matriks memperlihatkan entitas geografis atau unit observasi dimana data diperlukan. Tabel 2-5 memperlihatkan
matriks interaksi. Baris dan kolom sama-sama merepresentasikan entitas geografis. Xmk dalam hal ini merepresentasikan hubungan atau keterkaitan entitas
m dan entitas k. Keterkaitan ini bisa diukur atau dinilai interaksinya antara 2 entitas yang dapat diekspresikan dalam bentuk jarak, waktu dan biaya.
Tabel 2-4 Matriks Struktural
Attribut
1
Attribut
2
... Attribut
n
Entity
1
...
Entity
2
... ...
... ...
... ...
Entity
m
...
Tabel 2-5 Matriks Interaksi
Entity
1
Entity
2
... Entity
k
Entity
1
...
Entity
2
... ...
... ...
... ...
Entity
m
...
Matriks geografis adalah teknik yang paling fundamental dalam mengorganisasikan data yang digunakan dalam analisis keputusan spasial.
Sebagai contoh adalah analisis pemilihan lokasi, kesesuaian lahan, dan penggunaan lahan dapat diorganisasikan dalam sebuah matrik, dimana baris
merepresentasikan alternatif keputusan misal tempat, bidang tanah dan kolom merupakan kriteria evaluasi atau atribut-atribut sebagai dasar untuk mengevaluasi
alternatif. Serupa dengan matriks geografis, matrik interaksi menyediakan dasar untuk mengorganisasikan data untuk permasalahan lokasi dan alokasi,
permasalahan jalur terpendek, permasalahan rute, permasalahan transportasi, analisa alokasi sumber daya dan lain sebagainya.
Paling tidak ada 2 unsur dalam data spasial Maguire, Goodchild et al., 2005, antara lain: 1 Data yang mendeskripsikan secara spesifik lokasi objek
dalam ruang beserta topologinya, disebut sebagai data posisi dan topologis positional and topological data, dan 2 Data-data yang mendeskripsikan
atribut-atribut non spasial dari objek yang dimaksudkan, selanjutnya disebut sebagai data atribut atau data tematik. Data posisional atau data referensi
geografis dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk, elemen-elemen yang paling primitif dari data spasial biasanya secara geometris berupa objek-objek titik, garis,
dan area Goodchild, 1987.
2.4.2.2 Pengukuran
Secara teknis, pengukuran yang dimaksudkan disini adalah proses untuk menentukan simbol-simbol pada atribut-atribut dari objek-objek maupun kejadian.
Simbol-simbol tersebut merupakan angka atau memiliki implikasi kuantitatif. Pemodelan dalam analisis spasial tidak selalu merupakan model
kuantitatif. Model kuantitatif akan membutuhkan data kuantitatif, sementara model kualitatif akan menggunakan data kualitatif. Stevens 1964 dalam
Malczewski 1999 mengklasifikan pengukuran ini menjadi bebrapa skala kualitatif maupun kuantitatif, antara lain: a Skala kualitatif non metrik, yang
terbagi atas skala ordinal dan skala nominal; dan b Skala kuantitatif, yang terbagi atas skala interval dan skala rasio.
2.4.2.3 Informasi Geografis
Agar data spasial memiliki manfaat, data tersebut harus ditransformasikan ke dalam bentuk informasi. Ketika data telah dapat diorganisasikan dengan baik,
dipresentasikan, dianalisa dan diinterpretasikan dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan, maka data tersebut telah menjadi sebuah informasi. Dua
contoh berikut Gambar 2-10 dan Gambar 2-11 Malczewski, 1999 menggambarkan informasi yang terkait dengan entitas geograpfis dan interaksi
antar entitas secara berturut-turut.
Gambar 2-10 Konversi Data Geografis kedalam Informasi Geografis
Gambar 2-11 Contoh Data dan Informasi untuk Jumlah Interaksi Antar Entitas
2.4.2.4 Informasi dan Pengambilan Keputusan Spasial
Proses mengkonversi data menjadi informasi akan menambahkan nilai ekstra terhadap data aslinya Cassettari, 1993. Pada proses pengambilan keputusan, data
asli akan diolah sedemikian rupa dan diinterpretasikan serta dianalisa untuk mengmbil keputusan. Situasi pengambilan keputusan akan menentukan kebutuhan
dan karakteritik informasi yang dibutuhkan. Informasi yang dibutuhkan dapat berupa “hard information” maupun “soft information” atau seringkali dirujuk
sebagai informasi obyektif dan informasi subyektif secara berturut-turut
SAMPLE SITES PENGUKURAN
Asal i Tujuan l Populasi
pada i Pi
Populasi pada j
Pl Jarak i ke j
dil Jumlah
Interaksi Iil
1 2
31,000 34,000
20 589,204 1
3 31,000
57,500 122
10,843 1
4 31,000
33,500 25 332,320
1 5
31,000 27,000
30 69,794
1 6
31,000 31,000
47 63,457
1 7
31,000 102,000
83 50,381
- 100,000
200,000 300,000
400,000 500,000
600,000 700,000
20 40
60 80
100 120
140
Int e
ra k
si
Jarak
Malczewski, 1999. Informasi obyektif hard information ini dapat berupa fakta, estimasi kuantitatif, data pengindeeraan jarak jauh remote sensing, survey
meteorologi. Sementara informasi subyektif soft information merepresentasikan opini dari pengambil keputusan atas dasar intuisi, survey ad hoc, kuisioner,
komentar-komentar, dan sumber-sumber yang serupa. Tipe informasi ini digunakan oleh pengambil keputusan karena pertimbangan-pertimbangan nilai
sosial dan politik juga memasuki perhitungan dari pengambil keputusan Eriyatno, 2012. Inti dari proses pengambilan keputusan yang terkait dengan permasalahan
spasial dalam hal ini adalah menentukan tipe informasi yang mana yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan dan mencari kombinasi yang tepat dari
sekumpulan informasi hard dan soft yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan Boroushaki dan Malczewski, 2008.
Adalah penting bahwa data dan informasi spasial baik yang bersifat soft maupun hard mungkin memiliki ketidakpastian. Kenyataannya memang
pengambilan keputusan spasial dikelilingi oleh ketidakpastian. Keberadaan informasi akan mengurangi ketidakpastian, oleh karena itu informasi menjadi
bernilai Malczewski, 1999. Selanjutnya keputusan-keputusan yang bersifat tidak pasti ini dapat dikelompokkan menjadi 2 atas dasar informasi yang digunakan
yaitu, keputusan yang melibatkan informasi stokastik dan keputusan yang melibatkan informasi yang imprecise. Dengan demikian ada 3 tiga katagori
besar dalam permasalahan keputusan spasial, yaitu: deterministik, stokastik dan fuzzy Leung, 1988; Munda, 1995
. 2.4.3
Teori Lokasi dan Analisa Spasial
Teori lokasi merupakan teori dasar yang sangat penting dalam analisa spasial dimana tata ruang dari lokasi kegiatan ekonomi merupakan unsur utama. Teori
lokasi memberikan kerangka analisa yang baik dan sistematis mengenai pemilihan lokasi kegiatan ekonomi dan sosial, serta analisa interaksi antar wilayah Sjafrizal,
2008. Analisis-analisis yang dikembangkan oleh Von Thunen, Weber, Losch, dan Christaller di abad ke-19 dan awal abad ke-20 pada dasarnya berupaya
mencari jawaban tentang “dimana” dan “mengapa” aktivitas ekonomi memilih lokasi Rustiadi, Saefulhakim et al., 2011. Teori lokasi itu menjadi penting dalam
permasalahan bisnis dan industri karena pemilihan lokasi yang baik akan memberikan penghematan yang besar pada biaya transportasi sehingga
mendorong terjadinya efisiensi baik dalam produksi maupun pemasaran Church dan Murray, 2008. Sedangkan interaksi antar wilayah akan dapat mempengaruhi
perkembangan bisnis yang pada gilirannya dapat pula mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah Sjafrizal, 2008.
Hingga tahun 1950-an, teori lokasi lebih banyak didominasi oleh pendekatan-pendekatan lokasi geografis dan oleh karya-karya teori lokasi klasik
antara lain dari: von Thunen, Weber, Palander, Hotelling, Predohl, Losch, dan lain-lain Murray, 2009. Sejak tahun 1950-an teori lokasi berkembang dan
diperkaya oleh analisis-analisis kuantitatif khususnya ekonometrika Aguilar, 2009; LeSage dan Pace, 2009, model-model optimasi, dan model dinamis Owen
dan Daskin, 1998; ReVelle dan Eiselt, 2005. Pencetus teori lokasi pada umumnya berasal dari German, dimulai dari
Von Thunen 1851 yang sering disebut sebagai Bapak Transportasi yang membahas tentang analisa lokasi kegiatan pertanian berdasarkan fakta-fakta yang
terdapat di Eropa Fujita, 2012. Teori ini dikembangkan lebih lanjut oleh para pakar-pakar di beberapa bagian dunia, salah satunya adalah William Alonso
Tabuchi, 1984 sebagai landasan teori penggunaan lahan land-use di daerah perkotaan. Kemudian, pada saat revolusi industri di Jerman mulai berkembang,
muncul Alfred Weber 1929 yang menulis buku tentang lokasi industri dengan mengambil contoh pada kasus pemilihan lokasi pabrik besi baja untuk memenuhi
permintaan industri kereta api Chapman, 2009. Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Edgar Hoover 1948 dan Leon Moses 1958. August Losch
1954 melakukan analisa lokasi perusahaan berdasarkan konsentrasi permintaan dan persaingan antar wilayah spatial competition. Teori ini selanjutnya
dikembangkan oleh Greenhut dan Ohta Greenhut, Mai et al., 1986 ke dalam kerangka analisa yang lebih luas tentang teori harga spasial dan areal pasar.
Dengan berkembangnya teori lokasi, aspek tata ruang dan lokasi kegiatan ekonomi dapat dimasukkan ke dalam analisa ekonomi secara lebih kongkrit. Hal
ini telah
mendorong banyak
ahli pada
tahun limapuluhan
untuk
mengkombinasikan Teori Lokasi dengan Teori Ekonomi, baik Mikro maupun Makro. Perkembangan ini selanjutnya mendorong timbulnya analisa ekonomi
spasial yang kemudian menjadi dasar utama bagi munculnya Ilmu Ekonomi Regional yang menekankan analisanya pada pengaruh aspek lokasi dan ruang
terhadap pengambilan keputusan sosial, ekonomi dan bisnis. Upaya ini dilakukan dalam rangka mewujudkan analisa ekonomi yang lebih kongkret dan realistis
sesuai kondisi geografi pada wilayah yang bersangkutan Sjafrizal, 2008.
2.4.3.1 Faktor Penentu Pemilihan Lokasi Kegiatan EkonomiIndustri
Formulasi teori lokasi dan analisa spasial dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor utama yang menentukan pemilihan lokasi kegiatan ekonomi, baik
pertanian, industri dan jasa. Disamping itu, pada umumnya faktor yang dijadikan dasar perumusan teori adalah yang dapat diukur agar menjadi lebih konkret dan
operasional. Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa dalam kenyataannya pemilihan lokasi tersebut tidak hanya ditentukan oleh faktor ekonomi saja, tetapi
juga oleh faktor budaya maupun kebijakan Pemerintah. Proses produksi yang berbeda membutuhkan kombinasi input yang berbeda juga Chapman, 2009.
Pabrik besi dan baja, misalnya, adalah pengguna utama energi, sedangkan tenaga kerja jauh lebih penting dalam struktur biaya pabrik Garmen sehingga kriteria dan
penilaian untuk industri yang berbeda juga memiliki perbedaaan. Menurut Chapman 2009 faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan
lokasi dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok pendapatan, kelompok biaya dan irisan dari kelompok pendapatan dan biaya yang berarti faktor tersebut dapat
memiliki baik implikasi pendapatan maupun biaya. Faktor-faktor yang termasuk dalam kelompok biaya cost adalah bahan baku, energi, lahantapak, tenaga kerja,
dan kapital. Faktor-faktor yang termasuk dalam kelompok pendapatan adalah pasar dan kompetisi. Sementara yang dapat dikatagorikan sebagai faktor dalam
kelompok biaya maupun pendapatan adalah ongkos angkut, infrastruktur, aglomerasi dan kebijakan publik.
Sjafrizal 2008 mengidentifikasi secara umum terdapat 6 enam faktor ekonomi utama yang mempengaruhi pemilihan lokasi kegiatan ekonomi. Faktor-
faktor tersebut antara lain ongkos angkut, perbedaan upah antar wilayah,
keuntungan aglomerasi, konsentrasi permintaan, kompetisi antar wilayah, serta harga dan sewa tanah.
Ongkos angkut atau biaya transportasi merupakan faktor atau variabel utama yang sangat penting dalam pemilihan lokasi dari suatu kegiatan ekonomi.
Biaya transportasi sendiri memiliki kontribusi terhadap total biaya produk yang cukup besar. Hampir 30 persen dari total harga pokok produk agroindustri
merupakan biaya distribusi dan transportasi Beenhakker, 2010. Hal ini terutama sangat dirasakan pada kegiatan agroindustri maupun pertambangan yang
umumnya baik bahan baku maupun hasil produksinya cukup berat sehingga pengangkutannya memerlukan biaya yang cukup besar.
Sebagaimana yang diidentifikasi oleh Chapman 2009, Resmini 2003, Singhal dan Kapur 2002, Karaev, Koh et al. 2007, Dhingra, Singh et al.
2009, Schiele 2008 maupun Sjafrizal 2008, faktor penting lainnya yang mempengaruhi pemilihan lokasi kegiatan ekonomi adalah besar kecilnya
keuntungan Aglomerasi Agglomeration Economics yang dapat diperoleh pada lokasi tertentu. Keuntungan Aglomerasi diperoleh apabila terdapat kegiatan
ekonomi yang saling terkait satu sama lainnya yang terkonsentrasi pada suatu tempat tertentu. Keterkaitan ini dapat berbentuk kaitan karena bahan baku
backward linkages dan kaitan dengan pasar forward lingkages. Bila keuntungan tersebut cukup besar, maka perusahaan akan cenderung memilih
lokasi kegiatan ekonomi terkonsentrasi dengan kegiatan lainnya yang saling terkait. Pemilihan lokasi akan cenderung tersebar bila keuntungan aglomerasi
tersebut nilainya relatif kecil Head, Ries et al., 1994. Menurut Sjafrizal 2008, keuntungan aglomerasi dapat muncul dalam 3
tiga bentuk. Pertama adalah keuntungaan skala ekonomi economics of scale yang terjadi karena baik bahan baku maupun pasar sebagian telah tersedia pada
perusahaan terkait yang ada pada loksasi tersebut. Biasanya keuntungan diukur dalam bentuk penurunan biaya produksi rata-rata bila bila berlokasi pada suatu
konsentrasi industri. Kedua, adalah keuntungan lokalisasi localization economies
yang diperoleh dalam bentuk penurunan penghematan ongkos angkut baik pada bahan baku maupun hasil produksi bila memilih lokasi pada
konsentrasi tertentu. Ketiga, adalah keuntungan karena penggunaan fasilitas secara bersama urbanization economies seperti listrik, gudang, armada
angkutan, air dan lainnya. Biasanya keuntungan ini diukur dalam bentuk penurunan biaya yang dikeluarkan untuk penggunaan fasilitas itu secara bersama.
2.4.3.2 Teori Lokasi Von Thunen
Jika ekonomi modern dimulai oleh Adam Smith, ekonomi lokasi modern dimulai oleh Von Thünen 1826. Dia adalah orang pertama yang mengembangkan model
analitis dasar yang mengkaitkan antara pasar, produksi, dan jarak. Untuk tujuan ini ia mengkaji komoditas pertanian Rodrigue, 2011. Kegiatan pertanian yang
paling produktif ternyata berada paling dekat dengan pasar dan kegiatan tidak cukup produktif berjarak lebih jauh. Dalam modelnya, Von Thunen membuat
asumsi sebagai berikut Peet, 1970: a Wilayah analisis bersifat terisolir isolated state sehingga tidak terdapat pengaruh pasar dari kotadaerah lain; b
Tipe pemukiman padat di pusat wilayah pusat pasar dan makin kurang padat apabila menjauh dari pusat wilayah; c Seluruh wilayah model memiliki iklim,
tanah dan topografi yang sama; d Fasilitas pengangkutan sesuai dengan jamannya dan seragam. Ongkos ditentukan oleh berat barang yang dibawa; e
Kecuali perbedaan jarak ke pusat pasar, semua faktor alamiah yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah seragam dan konstan.
Berdasarkan asumsi diatas, selanjutnya Von Thunen mencoba menggambarkan keterkaitan antara jarak ke pusat pasar wilayah dengan sewa
tanah Jäger, 2009 seperti pada Gambar 2-12.
Gambar 2-12 Kurva Perbedaan Sewa Tanah sesuai dengan Perbedaan Jarak ke Pasar
Jarak dari pasar D S
e w
a tan ah
C Biaya sewa dari
hasil negoisasi
Berdasarkan teori tersebut, diyakini bahwa semakin menguntungkan sebuah kegiatan, maka kegiatan tersebut akan semakin mendekati pusat pasar
wilayah sebagaimana yang digambarkan dalam diagram yang disebut diagram cincin Von Thunen Peet, 1970 pada Gambar 2-13.
KETERANGAN P
=
Pasar Cincin 1
=
Pusat industri Cincin 2
=
Pertanian intensif Cincin 3
=
Wilayah hutan Cincin 4
=
Pertanian ekstensif Cincin 5
=
Peternakan Cincin 6
=
Pembuangan sampah
Gambar 2-13 Diagram Cincin Von Thunen
Penggunaan lahan pada saat ini mungkin tidak sepenuhnya mengikuti atau berkelompok persis sama dengan cincin yang digambarkan oleh Von Thunen
Shieh, 1992. Namun demikian, konsep Von Thunen bahwa sewa tanah sangat mempengaruhi jenis kegiatan yang mengambil tempat pada lokasi tertentu masih
berlaku dan hal ini mendorong terjadinya konsentrasi kegiatan tertentu pada lokasi tertentu Fujita, 2012.
2.4.3.3 Teori Lokasi Weber
Alfred Weber adalah seorang ahli ekonomi Jerman yang pertama kali menganalisis lokasi yang terkait dengan industri Gorter dan Nijkamp, 2001.
Kalau Von Thunen memilih objek pada pertanian, Weber mengkaji industri Baja pada saat dimulainya revolusi industri di Jerman. Weber mendasarkan teorinya
bahwa pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya Louveaux, Thisse et al., 1982. Weber mengatakan bahwa lokasi setiap industri
tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja dimana penjumlahan
P 1
2 3
4 5
6
keduanya harus minimum. Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum.
Gambar 2-14 Segitiga Pembobotan Weber
Minimumkan Z = w
1
d
1
+ w
2
d
2
+ w
3
d
3
; dimana d
1
, d
2
, d
3
= jarak ke input S
1
, input S
2
dan Pasar M.
Jika, IM 1, lokasi industri berorientasi pada bahan baku
IM 1, lokasi industri berorientasi pada hasil akhir
Dalam kasus industri primer, hubungan antara kehilangan bobot bahan baku yang tinggi dan lokasi industri sangat kuat terutama pada tahap awal proses
manufakturing. Klaim Weber bahwa industri dengan IM1 akan cenderung mendekati lokasi bahan baku adalah valid. Permasalahan dari IM adalah bahwa
dengan standarisasi rasio inputoutput akan menghilangkan kekuatan yang mencirikan kuantitas bahan baku yang dipindahkan. Untuk itu disepakati untuk
industri yang berindeks IM tinggi valid, tetapi untuk industri menengah dengan indeks relatif rendah, kurang valid.
Gambar 2-15 Konsep Jarak dan Biaya Transportasi Material dan Output Distribusi dari Weber
∑ ∑
Dimana, C
T
= Total biaya transportasi Rp. Cs
= Biaya transportasi material dari lokasi material S ke lokasi pengolahanindustri I Rp.
Cm =
biaya transportasi distribusi output ke pasar M Rp. dmi
= jarak lokasi pasar ke-i dari lokasi pengolahan km
dsj =
jarak lokasi bahan baku ke-j ke lokasi pengolahan km Csi
= Biaya transportasi bahan baku ke-j Rp.kmunit
Cmi =
Biaya transportasi produk ke-i Rp.kmunit bobot Wsj
= Bobot per unit input ke-j
Wmi = Bobotunit output ke-i
Jika Cs Cm, lokasi industri sebaiknya mendekati pasar Jika
Cs Cm, lokasi industri sebaiknya mendekatai ke lokasi bahan baku Jika Cs = Cm, footloose industry.
2.4.3.4 Teori Lokasi Pendekatan Pasar
August Losch 1944 memelopori Teori Lokasi Market Area yang mendasarkan pada analisa pemilihan lokasi optimal pada luas pasar yang dapat dikuasai dan
kompetisi antar tempat Krumme, 2002. Walaupun tidak menyatakan secara
Bahan baku S Manufaktur I
Pasar M di
dj
� �
�
CT
tegas, Weber membuat asumsi bahwa semua barang yang diproduksi akan laku terjual. Sementara Losch berpendapat bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh
terhadap jumlah barang yang dapat dijual Murray, 2009. Makin jauh dari pasar, konsumen semakin enggan untuk membeli karena
biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjualan pasar semakin mahal. Produsen harus memilih lokasi yang menghasilkan penjualan terbesar yang
identik dengan penerimaan terbesar. Dalam model yang dibangun oleh Losch ini, reaksi dari pesaing terhadap pemilihan lokasi yang dilakukan dapat dilakukan
melalui pemetaan spasial. Atas dasar pandangan ini, Losch cenderung menyarankan agar lokasi produksi berada di dekat pasar.
2.4.3.5 Teori Lokasi Memaksimumkan Laba
Sudut pandang Teori Weber lebih banyak pada sisi produksi, sedangkan Losch melihat dari sisi permintaan. Kedua teori ini hanya melihat dari satu sisi. Sisi
produksi hanya melihat lokasi yang memberikan ongkos terkecil, sedangkan sisi permintaan melihat pada penjualan maksimal yang bisa diperoleh. Kedua
pandangan ini perlu digabung, yaitu dengan mencari lokasi yang memberikan keuntungan maksimal setelah memperhatikan lokasi yang menghasilkan ongkos
terkecil dan lokasi yang menghasilkan penerimaan terbesar. Untuk itu, D.M. Smith mengintrodusir konsep biaya rata-rata dan pendapatan rata-rata yang terkait
dengan lokasi Krumme, 2012.
Gambar 2-16 Lokasi yang Memberikan Keuntungan Maksimal
Total Cost
Revenue
A B
O Lokasi
Rp .
McGrone 1969 dalam Tarigan 2010 berpendapat bahwa teori lokasi dengan tujuan memaksimumkan keuntungan sulit untuk diperoleh untuk kondisi
usaha seperti saat ini dalam kondisi ketidakpastian yang tinggi dan yang dinamis. Ketidaksempurnaan pengetahuan terhadap situasi dan kondisi yang ada serta
ketidakpastian biaya dan pendapatan di masa depan pada tiap lokasi, biaya relokasi yang tinggi, preferensi personal, dan pertimbangan lain membuat model
maksimasi keuntungan lokasi sulit untuk dioperasionalkan. Selain itu, pengusaha mungkin saja menitikberatkan pada maksimasi keuntungan untuk pertumbuhan
jangka panjang dibandingkan dengan pertumbuhan jangka pendek dan ini potensial akan menghasilkan keputusan yang berbeda jika dibandingkan dengan
menggunakan asumsi-asumsi yang konstan. Pengusaha mungkin saja memilih lokasi yang diperkirakan akan menghasilkan keuntungan yang maksimal dalam
jangka panjang walaupun dengan biaya rutin yang sedikit lebih mahal. Menurut Isard 1975 ada kesalahan asumsi konstan yang banyak
digunakan dalam analisis lokasi pada teori-teori yang ada sebelumnya. Menurut Isard, masalah lokasi merupakan penyeimbangan antara biaya dengan pendapatan
yang dihadapkan pada suatu situasi yang dinamis dan memiliki ketidakpastian yang berbeda-beda. Keuntungan relatif dari lokasi bisa saja berubah-rubah
sepanjang waktu yang dipengaruhi oleh faktor dasar: a Biaya input; b Biaya transportasi; dan c Keuntungan aglomerasi. Diantara berbagai biaya tersebut,
jarak dan aksesbilitas merupakan pilihan terpenting dalam konteks tata ruang. Walaupun mayoritas biaya dipengaruhi waktu dan tempat, namun biaya
transportasi merupakan fungsi dari jarak. Isard menekankan pada faktor-faktor jarak, aksebilitas dan keuntungan aglomerasi sebagai hal utama dalam
pengambilan keputusan lokasi.
2.4.4 Teknologi GIS dan GPS dan Pemanfaatannya dalam Pengembangan
Industri
Dalam beberapa tahun belakangan ini, para ilmuwan dan praktisi menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap penerapan teknologi sistem informasi
geografis SIG dan analisis spasial sebagai pendukung keputusan di berbagai level yang terkait dengan bisnis dan industri. Hal ini tidak mengherankan karena
kurang lebih 80 dari data bisnis memiliki elemen geografis Sarkar, 2007. Oleh
karena itu, sistem informasi geografis dan analisis spasial atau spatial decision support system
akan memainkan peranan yang semakin penting dalam dunia bisnis saat ini maupun di masa mendatang.
Mennecke 1997 sejak dua puluh tahun yang lalu telah mengidentifikasi beberapa fungsi dan aplikasi potensial dari teknologi GIS dalam bidang bisnis.
Sampai dengan saat ini, setelah dua puluh tahun berlalu, lebih dari 3000 artikel terpublikasi membahas tentang topik ini Sciencedirect, 2012. Dari sisi teknologi,
sejauh ini terdapat beberapa penyempurnaan pada teknologi pendukung GIS seperti teknologi input, pemrosessan dan visualisasinya sebagaimana yang
dilakukan oleh Derekenaris 2001 dan lain-lainnya.
2.4.4.1 Definisi GIS
Sebagaimana yang telah diuraikan oleh Maguire 1991 ada beragam definisi terkait dengan GIS. Aronoff 1989 mendefinisikan sistem informasi
geografis sebagai sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk menyimpan, memanipulasi, merakit, menganalisa dan menampilkan informasi referensi
geografis. Informasi geografis itu didefinisikan lebih spesifik oleh Goodchild 2009 sebagai informasi yang terkait dengan lokasi diatas permukaaan bumi atau
dekat dengan permukaan bumi yang merupakan properti dari lokasi tersebut. Li et al 2003 bahkan menambahkan bahwa GIS tidak hanya mengelola data spasial
saja, namun juga data-data yang bersifat non spasial agar lebih bermanfaat. Disertasi ini sendiri lebih mengacu pada definisi yang telah diutarakan oleh
Cowen 1988 yang menyatakan bahwa GIS adalah sebuah alat manajemen management tool dan pendukung keputusan decision support yang saat ini
sering disebut sebagai spatial decision support system sebagaimana yang digunakan oleh Ruiz et al 2012 pada tahun ini.
2.4.4.2 Fungsi GIS
Jantung dari GIS adalah kemampuan analitis dari sistem. Apa yang membedakan antara GIS dan sistem informasi lainnya adalah berkaitan dengan
fungsi analisis spasial yang dimilikinya. Fungsi analisis menggunakan atribut spasial maupun non spasial dalam basis data yang ada untuk menjawab
pertanyaan yang terkait dengan dunia nyata. Analisis geografis memfasilitasi studi
proses yang sebenarnya terjadi dengan mengembangkan dan menerapkan model- model. Tujuan dari analisis adalah mentransformasikan data menjadi informasi
yang bermanfaat bagi pengambil keputusan pada semua level. Penggunaan penting dari analisis ini adalah memungkinkan untuk memprediksi kejadian di
lokasi yang lainnya atau pada waktu yang lain. Ruang lingkup analisis yang dapat dilakukan oleh GIS dapat dikagorikan antara lain: a query basis data, b
overlay , c proximity analysis, d network analysis, e digital terrain model, dan
f analisis statistikal. Gambar 2-17 berikut ini memperlihatkan arsitektur multi layer dari GIS
yang diadaptasi dari Li et al2003. Masing-masing layer merepresentasikan tema tunggal dalam region tertentu seperti kebun, jalan, pabrik, pelabuhan, dan lain
sebagainya. Secara khusus GIS mengadopsi sistem manajemen basis data dimana querry command dapat digunakan untuk pengambilan data-data yang tersimpan.
Data disimpan dalam perangkat penyimpanan dan dikelola dengan menggunakan urutan numerik maupun alphabet. Sebagai contoh, sistem ini dapat membantu
untuk menemukan pabrik minyak kelapa sawit yang memiliki jarak 20 km dari kebun kelapa sawit tertentu di muka bumi ini. Masing-masing layer yang berisi
informasi tertentu dihubungkan dengan sistem koordinat agar supaya data dari layer yang berbeda-beda dapat dikombinasikan dalam bentuk informasi sesuai
dengan query untuk mendapatkan solusi yang optimal.
Gambar 2-17 Arsitektur Multi Layer dari Sistem Informasi Geografis
Arsitektur GIS dikembangkan atas dasar konsep jaringan kerja network. Sebuah network didefiniskan sebagai sekumpulan titik node dan sekumpulan
Layer i x,y Layer j x,y
Layer k x,y Layer l x,y
anak panah dimana masing-masing cabang terkait pada sebuah node. Gambar 2-18 dan Gambar 2-19 memperlihatkan konsep jaringan yang diadaptasi dari Li et
al 2003. Gambar 2-18 memperlihatkan sebuah network sederhana dari jarak perjalanan yang meliputi 6 node dan 9 anak panah. Jaringan pada network
terhubung secara sekuensial dengan catatan tidak ada node yang berulang. Pada Gambar 2-19 jaringan digambarkan dalam bentuk struktur pohon
yang terdiri dari 5 lintasan. GIS dalam hal ini akan membantu kita untuk menentukan lintasan terpendek shortest path dari A ke F dengan cara: 1
meletakkan node dalam peta, 2 mengukur jarak masing-masing anak panah, 3 mengukur jarak masing-masing lintasan dengan mengkombinasikan jarak dari
anak panah yang terhubung pada masing-masing lintasan, dan 4 membandingkan masing-masing lintasan untuk menemukan lintasan terpendek.
Gambar 2-18 Node dan Arc dari Network
Gambar 2-19 Lintasan Diperlihatkan dalam Struktur Tree
GIS saat ini telah digunakan secara luas di dunia bisnis, pemerintahan, dan penelitian-penelitian dengan lingkup yang luas termasuk dalam hal in adalah
A B
C D
E F
A
AB AD
AC BF
BE DE
DC CF
CF EF
EF
untuk keperluan perencanaan industri, analisis sumber daya lingkungan, perencanaan penggunaan lahan, analisis lokasi, penilaian pajak, perencanaan
infrastruktur dan utilitas, analisis kawasan perumahan, analisa demografi dan pemasaran, studi habitat dan juga analisis di bidang arkeologi. Sistem ini
menggunakan teknologi pemetaan digital untuk memberikan pilihan-pilihan pengambilan keputusan. Tidak seperti sistem informasi pada umumnya, GIS dapat
menangani tidak hanya data-data spasial namun juga data-data yang bersifat non spasial melalui fasilitas analisis dan query data serta visualisasinya Li, Kong et
al., 2003.
2.4.4.3 Pengelolaan Data Spasial
Data spasial direpresentasikan pada tingkat fisik dalam satu atau dua cara pada GIS, yaitu Raster dan Vektor. Data dalam format raster disimpan dalam matrik
dua dimensi grid cells. Titik point adalah cell tunggal, yang berarti bahwa semua area yang direpresentasikan oleh sel tersebut menjadi tertutup buat entitas
yang lainnya. Semua objek spasial memiliki informasi lokasi dimana mereka ditempatkan dalam cell grid. Peta menunjukkan hanya satu nilai penggunaan
lahan, elevasi, kondisi politik, dll untuk masing-masing sel. Ukuran dari grid bisa bervariasi, oleh karena itu resolusi spasial dari data yang ada ditentukan oleh
ukuran dari grid. Semakin tinggi resolusinya, semakin detail kita bisa membedakan gambar-gambar yang ada. Area dibuat pada pixel-pixel yang
berdekatan dengan nilai yang sama sementara garis line dibuat dengan menghubungkan antara satu pixel dengan pixel yang lainnya. Representasi dari
data titik, garis dan area tersebut diperlihatkan pada Gambar 2-20. Contoh representasi dan keterkaitan spasial diperlihatkan pada Gambar 2-21 dan Gambar
2-22.
Gambar 2-20 Representasi Vektor dan Raster untuk Titik, Garis dan Poligon
STRUKTUR DATA SPASIAL Vektor
Raster Titik
Garis Poligon
Jenis Contoh Representasi
Contoh Atribut
Titik
1 2
3 4
5
ID Nama
Lokasi 1
KKS001 Kec. A
2 KKS002
Kec. A 3
KKS003 Kec. A
4 KKS004
Kec. B 5
KKS005 Kec. B
Garis
1 2
3
ID Status Jalan
Kondisi 1
Jalan Nasional Baik
2 Jalan Provinsi
Sedang 3
Jalan Kabupaten Rusak
Poligon
1 2
3 4
ID Guna Lahan
Luas Ha 1
Sawah 20
2 Permukiman
30 3
Kebun 45
4 Hutan
40
Gambar 2-21 Contoh Representasi Titik, Garis dan Poligon dalam Bentuk Vektor dan Raster serta Atributnya
Gambar 2-22 Keterkaitan Spasial
KETERKAITAN SPASIAL
Konektivitas Connectivity
Kedekatan Adjacency
A B
C N
Node N menghubungkan
rantai A, B dan C
A B
Poligon A berdekatan dengan poligon B
Kandungan Containment
A B
C D
R
Poligon R berisi atau mengandung titik A,
B, C dan D
2.4.4.4 GIS dan Pendukung Keputusan
Saat ini, teknologi GIS sebagai sebuah alat visualisasi interaktif dan pendukung keputusan telah memainkan peranan penting dalam manajemen rantai
pasok industri Kumar dan Agrawal, 2011. Dalam bidang agroindustri sendiri tercatat beberapa publikasi yang terkait dengan penenerapan teknologi GIS ini.
Beberapa diantaranya adalah Sante Crecente et al 2004 dan Hadi 2011. Pustaka-pustaka dalam bidang sistem informasi sudah sangat banyak
sekali membahas berbagai teknologi pendukung keputusan yang dapat diterapkan pada sistem informasi geograpfis ini, mulai dari Sprague 1980 sampai dengan
Turban 2011. Sistem pendukung keputusan berbasis spasial adalah sistem pendukung keputusan dimana properti spasial dari data yang akan dianalisa
memainkan peranan yang utama dalam pengambilan keputusan. Bisasanya properti ini merujuk pada okasi diatas permukaan bumi Seffino, Medeiros et al.,
1999. Konsep Spatial Decision Support System SDSS ini sendiri berkembang secara bersamaan dengan DSS.
Dengan perkembangan teknologi yang ada saat ini, pengelolaan data tidak hanya bersandarkan pada peta manual berbasis kertas tapi juga sudah
menggunakan teknologi-teknologi seperti penginderaan jarak jauh melalui satelit, GPS maupun Mobile Telephone Derekenaris, Garofalakis et al., 2001; Abidin,
2007; Liu, Mason et al., 2012; Xu dan Coors, 2012. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa SIG adalah sistem yang
berkemampuan dalam menjawab baik pertanyaan spasial maupun non spasial beserta kombinasinya queries dalam rangka memberikan solusi-solusi atas
permasalahan keruangan. Artinya sistem ini memang sengaja dirancang untuk mendukung berbagai analisis terhadap informasi geographis. Secara singkat,
analisis spasial dalam hal merupakan teknik-teknik yang digunakan untuk meneliti dan mengeksplorasi data dari perspektif keruangan, untuk
mengembangkan, menguji model-model, dan menyajikan datanya sedemikian rupa hingga meningkatkan pemahaman dan wawasan. Teknik-teknik ini berada di
dalam sebuah payung umum yang bernama “analisis spasial”. Inilah yang membedakan SIG dengan tipe sistem informasi yang lain. Di dalam SIG segala
pendekatan perhitungan matematis yang terkait dengan data atau layer tematik keruangan dilakukan di dalam fungsi analisis yang satu ini.
Analisis spasial adalah suatu teknik atau proses yang melibatkan sejumlah hitungan dan evaluasi logika matematis yang dilakukan dalam rangka mencari
atau menemukan potensi hubungan relationships atau pola-pola yang mungkin terdapat diantara unsur-unsur geographis yang terkandung di dalam
data-data digital dengan batas-batas wilayah studi tertentu. Dengan memanfaatkan model matematis, network yang digambarkan pada Gambar 2-23 dan Gambar
2-24 selanjutnya dapat menghasilkan beberapa keputusan sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 2-23 dan Gambar 2-24.
Gambar 2-23 Analisis Spatial Shortest Facilities Gambar 2-24 Analisis Lokasi-Alokasi
Berbasis Spasial
2.4.5 Spatial Multi Criteria Decision Analysis
2.4.5.1 Elemen-elemen Analisis Keputusan Multikriteria
Sejumlah pendekatan untuk men-strukturisasi permasalahan MCDM telah disarankan oleh beberapa literatur yang telah dipublikasikan Keeney dan Raiffa
1976; Chankong dan Haimes 1983; Kleindorfer, Kunreuther et al. 1993; Saaty 1980; Saaty 1983. Pada umumnya permasalahan MCDM meliputi enam
komponen Malczewski, 1999, yaitu: a Tujuan atau seperangkat tujuan yang harus diraih oleh pengambil keputusan; b Pengambil keputusan atau kelompok
pengambil keputusan yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan sekaligus preferensinya terhadap kriteria evaluasi; c Sekumpulan kriteria evaluasi sasaran
danatau atribut sebagai dasar dimana pengambil keputusan mengevaluasi
alternatif-alternatif yang ada; d Sekumpulan alternatif keputusan yang mana sebagai keputusan atau variable aksi; e Sekumpulan variabel-variabel yang tidak
dapat dikendalikan atau lingkungan keputusan; dan f Sekumpulan outcome atau konsekuensi yang berhubungan dengan masing-masing alternatif
– pasangan atribut Keeney dan Raiffa, 1976.
Hubungan antara elemen-elemen tersebut dalam analisis pengambilan keputusan multi kriteria ditampilkan dalam bentuk gambar sebagaimana yang
diperlihatkan pada Gambar 2-25.
Attribut
1
Attribut
2
... Attribut
n
Alternatif
1
...
Alternatif
2
... ...
... ...
... ...
Alternatif
m
...
Gambar 2-25 Kerangka Analisis Keputusan Multi Kriteria
2.4.5.2 Kerangka Analisa Keputusan Multikriteria Spasial
Pengambilan keputusan multi kriteriamulti criteria decision making MCDM merupakan terminologi yang meliputi multiple attribute decision making
MADM dan multiple objective decision making MODM. MADM digunakan ketika harus memilih sejumlah tindakan-tindakan diskret yang harus dilakukan.
Pada MODM diasumsikan bahwa solusi terbaik dapat ditemukan dimanapun dalam ruang alternatif yang layak dan oleh karena itu sering dilihat sebagai
permasalahan keputusan kontinyu. MADM sering dirujuk sebagai analisis multi kriteria MCA atau evaluasi multi kriteria MCE. Sebaliknya, MODM lebih
Goal
Decision maker 1 Decision maker 2
Objective 1 Objective 2
Objective 3
dekat ke pencarian Pareto optimal dengan menggunakan teknik programma matematis Jankowski, 1995; Malczewski, 1999. Tujuan utama dari MCDM
adalah membantu pengambil keputusan untuk memilih alternatif yang terbaik dari sejumlah alternatif yang layak dengan menggunakan kriteria keputusan
majemuk dan prioritas dari masing-masing kriteria yang berbeda. Setiap teknik MCDM memiliki prosedur yang umum, yang sering disebut sebagai model umum
MCDM Jankowski, 1995. Prosedur tersebut memiliki beberapa langkah sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 2-26. Adapun langkah-langkah dari
model umum tersebut adalah: 1. Merumuskan alternatif;
2. Merumuskan sekumpulan kriteria-kriteria keputusan; 3. Mengidentifikasi dampak dari masing-masing alternatif terhadap masing-
masing kriteria untuk mendapatkan nilai score; 4. Membuat tabel keputusan yang berisi alternatif-alternatif diskrit, kriteria
dan skor kriteria; 5. Menentukan preferensi dari pengambil keputusan dalam bentuk bobot
kriteria. 6. Mengagregsikan data dari tabel keputusan dalam upaya untuk
mengurutkan alternatif-alternatif yang ada. 7. Melakukan analisa sensitivitas untuk melihat dampak dari ketidakpastian,
ketidaktepatan dan ketidakakuratan terhadap hasil. 8. Membuat rekomendasi final dalam bentuk alternatif yang terbaik atau
mengurutkan dari yang terbaik sampai yang terburuk. Semua model perhitungan atau teknik-teknik MCDM mendasarkan pada
model umum yang digambarkan tersebut. Model perhitungan dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain jumlah level hirarki kriteria, keseragaman
penilaian alternatif pada setiap kriteria, dan skala penilaian Marimin dan Maghfiroh, 2010. Namun, metode-metode yang ada dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu metode compensatory dan non compensatory. Metode compensatory selanjutnya dapat dibagi menjadi 2 teknik, yaitu additive dan ideal
point . Teknik-teknik seperti penjumlahan tertimbang, analisa concordace dan
Analytical Hierarchy Process AHP, Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Point TOPSIS, Aspiration-level Interactive Method AIM
dan Multi Dimensional Scaling MDS, merupakan teknik yang dapat
dikelompokkan dalam metode compensatory. Sementara teknik-teknik non- compensatory antara lain teknik dominance, conjunctive dan lexicographic.
Sumber: Jankowski 1995
Gambar 2-26 Model Umum Spatial MCDM
Semua metode additive mendasarkan pada skor kriteria yang terstandarisasi yang mana kemudian dapat dilakukan pembandingan dengan lebih
baik. Standarisasi memungkinkan pembandingan skor kriteria pada satu alternatif dengan rentang penilaian yang sama. Dengan demikian kinerja yang kurang baik
pada satu kriteria pada alterntif tertentu mungkin dapat dikompensasikan dengan kinerja yang baik pada kriteria yang lainnya. Teknik penjumlahan terbobot,
menjadi bentuk dasar dari metode additive yang dapat ditulis dalam bentuk matrik aljabar sebagai berikut:
[ ] [
] [ ]
Alternatif Kriteria
Tabel Keputusan
Fungsi Agregasi Analisa Sensitivitas
Rekomendasi Akhir Skor Kriteria
Preferensi Pengambil Keputusan
Dimana, S adalah total skor untuk alternatif ke-i
Cji adalah skor kriteria untuk alternatif i dan kriteria j Wj adalah bobot dari kriteria
Penjumlahan terbobot
memungkinkan untuk
mengevaluasi dan
mengurutkan alternatif atas dasar preferensi kriteria dari pengambil keputusan.
2.4.5.3 Pengambilan Keputusan Multi Kriteria dan GIS
Sistem Informasi Geografis SIGGIS memiliki kemampuan untuk menangani permasalahan spasial dan sering digunakan untuk mendukung keputusan yang
terkait dengan permasalahan spasialkeruangan. Memecahkan permasalahan multi kriteria spasial tanpa alat analitis dan visual akan sangat menyulitkan dalam
komputasinya dan bahkan menjadi tidak mungkin Malczewski, 1999. Teknik-teknik multi kriteria sebagai sebuah alat yang berdiri sendiri telah
dikomputerisasi dan saat ini telah banyak dihasilkan perangkat lunak yang dapat digunakan khusus untuk keperluan ini. Namun, perangkat lunak-perangkat lunak
yang tersedia tersebut tidak umum untuk digunakan memecahkan permasalahan spasial dalam bentuk peta. Menurut Jankowski 1995, ada dua strategi yang dapat
ditempuh dalam menangani permasalahan MCDM dan GIS ini, yaitu strategi Loose
dan Strategi Tight Jankowski, 1995. Strategi Loose dilakukan dengan cara menyediakan mekanisme pertukaran file antara dua perangkat lunak tersebut.
Tugas yang berbeda dilakukan oleh masing-masing perangkat lunak. GIS digunakan untuk melakukan analisis kesesuaian lahan, memilih sekumpulan
kriteria dan melakukan penilaian untuk di ekspor ke tabel dalam program MCDM. Program MCDM selanjutnya digunakan untuk mengeksekusi kriteria evaluasi dan
hasilnya ditransfer kembali ke GIS untuk ditampilkan. Sebaliknya strategi tight coupling direalisasikan oleh interface dan basis data yang umum dan terbuka
untuk GIS dan MCDM. Dengan kata lain fungsi-fungsi multi kriteria dilekatkan pada perangkat lunak GIS. Keunggulan cara ini adalah bahwa semua fungsi-
fungsi yang diperlukan ada dalam satu tempat dan kemungkinan kesalahan- kesalahan dalam pertukaran data dapat dihindari. Namun tidak semua perangkat
lunak aplikasi GIS yang telah dikembangkan memiliki fasilitas tersebut.
Penggunaan GIS untuk melakukan evaluasi multi kriteria dapat dilakukan dalam dua tahap 1 Survey dan 2 Identifikasi lokasi lahan awal. Pada langkah
pertama, area disaring untuk mendapatkan alternatif-alternatif yang layak dengan menggunakan kriteria keputusan deterministik. Seluruh lahan diseleksi secara
simultan. Yang tidak memenuhi kendala constraints diidentifikasi dan dikeluarkan dari analisis. Tahap ini sering disebut sebagai tahap analisis
kesesuaian yang secara tradisional dilakukan menggunakan overlay peta manual namun dalam hal ini menggunakan GIS sebagai alat bantu.
Langkah kedua yang disebut sebagai identifikasi lokasi awal dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik MCE. Pertama, seluruh faktor-faktor yang
ada dielaborasi dan kemudian dilakukan pembobotan menurut tingkat kepentingannya. Tahap kedua memungkinkan untuk menangani permasalahan
multi objective . Ovelay multi kriteria diusulkan oleh McHarg 1969 dalam
Aminu 2007 yang menyarankan menyarankan untuk mengidentifikasi kriteria fisik, ekonomis dan lingkungan dalam rangka memastikan kelayakan sosial dan
ekonomis dari proyek. Kompleksitas permasalahan keputusan akan menentukan apakah teknik overlay nilai biner atau jamak yang harus digunakan.
Dalam analisis geograpis, sebagian besar operasi umum yang digunakan adalah AND dan OR Boolean, yang mana akan berkoresponden dengan
“intersection” dan “union”. Jika faktor-faktor keputusan memiliki perbedaan tingkat kepentingan, overlay terbobot seharusnya digunakan. Namun, prosedur
agregasi skor yang spesifik diperlukan untuk menghasilkan keputusan yang bernilai Store dan Kangas, 2000. Ilustrasi dari analisis keputusan kriteria
majemuk spasial dalam perspektif input-output diperlihatkan pada Gambar 2-27.
Gambar 2-27 Perspektif Input-Output dalam Analisis Keputusan Kriteria Majemuk Spasial
2.4.5.3.1 Kriteria Evaluasi Kriteria evaluasi merupakan terminologi yang digunakan baik untuk
permasalahan keputusan kriteria majemuk untuk multi tujuan maupun multi atribut Malczewski, 1999. Atribut-atribut berisi ukuran-ukuran yang digunakan
untuk menilai tingkat pemenuhan kriteria untuk masing-masing alternatif. Kriteria evaluasi dipresentasikan dalam GIS sebagai peta tematik atau layer-layer data.
Atribut-atribut keputusan ini harus memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, atribut-atribut tersebut harus terukur dan mudah untuk dimasukkan nilai-nilai
numerik sehingga mudah untuk menentukan tinggat pencapaian tujuannya. Kedua, sebuah atribut seharusnya secara jelas mengindikasikan tingkat
pemenuhan tujuan, yang tidak ambigu dan mudah dipahami oleh pengambil keputusan. Hal ini disebut comprehensiveness dari atribut. Ketiga, atribut
seharusnya dapat dioperasionalkan. Jika atribut yang ada dipahami dengan baik oleh pengambil keputusan, mereka akan dapat menjelaskan dengan benar
hubungan antara atribut dan tingkat pemenuhan tujuan yang dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Keempat, kumpulan atribut seharusnya
lengkap, yang berarti bahwa semua aspek pengambilan keputusan diakomodasi. Kelima, atribut-atribut yang teridentifikasi sebaiknya seminimal mungkin dan
tidak ada yang redundan. Yang terakhir, atribut-atribut yang ada sebaiknya dapat dipecah-pecah decomposable. Biasanya kriteria evaluasi dapat dibuat dalam
bentuk struktur hierarkies Malczewski, 1999.
INPUT Data Geografis
OUTPUT Keputusan
GIS MCDM
Memilih rangkaian kriteria evaluasi yang tepat dapat dilakukan melalui studi literatur, studi analitis atau survey opini. Sekumpulan tujuan dan atribut
yang digunakan dalam untuk pengambilan keputusan tertentu dipengaruhi oleh ketersediaan data. Demikian juga pemilihan atribut juga dibatasi oleh waktu dan
biaya Malczewski, 1999.
Gambar 2-28 Analisis Spasial Multi Kriteria dalam GIS
2.4.5.3.2 Peta Kriteria Peta kriteria merupakan output dari tahap identifikasi kriteria evalusi. Peta ini
dihasilkan setelah input data ke GIS akuisisi, reformatting, georeferensi, compiling
dan dokumentasi data-data yang relevan disimpan dalam bentuk
Rumusan Permasalahan
Kriteria Evaluasi Kendala
Alternatif
Kendalapeta alternatif yang layak
Peta Kriteria
Matriks keputusan Decision matrix
Decision rule
Pengurutan alternatif
Analisa sensitivitas
Rekomendasi Final Preferensi
pengambil keputusan
Bobot Kriteria
tabular dan grafis, dimanipulasi dan dianalisa untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Dengan bantuan berbagai teknik di GIS peta dasar pada area studi
dapat dibuat dan digunakan untuk memproduksi beberapa peta kriteria. Masing- masing kriteria dipresentasikan pada peta sebagai sebuah layer dalam GIS. Setiap
peta merepresentasikan satu kriteria dan disebut sebagai layer tematik atau data layer. Peta-peta tersebut merepresentasikan seperti apa atribut-atribut
didistribusikan dalam ruang dan bagaimana entitas tersebut meraih tujuannya. Dengan kata lain, sebuah layer peta merepresentasikan sekumpulan alternatif
lokasi untuk pengambilan keputusan. Masing-masing alternatif dibagi menjadi beberapa klas atau diberikan nilai untuk merepresentasikan tingkat preferensi dari
alternatif berdasarkan kriteria yang diberikan. Atribut-atribut harus terukur dalam ukuran tertentu yang merefeksikan variabilitasnya. Skala diklasifikasikan sebagai
skala kualatatif maupun skala kuantitatif. Sebagai contoh kondisi sosial dan politik sebuah wilayah dapat direpresentasikan dengan menggunakan skala
kualitatif, namun untuk jumlah penduduk, jarak, kapasitas produksi menggunakan skala kuantitatif.
2.4.5.3.3 Standarisasi Kriteria Untuk memungkinkan pembandingan antara masing-masing alternatif, skala
pengukuran kriteria yang berbeda-beda harus disamakan terlebih dahulu. Hal ini sangaat penting dalam evaluasi kriteria jamak. Peta kriteria harus distandarisasi
terlebih dahulu Malczewski, 1999. Menurut Malczewski 1999 prosedur linier dan non linier dapat digunakan untuk keperluan ini. Terkait dengan metode linier
terdapat dua prosedur yang dapat dipertimbangkan penggunaannya, yaitu prosedur skor maksimum dan prosedur rentang nilai. Metode standarisasi yang
lain seperti hubungan probabilistik dan fuzzy dijelaskan oleh Malczewski 1999. Prosedur maksimum skor adalah salah satu metode transformasi skala linier.
Prosedur ini menggunakan formula yang sederhana yang membagi masing- masing skor baris dengan nilai maksimum dari kriteria yang bersangkutan
Malczewski, 1999:
Dimana adalah skor yang telah distandarisasi untuk objek ke i alternatif
yang layaklokasi dan atribut ke j, adalah skor dari objek dan
adalah skor maksimum dari atribut ke-j. Skore yang telah terstandarisasi nilainya berkisar
antara 0 sampai 1. Kriteria benefit adalah kriteria yang seharusnya dimaksimumkan. Sebagai contoh, semakin tinggi skor yang diberikan semakin
baik kinerjanya. Namun, jika kriteria yang ada harus diminimalkan, atau semakin kecil semakin baik, maka formula yang digunakan adalah sebagai berikut:
Kriteria seperti ini sering dirujuk sebagai kriteria cost. Kelebihan dari transformasi langsung ini adalah bahwa urutan besaran proporsional maupun
relatif adalah sama. Kekurangan dari metode ini adalah jika skor lebih beasar dari 0, standarisasi skor minimal tidak akan sama dengan 0. Hal ini membuat
interpretasi alternatif yang paling tidak atraktif menjadi sulit Malczewski, 1999. Alternatif yang terbaik akan bernilai 1.
Metode alternatif yang lain adalah prosedur rentang nilai yang dihitung dengan formula sebagai berikut:
Untuk kriteria benefit, dan
Untuk kriteria cost. Faktor xj min adalah skor minimum dari atribut ke-j, xj max adalah skor
maksimum untuk atribut ke-j, dan adalah rentang nilai dari
kriteria. Rentang nilai adalah dari 0 sampai dengan 1, skor terburuk yang telah distandarisasi adalah 0 dan yang terbaik adalah 1. Tidak seperti prosedur skor
maksimum, prosedur rentang nilai tidak menjaga perubahan proporsional dalam hasil. Transformasi skala linier dapat digunakan salah satunya untuk
menstandarisasi peta proximity Malczewski, 1999. Prosedur standarisasi yang telah dirumuskan diatas dapat dengan mudah kemudian ditransformasikan untuk
keperluan standarisasi model data GIS berbasis raster seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2-29.
Gambar 2-29 Prosedur Rentang Skor Nilai dalam GIS
2.4.5.3.4 Penentuan Bobot Bobot untuk kriteria biasanya ditentukan melalui proses konsultasi dengan
pengambil keputusan decision makers yang kemudian akan menghasilkan nilai rasio yang dimasukkan kedalam masing-masing peta kriteria criterion map.
Bobot tersebut merefleksikan preferensi relatif dari satu kriteria dengan kriteria yang lain. Dalam hal ini bobot dapat diekspresikan dalam sebuah vektor kardinal
atas preferensi kriteria ternormalisasi sebagai berikut:
Normalisasi dimaksudkan untuk memperoleh total bobot sama dengan 1 atau 100, tergantung apakah akan dipresentasikan dalam prosentase atau rasio. Cara
lain untuk mengekspresikan preferensi adalah mengkaitkan dengan skor kriteria. Dengan demikian akan dapat ditentukan batas nilai minimum maupun
maksimumnya atau tingkat aspirasi yang diinginkan Jankowski, 1995. Pendekatan yang kedua ini lebih cocok untuk diterapkan pada kendala-kendala
lokasi Aminu, 2007.
70 18 18 95 30 30
33 33 52
18 18 18 18 18 18
18 18 18
95 95 95 95 95 95
95 95 95 52 0
77 12 12 15 15 34
77 77 77 77 77 77
77 77 77 0,675
0,000 0,000
1,000 0,156
0,156 0,195
0,195 0,442
� �
� �
Peta nilai minimum
Peta nilai maksimum
Peta kriteria
� �
� �
Peta kriteria yang telah distandarisasi
� �
� �
-
-
Penentuan bobot atau tingkat kepentingan masing-masing faktor biasanya dilakukan diluar perangkat lunak GIS meskipun ada beberapa perangkat lunak
GIS yang telah memiliki fasilitas tersebut dalam salah satu modulnya Jankowski, 1995.
Ada beberapa teknik untuk menentukan bobot kriteria. Beberapa yang paling populer adalah: metode ranking, metode rating, dan metode perbandingan
berpasangan. Karakteristik umum dari metode-metode tersebut adalah bahwa semuanya melibatkan pertimbangan subyektif dari pengambil keputusan terkait
dengan kepentingan relatif dari faktor-faktor keputusan. Ide dasar dari metode rating adalah mengatur kriteria dalam urutan menurut kepentingan relatifnya.
Kriteria diurutkan mulai dari yang paling penting sampai yang kurang penting. Setelah ranking disusun, beberapa prosedur untuk menghitung bobot numerik
dapat digunakan. Salah satu metode yang paling sederhana adalah mengurutkan jumlahnya sebagaimana ditunjukkan dalam formula berikut ini:
∑ Dimana
adalah bobot yang telah dinormalisasi untuk faktor ke-j, n adalah jumlah faktor yang dipertimbangkan dan
adalah posisi urutan dari faktor. Contoh dari perhitungan nilai ranking diperlihatkan pada Tabel 2-6.
Tabel 2-6 Contoh Prosedur Straight Rank Weighting
Ranking Bobot
∑
Bobot setelah dinormalisasi
1 5
0.333 2
4 0.267
3 3
0.200 4
2 0.133
5 1
0.067 Jumlah
15 1
Sumber: Rapaport dan Snickars 1998; Jankowski 1995 Metode rangking adalah metode pembobotan kriteria yang paling
sederhana. Hal ini kemudian mendatangkan kritik dari banyak pakar keputusan karena ketiadaan dasar teori untuk mengintepretasikan tingkat kepentingan dari
kriteria Malczewski, 1999. Kelompok kedua metode pembobotan adalah metode
rating. Ada dua pendekatan yang umum digunakan: prosedur point allocation dan prosedur ratio estimation. Karakteristik umumnya adalah bahwa pengambil
keputusan memiliki total poin, biasanya 100 yang diinginkan untuk didistribusikan diantara kriteria keputusan bergantung dengan tingkat
kepentingannya. Faktor yang lebih penting akan mendapatkan skor yang lebih tinggi dan faktor yang tidak memiliki kepentingan terhadap keputusan akan
diberikan nilai 0. Metode ini mirip dengan alokasi budget pada sebuah perusahaan. Pada pendekatan alokasi poin disini digunakan skala 0 sampai 100
atau 0 sampai 10. Poin-poin ini kemudian ditransformasikan kedalam bobot yang berjumlah 1. Prosedur estimasi rasio sebagimana yang ditunjukkan pada Tabel 2-7
merupakan modifikasi dari metode alokasi poin. Kriteria yang paling penting diberikan nilai 100 dan atribut-atribut yang lainnya diberikan nilai yang lebih
kecil proporsional dengan tingkat kepentingannya. Rasio yang terkecil digunakan sebagai dasar untuk menghitung rasio. Setiap nilai kriteria dibagi oleh nilai yang
terendah dan kemudian bobot di-normalisasi dengan membagi masing-masing bobot dengan total bobotnya. Mirip dengan metode rangking, metode rating tidak
memiliki dasar teoritis dan formal karena makna dari bobot sulit untuk dijustifikasi Malczewski, 1999.
Tabel 2-7 Penilaian Bobot dengan Menggunakan Prosedur Estimasi Rasio
Ranking Skala estimasi
ratio Bobot asli
Bobot setelah dinormalisasi
1 100
6.667 0.333
2 75
5.000 0.250
3 70
4.667 0.233
4 40
2.667 0.133
5 15
1.000 0.050
Jumlah 15
20 1.000
Metode berikutnya adalah Analytical Hierarchy Process AHP yang diusulkan oleh Saaty 1980 yang menggunakan metode perbandingan
berpasangan untuk pembobotan kriteria. Metode ini memiliki tiga langkah penting. Pertama, dilakukan perbandingan berpasangan untuk kriteria dan
hasilnya dimasukkan kedalam sebuah matrik perbandingan. Nilai sel matrik bernilai 1 sampai dengan 9 dan fraksi dari 19 sampai ½ yang merepresentasikan
tingkat kepentingan satu faktor dengan faktor yang lain secara berpasangan. Nilai dari matrik harus konsisten, yang mana berarti jika a dibandingkan dengan b
mendapatkan skor 5 kepentingan kuat, b dibandingkan dengan a seharusnya memiliki skor 15 sedikit tidak penting. Kriteria yang dibandingkan dengan
dirinya sendiri mendapatkan nilai 1 sama penting. Langkah berikutnya adalah menghitung bobot kriteria. Pertama-tama nilai dari masing-masing kolom
dijumlahkan dan setiap elemen dalam matrik dibagi dengan jumlah kolom dari masing-masing kolom. Matrik yang baru kemudian disebut sebagai matrik
perbandingan berpasangan yang telah dinormalisasi. Yang terakhir, rata-rata elemen pada masing-masing baris matrik yang telah dinormalisasi dikalkulasi.
Selanjutnya rasio konsistensi dihitung dalam upaya untuk memastikan apakah perbandingan kriteria yang dibuat oleh pengambil keputusan sudah konsisten atau
belum. Bobot yang diperoleh berdasarkan metode ini diinterpretasikan sebagai rata-rata semua bobot yang mungkin. Metode perbandingan berpasangan tersebut
diilustrasikan pada Tabel 2-8. Metode AHP ini lebih canggih dibandingkan dengan yang sebelumnya.
Namun metode ini masih tetap mendatangkan kritik terkait dengan cara untuk memperoleh rasio tingkat kepentingan. Kuisioner menanyakan tentang
kepentingan relatif dari kriteria tanpa melihat skala pengukurannya. Kritik yang lain adalah terkait dengan semakin hanyak kriteria yang digunakan semakin sulit
untuk memperoleh konsistensi yang yang memenuhi syarat. Namun kelebihannya adalah bahwa metode ini hanya membutuhkan 2 kriteria untuk dibandingkan pada
saat yang sama Malczewski, 1999. Pada saat memilih metode tertentu, sebaiknya dipertimbangkan
pemahaman pengambil keputusan terhadap permasalahan dan kemampuan dalam bidangnya. Akurasi yang diinginkan dan hasil hasil versus kesederhanaan metode
adlah juga faktor yang patut untuk dipertimbangkan dalam pemilihan metode. Malczewski 1999 menyatakan bahwa metode perbandingan berpasangan adalah
lebih tepat digunakan jika akurasi dan dasar teoritis menjadi titik perhatian. Metode rangking dan rating digunakan ketika kemudahan penggunaan, waktu dan
biaya merupakan pertimbangan yang utama. Yang perlu diperhatikan juga adalah
semakin canggih sebuah metode yang digunakan, semakin kurang transparan proses yang dilakukan untuk publik Malczewski, 1999.
Tabel 2-8 Ilustrasi Metode Pembandingan Berpasangan
Sumber: Saaty 1980 Teori keputusan yang lain yang mirip dengan AHP adalah Analytical
Network Process ANP. Thomas Saaty yang telah mengenalkan AHP mengembangkan kerangka yang lebih maju untuk menentukan prioritas yang
dikenal sebagai Analytical Network Process ANP. ANP memiliki perbedaan dengan AHP dalam hal proses perbandingan berpasangan yang dilakukan agar
supaya model keputusan yang dibuat dapat dibangun sebagai jaringan kerja yang melibatkan decision objective, kriteria, pihak-pihak yang berkepentingan,
alternatif, skenario dan faktor-faktor lingkungan yang lain yang mempengaruhi satu prioritas dengan prioritas yang lainnya. Konsep kunci dari ANP adalah
bahwa pengaruh tidak selalu harus mengalir ke bawah sebagaimana yang dilakukan dalam AHP. Pengaruh dapat mengalir diantara faktor-faktor dalam
jaringan yang menyebabkan hasil prioritas yang non linier dari pilihan alternatif. Sebagai contoh, ketika pengambil keputusan meningkatkan bobot kriteria,
alternatif mulai mendapatkan prioritas yang lebih tinggi, namun apabila bobot kriteria tersebut semakin tinggi, efek umpan balik dari dari jaringan kenyataannya
menyebabkan alternatif mulai mendapatkan prioritas yang semakin rendah. Kedua metode, baik AHP maupun ANP menggunakan skala prioritas
untuk elemen-elemen maupun kelompok elemen dengan membuat perbandingan berpasangan dari elemen-elemen tersebut. Meskipun banyak permasalahan
keputusan paling baik untuk dikaji dengan menggunakan ANP, namun tetap harus dibandingkan antara hasil yang diperoleh dengan menggunakan AHP atau
Langkah III a
b c
a b
c Bobot
a 1
4 8
0.725 0.769
0.571 0.688
b 0.25
1 5
0.181 0.192
0.357 0.244
c 0.13
0.2 1
0.094 0.038
0.071 0.068
Jumlah 1.380
5.200 14.000
1.000 1.000
1.000 1.000
Langkah I Langkah II
pendekatan keputusan yang lain dengan mempertimbangkan hasil, usaha yang dilakukan serta akurasi dan relevansi dari hasil.
ANP sangat berguna dalam pemodelan prediktif dimana pengaruh sistem yang lebih luas dapat difaktorkan dalam keputusan. Aplikasi terbaik dari ANP
adalah pada keputusan-keputusan dimana risiko dan ancaman merupakan faktor utama dalam proses pengambilan keputusan, dan keberhasilan organisasi sangat
tergantung pada pemahaman yang menyeluruh tentang keseluruhan sistem dan bukan hanya tujuan dan sasaran bisnis semata Aminu, 2007.
Bentuk umum dari analytical network process ANP super matrix dapat dijelaskan pada Gambar 2-30.
Gambar 2-30 Struktur Umum Super Matrix
Dimana CN menunjukkan klaster ke-N, eNn menunjukkan elemen ke n dalam klaster ke-N, dan blok matriks Wij terdiri dari kumpulan vektor bobot prioritas
w yang mempengaruhi elemen-elemen dalam klaster ke i . Jika klaster ke-i tidak memiliki pengaruh pada klaster ke-j, maka Wij = 0. Matrik yang diperoleh pada
langkah ini disebut sebagai super matriks awal. 2.4.5.3.5 Decision Rules
Langkah berikutnya adalah menyusun semua alternatif yang diperoleh dalam tabel keputusan menurut kinerjanya. Metode untuk mengagregasi skor alternatif disebut
sebagai decision rule. Tabel keputusan disusun dari kriteria evaluasi dan atributnya untuk setiap alternatif yang layak. Tabel keputusan dapat ditulis dalam
sebuah matriks seperti berikut: [
]
Dimana, i = alternatif
j = kriteria
Matriks tersebut selanjutnya dikalikan dengan vektor bobot untuk mendapatkan nilai dari masing-masing alternatif. Cara paling mudah adalah dengan
menggunakan metode simple additive weighting SAW dengan menjumlah hasil perkalian tersebut untuk setiap alternatif. SAW meranking alternatif dari yang
terbesar sampai yang terkecil demikian juga sebaliknya dilakukan inverse additive weighting jika yang terbaik adalah yang memiliki nilai yang terkecil.
Gambar 2-31 Metode Additive Weighting Sederhana pada Data Raster
70 18
18 0.675
0.000 0.000
0.75 0.506
0.000 0.000
95 30
30 1.000
0.156 0.156
0.750 0.117
0.117 33
33 52
0.195 0.195
0.442 0.146
0.146 0.331
0.506 0.000
0.210 7
1 2
0.750 0.347
0.327 8
4 3
0.376 0.376
0.541 5
5 6
25 25
4 0.000
0.000 0.840
0.25 0.000
0.000 0.210
25 2
4 0.000
0.920 0.840
0.000 0.230
0.210 2
2 3
0.920 0.920
0.840 0.230
0.230 0.210
PETA SKOR KRITERIA PETA KRITERIA
TERSTANDARISASI PETA KRITERIA TERBOBOT
PETA SKOR KESELURUHAN
PETA RANKING
2.4.6 Model Lintasan Terpendek Shortest Path
Saat ini cukup banyak algoritma-algoritma yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan penentuan lintasan terpendek shortest path problem
dari suatu graf. Solusi yang didapat dari penelusuran algoritma tersebut dapat diberi nama Pathing Algorithm. Ada dua algortima yang cukup terkenal yang bisa
digunakaan untuk menyelesaikan persoalan lintasan terpendek, yaitu: Algoritma Dijkstra Dijkstra, 1959 dan Algoritma Bellman-Ford Bang-Jensen dan Gutin,
2000. Algoritma Dijkstra sebagai salah satu algoritma yang populer untuk
menangani permasalahan lintasan terpendek shortest path problem dalam sebuah jaringan adalah sebuah algoritma yang ditemukan oleh seorang ilmuwan
komputer asal Belanda Edsger Dijkstra pada tahun 1956. Djikstra mempublikasikan temuannya pada tahun 1959 dengan judul A Note on Two
Problems in Connexion with Graphs Dijkstra, 1959. Algoritma ini selanjutnya
dikenal dengan nama algoritma Djikstra sesuai dengan nama penemunya. Algoritma Djikstra sebagaimana yang telah dijelaskan diatas merupakan
algoritma yang bersifat greedy dan bertujuan untuk menemukan jalur terpendek untuk sebuah graf berarah directed graph berdasarkan bobot terkecil dari satu
titik node ke titik node lainnya yang bernilai non negatif. Sebuah titik dapat menggambarkan sebuah entitas spasial seperti kebun, pabrik maupun pelabuhan.
Misalkan titik mengambarkan pabrik dan garis menggambarkan jalan, maka algoritma Dijkstra dapat melakukan perhitungan terhadap semua kemungkinan
bobot terkecil dari setiap titik. Contoh keterhubungan antar sekumpulan node diperlihatkan pada Gambar 2-32 berikut ini:
Gambar 2-32 Contoh Keterhubungan Sekumpulan Node dalam Sebuah Graf
Untuk menyelesaikan permasalahan diatas dengan menggunakan algoritma Djikstra, pertama-tama harus ditentukan node awal atau titik
keberangkatan terlebih dahulu. Dalam contoh diatas node awal nya adalah titik a dan node akhirnya adalah titik b. Berikutnya berikan bobot dari node pertama ke
node yang terdekat secara bertahap. Algoritma Djikstra akan mencari solusi dari satu node ke node yang lainnya tahap demi tahap dengan logika sebagai berikut:
a. Tentukan nilai bobot untuk setiap titik ke titik lainnya, dan tentukan nilai 0 pada node awal dan nilai tak hingga pada node yang belum terisi. Nilai
bobot dapat berupa jarak, waktu tempuh maupun biaya. b.
Tentukan semua node sebagai node yang “belum dihitung” dan tentukan node awal sebagai “node origin”.
c. Dari node origin, pertimbangkan node tetangga yang belum dihitung dan hitung bobotnya dari titik origin. Sebagai contoh, jika titik origin A ke
destinasi B memiliki bobot 8 dan dari B ke node C memiliki bobot 2, maka bobot ke C melewati B menjadi 8 + 2 = 10. Jika bobot ini lebih kecil
dari bobot sebelumnya yang telah tersimpan, hapus data yang lama, simpan ulang bobot yang baru menggantikan bobot yang lama.
1
2 3
6
4 5
∞ ∞
∞ ∞
∞
∞
a b
8 15
16 10
10 7
12
11 3
d. Setelah setiap bobot terhadap node tetangga selesai dipertimbangkan, tandai node yang telah dihitung sebagai “node terhitung”. Node terhitung
tidak akan pernah dianalisa kembali, bobot yang disimpan adalah bobot yang terakhir dan yang paling minimal bobotnya.
e. Tentukan “node belum terhitung” dengan bobot terkecil dari node origin
sebagai “node keberangkatan” selanjutnya dan lanjutkan dengan kembali
ke langkah c.
Berikut ini adalah langkah demi langkah penerapan algoritma Djikstra untuk menemukan lintasan yang terpendek dari graf yang telah ditunjukkan
diatas. Langkah pertama:
Pastikan semua node telah terhubung satu sama lain sesuai dengan sistem amatan sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 2-33. Dalam contoh yang dibahas
disini node awal adalah 1 dan node tujuan adalah 5. Setiap jalur yang menghubungkan antar node telah diberi nilai bobotnya.
Gambar 2-33 Contoh Penyelesaian dengan Algoritma Djikstra Langkah 1
1
2 3
6
4 5
a b
8 15
16 10
10 7
12
11 3
Langkah kedua: Algoritma Dijkstra melakukan perhitungan terhadap node tetangga yang
terhubung langsung dengan node keberangkatan node 1, dan hasil yang didapat adalah node 2 karena bobot nilai node 2 paling kecil dibandingkan nilai pada node
lain, nilai = 8 0+8 sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2-34.
Gambar 2-34 Contoh Penyelesaian dengan Algoritma Djikstra Langkah 2
Langkah ketiga: Node 2 ditentukan menjadi node keberangkatan dan ditandai sebagi node yang
telah terhitung lihat Gambar 2-35. Dijkstra melakukan kalkulasi kembali terhadap node-node tetangga yang terhubung langsung dengan node yang telah
terhitung. Dan kalkulasi dijkstra menunjukan bahwa node 3 yang menjadi node keberangkatan selanjutnya karena bobotnya yang paling kecil dari hasil kalkulasi
terakhir, nilai 10 0 + 10. 1
2 3
6
a
8 15
10
8
Gambar 2-35 Contoh Penyelesaian dengan Algoritma Djikstra Langkah 3
Langkah keempat:
Perhitungan berlanjut dengan node 3 ditandai menjadi node yang telah terhitung lihat Gambar 2-36. Dari semua node tetangga belum terhitung yang terhubung
langsung dengan node terhitung, node selanjutnya yang ditandai menjadi node terhitung adalah node 6 karena nilai bobot yang terkecil, nilai 13 10 + 3.
Gambar 2-36 Contoh Penyelesaian dengan Algoritma Djikstra Langkah 4
1
2 3
6
4
a
8 15
16 10
11 10
24
1
2 3
6
4
a
8 15
16 10
12
11 3
13
22
Langkah Kelima: Node 6 menjadi node terhitung, Dijkstra melakukan kalkulasi kembali, dan
menemukan bahwa node 5 yang merupakan node destinasi telah tercapai lewat node 6. Jalur terpendek akhirnya dapat diidentifikasi yaitu jalur yang melalui node
1-3-6-5, dan nilai bobot yang diperoleh adalah sebesar 23 13 + 10. Karena node destinasi telah diperoleh, maka algoritma dijkstra telah selesai menjalankan
tugasnya. Lintasan terpendek dapat dilihat pada Gambar 2-37.
Gambar 2-37 Contoh Penyelesaian dengan Algoritma Djikstra Langkah 5
Dalam mencari lintasan terpendek, algoritma yang paling banyak digunakan saat ini adalah algoritma Dijkstra, karena kerjanya paling efisien dan tidak
membutuhkan waktu yang banyak.
1
2 3
6
4 5
a b
8 15
16 10
10 7
12
11 3
23 29
2.4.7 Model Lokasi-Alokasi Berbasis Spasial
Model lokasi-alokasi berbasis spasial adalah sebuah model matematis yang dimasukkan ke dalam sistem informasi geografis untuk memecahkan
permasalahan pasokan yang sesuai dengan kebutuhan dengan menggunakan sekumpulan tujuan dan kendala Church dan ReVelle, 1974. Pada dasarnya
model lokasi-alokasi bertujuan untuk menentukan lokasi yang optimal dari sebuah layanan dalam rangka untuk melayani populasi dengan cara yang paling efisien.
Model lokasi-alokasi cukup banyak digunakan oleh sektor organisasi dan perusahaan untuk mencari lokasi gudang, toko, dan fasilitas swasta lainnya
dengan cara yang paling optimal. Lokasi-alokasi juga digunakan dalam sektor publik untuk menentukan layanan darurat rumah sakit, sekolah, perpustakaan,
depot, gudang dan fasilitas umum lainnya secara optimal. Sebagai contoh, Armstrong dan Densham 1991 serta Armstrong, Rushton et al. 1991
menggunakan model lokasi-alokasi untuk mengoptimalkan relokasi pusat layanan sekolah umum di seluruh negara bagian Iowa.
Ada beberapa jenis model lokasi-alokasi. Yang paling umum digunakan model lokasi-alokasi yang meminimumkan jarak dan memaksimumkan
cakupancoverage Ghosh, McLafferty et al., 1995. Model lokasi-alokasi yang meminimumkan jarak atau bobot jarak, waktu dan biaya paling sering
digunakan dalam berbagai publikasi yang ada adalah model lokasi-alokasi dengan jarak minimum atau biaya minimum. Model ini juga dikenal sebagai model p-
Median yang berusaha untuk meminimalkan total jarak maupun bobot yang
ditempuh dari titik permintaan ke pusat pasokan terdekat mereka Hakimi, 1964. Formula umum untuk model P-Median adalah sebagai berikut: Minimumkan
fungsi obyektif z, dimana ∑
∑ dengan kendala
∑ ;
∑ ;
. Dimana menunjukkan jumlah alokasi dari sumber i ke
tujuan j, m adalah jumlah fasilitas yang ada, n adalah jumlah permintaan yang dilayani,
adalah kapasitas fasilitas i, adalah demand node j dan
adalah biaya transportasibobot dari sumber i ke tujuan j Church dan ReVelle, 1974.
Model ini digambarkan pada Gambar 2-38 berikut.
Gambar 2-38 Model Alokasi p-median yang Meminimumkan Impedansi
Sejarah lokasi-alokasi sendiri dimulai oleh Hakimi 1964 yang melakukan penelitian di Northwestern University untuk menemukan lokasi yang optimal
pusat switching untuk jaringan telepon, yang secara konseptual diterjemahkan untuk menemukan pusat mutlak dan median dari sebuah graf. Hakimi mengamati
bahwa ketika berusaha menemukan pusat switching pada jaringan komunikasi, pusat tersebut cenderung menempati simpul jaringan Hakimi, 1964. Namun,
pada saat mencari sebuah layanan publikswasta, lokasi yang paling optimal bisa jadi bukan di persimpangan simpul. Hakimi menemukan bahwa jaringan
komputer nasional di Amerika akan mendapat manfaat dari pusat komunikasi yang ditempatkan pada atau dekat pusat negara, sebagaimana halnya dengan
Kansas City, Missouri di AS dimana Pemerintah memiliki salah satu pusat komputer untuk beberapa instansi pemerintah yang berbeda. Kansas City terletak
di tengah wilayah Amerika Serikat yang secara optimal akan mengurangi waktu transit data dari pantai barat ke pantai timur. Jika salah satu pusat ditempatkan di
Miami, Florida maka akan memakan waktu lebih lama bagi data yang akan dikirim dari Los Angeles, California ke Portland, Maine keduanya di pantai
barat karena harus transit melalui pusat pantai timur. Variasi dari model minimasi jarak adalah dengan memasukkan
penambahan kendala jarak ke model LA tradisional. Salah satu alasan dibalik penambahan kendala jarak adalah berkaitan dengan isu permasalahan nyata
seperti kemacetan lalu lintas Marianov dan Serra, 1998.
Penggunaan lain untuk model kendala minimasi jarak adalah untuk menentukan lokasi layanan darurat. Layanan darurat hampir selalu memiliki
beberapa jenis kendala jarak atau waktu terkait dengan seberapa cepat mereka harus dapat memenuhi panggilan layanan Figueroa dan Kartusch, 2000; Fitch,
2005. Jika pemadam kebakaran pemerintah daerah menyatakan bahwa diperlukan waktu respon 5 menit, dan kondisi jalan hanya memungkinkan pada kecepatan 30
mil per jam, maka kendala jarak untuk mencari stasiun akan lebih dari 2,5 mile dari titik permintaan.
Varian ketiga dari model LA adalah permasalahan maksimum coveragecakupan MCLP. Model ini berusaha memaksimasi layanan terhadap
populasi yang dapat dilayani pada jarak layanan yang ditentukan atau waktu yang terbatas pada sejumlah fasilitas Church dan ReVelle, 1974. Formula untuk
permasalahan ini dapat dinyatakan sebagai berikut: Maksimumkan
∑ Kendala
∑ ∑
�
Dimana,
d
ij
= Jarak terpendek dari node i ke node j xj =
{ } {�
}
Salah satu tujuan dari MCLP yang dikembangkan lebih lanjut adalah meminimumkan jumlah orang yang tidak dilibatkan dalam jarak layanan S
maksimum yang diinginkan Church dan Meadows, 1979. Jika terdapat sejumlah
besar permintaan yang diluar lingkup, salah satu cara yang lebih baik adalah melayani permintaan-permintaan dengan model alokasi kendala jarak minimum.
Gambar 2-39 dan Gambar 2-40 berikut ini memperlihatkan model MCLP yang memaksimumkan cakupan dari layanan yang diberikan oleh fasilitas yang ada.
Gambar 2-39 Model Spasial Maksimasi Cakupan dengan Sebanyak Mungkin Demand Dilayani oleh Fasilitas
Gambar 2-40 Hasil Pemetaan Maksimasi Cakupan
Jenis model lokasi-alokasi berbasis spasial yang lainnya adalah model maksimasi kunjungan. Model ini menentukan lokasi fasilitas dengan cara
meminimumkan jarak dari pusat fasilitas untuk sebagian besar populasi Holmes, Williams et al., 1972; Daskin, 2008. Model ini sangat berguna untuk menentukan
alokasi untuk unit gawat darurat UGD, layanan sosial, pusat perbelanjaan, dan
fasilitas-fasilitas lainnya dimana ada sejumlah besar orang yang akan berkunjung. Representasi umum dalam peta ditunjukkan pada gambar berikut ini.
Gambar 2-41 Model Maksimasi Kunjungan
Model lokasi-alokasi dapat menjadi sangat spesifik dan kompleks apabila ingin menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh Branas,
MacKenzie et al. 2000 membangun model respon unit gawat darurat yang mana mempertimbangkan waktu perjalanan dari lokasi kejadian ke lokasi UGD dan
kemudian waktu perjalanan dari UGD ke rumah sakit utama yang terdekat yang mana mengasumsikan bahwa lokasi UGD memiliki jarak ke rumah sakit utama.
Jenis model LA lainnya adalah model-model yang memiliki tujuan untuk meminimalkan fasilitas yang terlibat dalam sistem. Fasilitas diletakkan
sedemikian rupa sehingga sebanyak mungkin titik permintaan yang dapat dialokasikan ke fasilitas solusi dalam cutoff impedansi, selain itu, jumlah fasilitas
yang diperlukan untuk menutupi poin permintaan diminimalkan Schietzelt dan Densham, 2003. Contoh pemetaan untuk model tersebut diperlihatkan pada
Gambar 2-42 dan Gambar 2-43 berikut ini.
Gambar 2-42 Model Spasial Minimasi Fasilitas yang Terlibat dalam Sistem
Gambar 2-43 Contoh Hasil Pemetaan untuk Model Minimasi Fasilitas yang Terlibat dalam Sistem
Meminimalkan Fasilitas hampir sama dengan memaksimalkan cakupan tetapi dengan pengecualian dari jumlah fasilitas yang teralokasi. Beberapa hal berikut
ini adalah poin-poin penting bagaimana model minimasi fasilitas dapat memenuhi permintaan:
a. Setiap titik permintaan diluar semua impedansi fasilitas, tidak dialokasikan.
b. Titik-titik permintaan dalam area cakupan impedansi fasilitas memiliki bobot permintaan yang sama untuk dialokasikan dari fasilitas tersebut.
c. Sebuah titik permintaan dalam cutoff impedansi dari dua atau lebih fasilitas memiliki bobot permintaan yang dialokasikan ke fasilitas terdekat
saja. Seringkali diperlukan untuk mengalokasikan produkjasa dalam upaya untuk
memaksimumkan pangsa pasar dari perusahaanorganisasi. Sejumlah fasilitas dipilih sedemikian rupa sehingga permintaan dialokasikan semaksimum mungkin
untuk menghadapi pesaing. Tujuannya adalah untuk menangkap sebanyak mungkin pangsa pasar melalui fasilitas yang ada yang telah di tentukan. Total
pangsa pasar adalah jumlah dari seluruh bobot permintaan untuk titik-titik permintaan yang valid.
Permasalahan memaksimumkan pangsa pasar merupakan jenis masalah yang memerlukan paling banyak data karena disamping harus diketahui fasilitas
yang dimiliki sendiri kita juga perlu tahu fasilitas dari pesaing. Permasalahan yang mirip dengan model ini adalah permasalahan memaksimalkan kehadiran yang
mempertimbangkan pangsa pasar. Untuk permasalahan ini, harus dimiliki informasi yang komprehensif terkait dengan data pesaing. Toko diskon besar
biasanya menggunakan model maksimasi pangsa pasar untuk mencari sekumpulan toko baru yang terbatas. Permasalahan maksimasi pangsa pasar ini
umumnya menggunakan model Huff, yang juga dikenal sebagai model gravitasi Dramowicz, 2005. Gambaran spasial dari model maksimasi pangsa pasar ini
ditunjukkan pada Gambar 2-44 berikut ini.
Gambar 2-44 Model Spasial Maksimasi Pangsa Pasar
Terkadang kita juga menginginkan untuk menentukan target pangsa pasar tertentu yang dapat diraih dari sejumlah permintaan yang ada dengan
mempertimbangkan pesaing. Gambaran model spasial untuk permasalahan ini ditunjukkan pada gambar berikut ini.
Gambar 2-45 Model Spasial dengan Target Pangsa Pasar Tertentu
Toko diskon besar biasanya menggunakan model target pangsa pasar ketika mereka ingin tahu ekspansi yang diperlukan untuk mencapai tingkat
tertentu dari pangsa pasar atau untuk melihat strategi apa yang diperlukan untuk mempertahankan pangsa pasar mereka saat ini dengan adanya fasilitas dari
pesaing. Dalam kasus lain di mana terdapat keterbatasan anggaran, maka keputusan yang harus diambil adalah menangkap sebanyak mungkin pangsa pasar
dengan sejumlah batasan fasilitas.
2.4.8 Simulasi Berbasis Spasial
Untuk mendapatkan pemahaman terhadap perilaku sistem dan kinerjanya, melakukan eksperimen pada sistem yang nyata akan memiliki konsekuensi biaya
dan risiko yang tinggi. Salah satu cara untuk mengevaluasi sebuah rancangan sistem adalah dengan melakukan simulasi sistem. Simulasi akan meniru perilaku
sistem dan
rancangan sistem
dan selanjutnya
dapat memberikan
gambaranterhadap kinerja sistem yang sebenarnya tanpa harus mengganggu sistem physiknya. Dengan menggunakan simulasi, dapat dibuat skenario-skenario
perbaikan sistem dan melakukan evaluasi terhadap inisiatif-inisiatif tersebut.
Ada beberapa tipe pemodelan simulasi yang dikenal Harrington dan Tumay, 2000, yaitu:
a. Metode pemodelan simulasi analitis b. Metode pemodelan simulasi kontinyu
c. Metode pemodelan simulasi discrete event, dan d. Metode pemodelan simulasi berorientasi object.
Metode pemodelan simulasi analitis menitikberatkan pada beberapa aspek kompleksitas dinamik seperti sejumlah pelanggan yang berkompetisi untuk
memperebutkan sumberdaya yang sama dan beberapa variabilitas yang berhubungan dengan proses kedatangan dan pelayanan. Model analitis
menyediakan estimasi kinerja steady-state agregat yang jauh lebih akurat dibandingkan dengan menggunakan analisis pada spreadsheet. Gambar 2-46
mengilustrasikan konsep kinerja steady-state. Keunggulan dari simulasi analitis adalah pemodelan dan proses eksekusi simulasi yang lebih cepat.
Gambar 2-46 Kinerja Steady-state pada Simulasi Analitis
Pemodelan simulasi kontinyu dapat menangkap proses dinamis dengan menggunakan persamaan diferensial dan dapat mengandung perilaku random.
Model kontinyu memiliki kemampuan baik untuk phenomena steady-state maupun phenomena transien Harrington dan Tumay, 2000. Animasi dan model
80 Steady-state
Waktu Utilisasi Server
kontinyu lebih bernilai dibandingkan dengan model analitis karena bottleneck dan flow dapat divisualisasikan dengan gauges dan dials. Pemodelan tipe ini lebih
tepat untuk memodelkan volume yang besar dan proses produksi kontinyu. Gambar 2-47 berikut ini memperlihatkan model simulasi kontinyu.
Gambar 2-47 Simulasi Kontinyu
Pemodelan discrete event memungkinkan untuk merumuskan perilaku acak dengan distribusi dan ekspresi kemungkinan. Model discrete event
menghasilkan output yang acak dan oleh karena itu hanya merupakan estimasi dari perilaku yang sesungguhnya dari sebuah sistem. Replikasi harus dibuat dan
rata-rata harus diperoleh untuk mendapatkan estimasi dari ukuran-ukuran kinerja yang diharapkan.
Pada proses simulasi discrete event, entitas merepresentasikan produk atau jasa yang memperebutkan sumber daya untuk melakukan aktivitasnya. Oleh
karena itu simulasi discrete event adalah teknik simulasi yang paling natural untuk pemodelan dan analisis proses. Animasi dari model discrete event dapat sangat
impresif dan berguna untuk kepentingan validasi dan presentasi. Animasi dari discrete event juga bisa dilakukan dalam peta dan tergambar secara spasial
merepresentasikan sistem nyata dengan lebih baik OSullivan dan Perry, 2011. Salah satu contoh nyata representasi animasi dari discrete event simulation dapat
dilihat pada Gambar 2-48 berikut ini.
Stock PKS01 Produksi PKS01
Kapasitas PKS01 Tanki Timbun PO-01
Pengiriman CPO PKS01
Kapasitas Alat Angkut PKS01
Loading PO-01 Loading Rate PO-01
Barge Arrival to PO- 01
Stock PKS02 Produksi PKS02
Kapasitas PKS02
Pengiriman CPO PKS02
Kapasitas Tanki Timbun PO-01
Jumlah Alat Angkut PKS01
Shortage Surplus
Jumlah Alat Angkut PKS02
Kapasitas Alat Angkut PKS02
Gambar 2-48 Simulasi Discrete Event Berbasis Spasial
Salah satu kelemahan dari simulasi discrete-event ini adalah biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk proses running dibandingkan dengan
model simulasi analitis dan kontinyu. Tantangan pemodelan simulasi discrete- event ini adalah keahlian yang dibutuhkan untuk membangun model yang valid.
Contoh logika proses simulasi discrete-event ini ditunjukkan pada Gambar 2-49.
Gambar 2-49 Konsep Dasar Simulasi Discrete Event
Banks, II et al. 2010 dalam bukunya yang berjudul Discrete-event System Simulation memberikan gambaran langkah-langkah utama dalam
melakukan studi simulasi sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 2-50.
t
Generate Arrival Entity
Dispose Entity Wait for
Resource Advance Time
Free Resource
Adapun langkah-langkah untuk melakukan simulasi komputer adalah sebagai berikut:
1. Perumusan masalah
Setiap studi harus didahului dengan pendefinisian permasalahan. Jika definisi permasalahan diberikan oleh pembuat kebijakan, atau pemilik masalah, maka
peneliti harus memastikan bahwa permasalahan tersebut telah jelas dapat dipahami. Jika perumusan masalah dilakukan oleh peneliti, maka harus
dipastikan juga pembuat kebijakan memahami dan menyetujui perumusan masalah tersebut. Meskipun tidak ditunjukkan pada gambar, harus dipahami
bahwa perumusan masalah dapat dilakukan berulang seiring dengan berkembangnya penelitianstudi. Pada umumnya, pembuat kebijakan dan
peneliti menyadari bahwa permasalahan telah terjadi lama sebelum karakteristik permasalahan diketahui.
2. Penentuan tujuan dan perencanaan proyek penelitian
Tujuan menunjukkan pertanyaan yang harus dijawab oleh simulasi. Pada titik ini, harus sudah ditetapkan apakah simulasi merupakan metode yang tepat
untuk penyelesaian masalah seperti yang telah dirumuskan dan tujuan yang telah ditetapkan. Dengan mengasumsikan bahwa simulasi adalah metode yang
tepat, dalam perencanaan proyek juga harus menyertakan sistem alternatif yang dapat digunakan dan metode evaluasi efektivitas dari alternatif-alternatif
tersebut. Dalam rencana proyek penelitian juga perlu menyertakan kebutuhan tenaga SDM, biaya penelitian, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
setiap tahapan, dan hasill yang diharapkan pada akhir setiap tahapannya.
3. Konsep pemodelan
Pembangunan sebuah model dari sebuah sistem cenderung lebih ke arah seni daripada sainsilmu pengetahuan. Pritsker 1998 membahas panjang lebar
tentang tahapan ini. “Meskipun tidak memungkinkan untuk memberikan instruksi detil yang dapat menuntun pembangunan model yang sesuai pada
setiap kasus, namun ada beberapa pedoman umum yang dapat diiku ti”
Morris, 1967. Seni memodelkan akan semakin baik dengan kemampuan mengintisarikan kunci permasalahan yang diteliti, memilih dan memodifiksi
asumsi-asumsi dasar yang menggambarkan karakteristik sistem, dan memperkaya serta mengembangkan model sampai didapatkan hasil yang
diinginkan. Oleh karena itu, sebaiknya kita memulai dengan model sederhana dan membangunnya perlahan. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa model yang
dibangun tidak perlu melebihi tingkat yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan penelitian. Jika model dibangun melebihi tingkat yang dibutuhkan maka hal
tersebut hanya akan menambah biaya pembangunan model. Pendekatan sangat detil dari sistem nyata ke model one-to-one mapping tidak diperlukan, cukup
sampai dengan intisari dari sistem nyata yang dibutuhkan. Disarankan untuk melibatkan pengguna model dalam pembuatan konsep
model. Melibatkan pengguna model akan memperbaiki kualitas model yang dihasilkan dan juga menambah kepercayaan diri pengguna model dalam
aplikasinya.
4. Pengumpulan data
Ada hubungan saling mempengaruhi antara pembangunan model dan kumpulan data input Shannon, 1975. Ketika model berubah, maka elemen
data yang dibutuhkan juga akan berubah. Yang perlu diperhatikan adalah karena pengumpulan data merupakan tahapan yang paling besar porsinya
dalam melakukan simulasi, maka akan sangat penting untuk memulai pengumpulan data pada awal penelitian, umumnya bersamaan dengan tahapan
awal pembangunan model. Tujuan penelitian sangat menentukan jenis data yang harus diperoleh.
Contohnya pada studi antrian di bank, maka data-data yang dibutuhkan adalah distribusi antar kedatangan nasabah pada waktu yang berbeda tiap harinya,
distribusi pelayanan kasir bank, dan data historis distribusi antrian dalam beragam situasi.
5. Penerjemahan model
Sebagian besar sistem real ketika dimodelkan memerlukan penyimpanan informasi dan komputasi yang cukup kompleks, maka model harus dibuat
dalam format yang dapat dikenal komputer computer-recognizable.
Modeller harus menentukan akan menggunakan software yang dapat
digunakan simulasi untuk tujuan penelitiannya.
6. Verifikasi
Langkah verifikasi ini dimaksudkan untuk menguji apakah programperangkat lunak yang digunakan telah berjalan dengan baik. Pada model yang rumit,
sangat sulit, jika tidak bisa dibilang tidak mungkin, untuk menterjemahkan model pada perangkat lunak tanpa proses debugging yang dilakukan berulang-
ulang; jika parameter input dan struktur logika dari model telah mampu direpresentasikan dengan baik pada perangkat lunak, maka proses verifikasi
telah selesai.
7. Validasi
Validasi umumnya dilakukan dengan melakukan kalibarasi model, proses iterasi dengan membandingkan model dengan perilaku sistem aktual dan
menggunakan perbedaan antara keduanya , dan kesimpulan yang didapatkan, untuk melakukan perbaikan terhadap model. Proses ini dilakukan berulang-
ulang sampai didapatkan model dengan tingkat akurasi yang dapat diterima.
8. Desain eksperimen
Alternatif yang akan disimulasikan harus ditentukan terlebih dahulu. Seringkali, keputusan mengenai alternatif yang disimulasikan adalah fungsi
dari hasil yang telah selesai dianalisa. Perlu ada keputusan terlebih dahulu untuk setiap desain sistem yang akan disimulasikan, mengenai periode
simulasi, periode awal, dan jumlah replikasi.
9. Simulasi dan analisis
Simulasi dan analisis yang mengikutinya digunakan untuk mengestimasi kinerja dari desain sistem yang sedang disimulasikan.
10. Simulasi lanjutan
Setelah analisis selesai dilakukan, peneliti perlu menentukan apakah diperlukan simulasi lebih lanjut.
11. Dokumentasi dan pelaporan
Ada dua jenis pendokumentasian: program dan progress. Dokumentasi program perangkat lunak diperlukan beragam alasan. Jika program tersebut
akan digunakan lagi oleh peneliti yang sama maupun yang berbeda, akan sangat penting untuk memahami bagaimana program tersebut bekerja. Hal
tersebut juga akan memberikan kepercayaan pada program yang digunakan, sehingga pengguna model dan pembuat kebijakan dapat membuat keputusan
berdasarkan analisis
dari model
tersebut. Alasan
lain untuk
mendokumentasikan program adalah untuk keperluan modifikasi program, dan jika pengguna akan melakukan perubahan pada parameter input dan
menganalisis pengaruhnya terhadap keluaran yang dihasilkan. Musselman 1998 membahas tentang progress report yang
menyediakan sejarahtahapan tertulis dan penting dalam sebuah proyek simulasi. Progress report akan menunjukkan kronologi pembangunan model
dan keputusan-keputusan yang dibuat dalam prosesnya. Hal ini dapat digunakan sebagai alat untuk menjaga proyek tetap dalam jalur sesuai rencana.
Musselman menyarankan laporan rutin minimal bulanan sehingga pihak yang tidak terlibat langsung dalam aktivitas proyek harian pun dapat
memahami proyek dengan baik. Dari sisi pelaporan, Musselman menyarankan deliverables rutin,
dimana Musselman menyatakan “it is better to work with many intermediate milestones than with absolute deadline
.” Hasil dari seluruh analisis harus dilaporkan dengan jelas dan singkat
pada laporan final. Hal tersebut akan memudahkan pengambil keputusan untuk melakukan review terhadap perumusan final, sistem alternatif yang
diajukan, kriteria yang digunakan untuk membandingkan setiap alternatif, hasil eksperimen, dan rekomendasi solusi untuk permasalahan.
12. Implementasi
Keberhasilan tahapan implementasi sangat bergantung pada sebelas tahapan yang mendahuluinya. Hal yang juga penting adalah seberapa dalam analis
melibatkan pengguna model selama proses simulasi. Jika pengguna model telah dilibatkan selama proses pembangunan model dan pengguna model juga
mengerti karakteristik model dan output-outputnya, kecenderungan implementasi akan berhasil akan semakin baik Kelton, Sadowski et al.,
2003. Demikian juga sebaliknya, jika model dan asumsi-asumsi yang mendasarinya tidak dikomunikasikan dengan baik, maka proses implementasi
tidak akan berjalan dengan baik, terlepas dari validitas model yang dibangun. Pembangunan model simulasi seperti yang ditunjukkan pada diagram
dapat dibagi kedalam empat Fase. Fase pertama, terdiri dari langkah 1 Perumusan masalah dan 2 Penentuan tujuan dan desain keseluruhan.
Fase kedua berhubungan dengan pembangunan model dan pengumpulan data dan melibatkan langkah ke-3 Konsep pemodelan, 4 Pengumpulan data, 5
Penerjemahan model, 6 Verifikasi, dan 7 Validasi. Jika pengguna model tidak dilibatkan dalam fase ini akan mengakibatkan masalah pada saat
implementasi. Fase ketiga berkaitan dengan running mode. Langkah ke-8 Desain
eksperimen, 9 Simulasi dan analisis, dan 10 Simulasi lanjutan ada pada fase ketiga ini. Fase ini memerlukan perencanaan komprehensif terkait dengan
eksperimen dengan model simulasi. Simulasi discrete-event stochastic sebenarnya adalah eksperimen statistik. Variabel output yang dihasilkan
mengandung error acak, dan karena itu memerlukan analisis statistik yang baik.
Fase keempat, melibatkan langkah ke-11 Dokumentasi dan pelaporan, 12 Implementasi. Keberhasilan implementasi bergantung pada keterlibatan
kontinu dari pengguna model dan keberhasilan penyelesaian proses pada setiap tahapan. Mungkin, hal yang paling krusial dari keseluruhan proses
adalah langkah ke-7 Validasi, karena model yang tidak valid akan menghasilkan analisis yang salah, yang jika diimplementasikan akan
berbahaya dan menimbulkan biaya besar, atau bahkan keduanya.
Gambar 2-50 Langkah-langkah dalam Studi Simulasi
Formulasi permasalahan
Penentuan tujuan dan keseluruhan
rencana proyek
Konseptualisasi model
Pengumpulan data
Penterjemahan model
Verified?
Validated?
Rancangan eksperimental
Run dan analisis
Perlu run lagi?
Dokumentasi dan pelaporan
Implementasi Ya
Ya
Tidak Ya
Ya Tidak
Tidak Tidak
1
2
3 4
5
6
7
8
9
10
11
12
2.5 Rancang Bangun Sistem Pendukung Keputusan Berbasis Spasial
Perancangan merupakan langkah pertama dalam fase pengembangan rekayasa suatu produk atau sistem. Menurut Pressman 1997, perancangan merupakan
suatu proses penggunaan berbagai prinsip dan teknik untuk tujuan-tujuan pendefinisian suatu perangkat, proses atau sistem hingga ke tingkat kerincian
tertentu yang diinginkan. Model pengembangan sistem di tataran awal yang umumnya digunakan adalah
model prototyping. Prototyping sendiri merupakan model pengembangan sistem yang melibatkan proses pembentukan model versi sistem secara iteratif untuk
menghasilkan sistem yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Pendekatan seperti ini merupakan implementasi dari konsep “think small strategize big” dari Turban
et al. 2011 dimana pengguna maupun pengembang pertama-tama fokus pada
penyelesaian permasalahan kunci untuk meraih keberhasilan-keberhasilan kecil secara bertahap. Pendekatan ini dipandang lebih efektif dan efisien dalam
pengembangan sistem pendukung keputusan Turban, Sharda et al., 2011. Model ini sendiri memiliki tiga bentuk:
a. Prototype diatas kertas atau berbasiskan sistem komputer yang menggambarkan diagram interaksi-interaksi yang mungkin terjadi.
b. Working type yang mengimplementasikan sebagian fungsi yang ditawarkan oleh sistem yang dikembangkan.
c. Program jadi yang mampu melakukan sebagian atau bahkan keseluruhan fungsi yang ditawarkan meskipun masih terdapat beberapa feature yang
dikembangkan lebih lanjut. Adapun proses pengembangan sistem pendukung keputusan yang menggunakan
proses prototyping ini melibatkan aktivitas-aktivitas sebagai berikut: a. Pengumpulan secara cepat kebutuhan terhadap sistem oleh pihak
pengguna dan pengembang. Aktivitas ini mirip dengan fase analisis yang terdapat dalam model pengembangan proses waterfall.
b. Perancangan cepat quick design prototipe aplikasi sistem pendukung keputusan yang dilakukan oleh pengembang. Aktivitas ini sama dengan
fase perancangan pada model proses waterfall. c. Pembentukan prototipe aplikasi sistem pendukung keputusan yang
dilakukan oleh pengembang. Aktivitas ini sama dengan fase implementasi pada model proses waterfall.
d. Evaluasi prototipe sistem pendukng keputusan yang dilakukan baik oleh pengguna umum atau pengembang lebih detail. Aktivitas ini ekivalen
dengan fase pengujian testing pada model proses waterfall. e. Perbaikan prototipe sistem pendukung keputusan dilakukan oleh
pengembang. Aktivitas ini merupakan pengulangan iterasi perbaikan ke proses berikutnya mulai dari perancangan cepat, pembentukan prototipe,
dan evaluasi untuk mencapai produk yang sesuai dengan kebutuhan pengguna produk akhirrekayasa plus dokumentasinya.
Pada model ini, satu siklus pengembangan setiap iterasi akan menghasilkan sebuah versi sistem. Dengan demikian pada saat hasil akhirnya diterima oleh
pengguna, bisa jadi terdapat beberapa versi sistem pendukung keputusan.
2.6 Penilaian Rencana Pengembangan Agroindustri