Latar Belakang The design of spatial based decision support model in crude palm oil industry development

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan industri minyak kelapa sawit crude palm oil – CPO di Indonesia dan Malaysia telah mampu merubah peta perminyakan nabati dunia dalam waktu singkat. Pada tahun 1985, produksi minyak sawit Indonesia baru mencapai 1.3 juta ton. Namun, pada tahun 2006 telah melonjak mencapai 14.7 juta ton CPO, dan pada tahun 2007 produksi CPO Indonesia telah berhasil melampaui total produksi CPO Malaysia Edser, 2010; Syaukat, 2010. Menurut data dari Kementrian Perdagangan RI 2011 Hasil produksi CPO Indonesia pada tahun 2011 yang baru saja berlalu sebesar 23 juta ton. Dari angka tersebut, 17,5 juta ton diekspor ke berbagai negara dengan China sebagai pembeli utama. Dengan harga per ton pada akhir tahun tersebut mencapai lebih dari USD 1,000 Kurniawan, 2011 maka nilai pendapatan dari sektor CPO mendekati Rp. 150 triliun. Saat ini Indonesia dan Malaysia menghasilkan 83 dari total produksi minyak kelapa sawit dunia dan menguasai 89 ekspor global Edser, 2010. Meskipun Industri kelapa sawit saat ini telah menjadi salah satu sumber pendapatan penting bagi Indonesia dan masyarakatnya, namun masih cukup banyak tantangan yang belum berhasil diatasi dengan baik terkait dengan industri ini. Tantangan tersebut datang baik dari dalam maupun luar Indonesia. Dari dalam negeri sendiri, tantangan paling utama yaitu dari ketersediaan infrastruktur pelabuhan dan transportasi untuk kemudahan pengapalan hasil produksi Supriyadi, 2010; GAPKI, 2011. Petani masih mengalami kesulitan membawa hasil panennya sehingga kuantitas maupun kualitas produksi menjadi tidak optimal. Di negara tetangga misalnya Malaysia, ketersediaan sarana infrastruktur yang baik memberi kemudahan bagi para petani mengangkut hasil panennya untuk dijual kembali Kardiman, 2011. Tantangan kedua yang masih terkait dengan yang pertama adalah masih dominannya ekspor komoditas minyak kelapa sawit mentah yang belum diolah dengan nilai tambah yang tidak terlalu besar. Saat ini minyak kelapa sawit yang dihasilkan oleh Indonesia 55 diolah di dalam negeri dan sisanya diekspor. Minyak kelapa sawit yang diolah di dalam negeri 2 sebagian besar digunakan untuk menghasilkan produk-produk turunan seperti minyak goreng, margarin, olein, stearin, asam lemak, fatty alcohol, biodiesel dan soapchips Indagro, 2010 sementara produk-produk turunan yang lainnya masih terbatas. Selain faktor infrastruktur yang belum memadai untuk mendukung pengembangan industri hilir ini, faktor penyebab lainnya adalah belum terintegrasinya industri pemasok CPOPKO dengan industri inti, industri terkait dan industri pendukung. Sementara tantangan yang berasal dari luar Indonesia lebih kepada isu lingkungan melalui kampanye negatif oleh negara tertentu. Pada tahun 2010, telah ditandatangani letter of intent LOI antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Norwegia, di mana disebutkan bahwa izin baru konversi hutan alam dan gambut dihentikan selama dua tahun dimulai pada Januari 2011 Gingold, McLeish et al., 2011. Artinya, dengan pembatasan lahan baru bisa menghambat ekspansi produksi kebun sawit Wilkinson dan Rocha, 2008. Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit dari tahun ke tahun khususnya di kabupaten Kutei Timur, Propinsi Kalimantan Timur tampaknya juga tidak diikuti oleh sarana pengolahan, sehingga tanaman kelapa sawit terutama yang diusahakan oleh rakyat maupun koperasi walaupun telah berproduksi masih kesulitan dalam proses pengolahan dan pemasaran. Masyarakat petani juga belum memperoleh peluang yang cukup untuk memanfaatkan potensi ekonomi dalam kegiatan off-farm dan hanya terbatas pada on farm Susila, 2010. Pengembangan industri maupun lebih spesifik lagi untuk agroindustri minyak kelapa sawit, bagaimanapun akan terkait dengan masalah lokasi dari entitas industri tersebut dan interaksi spasialnya. Lokasi dalam hal ini merujuk pada dimana aktivitas produksi tersebut berada di permukaan bumi atau letak geografisnya Chapman, 2009. Sementara interaksi spasial merujuk pada seberapa baik industri tersebut dapat memenuhi permintaan yang ada dari posisinya tersebut Sommer dan Wade, 2006. Seberapa baik industri dapat melayani permintaan yang ada tentu saja sangat bergantung dengan kondisi jaringan transportasi yang berkorelasi terhadap waktu dan biaya transportasi. Biaya transportasi sendiri memiliki kontribusi terhadap total biaya produk yang cukup besar. Hampir 30 persen dari total harga pokok produk CPO maupun 3 produk-produk agroindustri lainnya merupakan biaya distribusi dan transportasi Beenhakker, 2010. Keputusan pengembangan industri maupun klaster industri yang terkait dengan lokasi merupakan keputusan strategis yang memiliki konsekuensi biaya tetap dan biaya variabel yang signifikan bagi industri sekaligus juga memiliki unsur strategis yang dapat memperkuat posisi untuk bersaing terutama dalam rangka penguasaan wilayah pemasaran Heizer dan Render, 2010. Fasilitas produksi yang terpasang pada lokasi terpilih membutuhkan sejumlah besar kapital yang diinvestasikan dalam jangka panjang dengan kondisi yang penuh risiko. Apabila keputusan lokasi dianulir saat industri telah didirikan tentu saja akan memberikan konsekuensi biaya yang tinggi Wignjosoebroto, 2003. Salah satu faktor yang memegang peranan utama dalam penetapan lokasi pengembangan industri atau kegiatan ekonomi lainnya adalah besarnya biaya transportasi Drezner dan Hamacher, 2004. Hal tersebut disebabkan biaya transportasi merupakan salah satu komponen biaya produksi Arcelus, 1989. Apabila biaya transportasi lebih murah, akan mengakibatkan biaya produksi lebih rendah dan harga produk juga bisa lebih rendah sehingga menambah daya saing produk dan memperluas daerah pemasaran. Hubungan antara biaya produksi di dalam negeri dengan harga penawaran ke luar negeri ditambah dengan biaya transportasi, akan menentukan apakah suatu barang akan diekspor, diimpor atau dipasarkan di dalam negeri sendiri Nasution, 2008. Ketersediaan infrastruktur transportasi juga akan mendorong adanya spesialisasi dan pembagian kerja antar daerah. Transportasi komoditas khususnya di negara kepulauan pada umumnya akan melibatkan dua atau lebih moda transportasi Xie, 2009. Sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 1-1, terdapat interdependensi antar fasilitas dan moda transportasi untuk memenuhi permintaan terhadap komoditas agroindustri CPO. 4 Gambar 1-1 Interdependensi Moda Darat dan Laut pada Transportasi Agroindustri CPO Permasalahan pengembangan industri hilir kelapa sawit dan dimana lokasi pengembangan yang paling optimal merupakan permasalahan yang kompleks karena harus mempertimbangkan berbagai aspek yang saling berkaitan satu sama lain yang umumnya juga memiliki ketidakpastian. Pemecahan permasalahan ini harus mempertimbangkan berbagai faktor, seperti: sebaran kebun dan kapasitasnya, sebaran pabrik PKS dan kapasitasnya, variasi produktivitas tanaman kelapa sawit, jaringan transportasi dan kondisinya, pilihan alat transportasi yang tersedia, persyaratan-persyaratan teknis untuk lokasi pengembangan dan juga rancangan infrastruktur utama di pelabuhan maupun di industri hilirnya. Kompleksitas dari permasalahan ini memerlukan sebuah model yang dapat membantu para pemangku kepentingan yang terkait untuk dapat mengambil keputusan strategis yang terbaik dalam rangka meningkatkan keunggulan bersaing dari agroindustri minyak kelapa sawit ini. Permintaan Komoditas Industri Hilir Fasilitas di Pelabuhan Penerimaan Skema dan Ukuran Pengiriman via Laut Fasilitas pada Pelabuhan Pengiriman Kapasitas Produksi Hilir Kapasitas Jaringan Jalan Darat Kapasitas dan Produksi CPO 5

1.2 Tujuan