Tindak tutur dalam khotbah bahasa batak toba di gereja HKBP Solo Surakarta Liana SII0809010

(1)

commit to user iii

TINDAK TUTUR DALAM KHOTBAH BAHASA BATAK TOBA DI GEREJA HKBP SOLO SURAKARTA

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Linguistik Deskriptif

Oleh

LIANA SII0809010

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI LINGUISTIK DESKRIPTIF UNIVERSITAS SURAKARTA SEBELAS MARET


(2)

commit to user iii

TINDAK TUTUR DALAM KHOTBAH BAHASA BATAK TOBA

DI GEREJA HKBP SOLO

Disusun oleh: Liana SII0809010

Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing Pada tanggal:

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Drs. M.R.Nababan, M.Ed.,M.A.,Ph.D. Dr. Tri Wiratno, M.A.

NIP. 196303281992011001 NIP.196109141987031001

Mengetahui:

Ketua Program Studi Linguistik,

Prof. Drs. M.R.Nababan, M.Ed.,M.A.,Ph.D. NIP. 196303281992011001


(3)

commit to user iii

TINDAK TUTUR DALAM KHOTBAH BAHASA BATAK TOBA

DI GEREJA HKBP SOLO

Disusun oleh: Liana S110809010

Telah Disetujui dan Disahkan oleh Tim Penguji Tesis Pada tanggal:

Ketua : Prof. Dr. Sri Samiati Tarjana ________________ Sekretaris : Drs. Riyadi Santoso, M.Ed., Ph.D ________________

Anggota : 1. Prof. Drs. M.R. Nababan, M.Ed., M.A., Ph.D ________________

2. Dr. Tri Wiratno, M.A _______________

Surakarta

Mengetahui, Mengetahui,

Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Linguistik Universitas Sebelas Maret Universitas Sebelas Maret

Prof. Dr.Ir. Ahmad Yunus, M.S. Prof. Drs. M.R. Nababan, M.Ed., M.A., Ph.D NIP. 196107171986011001 NIP. 196303281992011001


(4)

commit to user iii

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya

Nama : Liana

Nim : SII0809010

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis berjudul “TINDAK TUTUR DALAM KHOTBAH BAHASA BATAK TOBA DI GEREJA HKBP SOLO” adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, Februari 2012 Yang membuat pernyataan,


(5)

commit to user iii

PERSEMBAHAN

Tesis ini saya persembahkan untuk:

· Tuhan Yesus Kristus, Juruselamat, pelindung, pembela, penghibur, dan penuntun

langkah kakiku

· Bapak dan Ibu yang selalu menjadi sumber inspirasi dan teladan

· Penulis persembahkan untuk perpustakaan pascasarjana

· Penulis persembahkan untuk mahasiswa pascasarja S2 khususnya linguistik dalam


(6)

commit to user iii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis haturkan Kepada Yesus atas kasih, penyertaan, kekuatan dan pemeliharaaNya, serta rencana yang indah bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini, segala kemuliaan hanya bagiNya. Dalam proses penulisan tesis ini penulis mendapat banyak bimbingan, serta bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis berterima kasih kepada:

1. Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas maret Surakarta yang telah memberi kesempatan penulis untuk belajar di program pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2. Ketua dan Sekretaris Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Sebelas

Maret Surakarta yang telah memberi kesempatan penulis untuk menimba ilmu dan mewujudkan cita-cita di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret,

3. Prof. Drs. M.R.Nababan, M.Ed.,M.A.,Ph.D., selaku dosen pembimbing utama yang dengan penuh kesabaran selalu memberikan bimbingan kepada penulis selama proses konsultasi,

4. Dr. Tri Wiratno, M.A., selaku dosen pembimbing pendamping yang selalu memberi kesempatan, semangat serta masukan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini, 5. Ibu dan Bapak, yang tanpa henti mendoakan, memberikan dorongan dan semangat, serta

memberikan kasih sayang yang luar biasa kepada penulis,

6. Keluarga besar penulis yang dengan begitu bangga memotivasi dan mendoakan penulis agar sukses di masa depan,

7. Kakakku, Abang iparku, dan keluarga serta adikku, Priska, Marudut Roito, Holmes, Candra, Juni Wati yang senang tiasa memberikan dukungan dan doa selama proses penulisan tesis,


(7)

commit to user iii

8. Keluarga besar Ito Ryan dan Ito Mathiuw yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih untuk semuanya,

9. Teman-teman di Pascasarjana yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih untuk semuanya,

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna. Dengan demikian, penulis sangat menghargai segala masukan serta kritik membangun mengenai tesis ini.

Surakarta, Februari 2012


(8)

commit to user xi

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PERNYATAAN ... iv

PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 6

B. Kajian Hasil Penelitian ... 7

C. Landasan Teori ... 9

1. Pragmatik ... 9

a). Pengertian Pragmatik ... 9

b). Ruang Lingkup Pragmatik ... 10

2. Tindak Tutur ... 11

a). Pengertian Tindak Tutur ... 11

b). Bentuk-bentuk Tindak Tutur ... 13

3. Komponen tutur ... 17

4. Konteks Situasi Tutur ... 19

5. Masyarakat Tutur ... 21

6. Prinsip Kerjasama ... 23

7. Prinsip Sopan Santun ... 25

8. Tipe kalimat ... 30

9. Klasifikasi Variasi Bahasa ... 33

10.Situasi Tutur Bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo ... 39


(9)

commit to user xi

12.Pelaksanaan Khotbah Bahasa Batak Toba ... 46

D. Kerangka Berpikir ... 47

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 48

B. Lokasi Penelitian ... 49

C. Sampel Penelitian ... 49

D. Data dan Sumber Data ... 49

E. Teknik Pengumpulan Data ... 50

F. Validitas Data ... 51

G. Teknik Analisis ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN A. Jenis-Jenis Tindak Tutur dalam Khotbah Bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo ... 55

1. Tindak Tutur Fatis ... 56

a. Menghormati ... 56

b. Mengucapkan Salam ... 57

c. Menyapa ... 58

2. Tindak Tutur Performatif ... 59

a. Menyatakan ... 59

b. Memutuskan ... 61

c. Mengabulkan ... 62

3. Tindak Tutur Komisif ... 63

a. Menawarkan ... 64

b. Berjanji ... 65

c. Bertanya ... 66

d. Bersumpah ... 67

e. Mengklaim ... 68

f. Menyetujui ... 69

4. Tindakan Tutur Ekspresif ... 71

a. Bersimpati ... 71

b. Mengakui ... 72

c. Memuji ... 74

d. Bersyukur ... 75

e. Meminta Maaf ... 76

f. Menolak ... 77

g. Merestui ... 78

5. Tindak Tutur Verdiktif ... 79

a. Mengucapkan Selamat Datang ... 80

b. Memberi Semangat ... 81

c. Mendukung ... 82

d. Berterima Kasih ... 83


(10)

commit to user xi

f. Menyangkal ... 85

g. Berpasrah ... 86

h. Mengkritik ... 88

i. Mengharap ... 90

j. Membela ... 91

6. Tindak Tutur Asertif ... 92

a. Memberitahukan ... 93

b. Mengatakan ... 94

c. Menyakinkan ... 95

d. Mengibaratkan ... 96

e. Memastikan ... 98

f. Menyangsingkan ... 99

g. Membenarkan ... 101

h. Menyebutkan ... 102

i. Melaporkan ... 103

j. Menunjukkan ... 104

k. Menjelaskan ... 106

l. Mengumumkan ... 107

m. Memamerkan ... 108

n. Menyampaikan ... 109

o. Menegaskan ... 111

7. Tindak Tutur Direktif ... 111

a. Melarang ... 112

b. Menasihati ... 113

c. Memarahi ... 114

d. Memohon ... 115

e. Meminta ... 116

f. Mengarahkan ... 118

g. Mempersilahkan ... 118

h. Merayu ... 119

i. Membujuk ... 120

j. Menyarankan ... 121

k. Menegur ... 122

l. Mengharuskan ... 123

m. Menyuruh ... 124

n. Mengajak ... 125

o. Menginstruksikan ... 126

p. Mengingatkan ... 127

q. Menganjurkan. ... 129

B. Karakteristik Pemakaian Tindak Tutur dalam Khotbah Bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo ... 130

C. Jenis-Jenis Tindak Tutur yang Dominan Dalam Khotbah Bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo ... 136

D. Mengapa Tindak Tutur Asertif dan Direktif Lebih Dominan Digunakan dalam khotbah bahasa Batak Toba di gereja HKBP Solo ... 139


(11)

commit to user xi

BAB V PENUTUP

A. SIMPULAN ... 150

B. SARAN ... 152

DAFTAR PUSTAKA ... 153


(12)

commit to user

ABSTRAK

Liana, SII0809010. 2012. Tindak Tutur Dalam Khotbah Bahasa Batak Toba Di Gereja HKBP Solo. Pembimbing pertama: Prof. Drs. M.R. Nababan, M.Ed., M.A., Ph.D. Pembimbing kedua: Dr. Tri Wiratno, M.A. Tesis: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan jenis-jenis tindak tutur (2) menjelaskan karakteristik pemakaian tindak tutur (3) menjelaskan jenis tindak tutur yang dominan (4) Alasan Yang Mendasari Mengapa Tindak Tutur Direktif Lebih Dominan Digunakan dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo.

Bentuk penelitian ini adalah kualitatif, dengan studi kasus yang mengambil lokasi di dalam Gereja HKBP Solo. Sampel penelitian ini ditetapkan secara purposive sampling. Sebagai sampelnya adalah Bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo. Data penelitian ini berwujud data lisan dan data tertulis. Data lisan diperoleh dari khotbah bahasa Batak Toba yang disampaikan oleh pendeta yang sudah direkam. Data tersebut kemudian ditranskrip ke dalam data tertulis. Data tertulis juga diperoleh dari tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo. Pengumpul data dilakukan dengan teknik Observasi Langsung, Teknik Rekam, Teknik Simak dan Catat. Analisis datanya menggunakan teknik padan dan banding.

Setelah dilakukan analisis diperoleh kesimpulan sebagai berikut. Tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo terdapat tujuh jenis tindak tutur, yaitu: Fatis, performatif, komisif, ekspresif, verdiktif, asertif dan direktif. Pada tindak tutur fatis hanya terdiri atas tiga subtindak tutur, yakni; ‘menghormati’, ‘mengucapkan salam’ dan ‘menyapa’. Tindak tutur performatif terdiri atas tiga subtindak tutur, yakni; ‘menyatakan’, ‘memutuskan’, dan ‘mangabulkan’. Tindak tutur komisif terdiri atas enam subtindak tutur, yakni; ‘menawarkan’, ‘berjanji’, ‘bertanya’, ‘bersumpah’, ‘mengklaim’, dan ‘menyetujui’. Tindak tutur ekspresif terdiri atas tujuh subtindak tutur, yakni; ‘bersimpati’, ‘mengakui’, ‘memuji’, ‘bersyukur’, meminta maaf’, dan ‘menolak’. Tindak tutur verdiktif terdiri atas sepuluh subtindak tutur, yakni; ‘mengucapkan selamat datang’, ‘memberi semangat’, ‘mendukung’, ‘berterima kasih’, ‘memberi kesanggupan’, ‘menyangkal’, ‘berpasrah’, mengkritik’, ‘mengharap’, dan ‘membela’. Tindak tutur asertif terdiri atas lima belas subtindak tutur yakni; ‘memberitahu’, ‘mengatakan’, ‘meyakinkan’, ‘mengibaratkan’, ‘memastikan’, ‘menyangsikan’, ‘membenarkan’, ‘menyebutkan’, ‘melaporkan’, ‘menunjukkan’, menjelaskan’, ‘mengumumkan’, ‘memamerkan’, menyampaikan’, dan ‘menegaskan’. Tindak tutur direktif terdiri atas tujuh belas subtindak tutur, yakni; ‘melarang’, ‘menasehati’, ‘memarahi’, ‘memohon’, ‘meminta’, ‘mengarahkan’, ‘mempersilahkan’, ‘merayu’, ‘membujuk’, ‘menyarankan’, ‘menegur’, ‘mengharuskan’, ‘menyuruh’, ‘mengajak’, ‘menginstruksikan’, ‘mengingatkan’, dan ‘menganjurkan’.

Tindak tutur yang dominan dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo adalah tindak tutur direktif terdiri atas tujuh belas subtindak tutur. Subtindak tutur ‘meminta’ yang paling dominan dalam tindak tutur direktif. Adapun karakteristik pemakaian tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba yaitu; karakteristik pemakaian pada khotbah dan warta jemaat, para pendeta di Gereja HKBP Solo. Khotbah yang disampaikan oleh pendeta kepada jemaat yang tertulis di dalam Alkitab. Warta jemaat yang dimaksud di sini adalah tertib acara yang diberikan kepada jemaat sebelum beribadah berlangsung atau sebagai panduan untuk


(13)

commit to user

jemaat saat beribadah di Gereja HKBP Solo. Implikasi masyarakat Batak Toba di gereja HKBP Solo di temukan tindak tutur yang dominan adalah tindak tutur direktif, penelitian ini membahas tentang karakteristik masyarakat Batak Toba dan bisa diikuti deengan tindak tutur yang lain.


(14)

commit to user

ABSTRACT

Liana. S110809010. Speech Acts of Batak Toba Language Preaching in HKBP Church Solo. Principal Supervisor : Prof. Drs. M.R. Nababan, M.Ed., M.A., Ph.D. Second Supervisor: Dr. Tri Wiratno, M.A. Master Degree Thesis. The Graduate Program in Linguistics. Sebelas Maret University, Surakarta. 2012

This research aims to (1) describe types of speech acts (2) explain the dominant types of speech acts (3) explain the characteristics of speech acts use of Batak Toba language preaching in HKBP Church Solo (4) explain the basic reason why directive speech act is more dominant used in Batak Toba language preaching in HKBP Church Solo.

The research is qualitative research with a case study taking place in HKBP Church Solo. It uses purposive sampling technique with Batak Toba language preaching in HKBP Chruch Solo as the sample. The data of this research are the oral data and the written data. The oral data were recorded from Batak Toba language preaching delivered by the priest. The data were changed into the written data. The written data were taken from the speech acts of Batak Toba language preaching in HKBP Church Solo. The techniques of data collection are direct observation, recording technique, and note-taking. The data analyses used are equal and compare techniques.

After analyzing the data, the researcher drew some conclusions. There are seven types of speech acts of Batak Toba language preaching in HKBP Church Solo: phatic, performative, commissive, expressive, verdictive, assertive and directive. Phatic speech act consists of three sub speech acts: respecting, greeting, and accosting. Performative speech act consists of three sub speech acts: declaring, deciding, and granting. Commisive speech act consists of six sub speech acts: offering, promising, asking, swearing, claiming, and approving. Expressive speech act consists of seven sub speech acts: giving sympathy, confessing, flattering, thanking, giving apologize, denying, and blessing. Verdictive speech act consists of ten speech acts: welcoming, giving motivation, supporting, thanking, giving capability, denying, sincere, criticizing, wishing, and assisting. Assertive speech act consists of fifteen sub speech acts: giving notice, saying, convincing, supposing, assuring, questioning, justifying, mentioning, reporting, indicating, explaining, announcing, establishing, conveying, and asserting. Directive speech act consists of seventeen speech acts: banning, giving advices, scolding, begging, requiring, pointing, inviting, flattering, persuading, suggesting, admonishing, compelling, commanding, asking, giving instruction, reminding, and proposing.

The dominant speech act is directive. It has seventeen sub speech acts. Ordering is the most dominant sub speech act in directive. The characteristics of speech acts use of Batak Toba language preaching in HKBP Church Solo are: the characteristic of the use of speech act in the preaching and brochure; the preachers of Batak Toba language in HKBP Church Solo become the characteristic of the use of the speech acts. The characteristic of the use of the speech acts is the characteristics of the use of speech acts priests. The preaching delivered by the priests is written in the Bible. The priest and the congregations read the brochure in turns to deliver the text written in the Bible. The brochure meant here is brochure given to the congregations before the prayers as the handbook for the congregations during the prayers. The dominant speech act for Batak Toba society is directive speech act. This research


(15)

commit to user

discusses about the characteristics for Batak Toba society and can be followed up by other speech acts.


(16)

commit to user BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia hidup baik secara individu maupun kelompok. Dalam bekerjasama dan berinteraksi antara individu yang satu dengan individu yang lain diperlukan bahasa. Dengan demikian, bahasa merupakan alat yang amat penting dalam kehidupan manusia. Seseorang tidak mungkin hidup sendiri tanpa kehadiran orang lain. Dia berkomunikasi untuk menyatakan pendapatnya, mengungkapkan kepentingannya dan mempengaruhi orang lain.

Bahasa digunakan untuk mencapai berbagai tujuan. Seorang penutur memakai bahasa untuk menyanpaikan sesuatu yang dia ketahui atau yang dia pikir dia ketahui kepada mitra tutur. Dengan bahasa dia dapat mengekspresikan perasaannya, menanyakan sesuatu, memohon, memprotes, mengkritik, meminta maaf, berjanji, mengucapkan terima kasih, menyampaikan salam dan sebagainya. Dia dapat menggunakan berbagai bentuk kalimat. Jika dia ingin menyatakan sesuatu, dia akan menggunakan kalimat deklaratif. Jika dia ingin menanyakan sesuatu, dia akan menggunakan kalimat interogatif. Jika dia ingin mitra tutur melakukan sesuatu, dia akan menggunakan kalimat imperatif.

Namun demikian, sebuah tuturan tertentu memiliki berbagai fungsi yang kadang-kadang menyimpang dari bentuknya. Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, jika seseorang mengetahui tetangganya lewat, dia akan menuturkan sebuah tuturan ‘lao tudia hamu amang?’ (‘akan pergi ke mana pak?’). Berdasarkan bentuknya, kalimat tersebut adalah kalimat interogatif. Seorang penutur akan


(17)

commit to user

menuturkan tuturan di atas tidak semata-mata karena dia ingin mengetahui ke mana tetangganya akan pergi. Penutur lebih menekankan pada dimensi keakraban di antara mereka daripada jawaban atas pertanyaan itu.

Selain itu, seorang penutur tidak memakai kalimat perintah dalam memerintahkan mitra tutur untuk melakukan sesuatu yang penutur inginkan. Tuturan ‘Panas sekali ruangan ini’, misalnya, tidak berfungsi untuk memberitahukan kepada mitra tutur tentang keadaan ruangan itu. Dengan kalimat deklaratif itu penutur secara tidak langsung menginginkan mitra tuturnya untuk melakukan suatu perbuatan misalnya, membuka jendela, menghidupkan kipas angin, menghidupkan AC, atau penutur merasa tidak betah berada di ruangan itu dan mitra pindah ke ruangan yang lain. Jika keinginannya itu diungkapkan secara langsung sesuai dengan yang dia maksudkan, kalimat yang dia hasilkan akan berbunyi: ‘Buka jendela itu!,’ atau ‘Hidupkan kipas angin!’, atau ‘Hidupkan AC!’, atau ‘Mari kita pindah ke ruang yang lain!’.

Situasi tutur yang sedang berlangsung juga menentukan pemakaian bahasa. Ketika sekelompok siswa sedang berdiskusi, misalnya, mereka cenderung memakai ragam baku. Ketika mereka bercakap-cakap di perpustakaan atau kantin, mereka cenderung menggunakan ragam akrab. Pendeta di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) lebih cenderung menggunakan ragam baku pada saat menyampaikan khotbah bahasa Batak Toba. Ketika dia berbincang-bincang dengan jemaatnya, pendeta tersebut akan mengunakan ragam akrab dengan tetap mempertimbangkan tata krama dan kesopanan yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba.


(18)

commit to user

Menurut Suwito (1986: 2), dari sudut pandang linguistik, bahasa secara empiris dapat dikaji dalam kedudukannya dan hubungannya dengan pemakainya di dalam masyarakat. Dengan demikian, bahasa tidak hanya dikaji dari dalam bahasa itu sendiri secara linguis tetapi juga harus dikaji dari luar linguistik. Dengan kata lain, bahasa dan pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik saja tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik, yaitu faktor-faktor sosial (Suwito,1985: 3). Faktor-faktor situasional juga berpengaruh, yaitu siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa.

Sejauh pengamatan penulis, ada beberapa penelitian pragmatik yang sudah dilakukan. Diantaranya adalah penelitian Purwani (1992), Mujiono (1996), Gunarwan (1996), Abdul Syukur Ibrahim (1996), Delli Nirmala (1998), Sri Haryanti (2001) dan Edi Subroto (2001). Objek kajian dari masing-masing dari penelitian tersebut berbeda satu sama lain dan demikian pula dengan jenis kelamin, usia dan ranah percakapan serta bahasa yang dilibatkan. Tidak satupun dari ketujuh penelitian itu yang mengkaji tindak tutur yang terjadi pada ranah khotbah di gereja dan juga tidak ada di antaranya yang meneliti tindak tutur bahasa Batak Toba. Di samping itu, masing-masing dari penelitian tersebut lebih terfokus pada tindak tutur dan implikatur percapakan tertentu.

Fenomena penggunaan bahasa dan adanya celah penelitian yang dijelaskan di atas mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Solo. Objek yang dikaji dalam penelitian ini adalah tuturan pendeta di Gereja HKBP Solo dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pragmatik.


(19)

commit to user

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini membahas masalah tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Solo dengan menggunakan kajian pragmatik. Berdasarkan lingkup permasalahan sebagaimana dikemukakan di atas, penelitian ini difokuskan pada rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana jenis tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo?

2. Bagaimana karakteristik pemakaian tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo?

3. Jenis tindak tutur apa yang menjadi dominan dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo?

4. Mengapa tindak tutur tertentu lebih dominan dibandingkan dengan tindak tutur lainnya dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah sebagaimana dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mendeskripsikan jenis tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo.

2. Menjelaskan karakteristik pemakaian tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo.

3. Menjelaskan jenis tindak tutur yang dominan dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo.


(20)

commit to user

4. Mendeskripsikan mengapa tindak tutur tertentu lebih dominan dibandingkan dengan tindak tutur lainnya dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoretis penelitian ini diwujudkan dalam bentuk khasanah teori linguistik (pragmatik), khususnya teori pemakaian bahasa dalam khotbah bahasa Batak Toba Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Solo. Manfaat praktis dari temuan-temuan penelitian ini dapat digunakan sebagai substansi dasar penelitian tentang tindak tutur pada ranah khotbah dan pengembangan serta pembinaan dalam bahasa Batak Toba. Temuan-temuan penelitian ini juga dapat dimanfaatkan oleh peneliti selanjutnya dalam bidang linguistik (pragmatik). Di samping itu, hasil penelitian ini dapat pula dimanfaatkan oleh pendeta untuk meningkatkan pengetahuan tentang tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Solo.


(21)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

Penutur dituntut dapat mengetahui bahasa secara komprehensif, bagaimana dan kapan harus mengutarakan suatu ucapan (Bell, 1995: 35). Jika dia berkehendak menjadi seorang penutur yang baik, dia diharapkan mampu menerapkan pengetahuan yang dimilikinya dalam komunikasi. Pengetahuan di sini mengacu pada apa yang diketahui penutur tentang bahasa dan aspek lain dari penggunaan bahasa itu. Aspek yang harus dikuasai seorang penutur telah dikenal oleh para ahli bahasa dengan istilah kemampuan komunikasi atau kompetensi komunikatif.

Komunikasi berkaitan dengan empat tingkah laku bahasa. Empat tingkah laku itu adalah berbicara, menulis, mendengar dan membaca. Berbicara dan menulis merupakan produksi bahasa; mendengarkan dan membaca merupakan pemahaman bahasa. Ditinjau dari tingkah laku bahasa, berbicara dan mendengarkan merupakan tingkah laku lisan; menulis dan membaca merupakan tingkah laku tulis. Di samping itu konsep suatu komunikasi selalu mempersyaratkan kehendak untuk berkomunikasi (Hamid, 1987).

Soeseno Kartomihardjo (1989) mengemukakan ciri-ciri bahasa lisan dalam komunikasi sebagai berikut: (1) struktur yang tidak lengkap, (2) penggunaan kata penghubung yang terbatas misalnya lalu, tetapi, dan, (3) cenderung menggunakan satu kata sifat atau keterangan bagi subjek atau bagian kalimat, (4) dipergunakan kosakata yang sederhana dan umum, (7) penggunaan struktur yang sama, (8) penggunaan kata-kata pengisi seperti anu, ah, em, (9) penggunaan bentuk pasif


(22)

commit to user

(Soeseno Kartomihardjo, 1989: 5). Dalam penelitian ini, penulis memusatkan perhatiannya pada tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Solo secara langsung yang menggunakan bahasa lisan dan bahasa tulis.

B. Kajian Hasil Penelitian

Penelitian-penelitian pragmatik belum banyak dibukukan orang. Mey (1994: 35) menjelaskan bahwa pragmatik merupakan paradigma atau program baru dalam penelitian. Beberapa hasil penelitian mengenai pragmatik diuraikan secara ringkas di bawah ini.

Purwani (1992 dalam Mujiyono, 1996: 28) mengkaji hakikat tindak tutur wanita para anggota Dharma Wanita IKIP Malang. Tindak tutur wanita itu dideskripsikan berdasarkan komponen-komponen latar, partisipan, interaksi, kuna, saluran, pesan, topik, dan norma.

Mujiyono (1996) mengkaji implikatur percakapan anak usia sekolah dasar. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa implikatur percakapan anak usia sekolah dasar sudah bervariasi dan kompleks, berupa kalimat tunggal, kalimat majemuk, kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat perintah.

Gunarwan (1996) meneliti tindak tutur mengkritik dengan barometer umur di kalangan penutur jati bahasa Jawa serta implementasinya pada usaha pembinaan. Dalam kajian ini dibedakan antara penutur yang usianya 20 tahun, antara usia 21 tahun sampai 30 tahun, antara 31 tahun sampai 40 tahun, dan orang yang berumur 41 tahun sampai 50 tahun. Penelitian ini terfokus pada kepatuhan strategi tindak tutur dengan variabel, kekuasaan, solidaritas, dan keresmian.


(23)

commit to user

Abdul Syukur Ibrahim (1996) mengkaji bentuk direktif bahasa Indonesia. Kajian etnografi komunikasi ini difokuskan pada tindak tutur antara camat dengan kepala desa di kabupaten Malang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tindak tutur antara camat dengan kepala desa menggunakan sepuluh pola tutur kinerja, yaitu 1) tuturan dengan modus imperatif, 2) tuturan dengan modus performatif eksplisit, 3) tuturan dengan performatif berpagar, 4) tuturan dengan preposisi keharusan, 5) tuturan dengan menunjukkan kesangsian, 6) tuturan dengan mengandaikan bersyarat, 7) tuturan dengan preposisi menggunakan persona, 8) tuturan dengan menyatakan alasan, 9) tuturan dengan sindiran, dan 10) tuturan dengan kelakar.

Penelitian Delli Nirmala (1998) membahas koherensi pragmatik antar-ujaran pada wacana percakapan dalam bahasa Indonesia pada ranah keluarga dan kerja. Objek kajiannya terfokus pada bentuk dan jenis tindak tutur yang direalisasikan oleh ujaran dalam percakapan dan maksud kerjasama dan kesopanan yang diterapkan dalam percakapan.

Kajian Sri Haryanti (2001) mengenai Implikatur Percakapan dalam Fisik Bahasa Inggris, Suatu Kajian Pragmatik. Hasil penelitiannya menegani tindak tutur yang bermuatan iplikatur.

Edi Subroto (2001) mengkaji tindak tutur tidak langsung dalam bahasa Jawa. Penelitian ini berupaya memahami meta pesan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa: 1) gejala tindak tutur tidak langsung ditandai adanya pemenggalan informasi, 2) gejala tindak tutur tidak langsung merupakan salah satu cara manusia mengkomunikasikan informasi, sekaligus keberadaan sosialnya, dan 3) produktif tindak tutur tidak langsung menandai bahwa bahasa Jawa merupakan bahasa Ibu yang tetap diperlukan perannya.


(24)

commit to user

C. Landasan Teori

1. Pragmatik

a) Pengertian Pragmatik

Pragmatik adalah salah satu cabang ilmu kajian bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi. Leech (1993: 8) mengatakan bahwa pragmatik memerlukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan tiga segi (tridiad), what did you mean by x? “apa maksudmu dengan X?”

Sementara itu, Parker (1986: 11) mengatakan bahwa pragmatik merupakan cabang linguistik yang mengkaji struktur bahasa secara eksternal, maksudnya bagaimana satuan lingual tertentu digunakan dalam komunikasi yang sebenarnya. Parker membedakan pragmatik dari studi tata bahasa yang dianggapnya sebagai studi seluk-beluk bahasa secara internal. Studi tata bahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks sedangkan studi pragmatik harus dikaitkan dengan konteks (Parker, 1986: 11). Pragmatik berbeda dari tata bahasa, yang merupakan kajian struktur bahasa secara internal. Pragmatik adalah studi tentang pemakaian bahasa dalam komunikasi.

Dari batasan yang dikemukakan oleh Parker tersebut dapat dikatakan bahwa studi tata bahasa dianggap sebagai studi yang bebas konteks (context independent). Sebaliknya, studi pemakaian tata bahasa dalam komunikasi yang sebenarnya harus dikaitkan dengan konteks yang melatarbelakangi dan mewadahinya. Studi yang demikian dapat disebut sebagai studi yang terikat konteks (context dependent) (Bambang Kaswanti Purwo, 1990: 16).


(25)

commit to user

Pragmatik mengkaji maksud penutur dalam menuturkan sebuah satuan lingual tertentu pada sebuah bahasa. Hal ini ditegaskan oleh Edi Subroto (1999: 1) yang menyatakan bahwa pragmatik adalah semantik maksud. Dalam banyak hal pragmatik sejajar dengan semantik, karena keduanya mengkaji makna. Perbedaanya adalah pragmatik mengkaji makna satuan lingual secara eksternal sedangkan semantik mengkaji makna satuan lingual secara internal. Hal ini ditegaskan oleh Wijana (1996: 2) yang menyatakan bahwa semantik dan pragmatik merupakan cabang-cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan lingual, hanya saja semantik mempelajari makna secara internal, sedangkan pragmatik mempelajari makna secara eksternal. Pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan tiga segi (tridiadic), what did you mean by X? “Apa maksudmu dengan X?”.

Menurut Levinson (1997: 7), pragmatik merupakan telaah mengenai hubungan antara bahasa dan konteks yang diatur dalam struktur suatu bahasa. Batasan yang diberikan oleh Levinson tersebut digunakan sebagai pedoman dalam mengkaji tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Solo.

b) Ruang Lingkup Pragmatik

Kaswanti Purwo (1994: 17) mengemukakan empat aspek fenomena pragmatik, yakni deiksis, praanggapan, tindak ujaran, dan implikatur percakapan. Suyono (1990, dalam Mujiyono, 1996: 24), setelah mengemukakan pandangan dari para ahli, menyimpulkan bahwa kajian pragmatik meliputi variasi bahasa, deiksis, tindak berbahasa, implikatur percakapan praanggapan, dan struktur percakapan.


(26)

commit to user

Deiksis terdiri dari deiksis persona, deiksis kala, deiksis tempat (Henry Guntur Taringan, 1993: 34). Dalam tesis ini tidak dibicarakan deiksis, karena kajian tesis ini tidak berhubungan secara langsung dengan deiksis.

2. Tindak Tutur

a) Pengertian Tindak Tutur

Pemakaian makna dan daya tuturan hanya dapat dijelaskan dalam hubungan aktivitas, atau permainan bahasa yang di dalamnya tuturan-tuturan memainkan suatu peran. Dengan demikian, tindak tutur merupakan bahasa yang diperlihatkan sebagai suatu bentuk perbuatan.

Beberapa ahli dengan hasil karyanya mempunyai pendapat yang sama tentang tindak tutur bahwa secara pragmatik ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur sebagai berikut:

(1) Tindak Lokusi

Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk mengatakan sesuatu. Tindak lokusi sebagai tindak tutur dasar, atau menghasilkan pertanyaan-pertanyaan linguistik yang bermakna. Sebagai contoh adalah: “Ikan paus adalah binatang menyusui” dan “Jari tangan jumlahnya lima”. Dua kalimat tersebut diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya.

(2) Tindak Ilokusi

Tindak ilokusi merupakan komponen-komponen interpersonal dan tekstual yang berkonsepsi lebih bersifat pragmatis. Proposisi referensial dalam tindak ilokusi


(27)

commit to user

masih harus dilihat dari segi situasi pemakaiannya. Apa yang ingin dilakukan oleh penutur atau penulis dengan proposisinya? Apa tujuan yang ingin dituju, menyatakan, menanyakan “semesteran sudah dekat”, seorang guru ingin memperingati murid-muridnya untuk mempersiapkan diri, dan bila diucapkan oleh seorang ayah kepada anaknya, kalimat tersebut mungkin dimaksudkan untuk menasehati agar anaknya tidak hanya berpergian menghabiskan waktu secara sia-sia.

Daya ilokusi dapat dinyatakan dengan modus kalimat (1), dibuat eksplisit (2), dan diklasifikasikan(3).

Modus Eksplisit Klasifikasi

Dia pergi.

Mengapa dia pergi? Pergi!

Saya mengatakan bahwa dia pergi Saya menanyakan mengapa dia pergi Saya memerintahkan kamu agar pergi

Pernyataan Pertanyaan Perintah

Daya ilokusi pernyataan penutur memberikan informasi kepada pendengarnya, pertanyaan mendapatkan informasi dari pendengarnya, dan perintah mendorong atau meminta pendengarnya untuk berbuat. Secara teknis, pertanyaan “saya mengatakan, saya menanyakan, saya memerintahkan” disebut performatif. Dengan demikian, daya ilokusi merupakan rencana komunikasi verbal di belakang tuturan penutur, dan tindak ilokusi merupakan pencapaian tujuan komunikasi yang bersangkutan.

(3) Tindak Perlokusi

Tindak perlokusi sebagai urutan kejadian yang dilakukan dari kondisi awal sampai tercapainya tujuan berbicara. Tindak tutur perlokusi merupakan tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur. Sebagai contoh, kalimat “Dia kuliah lagi” apabila diutarakan oleh seorang guru kepada kepala sekolah, maka ilokusinya adalah secara tidak langsung menginformasikan bahwa guru yang


(28)

commit to user

dibicarakan tidak dapat terlalu aktif di sekolah. Adapun efek perlokusi yang mungkin diharapkan agar kepala sekolah tidak terlalu banyak memberikan tugas kepadanya.

Ketiga unsur tindak tutur tersebut saling berkaitan. Suatu tuturan berupa informasi tentang sesuatu, dapat juga berisi suatu ajakan untuk melakukan sesuatu, dan sekaligus mengharapkan pengaruh dari melakukan sesuatu tersebut.

b) Bentuk-Bentuk Tindak Tutur

Yang dibicarakan pada bagian ini adalah bentuk-bentuk tindak tutur berdasarkan daya ilokusi sebab seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa tindak ilokusi merupakan sentral dalam kajian tindak tutur. Komunikasi ini dikemukakan oleh Searle dalam Leech (1993: 164-165) yang mengatakan bahwa ilokusi terdiri atas lima kategori yaitu: asertif (assertives), direktif (directives), komisif (commissives), ekspresif (expressive), dan deklaratif (declaratives). Kreidler (1998: 183-184) mengemukakan tujuh bentuk tindak tutur, yaitu Fatis (phatic), performatif (performative), komisif (commissive), ekspresif (expressive), verdiktif (verdictive), asertif (assertive) dan direktif (directive).

Penelitian ini mengadopsi bentuk tindak tutur yang dikemukakan oleh Kreidler (1998) karena bentuk-bentuk tindak tutur yang disodorkannya lebih representatif dan lebih mampu mengakomodasi data penelitian ini. Bentuk-bentuk tindak tutur yang dikemukakan oleh Kreidler adalah sebagai berikut.

a) Fatis (Phatic Utterances)

Tindak tutur fatis bertujuan untuk menciptakan hubungan antara penutur dan mitra tutur. Tindak tutur fatis memiliki fungsi yang kurang jelas jika dibandingkan


(29)

commit to user

dengan enam jenis tindak tutur sebelumnya, namun bukan berarti bahwa tindak tutur fatis ini tidak penting.

Tuturan-tuturan fatis ini termasuk ucapan salam, ucapan salam berpisah, cara-cara yang sopan seperti terimakasih, sampai ketemu, sampai ketemu juga yang tidak berfungsi verdiktif atau ekspresif.

b) Performatif (P erformative Utterances)

Tindak tutur performatif merupakan tindakan tutur yang menyebabkan resminya apa yang dinamakan. Tuturan performatif menjadi sah jika dinyatakan oleh seseorang yang berwenang dan dapat diterima. Verba performatif antara lain bertaruh, mendeklarasikan, membabtis, menamakan, menominasikan, menjatuhkan hukuman, menyatakan, mengumumkan.

Biasanya ada pembatasan-pembatasan terhadap tindak tutur performatif. Pertama, subjek kalimat harus saya atau kami. Kedua, verbanya harus dalam bentuk kala kini. Dan yang paling penting penutur harus diketahui memiliki otoritas untuk membuat pernyataan dan situasinya harus cocok. Tindak tutur performatif terjadi pada situasi formal dan berkaitan dengan kegiatan-kegiatan resmi.

c) Komisif (Commisive Utterances)

Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang menyebabkan penutur melakukan serangkaian kegiatan. Hal ini termasuk berjanji, bersumpah, mengklaim. Verba tindak tutur komisif antara lain menawarkan, berjanji, bertanya, bersumpah,mengklaim dan menyetujui.

Verba-verba tersebut bersifat prospektif dan berkaitan dengan komitmen penutur terhadap perbuatan di masa akan datang. Predikat komisif adalah predikat


(30)

commit to user

yang dapat digunakan untuk menjalankan seseorang (atau menolak menjalankan seseorang) terhadap perbuatan masa akan datang. Subjek kalimat sebagian besar adalah saya dan kami. Lebih lanjut verbanya harus dalam bentuk kala kini dan mitra tutur.

d) Ekspresif (Expressive Utterances)

Tindak tutur ekspresif merupakan tindak pertuturan bermula dari kegiatan sebelumnya atau kegagalan penutur, atau mungkin akibat yang ditimbulkan atau kegagalannya. Maka dari itu tindak tutur ekspresif bersifat retrospektif dan melibatkan penutur. Verba-verba tindak tutur ekspresif antara lain mengakui, bersimpati, memanfaatkan, dan sebagainya.

e) Verdiktif (Verdictive Utterances)

Tindak tutur verdiktif merupakan tindak tutur di mana penutur membuat penilaian atas tindakan orang lain, biasanya mitra tutur. Penilaian-penilaian ini termasuk merangking, menilai, memuji, dan memafaatkan. Yang termasuk verba verdiktif adalah menuduh, bertanggung jawab, dan berterima kasih. Verba-verba ini berada pada kerangka ‘Saya…Anda atas…’ karena tindak tutur ini menampilkan penampilan penilaian penutur atas perbuatan penutur sebelumnya, maka tindak tutur ini bersifat retrospektif.

f) Asertif (Assertive Utterances)

Kreidler (1998:183) menyatakan bahwa pada tindak tutur asertif para penutur dan penulis memakai bahasa untuk menyatakan bahwa mereka mengetahui atau mempercayai sesuatu. Bahasa asertif berkaitan dengan fakta. Tujuannya adalah memberi informasi. Tindak tutur ini berkaitan dengan pengetahuan, data, apa yang


(31)

commit to user

ada atau diadakan, atau telah menjadi atau tidak terjadi. Dengan demikian, tindak tutur asertif bisa benar bisa salah dan biasanya dapat diversifikasikan atau disalahkan.

Tindak tutur asertif dibagi menjadi dua, yaitu tindak tutur asertif langsung dan tak langsung. Tindak tutur asertif langsung diawali dengan kata saya atau kami dan diikuti dengan verba asertif. Sebaliknya, tindak tutur asertif tak langsung juga diikuti dengan verba asertif yang merupakan tuturan yang dituturkan kembali oleh penutur. Yang termasuk verba asertif antara lain mengatakan, mengumumkan, menjelaskan, menunjukkan, menyebutkan, melaporkan, dan sebagainya.

g) Direktif (Directive Utterances)

Tindak tutur direktif merupakan tindak tutur dimana penutur berusaha meminta tutur untuk melakukan perbuatan atau tindak melakukan perbuatan. Jadi, tindak tutur direktif menggunakan pronominal kamu sebagai pelaku baik hadir secara eksplisit maupun tidak.

Tindak tutur direktif bersifat prospektif, artinya seseorang tidak bisa menyuruh orang lain suatu perbuatan pada masa lampau. Seperti tindak tutur yang lain, tindak tutur direktif mempresuposisikan suatu kondisi tertentu kepada mitra tutur sesuai dengan konteks. Ada tiga macam tindak tutur direktif perintah, permohonan dan anjuran. Dalam penelitian ini penulis akan mengacu tindak tutur menurut Kreidler, yaitu: Fatis (phatic), performatif (performative), komisif (commissive), ekspresif (expressive), verdiktif (verdictive), asertif (assertive) dan direktif (directive). Data diambil dari khotbah bahasa Batak Toba di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Solo. Dengan demikian, data-data tersebut diharapkan dapat dianalisis dengan menggunakan tindak tutur yang disampaikan Kreidler.


(32)

commit to user 3. Komponen tutur

Komponen tutur adalah butir-butir penentu bentuk linguistik (Poedjosoedarmo, 1978: 1). Pengertian lain menyebutkan bahwa komponen tutur adalah komponen-komponen yang berpengaruh terhadap terjelmanya bentuk tutur (Edi Subroto, 1992: 20). Komponen tutur tidak lain adalah butir yang dapat menetukan bentuk ujaran seorang penutur. Teori komponen tutur yang dikemukakan Poedjosoedarmo merupakan penjabaran kembali apa yang telah dikemukakan oleh Hymes dengan penyesuaian di sana-sini sesuai dengan penilaian yang dilakukannya. Ahli ini hanya menyebut adanya delapan komponen tutur, sedangkan Poedjosoedarmo menyebutkan ada 13 komponen tutur yang merupakan faktor-faktor penentu bentuk kebahasaan. Pada saat seseorang hendak berbicara, pertama kali terbentuklah suatu pesan itu lalu dilontarkan menjadi ujaran yang kemudian didengar oleh lawannya. Terjadinya pelontaran ujaran atau pengkodean itu dipengaruhi oleh banyak hal. Akibatnya wujud penjabaran pesan itu dalam bentuk kebahasaanya menjadi bermacam-macam bergantung kepada macam atau kualitas butir-butir yang mempengaruhinya. Hal ini disebabkan butir-butir itu adalah sebagai penentu bentuk kebahasaan, yaitu ujaran yang dilontarkan oleh seorang penutur.

Kejelasan tentang komponen tutur sangat diperlukan dalam analisis kebahasaan. Dengan melihat komponen tutur secara teliti, maka akan diketahui bahwa ternyata kemampuan seseorang tidak hanya semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor yang sifatnya linguistik, tetapi juga oleh pemilihan yang sesuai dengan fungsi dan situasinya.

Pembenahan komponen tutur ini berguna pula untuk mencari kejelasan tentang berbagai variasi bahasa, ragam bahasa, dan pemakaian bahasa di dalam


(33)

commit to user

masyarakat dwibahasa. Dalam analisis tindak tutur atau bahkan untuk memahami makna sesuatu kalimat pun kita perlu memperhitungkan pengaruh-pengaruh komponen tutur ini diperlukan dalam analisis kebahasaan.

Dalam memberikan ikwal peristiwa tutur, Hymes (dalam Subroto,1992: 20) mengidentifikasikan 16 komponen tutur sebagai berikut.

1. Setting, yaitu situasi pemakaian bahasa yang teramati seperti waktu, tempat, dan lingkungan fisik yang ada.

2. Scene, yaitu penafsiran terhadap situasi sebagai situasi. 3. Pembicara atau orang pertama (01).

4. Pendengar atau orang kedua (02). 5. Orang ketiga atau yang dibicarakan.

6. Sumber, yaitu sumber budaya yang mewarnai ujaran atau tuturan seseorang. Bila seseorang bertutur maka akan tampak pula warna budayanya.

7. Fungsi dari peristiwa tutur, misalnya tuturan untuk upacara ritual atau rapat-rapat.

8. Tujuan yang hendak dicapai oleh peserta tutur. 9. Bentuk tutur

10.Isi atau pokok pembicara. Jika isi adalah mengenai topik atau pokok pembicaraan, maka bentuk adalah wujud bahasa di mana isi itu diwujudkan. 11.Warna tutur, yaitu apakah suatu tuturan berwarna sinisme atau sarkasme. 12.Variasi bahasa

13.Saluran, yaitu apakah berwujud bahasa lisan atau tulisan surat, atau telegram, nyayian atau perbincangan.

14.Norma interaksi, yaitu norma-norma yang harus dipatuhi untuk berinteraksi. 15.Norma untuk membuat penafsiran tuturan.


(34)

commit to user

16.Genre, yaitu apakah berwujud puisi, atau khotbah, atau dialog dalam persidangan pengadilan, dan sebagainya.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan komponen tutur sebagai landasan untuk menganalisis tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Solo.

4. Konteks Situasi Tutur

Pragmatik adalah studi bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada konteks (Bambang Kaswanti, 1990: 14). Konteks yang dimaksud adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. Dengan mendasarkan pada gagasan Leech (1983: 13-14), Wijana (1996) menyatakan bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut dengan konteks situasi tutur. Konteks situasi tutur menurutnya mencakup aspek-aspek, yaitu; (1) penutur dan lawan tutur, (2) konteks tuturan, (3) tujuan tuturan, (4) tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktifitas, (5) tuturan sebagai produk tindak verbal (Wijana, 1996: 10-11).

Secara singkat masing-masing aspek situasi tutur itu dapat diuraikan sebagai berikut. Penutur dan lawan tutur di dalam beberapa literatur, khususnya dalam Searle (1983), lazimnya dilambangkan dengan S yang berarti pembicara atau penutur dan H yang dapat diartikan pendengar atau mitra tutur. Konteks diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan yang di asumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur serta yang mendukung interprestasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu di dalam proses bertutur. Tujuan tutur berkaitan erat dengan bentuk tindakan atau aktifitas merupakan bidang yang ditangani pragmatik. Tuturan sebagai


(35)

commit to user

bentuk tindakan atau aktifitas merupakan bidang yang ditangani pragmatik. Tuturan dapat dipandang sebagai sebuah produk tindak verbal.

Melalui pemahaman terhadap konteks situasi tersebut akan dikenali maksud suatu tuturan, lalu dapat diidentifikasi kosakata atau istilah khusus sebagai penanda tindak tutur.

Halliday dan Ruqaiya Hasan dalam buku yang berjudul Bahasa, Konteks, dan Teks (1994: 4) memberi batasan bahwa teks adalah bahasa yang berfungsi, yaitu bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi. Teks dapat berwujud tuturan atau tulisan-tulisan yang mempunyai kesatuan makna. Makna-makna itu dikodekan ke dalam kata-kata atau kalimat untuk dikomunikasikan. Sebagai sesuatu yang mandiri, teks itu pada dasarnya adalah satuan makna. Teks bukan sesuatu yang dapat diberi batasan seperti sejenis kalimat, melainkan lebih besar.

Teks adalah suatu bentuk pertukaran makna yang bersifat sosial. Teks adalah suatu bentuk pertukaran, dan bentuk teks paling dasar adalah percakapan, suatu interaksi antara pembicaraan dan pendengar. Percakapan merupakan jenis teks tempat orang menggali secara optimal sumber-sumber bahasa yang mereka miliki, tempat mereka memunculkan hal-hal baru, dan tempat terjadinya perubahan-perubahan sistem. Perubahan dan perkembangan dalam bahasa dapat ditemukan dalam teks-teks percakapan yang alami. Konteks percakapan sebagai salah satu jenis teks, merupakan suatu proses pertukaran makna antar manusia (Halliday dan Raquiya Hasan, 1994: 14-15).

Untuk memahami konteks situasi, para pemakai bahasa harus mampu saling memperkirakan secara tepat makna yang akan muncul dalam sebuah pemakaian


(36)

commit to user

bahasa. Kemampuan memperkirakan itu sangat penting. Tanpa kemampuan itu, proses seluruhnya menjadi sangat lambat. Seluruh isi pembicaraan mungkin terlepas jika pendengar tidak menyertakan perkiraan-perkiraan yang tepat yang bersumber dari konteks situasi. Konteks itu adalah teks sebelumnya. Kata-kata dalam sebuah pembicara sering diterangkan oleh konteksnya, maka interprestasi terhadap tuturan atau pembicaraan di dalam sebuah teks diterangkan oleh tuturan sebelumnya (Hasan Lubis,1991: 94).

Konteks situasi hanyalah merupakan lingkungan yang langsung. Masih ada latar belakang lebih luas yang harus diacu dalam menafsirkan teks yaitu konteks budaya. Orang melakukan hal tertentu pada kesempatan tertentu dan memberinya makna dan nilai. Inilah yang dimaksud kebudayaan (Halliday dan Raqaiya Hasan, 1994: 63). Oleh karena itu, warga masyarakat dari kebudayaan tentu akan membentuk konsep-konsep dan menemukan kecocokan dengan situasi atau kewajiban tertentu (Ohoiwutun,1997: 83).

Dengan demikian, teks itu sendiri merupakan objek dan juga merupakan contoh makna sosial dalam konteks situasi tertentu. Teks adalah hasil lingkungannya, hasil suatu proses pemilihan makna yang terus-menerus, yang membentuk suatu sistem kebahasaan. Oleh karena itu, konteks situasi merupakan suatu hubungan yang sistematis antara lingkungan sosial di satu pihak, dengan organisasi bahasa yang berfungsi di lain pihak (Halliday dan Raqaiya Hasan, 1994: 15-16).

5. Masyarakat Tutur

Chomsky mengatakan bahwa bahasa merupakan kompeten dan performan, maka secara implisit Dell Hymes (dalam Suwito,1982: 17) membedakan bahasa sebagai sistem, sedangkan tutur sebagai keterampilan. Kedua hal ini secara eksplisit


(37)

commit to user

dinyatakan sebagai kemampuan komunikatif, yaitu kemampuan berbahasa sesuai dengan norma, situasi, dan fungsinya yang dimiliki oleh penutur (Suwito, 1982: 17). Ini berarti bahwa kemampuan komunikatif disamping berkaitan dengan kemampuan struktural, penutur mampu membedakan struktur yang gramatikal dan nongramatikal, juga berkenaan dengan situasinya. Kemampuan komunikatif verbal repertoire mungkin dimiliki oleh individu atau masyarakat tertentu.

Masyarakat bahasa atau masyarakat tutur merujuk pada suatu masyarakat yang mempunyai verbal repertoire yang relatif sama dan memiliki penilaian yang terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang dipergunakan dalam masyarakat (Fishman, 1972: 22). Dengan demikian, masyarakat tutur bukan sekedar kelompok orang yang mempergunakan bentuk bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang juga memiliki norma yang sama dalam memakai bentuk bahasa (Suwito,1982: 18). Itulah sebabnya, Laboy (1972: 293) menarik esensi bahwa sikap-sikap sosial terhadap bahasa sangat beragam dalam masyarakat bahasa.

Masyarakat bahasa pada hakikatnya terbentuk karena adanya saling pengertian (mutual-intelligibility), terutama adanya kebersamaan dalam kode-kode linguistik yang mencakup sistem bunyi, morfologi, sintaksis, dan semantik (Alwasilah,1988: 43). Masyarakat bahasa muncul oleh karena rapatnya komunikasi atau karena integrasi simbolik dengan tetap menghormati kemampuan berkomunikasi penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa atau variasi bahasa yang dipergunakan (Gumperz dalam Suwito, 1982: 20). Dalam masyarakat modern, masyarakat bahasa cenderung lebih terbuka dan memiliki variasi yang cukup banyak dalam bahasa yang sama. Sebaliknya, masyarakat tradisional lebih tertutup dan cenderung memakai variasi dari beberapa bahasa yang berlainan (Fishman,1972: 33).


(38)

commit to user 6. Prinsip Kerjasama

Kegiatan bertutur akan berlangsung dengan baik apabila para peserta tutur semuanya terlibat aktif di dalam proses bertutur tersebut, maka para peserta tutur harus dapat saling bekerja sama. Kerja sama itu pun harus disertai perilaku sopan kepada pihak lain.

Menurut Kaelan (1974) maksim-maksim dalam prinsip kerja sama tidak merupakan suatu kesemestaan bahasa karena pada beberapa masyarakat bahasa tidak semua maksim dapat diterapkan. Hal itu oleh Leech (1993: 121) ditanggapi bahwa ada ilmu khusus, yakni sosio-pragmatik yang bertujuan menjelaskan bagaimana masyarakat yang berbeda menggunakan maksim-maksim. Misalnya, ada masyarakat yang dalam situasi tertentu lebih mementingkan prinsip sopan santun yang satu daripada prinsip kerjasama, atau lebih mendahulukan maksim prinsip sopan santun yang satu daripada yang lain.

Selain itu, ada empat maksim yang menopang prinsip di atas, seperti yang dikemukakan oleh Grice (dalam Levinson, 1995: 105: 101; Van Dijk, 1997: 39; lihat juga Rahardi, 2000: 50; Marcellino, 1993: 62; Wijana, 1996: 45) yang mencakup empat maksim sebagai berikut:

a) Maksim kualitas

Maksim ini mewajibkan setiap peserta tutur mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Contohnya:

(1) Unang didokkon manang aha molo dang adong buktina. ‘Jangan mengatakan sesuatu yang tidak ada buktinya’.


(39)

commit to user b) Maksim kualitas

Di dalam maksim ini seseorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Contohnya:

(2) Unang lean hatorangan na lobi godang sian na diporluhon.

‘Jangan memberi keterangan yang lebih banyak dari yang diperlukan’. c) Maksim relevansi

Maksim ini mengharuskan setiap peserta tutur memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang dipertuturkan. Berbicara dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerjasama. Contohnya:

(3) Pn : Juni, coba karejohon soal on tu papan tulis! ‘Juni, coba kerjakan soal ini di papan tulis!’ Mt : Olo, pak.

‘Ya, pak.’

(4) Pn : Candra, coba karejohon soal on tu papan tulis! ‘Candra, coba kerjakan soal ini di papan tulis!’ Mt : Loceng ngamakkuling, pak.

‘Bel berbunyi, pak.’

Tuturan 3) merupakan tuturan yang benar-benar merupakan tanggapan seorang murid (mitra tutur) ketika diperintahkan gurunya (penutur). Ada relevansi antara jawaban murid terhadap pertanyaan guru sehingga dikatakan memenuhi prinsip kerjasama. Pada tuturan 4) jawaban Candra (mitra tutur) tidak ada hubungannya dengan apa yang diperintahkan guru (penutur). Tuturan (4) ini juga merupakan bahwa maksim relevansi dalam prinsip kerjasama tidak selalu harus dipatuhi dalam pertuturan sesungguhnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan maksud-maksud tertentu yang khusus sifatnya.


(40)

commit to user d) Maksim cara/ pelaksanaan

Maksim ini menghendaki para peserta tutur berbicara langsung, jelas, dan tidak kabur.

Contohnya:

(5) Padao sian naso mangantusi ‘Hindari ketidakjelasan’ (6) Mangkatai ma denggan

‘Bicaralah dengan sopan’

7. Prinsip Sopan Santun

Leech (1993:80) berpendapat bahwa prinsip kerja sama dibutuhkan untuk memudahkan penjelasan antara makna dan daya. Penjelasan demikian sangat memadai, khususnya untuk memecahkan masalah yang timbul di dalam semantik yang menggunakan pendekatan yang berdasarkan kebenaran. Akan tetapi, prinsip kerja sama itu sendiri tidak mampu menjelaskan mengapa orang sering menggunakan cara yang tidak langsung di dalam menyampaikan maksud. Prinsip kerja sama juga tidak bisa menjelaskan hubungan antara makna dan daya dalam kalimat nondeklaratif. Untuk mengatasi kelemahan itu, Leech mengajukan prinsip lain di luar prinsip kerja sama, yang dikenal sebagai prinsip sopan santun.

Prinsip sopan santun memiliki sejumlah maksim, yakni 1) maksim kebijaksanaan, 2) maksim kemurahan, 3) maksim penerimaan, 4) maksim kerendahan hati, 5) maksim kecocokan dan maksim kesimpatian (Leech, 1993: 132; Mey,1993: 67; Wijana, 1996: 55). Wijana (1996: 55) menjelaskan bahwa di dalam mengungkapkan maksim-maksim dalam prinsip sopan santun diperlukan bentuk ujaran yang meliputi:


(41)

commit to user

1. Ujaran komisif yaitu ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau tawaran

2. Ujaran impositif yaitu ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan

3. Ujaran ekspresif yaitu ujaran yang dingunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap suatu keadaan

4. Ujaran asertif yaitu ujaran yang digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan.

Di dalam percakapan, penutur harus menyusun tuturannya sedemikian rupa agar mitra tuturnya sebagai individu merasa diperlakukan secara santun. Dalam hal ini, prinsip sopan santun dapat dipakai sebagai tuntunan cara bertutur secara santun.

Maksim-maksim dalam prinsip sopan santun satu persatu akan dideskripsikan sebagai berikut.

a). Maksim Kebijaksanaan

Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip sopan santun adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain. Orang yang bertutur berpengang dan melaksanakan maksim kebiasaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Untuk lebih memperjelas pernyataan ini dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini:

(7) Pn : Beta hita allang indahan goreng on ‘Ayo dimakan nasi gorengnya’

Mn : Ago tabonai poang. Ise do mambaen indahan goreng on, oma? ‘ Wah enak sekali. Siapa yang membuat nasi goreng ini, Bu?’


(42)

commit to user

Di dalam tuturan (7) tampak jelas bahwa tuan rumah (penutur) sungguh memaksimalkan keuntungan bagi tamu (mitra tutur) dengan menawarkan nasi goreng. Demikian sebaliknya, tamu ingin memaksimalkan keuntungan bagi tuan rumah dengan memuji rasa nasi goreng yang enak dan menanyakan siapa yang membuat nasi goreng itu. Dengan demikian, kedua penutur dan mitra tutur tersebut saling berusaha lebih mementingkan orang lain.

Contah tuturan lain dapat dilihat di bawah ini. Tuturan ini dituturkan oleh seorang suami kepada istrinya yang mengenakan gaun barunya. Di dalam tuturan (8) ini tampak jelas bagaimana mereka saling memaksimalkan keuntungan bagi mitra tuturnya.

(8) Pn : Ago! Gatteng hian doho mamakke baju i. Lomo rohakku mangidai. ‘Aduh! Tampan banget kamu pakai baju itu. Aku suka melihatnya.’ Mt : Bah, oma, anakkon nise doi?

‘Ah, mama. Anak siapa sih?’

b) Maksim Kemurahan / kedermawanan

Dengan maksim kemurahan atau kedermawanan, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Kunjana Rahardi (2000: 59) menjelaskan maksim ini dengan memberikan contoh tuturan berikut ini:

(9) Pn : Mari saya cucikan baju kotormu. Pakaianku tidak banyak kok yang kotor.

Mt : Tidak usah, kak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok.

Dari tuturan (9) yang disampaikan si penutur di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa dia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara


(43)

commit to user

menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya mitra tutur.

c). Maksim Penerimaan

Taringan (dalam Kunjana Rahardi, 2000: 57) menerjemahkan approbation maxim, yang pada subbab ini disebut maksim penerimaan, dan maksim penghargaan. Dengan maksim penghargaan, orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek peserta tutur lain yang di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan, karena mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain. Untuk lebih menjelaskan maksim ini, tuturan berikut ini akan memberikan gambaran.

(10) Pn : Oma, ahu nakkaning nungnga manapu lantai. ‘Bu, aku tadi sudah menyapu lantai.’

Mt :Bah, denggan nai. Ido ikkon songoni do molo anak naringgas.

‘Wah, bagus sekali. Ya begitu dong jadi anak rajin.’

Di dalam tuturan (10) di atas tampak jelas bagaimana seorang ibu (mitra tutur) memberikan penghargaan kepada anaknya (penutur) yang menyapu lantai.

d). Maksim Kerendahan hati

Kunjana Rahardi (2000:62) menggunakan istilah maksim kesederhanaan untuk modesty maxim. Dalam maksim ini peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong bila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji diri mengunggulkan diri sendiri. Untuk memperjelas maksim ini perhatikan tuturan berikut ini.


(44)

commit to user

(11) Pn : Annon ho da na gabe manuntun upacara. ‘Nanti kamu ya yang jadi Pembina upacara.’ Mt : Ah masa ahu boi

‘Ah masa aku bisa.’

(12) Pn : Annon ho da na gabe manuntun upacara ‘Nanti kamu ya yang jadi Pembina upacara.’

Mt : Olo, ai ringgas do au mandok hata da. Ikkon denggan dapotna ‘Ya, Aku sering berpidato kok. Pasti baik hasilnya.’

Pada tuturan (11) tampak jelas bagaimana mitra tutur merendahkan dirinya demi kesopanan. Bandingkan jika tuturan (11) di atas diubah menjadi tuturan (12)

e). Maksim Kecocokan

Untuk maksim ini Kunjana Rahardi (2000: 63) menggunakan istilah maksim permufakatan. Di dalam maksim ini ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan antara penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur. Dengan demikian mereka dapat dikatakan santun. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan tuturan (13) dan (14) berikut ini.

(13) Pn : Ruas sadarion godang ate. “ Jemaat hari ini banyak juga. Mt : Ido, tohodoi godang sadarion.

“Ya, betul. banyak hari ini. (14) Pn : Ruas sadarion godang ate.

“ Jemaat hari ini banyak juga. Mt : Ido, tohodoi apala sadarion.

“Ya, betul. Memang satu hari ini.

Tuturan mitra tutur pada (13) lebih sopan daripada mitra tutur pada (14) karena dalam (14), mitra tutur memaksimalkan ketidakcocokannya dengan peryataan


(45)

commit to user

penutur. Hal ini bukan berarti bahwa orang harus setuju dengan sebuah pernyataan yang dikatakan oleh mitra tuturnya. Bila tidak setuju, mitra tutur dapat membuat pernyataan ketidaksetujuan atau ketidakcocokan parsdial (Wijana, 1996: 60).

f). Maksim Kesimpatian

Maksim Kesimpatian ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada mitra tuturnya. Jika mitra tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila sebaliknya, mitra tutur mendapatkan kesusahan atau musibah, penutur layak untuk turut berduka. Untuk memperjelas maksim kesimpatian ini dapat dilihat contoh tuturan berikut ini.

(15) Pn : Au di jalo jadi CPNS. ‘Aku diterima CPNS.’

Mt : Bah ido! Salamat, da! Andigan pestana? ‘Oh,ya! Selamat, Ya! Kapan syukurannya?’ (16) Pn : Boasa ho murhing. Naboha ho?

‘Kamu kok kelihatan sedih. Ada apa?’ Mt : Dompethu mago.

‘Dompetku hilang.’

Pn :Age amang, alai, nungga bei unang pola pikkiri bei. Ingot ho marsogot ujian semesteran.

‘Ya ampun. Tapi, sudahlah jangan dipikirkan dulu. Ingat kamu besok ujian semesteran.

8. Tipe Kalimat

Sebuah kalimat dapat digolongkan ke dalam beberapa golongan dilihat dari jenis penggolongannya. Secara tradisional kalimat dapat digolongkan ke dalam empat


(46)

commit to user

macam, yaitu menurut (1) tujuan/tipe, (2) sintaksis/jumlah klausa, (3) bentuk, dan (4) kelengkapan (Moore, 1968: 9).

a) Tipe Kalimat Berdasarkan Tujuan

Kalimat dapat digolongkan menurut tujuan yaitu (1) kalimat imperaktif, (2) kalimat deklaratif, (3) kalimat interogatif, dan (4) kalimat seru (interjektif). Kalimat imperatif berupa perintah atau permintaan (Moore, 1968: 9). Perintah atau permintaan biasanya mempunyai subjek you yang sudah diketahui. Orang-orang menamakan subjek ini sebagai subjek tersembunyi. Kalimat imperatif diikuti oleh tanda titik (.), atau jika kita ingin memberi tekanan pada kalimat imperatif kita dapat mengakhiri kalimat imperatif dengan tanda seru (!).

Kalimat deklaratif berupa pernyataan (Moore, 1968: 9). Kita biasanya membuat pernyataan-pernyataan yang menyatakan sesuatu, oleh karena itu sebagian besar kalimat yang kita buat adalah deklaratif. Semua kalimat deklaratif diakhiri dengan sebuah titik (.). dalam kalimat deklaratif subjek dan predikat mempunyai urutan biasa, dan kalimat itu diakhiri dengan tanda titik dalam penulisan dan nada turun dalam pengucapan.

Kalimat interogatif menanyakan sebuah pertanyaan. Menanyai berarti bertanya (Moore, 1968: 9). Menurut Frank (1972: 221) dalam kalimat Tanya subjek dan auxiliary sering dibalik, subjek diletakkan setelah auxiliary. Kalimat Tanya diikuti oleh tanda Tanya (?) dalam penulisan.

Kalimat seru mengekpresikan perasaan yang kuat dan selalu diikuti oleh tanda seru (!) (Moore, 1968: 9). Frank (1972: 221) mengatakan bahwa dalam penulisan kalimat seru berakhir dengan tanda seru, kadang-kadang sebuah titik digunakan untuk


(47)

commit to user

mengurangi tekanan. Dalam pengucapan kata yang paling penting dalam frasa seru mendapat tekanan paling keras disertai nada naik.

b) Tipe Kalimat Berdasarkan Jumlah Klausa

Kalimat dapat digolongkan menurut jumlah klausa, yaitu kalimat tunggal, kalimat majemuk setara, kalimat majemuk bertingkat, dan kalimat majemuk setara-majemuk bertingkat.

Kalimat majemuk bertingkat yaitu kalimat yang terdiri dari klausa dapat didefinisikan sama dengan kalimat, yaitu prediksi penuh yang terdiri dari satu subjek dan satu predikat dengan satu verba (Frank, 1972: 222). Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya terdiri dari satu pasang subjek dan predikat. Kalimat tunggal hanya mempunyai satu predikasi utuh dalam bentuk sebuah klausa bebas Frank, 1972: 223).

Kalimat majemuk setara terdiri dari paling sedikit dua klausa bebas. Kata penghubung antara klausa yang satu dengan klausa yang lain adalah and, but, or, dan so. Kalimat majemuk setara-majemuk bertingkat terdiri dari paling sedikit dua klausa bebas dan satu klausa terikat atau lebih.

c) Tipe Kalimat Berdasarkan Bentuk

Kalimat dapat dikategorikan berdasarkan bentuknya kedalam kalimat periodik dan kalimat lepas. Kalimat periodik adalah kalimat yang ide utamanya tidak lengkap sebelum kalimat itu berakhir. Kalimat lepas adalah kalimat yang bukan periodik.


(48)

commit to user d) Tipe Kalimat Berdasarkan Kelengkapan

Berdasarkan kelengkapannya kalimat digolongkan ke dalam kalimat lengkap dan kalimat tidak lengkap (Moore, 1968:13). Kalimat lengkap adalah kalimat yang secara gramatikal lengkap, tetapi dari subjek dan predikat yang eksplisit, tidak diketahui oleh kata hubung, dan menyatakan pikiran yang lengkap. Kalimat tidak lengkap adalah kalimat yang secara gramatikal tidak lengkap, tetapi dalam konteks sudah mengkomunikasikan ide yang jelas.

Dalam penelitian ini tipe atau bentuk kalimat akan dianalisis dilihat dari tujuan, klausa, bentuk, dan kelengkapan.

9. Klasifikasi Variasi Bahasa

Variasi bahasa dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa kriteria. Berikut ini akan diuraikan pembagiannya berdasarkan kriteria pembagian yang dikemukakan oleh Chaer dan Agustinus (1995:80).

a). Variasi bahasa dilihat dari segi penutur

Variasi bahasa berdasarkan penutur dapat dibedakan atas idiolek, dialek (ada dialek areal, dialek reginal/dialek geografi), kronolek (dialek temporal), sosiolek (dialek sosial) yang mencakup : akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argon, ken, dan prokem.

Idiolek adalah variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Idiolek seseorang akan berbeda dengan yang lain atau dengan kata lain setiap orang mempunyai idiolek sendiri-sendiri. Idiolek berkaitan dengan warna suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat dan sebagainya. Sebagai contoh idiolek pendeta Aruan lain dengan idiolek pendeta Panjaitan. Jenis yang kedua adalah dialek atau logat, yaitu variasi


(49)

commit to user

bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu.

Dialek ini didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional atau dialek geografi. Ragam ini diwarnai oleh lafal dan intonasi bahasa-bahasa setempat atau bahasa-bahasa kelompok etnik tertentu. Negara Indonesia yang terdiri dari beratus-ratus suku bangsa memiliki pula beratus-ratus bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu atau bahasa pertama suku bangsa atau etnik tersebut. Dengan demikian, bahasa Indonesia bagi kebanyakan orang Indonesia merupakan bahasa kedua yang diperoleh setelah mereka memasuki sekolah formal. Dalam keadaan kebahasaan yang demikian, maka dapat dipahami jika orang Indonesia berbahasa Indonesia lisan maka bahasanya diwarnai oleh lafal dan intonasi bahasa daerah atau bahasa ibunya. Itulah terjadinya keragaman atau variasi bahasa Indonesia dalam bentuk logat-logat. Misalnya, bahasa Indonesia logat Medan atau Batak Toba, Bahasa Indonesia logat Sunda, Bahasa Indonesia logat Manado, Bahasa Indonesia logat Betawi, Bahasa Indonesia Jawa, dan sebagainya. Logat itu antara lain tampak juga pada aksen yang berbeda-beda. Variasi selanjutnya adalah kronolek atau dialek temporal, yaitu variasi bahasa yang dingunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Bahasa Indonesia yang digunakan pada tahun empat puluhan dengan Bahasa Indonesia pada tahun enam puluhan, serta bahasa Indonesia tahun sembilan puluhan akan berbeda baik dari segi lafal, morfologi, maupun sintaksisnya. Yang paling tampak adalah dari segi leksikon, karena bidang ini mudah sekali berubah karena faktor sosial budaya maupun iptek.

Berdasarkan penutur ini terdapat pula apa yang disebut sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Dalam sosiolinguistik biasanya variasi inilah yang paling banyak


(50)

commit to user

dibicarakan dan paling banyak menyita waktu karena variasi ini menyangkut semua masalah pribadi para penuturnya, seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dan sebagainya. Dari segi usia misalnya, dapat dibedakan bahwa variasi bahasa yang dipakai oleh kanak-kanak, remaja, atau orang dewasa pastilah akan berbeda. Perbedaan itu bukanlah berupa isi pembicaraan, melainkan perbedaan dalam bidang morfologi, sintaksis, dan juga leksikonnya. Variasi bahasa yang digunakan oleh orang yang latar belakang pendidikannya berbeda juga akan tampak perbedaannya baik dalam pelafalan, kata-kata yang dipakai, atau kalimat-kalimatnya. Ragam bahasa yang digunakan oleh seorang wanita akan lain pula dengan variasi bahasa yang digunakan oleh seorang pria. Orang yang berlatar belakang buruh akan berbeda variasi bahasanya dengan orang yang berlatar belakang pekerjaannya di kantor, dan sebagainya. Berdasarkan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para penuturnya dapat dijabarkan lagi ragam bahasa itu seperti akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argon, dan ken.

Akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi daripada variasi sosial lainnya. Misalnya bahasa Batak Toba yang dipergunakan para raja Batak Toba.

Basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi atau bahkan dipandang rendah. Contoh, bahasa batak “orang desa”. Variasi sosial yang lain adalah vulgar, yaitu variasi sosial yang ciri-cirinya tampak dari pemakaian bahasa oleh orang-orang yang kurang terpelajar.

Slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia, yang biasanya digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Slang lebih banyak berkaitan dengan bidang kosa kata


(51)

commit to user

daripada bidang fonologi atau gramatika karena kosa kata yang digunakan dalam ragam ini sering berubah-ubah. Ada pula yang menyebutkan ragam ini dengan istilah bahasa prokem.

Kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Kolokial merupakan bahasa percakapan, bukan bahasa tulis. Dalam bahasa Indonesia terdapat pula bentuk-bentuk kolokial seperti ndak, nggak, kok dan sebagainya.

Jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Orang yang bukan kelompok-kelompoknya akan kesulitan mengetahui maksud pembicaraan yang tengah berlangsung, namun sifatnya tidak rahasia seperti dalam slang. Contohnya ada bahasa kelompok montir, bahasa kelompok tukang, bahasa kelompok pedagang akan memiliki kosa kata- kosa kata yang hanya dikenal oleh kelompok tersebut.

Argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi tertentu dan bersifat rahasia. Letak kekhususan argot adalah pada kosa kata. Misalnya dalam dunia kejahatan dikenal kata barang yang artinya “mangsa”, kacamata artinya “polisi”, daun artinya “uang” dan sebagainya.

Ken (cant) adalah variasi sosial tertentu yang bernada memelas, dibuat merengek-rengek, penuh dengan kepura-puraan. Biasanya digunakan di kalangan pengemis.

b). Variasi bahasa dilihat dari segi pemakaian atau fungsinya

Variasi bahasa dilihat dari segi pemakaian atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam, atau register. Ragam ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan.


(52)

commit to user

Variasi berdasarkan bidang pemakaian ini misalnya bidang militer, sastra, jurnalistik, pendidikan dan sebagainya. Masing-masing bidang tersebut menampakkan ciri pemakaian kosa kata yang berbeda-beda. Bidang sastra misalnya akan memiliki leksikon-leksikon yang estetis. Selain itu, tampak pula perbedaan itu dari tataran morfologi dan sintaksis.

Variasi bahasa yang disebabkan karena sifat-sifat khas kebutuhan pemakaiannya lazim disebut register. Register sering dikaitkan dengan dialek. Kalau dialek dikaitkan dengan penggunaan bahasa oleh siapa saja, di mana, dan kapan, maka register berkenaan dengan bahasa itu digunakan untuk kegiatan apa. Lebih jauh dapat dijelaskan bahwa seseorang mungkin saja akan hidup dengan satu dialek saja, tetapi dia pastilah tidak akan hidup dengan satu register saja karena bidang kegiatan yang harus dilakukan tidak hanya satu saja. Kajian terhadap tindak tutur dalam khotbah Bahasa Batak Toba di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Solo akan menunjukkan ciri-ciri leksikon, ciri morfologi, dan ciri pelafalan yang khas. Pelanggaran kaidah morfologi dan pelafalan dimungkinkan juga banyak mewarnai register percakapan dalam wacana ini.

c). Variasi bahasa dilihat dari segi keformalan

Berdasarkan segi keformalannya variasi bahasa itu mencakup lima macam (style), yaitu ragam beku, ragam resmi atau formal, ragam usaha atau konsultatif, ragam santai atau kasual, ragam akrab atau intim.

Ragam beku adalah ragam bahasa yang paling formal dan dipakai dalam suasana yang sangat resmi atau digunakan dalam situasi-situasi hikmat. Disebut ragam beku karena ragam itu tidak boleh diubah sedikit pun wujud pemakaiannya termasuk titik dalam komanya, urutan kata-katanya serta susunan kalimatnya. Ragam


(1)

commit to user

hasil yang lebih baik dalam memahami makna tuturan di dalam setiap menyampaikan khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo. Biasanya pendeta mengucapkan salam pembuka dan salam penutup pada khotbahnya dalam bahasa Batak Toba. Salam pembuka dipakai pendeta untuk mengawali khotbah bahasa Batak Toba misalnya syalom atau selamat hari minggu saudara-saudari yang terkasih di dalam nama Tuhan. Salam penutup digunakan pendeta untuk mengakhiri khotbah bahasa Batak Toba misalnya terima kasih Tuhan karena engkau sudah memberikan berkatmu selama ini kepada hambamu sekarang sampai selama-lamanya Tuhan.

Penelitian tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoretis penelitian tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo ini diwujudkan dalam bentuk khasanah teori linguistik (pragmatik), khususnya teori pemakaian bahasa Batak Toba. Manfaat praktis dari temuan-temuan penelitian Purwani (1992), Mujiono (1996), Gunarwan (1996), Abdul Syukur Ibrahim (1996), Deli Nirmala (1998), Sri Haryanti (2001) dan Edi Subroto (2001). Objek kajian dari masing-masing dari penelitian tersebut berbeda satu sama lain dan demikian pula dengan jenis kelamin, usia dan ranah percakapan serta bahasa yang dilibatkan. Penelitian ini dapat digunakan sebagai substansi dasar penelitian tentang tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo. Temuan-temuan penelitian ini juga dapat dimanfaatkan oleh peneliti selanjutnya dalam bidang linguistik (pragmatik). Di samping itu, hasil penelitian ini dapat pula dimanfaatkan oleh peneliti untuk meningkatkan pengetahuan tentang tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo.


(2)

commit to user

C. Jenis Tindak Tutur yang Dominan

Ada 7 tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo, yaitu; Fatis (phatic), performatif (performative), komisif (commissive), ekspresif (expressive), verdiktif (verdictive), asertif (assertive) dan direktif (directive). Secara berturut-turut dari jumlah yang paling sedikit ke yang paling banyak adalah tindak tutur fatis hanya terdiri atas 3 subtindak tutur, tindak tutur performatif terdiri atas 3 subtindak tutur, tindak tutur komisif terdiri atas 6 subtindak tutur, tindak tutur ekspresif terdiri atas 7 subtindak tutur, tindak tutur verdiktif terdiri atas 10 subtindak tutur, tindak tutur asertif terdiri atas 15 subtindak tutur, tindak tutur direktif terdiri atas 17 subtindak tutur. Tindak tutur yang dominan dalam Khotbah Bahasa Batak Toba di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Solo adalah tindak tutur direktif. Tindak tutur direktif terdiri atas tujuh belas subtindak tutur. Subtindak tutur ‘meminta’ yang paling dominan dalam tindak tutur direktif.

D. Alasan Yang Mendasari Mengapa Tindak Tutur Direktif Lebih Dominan

Digunakan dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo.

Peneliti mempunyai alasan yang Mendasari Mengapa Tindak Tutur Direktif Lebih Dominan Digunakan dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo. Karena Tindak Tutur Direktif yang paling banyak di temukan dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo, dengan demikian peneliti tidak ada alasan lagi bahwa tindak tutur direktif yang paling dominan. Sedangkan tindak Tutur Fatis (phatic), performatif (performative), komisif (commissive), ekspresif (expressive), verdiktif (verdictive), dan asertif (assertive) ada juga di temukan dalam tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak ToBa di Gereja HKBP Solo. Tetapi yang paling banyak di temukan yaitu tindak tutur direktif, di antara tindak tutur direktif yang paling


(3)

commit to user

menonjol atau yang paling dominan yaitu meminta. Karena di dalam khotbah bahasa Batak Toba pendeta meminta kepada jemaat supaya mendengar apa yang telah di sampaikanTuhan melalui perantara pendeta. Pendeta juga meminta kepada jemaat supaya benar-benar melakukan apa yang telah di ajarkan Tuhan kepada murid-muridnya. Pendeta tidak pernah lupa meminta kepada jemaat supaya melakukan kebaikan, saling mengasihi, baik kepada orang tua maupun kepada orang lain.


(4)

commit to user

BAB V

PENUTUP

A. SIMPULAN

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, serta hasil penelitian dan pembahasan yang sudah dilakukan, maka dapat dikemukakan tiga simpulan sebagai berikut.

1. Dalam Khotbah Bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo terdapat tujuh tindak tutur. Ketujuh jenis tindak tutur adalah tindak tutur Fatis (phatic), performatif (performative), komisif (commissive), ekspresif (expressive), verdiktif (verdictive), asertif (assertive) dan direktif (directive). Ada enam puluh satu subtindak tutur yang ditemukan dari ketujuh dari ketujuh jenis tindak tutur tersebut. Enam puluh satu subtindak tutur tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:

a. Tindak tutur fatis hanya terdiri atas 3 subtindak tutur, yakni; ‘menghormati’, ‘mengucapkan salam’ dan ‘menyapa’.

b. Tindak tutur performatif terdiri atas 3 subtindak tutur, yakni; ‘menyatakan’, ‘memutuskan’, dan ‘mangabulkan’.

c. Tindak tutur komisif terdiri atas 6 subtindak tutur, yakni; ‘menawarkan’, ‘berjanji’, ‘bertanya’, ‘bersumpah’, ‘mengklaim’, dan ‘menyetujui’. d. Tindak tutur ekspresif terdiri atas 7 subtindak tutur, yakni; ‘bersimpati’,

‘mengakui’, ‘memuji’, ‘bersyukur’, meminta maaf’, dan ‘menolak’. e. Tindak tutur verdiktif terdiri atas 10 subtindak tutur, yakni; ‘mengucapkan


(5)

commit to user

‘memberi kesanggupan’, ‘menyangkal’, ‘berpasrah’, mengkritik’,

‘mengharap’, dan ‘membela’.

f. Tindak tutur asertif terdiri atas 15 subtindak tutur yakni; ‘memberitahu’,

‘mengatakan’, ‘meyakinkan’, ‘mengibaratkan’, ‘memastikan’,

‘menyangsikan’, ‘membenarkan’, ‘menyebutkan’, ‘melaporkan’,

‘menunjukkan’, menjelaskan’, ‘mengumumkan’, ‘memamerkan’,

menyampaikan’, dan ‘menegaskan’.

g. Tindak tutur direktif terdiri atas 17 subtindak tutur, yakni; ‘melarang’, ‘menasehati’, ‘memarahi’, ‘memohon’, ‘meminta’, ‘mengarahkan’, ‘mempersilahkan’, ‘merayu’, ‘membujuk’, ‘menyarankan’, ‘menegur’,

‘mengharuskan’, ‘menyuruh’, ‘mengajak’, ‘menginstruksikan’,

‘mengingatkan’, dan ‘menganjurkan’.

2. Karakteristik pemakaian tindak tutur dalam Khotbah Bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo, yaitu; karakteristik pemakaian tindak tutur untuk Pendeta 3. Tindak tutur yang dominan dalam Khotbah Bahasa Batak Toba di Gereja

HKBP Solo adalah tindak tutur direktif dan tindak tutur asertif. Tindak tutur direktif terdiri atas tujuh belas subtindak tutur dan tindak tutur asertif terdiri atas lima belas subtindak tutur. Subtindak tutur ‘meminta’ dan subtindak tutur ‘mengatakan’ yang paling dominan dalam tindak tutur direktif dan asertif. 4. Dominasi tindak tutur direktif dan asertif atas tindak tutur lainnya terkait

bukan pada sifat atau kultur suku Batak Toba tetapi pada peran pendeta, dan isi serta tujuan khotbah itu sendiri. Pendeta menggunakan tindak tutur yang dipandangnya sesuai dengan otoritas dan tugas yang dimilikinya


(6)

commit to user

B. SARAN

Berdasarkan hasil analisis, pembahasan dan simpulan, penulis menyarankan kepada peneliti lain sebagai berikut:

1. Mengembangkan dan menemukan lebih banyak lagi tindak tutur dalam

Khotbah Bahasa Batak Toba karena penelitian ini berfokus pada karakteristik bahasa dalam Khotbah Bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo. Penulis menyadari akan keterbatasan kemampuan, waktu dan dana, maka dapat dimungkinkan untuk diadakan penelitian lanjutan. Penelitian ini baru mengkaji dari segi pragmatik, sungguh merupakan kelengkapan apabila ada yang meneliti dari tinjauan semantik dan psikolinguistik.

2. Penelitian ini baru menginformasikan jenis-jenis tindak tutur, jenis tindak tutur yang dominan, penanda lingual, istilah-istilah khas, dan karakteristik pemakaian tindak tutur dalam Khotbah Bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo. Dengan demikian, penelitian ini masih dapat dikembangkan lagi dengan meneliti gaya bahasa atau memperluas wilayah penelitiannya, sehingga memungkinkan munculnya fenomena-fenomena baru yang menarik.

3. Para peneliti lanjutan diharap dapat menemukan bermacam-macam jenis tindak tutur, jenis tindak tutur yang dominan, dan karakteristik pemakaian tindak tutur. Oleh karena itu, mereka perlu mencari populasi dan sampel yang lebih banyak agar saran-saran tersebut dapat terwujud.

4. Hasil kajian ini baru menemukan jenis tindak tutur yang dominan adalah tindak tutur direktif, hal ini memberi peluang bagi penelitian lebih lanjut relevan tindak tutur direktif dengan karakteristik untuk masyarakat Batak Toba.