Peguji luar ujian tertutup : 1. Dr. Ir. Etty Riani
2. Dr. Suzy Anna, MSi.
Peguji luar ujian terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Laode M. Kamaludin, MEng.
2. Dr. Ir. Yuswandi A Temenggung, MSc
PRAKATA
Jauh sebelum Belanda berlayar ke Nusantara, bangsa Spanyol sudah menjajah Filipina Selatan. Perang di Eropa dan persaingan kekuasaan Belanda dan Spanyol akhirnya mereda
setelah kedua bangsa ini sepakat menandatangani Perjanjian Damai Munster tahun 1648. Lewat perjanjian ini, Spanyol mengakui Negara Persatuan Belanda menjadi negara yang merdeka dan
berdaulat, sekaligus menentukan batas wilayah jajahan di bagian utara Laut Sulawesi menjadi wilayah Spanyol berpusat di Manila, sedangkan di bagian selatan milik Belanda yang berpusat di
Ternate. Pada tanggal 16 Agustus sampai 25 Desember 1677, Gubernur Maluku Robertus
Padtbrugge melakukan perjalanan ke Sulawesi bagian utara dan mengembangkan istilah noorden ienlanden pulau-pulau lebih utara atau Nusa Utara Kepulauan Sangihe, Talaud dan Sitaro.
Perjalanan ini juga memiliki kepentingan geopolitik Belanda karena di bagian utara Filipina adalah wilayah jajahan Spanyol, serta kepentingan ekonomi monopoli dagang rempah-rempah
kompeni dengan komoditas utama adalah kopra, pala dan cengkeh, serta merubah kiblat
ekonomi, pendidikan dan kekerabatan masyarakat Nusa Utara dari Ternate dan Filipina Selatan, dipandu ke daratan Sulawesi khususnya Manado dan ditasbihkan Nusa Utara sebagai landstreek
van Manado perpanjangan daratan Manado, dengan demikian perdagangan yang dilakukan ke Filipina Selatan dikategorikan sebagai kegiatan illegal.
Pola ini diakomodasi oleh pemerintah Indonesia dan Filipina setelah kedua negara memiliki kedaulatan negara karena kemerdekaan dan pernyataan “batas” kedua negara.
Penelitian ini mencoba masuk ke urat nadi permasalahan Nusa Utara agar pengabaian Nusa Utara sebagai wilayah ekonomi dapat dihentikan.
Akhirnya tiada kenyataan tanpa harapan, tiada keberhasilan tanpa kerja, dan tiada perencanaan tanpa rumusan dan informasi.
Berbaur dengan masyarakat pulau kecil itulah informasi, dan keinginan hakiki yang harus disampaikan
kepada pengambil kebijakan untuk menoleh ke utara Indonesia dalam hamparan pulau kecil terletak daerah harapan bernama Nusa
Utara. Penelitian ini ingin melakukan keseimbangan paradigma border crossing agreement
BCA sebagai poros paradigma keamanan kepada border trade agreement BTA sebagai
pendekatan keamanan dan ekonomi melebur menjadi satu kesatuan. Semoga.
Bogor, Nopember 2011
Achmad Nasir Biasane
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kampung Tidore, Kecamatan Tahuna, Kepulauan Sangihe pada tanggal 23 Maret 1955 dari pasangan Muhammad Biasane Almarhum dan Siti Aisyah Basiri
Almarhumah. Penulis menimbah pendidikan dasar di Sekolah Dasar SD Yayasan Pendidikan Kristen
Tahuna ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe,
setelah tampat SD, penulis
melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTP juga di Tahuna, selanjutnya ke Sekolah Menengah Atas SMA di Telukbetung Bandarlampung, namun tidak selesai, dan
melanjutkan kembali ke SMA Negeri Tahuna di Sangihe. Setelah lulus dari SMA Negeri I Tahuna Kabupaten Kepulauan Sangihe, penulis
melanjutkan ke pendidikan tinggi pada tahun 1975 di Fakultas Pertanian Universitas Lampung Unila, dan lulus pada tahun 1982.
Penulis melanjutkan program magister di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB, dan selanjutnya tahun 2004
penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan program doktor S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Sekolah Pascasarjana IPB. Artikel yang
berjudul Kebijakan Pengelolaan Pulau Kecil Perbatasan Berbasis Geopolitik, Daya Dukung Ekonomi dasn Lingkungan dimuat dalam Jurnal Sosio Ekonomika edisi Desember 2011 Vol 16
No 2. Artikel tersebut merupakan bagian dari Disertasi penulis. Penulis menikah dengan Dra Clara Tiwow, SH. MSi di Tahuna dan dikarunia dua orang
putri yaitu Dewi Indira Biasane, SH. MSi dan Pratiwi Dwiastuti Biasane, S.Kom. Saat ini mengelola Pusat Pendidikan dan Pelatihan Graha Insan Cita, yang dibangun oleh Yayasan Bina
Insan Cita.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, karena perkenaan-Nya penelitian “Kebijakan Pengelolaan Pulau Pulau Kecil Perbatasan Berbasis Geopolitik, Daya Dukung
Ekonomi dan Lingkungan Kasus: Pulau Pulau Kecil Perbatasan Kepulauan Sangihe” telah
tersusun. Judul ini diminati, karena semasa kecil penulis sering “bermain” dengan nelayan Filipina khususnya nelayan berasal dari P. Balut, dan P. Saranggani karena penulis sendiri
berasal dari Sangihe dan kedua orang tua berasal dari Kecamatan Tabukan Utara. Konon di P. Bukide dan P. Tinakareng tempat asal usul penulis kegiatan dagang pada 340 tahun silam marak
dilakukan oleh penduduk setempat, tetapi saat ini marak dengan penyelundupan. Terumbu
karang yang indah, gunung api bawah laut, pasir putih, pala, cengkeh, dan ikan, serta udang dan lobster, semuanya belum dapat dimanfaatkan sebagai potensi perbaikan hidup dan kehidupan
masyarakat. Terbungkus dorongan tersebut, penelitian ini dilakukan dan menghasilkan buah pikiran yang hadir dalam bentuk disertasi, dengan harapan sumbangan yang “kecil” ini akan
mampu menggugah para pengambil keputusan untuk memikirkan nasib masyarakat yang berada di ujung utara Sulawesi yang taat menjadi warga Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI.
Berbagai upaya dilakukan untuk menghadirkan disertasi ini, dimulai dari memetakan masalah, menganalisis sampai menarik kesimpulan, tidak mungkin selesai tanpa bantuan
pemikiran, sumbangan, dan dorongan orang lain, oleh karena itu, pada tempatnya penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih tak terhingga kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc., Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja., Prof. Dr. Ir. Dedi
Soedharma, DEA., sebagai komisi pembimbing atas segala arahan dan bimbingan yang diberikan hingga selesainya disertasi ini.
2. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor IPB beserta staf, dan Ketua
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan PSL beserta staf atas segala perhatian dan fasilitas yang penulis terima selama mengikuti pendidikan
pascasarjana. 3.
Kanda Prof. Abdulkadir Muhammad, SH., beserta ayunda Siti Syamsiah, Soleman Biasane Taneko,
SH.MA.Almarhum, Rizani Puspawidjaja, SH., Meita Djohan
Oelangan, SH.MH, serta adinda Sugiarto SH., beserta Qomariah Biasane dan seluruh keluarga atas pengertian dan kesabaran serta dorongan yang diberikan dalam
penyelesaian studi pascasarjana dan penyusunan disertasi. 4.
Pengurus Yayasan Bina Insan Cita, terutama: Dr. Ir. Akbar Tandjung., Harun Kamil, SH., Gambar Anom., Dr Harry Azhar Aziz, MSc., Ir. Afni Ahmad., Prof. Dr. Ir Aida Vitayala.,
Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS., dan lain-lain yang telah memberikan dorongan dalam penyelesaian disertasi ini.
5. Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe Bapak Drs Winsulangi Salindeho, beserta jajaran
Pemerintah Daerah mulai dari tingkat kabupaten sampai desa. Khususnya Kepala Kampung Wawu Lao Desa Marore P. Marore, dan pimpinan desa yang berada di P.
Matutuang, P. Kawio., P. Lipang., dan P. Kawaluso, penulis sampaikan ucapan terima kasih atas semua informasi sehingga mempermudah penyusunan disertasi ini.
6. Khusus kepada istri yang tercinta Dra. Clara Tiwow, SH. M.Si., dan ananda Dewi Indira
Biasane, SH.MSi, dan Pratiwi Dwiastuti Biasane, S. Kom., penulis sampaikan terimakasih
atas iringan do’a dan dukungan moril yang diberikan selama penulis menjalani studi ini.
Mudah-mudahan bantuan dan dorongan yang diberikan dari semua pihak beserta keluarga akan dapat memberikan makna bagi sumbangan pemikiran dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil perbatasan di Indonesia. Amien
DAFTAR ISI
Halaman Prakata
x Daftar Isi
xiv Daftar Tabel
xvi Daftar Gambar
xx Daftar Lampiran
xxi
1 PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1 1.2
Identifikasi dan Perumusan Masalah 8
1.3 1.4
1.5 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Kerangka Pendekatan Masalah Kebaruan Penelitian
10 11
13
2 TINJAUAN PUSTAKA
15
2.1 Pulau Pulau Kecil P2K Perbatasan
15 2.2
Geopolitik dan Geostrategi 16
2.3 Pengelolaan Kawasan Perbatasan
19 2.4
Daya Dukung dalam Pengelolaan P2K Perbatasan 22
2.5 2.6
2.7 2.8
2.9 Penilaian Depresiasi Sumber Daya Ikan
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Optimal Model Bio-Ekonomi Sumber Daya Perikanan
Perkembangan Wilayah dan Model Ekonomi Basis Model Analisis Regresi dengan Peubah Katagorik
24 25
28 30
34
3 METODOLOGI PENELITIAN
36
3.1 3.2
3.3 Pemetaan Proses Penelitian
Wilayah Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
36 39
41 3.4
Data dan Metode Pengumpulan Data 41
3.5 Metode Analisis Data
43 3.5.1
Analisis ekonomi basis 3.5.2
Evaluasi perkembangan perikanan tangkap 3.5.3
Analisis data kualitatif 3.5.4
Analisis logit 43
45 58
59
4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
61
4.1 Keadaan Geografis dan Iklim
61 4.2
Penduduk dan Ketenagakerjaan 62
4.3 Perkembangan Usaha Pertanian
65 4.4
Perdagangan 68
4.5 Transportasi dan Pariwisata
70 4.6
4.7 Profil Kawasan Perbatasan Kepulauan Sangihe
Mengenal Profil Pulau-Pulau Perbatasan 72
79
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
84
5.1 Kondisi Ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe
84 5.1.1
Struktur ekonomi PDRB-ADHB 84
5.1.2 Pertumbuhan ekonomi PDRB-ADHK
87 5.2
Analisis Sektor Unggulan Kepulauan Sangihe 91
5.2.1 5.2.2
Analisis location quotient LQ Perhitungan factor pengganda
91 94
5.2.3 Analisis shift share
96 5.2.4
Subsektorkomoditas unggulan 105
5.3 Analisis Daya Dukung Perikanan Tangkap
106 5.3.1
Data keragaan perikanan tangkap 106
5.3.2 5.3.3
5.3.4 5.3.5
5.3.6 Standardisasi effort
Produktivitas hasil tangkapan Estimasi parameter biologi
Pendugaan produksi lestari Degradasi sumber daya perikanan
111 115
118 120
127
5.4 Analisis Ekonomi Pengembangan Perikanan Tangkap
128 5.4.1
Estimasi parameter ekonomi 128
5.4.2. Depresiasi sumber daya perikanan
131 5.4.3
Pengelolaan sumber daya perikanan yang optimal 136
5.5 5.6
5.7 5.8
Rezim Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Kondisi Perbatasan Kepulauan Sangihe
Analisis Perdagangan Illegal Aspirasi Masyarakat P2K Perbatasan Kepulauan Sangihe
144 148
169 173
5.9 Implikasi Kebijakan
182
6 KESIMPULAN DAN SARAN
186
6.1 Simpulan
186 6.2
Saran-saran 189
DAFTAR PUSTAKA 190
LAMPIRAN-LAMPIRAN 199
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Nisbah luas laut dan daratan Kepulauan Nusa Utara 3
2 Penduduk, persentase, dan tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten
63 Kepulauan Sangihe Tahun 2009
3 Rekapitulasi kegiatan Pos Marore selama Tahun 2007
64 4
Luas panen, produksi dan produktivitas tanaman pangan, buah-buahan dan sayuran di Kabupaten Kepulauan Sangihe
5 Luas areal, produksi dan produktivitas tanaman perkebunan di Kabupaten
66 67
Kepulauan Sangihe Tahun 2007 6
Banyaknya pemasukan bahan penting di Kabupaten Kepulauan Sangihe 68
7 Pengeluaran antar pulau hasil bumi di Kabupaten Kepulauan Sangihe
69 8
Kunjungan kapal penumpang dan barang di Kabupaten Kepulauan Sangihe 70
9 Lokasi wisata di Kabupaten Kepulauan Sangihe
71 10
Kunjungan wisatawan nusantara dan manca negara di Kabupaten Kepulauan 72
Sangihe 11
Wilayah P2K Perbatasan Kepulauan Sangihe 73
12 Posisi geografis P2K Perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe
75 13
Struktur perekonomian Kabupaten Kepulauan Sangihe 85
14 Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe
88 15
Hasil analisis LQ kegiatan ekonomi di Kabupaten Kepulauan Sangihe 92
16 17
18 19
Hasil perhitungan ekspor ke luar wilayah LQ-1LQEil untuk Kabupaten Kepulauan Sangihe
Nilai PDRB ADHK tahun 2005 dan tahun 2009 untuk Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Provinsi Sulawesi Utara yang digunakan dalam perhitungan shift
share
Hasil shift share kegiatan ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe Analisis sensitivitas dan skenario pertumbuhan PDRB Kepulauan Sangihe
2013 95
97
98
104
20 Produksi aktual jenis ikan yang dianalisis
108 21
22 23
24 25
26 Produksi ikan pelagis kecil hasil disagregasi
Produksi ikan pelagis besar hasil disagregasi Effort standar dan total effort alat tangkap dari jenis ikan pelagis kecil
Effort standar dan total effort alat tangkap dari jenis ikan pelagis besar Produktivitas hasil tangkapan ikan pelagis kecil
Produktivitas hasil tangkapan ikan pelagis besar 110
111 113
114 115
117 27
Nilai penduga yang digunakan untuk menduga parameter biologi 119
28 Parameter biologi jenis ikan yang dianalisis dalam penelitian
119 29
Fungsi produksi menurut fungsi Logistik dan Gompertz 120
30 31
Effort, produksi aktual dan produksi lestari ikan pelagis kecil Effort, produksi aktual dan produksi lestari ikan pelagis besar
121 123
32 Biaya total penangkapan ikan pelagis kecil menurut alat tangkap
129 33
Harga satuan ikan dan biaya Rptrip dalam penangkapan ikan yang dianalisis
34 Perubahan rente ekonomi depresiasi sumber daya ikan pelagis kecil di
perairan Kepulauan Sangihe 35
Perubahan rente ekonomi depresiasi sumber daya ikan pelagis besar di perairan Kepulauan Sangihe
130 132
135
36 37
38 39
40 41
Optimal rent dan present value pengelolaan optimal ikan pelagis kecil Optimal rent dan present value pengelolaan optimal ikan pelagis besar
Persentase perbedaan effort dan rent dalam pengelolaan ikan pelagis kecil secara optimal dan lestari
Persentase perbedaan effort dan rent dalam pengelolaan ikan pelagis besar secara optimal dan lestari
Perbandingan rezim pengelolaan MSY, MEY dan open access dengan kondisi aktual ikan pelagis kecil
Perbandingan rezim pengelolaan MSY, MEY dan open access dengan kondisi aktual ikan pelagis kecil
140 141
142 143
146 148
42 43
44
45 46
47 Jumlah perjanjian danatau kesepakatan, jumlah yang diratifikasi dan tidak
diratifikasi perjanjian danatau kesepakatan antara Indonesia dan Filipina Daftar kasus pidana perijinan di wilayah Lantamal VI januari – Juli 2004
Output analisis logit Persepsi responden terhadap geopolitik dan hankam dalam pengelolaan P2K
perbatasan Kepulauan Sangihe Persepsi responden terhadap daya dukung ekonomi dalam pengelolaan P2K
perbatasan Kepulauan Sangihe Persepsi responden terhadap daya dukung lingkungan dalam pengelolaan
P2K perbatasan Kepulauan Sangihe 153
158 169
175 179
181
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 2
Pendekatan masalah penelitian kebijakan pengelolaan P2K perbatasan Diagram konsep dari model perhitungan shift share
12 33
3 Pemetaan proses penelitian kebijakan pengelolaan P2K Perbatasan
37 4
Lokasi penelitian Kepulauan Sangihe 40
5 Batas maritim wilayah Indonesia dengan Filipina
74 6
Pulau Marore pada posisi geografis 80
7 8
Pulau Kawio pada posisi geografis Grafik perkembangan produktivitas ikan pelagis
82 118
9 Grafik produksi aktual dan lestari ikan pelagis kecil
122 10
11 12
Grafik produksi aktual dan lestari ikan pelagis besar Sustainable yields dan produksi aktual ikan pelagis kecil menurut fungsi Gompertz
Sustainable yields dan produksi aktual ikan pelagis besar menurut fungsi Gompertz 124
125 125
13 Grafik degradasi ikan pelagis kecil dan ikan pelagis besar
127 14
Present value, rente, dan depresiasi sumber daya ikan pelagis kecil 134
15 Present value, rente dan depresiasi sumber daya ikan pelagis besar
136 16
Perbandingan produksi aktual, lestari dan produksi optimal ikan pelagis kecil pada market discount rate 15 dan real discount rate 4.94
17 Perbandingan produksi aktual, lestari dan produksi optimal ikan pelagis besar
139 139
pada market discount rate 15 dan real discount rate 4.94 18
Rezim pengelolaan biomass perikanan pelagis kecil 144
19 Rezim pengelolaan hasil tangkapan, effort dan rente ekonomi ikan pelagis kecil
145 20
Rezim pengelolaan biomass perikanan pelagis besar 146
21 22
Rezim pengelolaan hasil tangkapan, effort dan rente ekonomi ikan pelagis besar Sulawesi Utara sebagai hubungan Kawasan Timur Indonesia
147 177
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
2 3
PDRB Kebupaten Kepulauan Sangihe atas dasar harga berlaku ADHB menurut lapangan usaha
PDRB Kebupaten Kepulauan Sangihe atas dasar harga konstan ADHK menurut lapangan usaha
PDRB Provinsi Sulawesi Utara atas dasar harga konstan ADHK menurut lapangan usaha
200 201
202
4 Perhitungan nilai sektor lokal dibagi dengan jumlah PDRB lokal Kabupaten
Kepulauan Sangihe EilEl 5
Perhitungan nilai sektor regional Sulawesi Utara dengan jumlah PDRB 203
204 regional Provinsi Sulawesi Utara EirEr
6 Hasil perhitungan nilai LQ-1LQ untuk Kepulauan Sangihe
205 7
8 Perhitungan CPUE dan effort standar alat tangkap dari jenis ikan pelagis kecil
Perhitungan CPUE dan effort standar alat tangkap dari jenis ikan pelagis besar
206 207
9 Perhitungan untuk menentukan koefisien penduga dengan menggunakan
microsoft excel kelompok ikan pelagis kecil 10
Perhitungan untuk menentukan koefisien penduga dengan menggunakan 208
209 microsoft excel kelompok ikan pelagis besar
11 Perhitungan nilai r, q, dan K ikan pelagis kecil
210 12
Perhitungan nilai r, q, dan K ikan pelagis besar 210
13 Maple analitik fungsi produksi ikan pelagis kecil
211 14
Maple analitik fungsi produksi ikan pelagis besar 212
15 Proses perhitungan produksi lestari ikan pelagis kecil
213 16
Proses perhitungan produksi lestari ikan pelagis besar 214
17 Perhitungan persentase degradasi dalam penangkapan ikan pelagis kecil
215 18
Perhitungan persentase degradasi dalam penangkapan ikan pelagis besar 216
19 Proses pehitungan biaya produksi dalam penangkapan ikan pelagis kecil
217
20 Proses pehitungan biaya produksi dalam penangkapan ikan pelagis besar
219 21
Perhitungan discount rate dari Kulla 221
22 Proses pehitungan rente aktual dan lestari untuk menghitung depresiasi
sumber daya ikan pelagis kecil 23
Proses pehitungan rente aktual dan lestari untuk menghitung depresiasi sumber daya ikan pelagis besar
24 Maple analitik pengelolaan optimal perikanan pelagis kecil pada market
discount rate 15 dan real discount rate 4,94 25
Maple analitik untuk penentuan pengelolaan optimal ikan pelagis besar pada 222
223 224
227 market discount rate 15 dan real discount rate 4.94.
26 Maple analitik rezim pengelolaan
229 27
Kuesioner untuk pedagangnelayan yang melakukan dan atau tidak 232
melakukan kegiatan penyeludupan ke Filipina 28
Data hasil kuesioner dari penyelundupan antara Sangihe dengan P. Mindanao 234
29 30
Output analisis logit dengan Eviews Persepsi responden dalam pengelolaan P2K perbatasan Kabupaten Kepulauan
Sangihe 235
236
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam peta teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI, Kabupaten Kepulauan Sangihe merupakan salah satu kabupaten yang menempati posisi paling utara dan
berbatasan dengan negara tetangga Filipina serta berada di Laut Sulawesi dan pinggir Samudera Pasifik. Letak geografis tersebut menempatkan posisi Kabupaten ini sebagai daerah perbatasan
dan memiliki nilai strategis, mengingat besarnya peluang melakukan kerjasama interregional- internasional yang berpengaruh terhadap akses pasar global, tetapi di sisi lain posisi ini
mengandung kerawanan-kerawanan tertentu, antara lain: infiltrasi idiologi asing, terorisme internasional, penyelundupan, pencurian sumber daya alam SDA, dan berbagai kegiatan illegal
lainnya. Persoalan perbatasan negara bukan hanya mencakup persoalan teritorial, melainkan juga
persoalan pengelolaan SDA dan kebanggaan identitas yang dalam konteks tertentu menjadi faktor penting terhadap kebanggaan lokal dan nasional. Persoalan perbatasan menjadi isu penting dalam
agenda keamanan nasional. Perbatasan negara Indonesia di wilayah Kabupaten Kepulauan
Sangihe, sering dijadikan jalur penyaluran senjata dan manusia untuk melakukan kegiatan terorisme di wilayah timur Indonesia, mulai perbatasan Filipina Selatan dari Zamboaga dan
Davao Mindanao, menuju kepulauan Sulu ke Serawak dan Nunukan Kalimatan serta Kepulauan Sangihe Talaud di Sulawesi Utara menuju Maluku dan Sulawesi Tengah.
Pencurian ikan oleh kapal-kapal asing di perairan zone ekonomi eksklusif ZEE maupun laut teritorial dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan yang masih tinggi dan meningkat,
sudah sampai pada tahap yang mengkuatirkan karena dampaknya luar biasa, yaitu rusaknya kelestarian sumber daya ikan SDI dan kehilangan nilai ekonomi.
Menurut Ditjen PSDKP 2009 modus penangkapan ikan oleh kapal-kapal asing illegal tersebut adalah menggunakan alat
tangkap trawl yang merusak lingkungan, sebagian besar di ZEE dan dalam beberapa hal di laut
teritorial. Tiga kawasan yang menjadi daerah operasi kapal asing illegal, yaitu: 1 Laut Natuna, didominasi oleh kapal-kapal Vietnam, Thailand, Cina dan Malaysia; 2 perairan utara Sulawesi
Utara yang berbatasan dengan Filipina yang didominasi oleh kapal-kapal Filipina “pump boat” dengan menggunakan alat tangkap hand line dan purse seine; dan 3 laut Arafura yang
didominasi oleh kapal-kapal Thailand dan Cina dengan menggunakan alat tangkap pukat ikan dan gillnet.
Kedudukan pulau-pulau kecil P2K perbatasan Kepulauan Sangihe memiliki aspek penting sebagai pita pengamanan nasional national security belt ditinjau dari perspektif
keamanan nasional, dan secara geopolitik ikut menentukan Indonesia sebagai negara kepulauan archipelagic state. Menurut Setiyono 2000, keutuhan wilayah negara Kepulauan Indonesia
terjaga justru peranan P2K terluar yang lokasinya terpencil di perbatasan.
Indonesia menggunakan ujung terluar daratan atau pulau sebagai dasar pengukuran lebar laut wilayah, zona
ekonomi eksklusif ZEE, maupun landas kontinen. Salah satu pulau yang digunakan sebagai
titik dasar base point, TD lenyap, maka konfigurasi wilayah Indonesia akan berubah. Kepulauan Sangihe memiliki 105 pulau, dan sebanyak
26 pulau 24.76 yang berpenduduk sisanya 79 pulau 75.24 tidak berpenduduk, serta memiliki 5 lima pulau
sebagai penentu garis batas terluar dari Indonesia, yaitu: Pulaua Marore, Pulau Kawio, Pulau
Matutuang, Pulau Kawaluso, dan Pulau Lipang. Kepulauan Sangihe pada awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud atau juga disebut dengan Kepulauan Nusa
Utara dengan luas 35 400.23 km², dan luas laut 33 147.00 km² diukur 4 mil laut Tabel 1. Tabel 1 memperlihatkan akan potensi laut yang cukup luas dihitung dari kewenangan 4
mil laut, dengan demikian potensi perikanan akan sangat menentukan arah pembangunan Kepulauan Nusa Utara termasuk Kepulauan Sangihe.
Nisbah luas laut dengan daratan di Kepulauan Nusa Utara 15 : 1 dan yang terluas adalah Kepulauan Talaud sebesar 13 902 km²
menyusul Kepulauan Sangihe seluas 11 126 km². Kerjasama perikanan antar Kabupaten di
Kepulauan Nusa Utara dengan pasar ekspor negara tetangga Filipina akan memberikan peluang
yang cukup berarti bagi pengembangan ekonomi Nusa Utara. Anggoro 2001 menyatakan sasaran pembangunan perikanan di masa mendatang tidak hanya ditujukan untuk peningkatan
pendapatan masyarakat, perolehan devisa, kesempatan kerja, tetapi juga dituntut untuk tetap mempertahankan daya dukung carrying capacity dan kualitas lingkungan agar tetap lestari bagi
generasi sekarang dan yang akan datang. Tabel 1. Nisbah luas laut dan daratan Kepulauan Nusa Utara
Sumber: Diolah dari Salindeho dan Sombowadile 2008.
Pada tahun 2002, Indonesia memiliki pengalaman pahit, dengan lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dari kedaulatan NKRI.
Keputusan Mahkamah Internasional International Court of Justice, ICJ di Den Haag Belanda pada tanggal 17 Desember 2002 yang menetapkan
kepemilikan P. Sipadan dan Ligitan bagian kedaulatan negara Malaysia merupakan “tragedi nasional” yang memiliki pengaruh terhadap luas laut. Keputusan ICJ diambil dengan
memertimbangkan tiga aspek utama, yaitu: 1 penguasaan secara efektif effective occupation termasuk administrasi; 2 keberadaan terus menerus continuous presence; serta 3
perlindungan dan pelestarian ekologis maintenance and ecology preservation Adiwijoyo 2005; Rawis 2004; Retraubun dan Amini 2004; Sondakh 2003.
Keputusan ICJ tersebut di atas memberikan pesan bagi Indonesia, antara lain: 1 kepemilikan P2K Perbatasan tidak hanya berdasarkan bukti hukum dan sejarah, tetapi
harus diikuti dengan kebijakan dan implementasi program dan kegiatan serta peningkatan kesejahteraan
masyarakat; 2 hilangnya tiga titik dasar TD yaitu satu TD di Pulau Sipadan dan dua TD di Pulau Ligitan; 3
pembangunan TD baru yang terletak di sekitar wilayah Pulau Sebatik di
Kabupaten Pulau
buah Luas Daratan
km² Luas Laut
km² Total luas
km² Nisbah
Kepulauan Sangihe 105
736.97 11 126.00
11 862.97 15 : 1
Kepulauan Talaud 16
1 240.40 13 902.00
15 142.40 11 : 1
Kepulauan Sitaro 47
275.86 8 119.00
8 394.92 29 : 1
Nusa Utara 168
2 253.23 33 146.00
35 400.23 15 : 1
sebelah timur Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur; dan 4 hilangnya kontribusi ekonomi Pulau Sipadan dan Ligitan karena Malaysia mampu melakukan kreasi potensi ekonomi yang luar
biasa dari kegiatan pariwisata bahari Fokus 2003. Menurut Hersutanto 2009, beberapa masalah krusial yang dihadapi Indonesia sebagai
negara kepulauan, yaitu: 1 saat ini belum memiliki kebijakan nasional tentang pembangunan negara kepulauan archipelagic state yang terpadu. Kebijakan yang ada saat ini hanya bersifat
sektoral, padahal pembangunan di negara kepulauan memiliki keterkaitan antar sektor yang tinggi; 2 lemahnya pemahaman dan kesadaran tentang arti dan makna Indonesia sebagai negara
kepulauan dari segi geografi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya: 3 sampai saat ini belum seluruhnya ditetapkan batas-batas wilayah perairan; 4 permasalahan dalam pertahanan dan
keamanan dari matra laut yang mencakup: a belum optimalnya peran pertahanan dan keamanan laut dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara; b ancaman kekuatan asing yang ingin
memanfaatkan perairan ZEE; c belum lengkapnya perangkat hukum dan implementasi pertahanan dan keamanan laut; d masih terbatasnya fasilitas untuk melakukan pengamanan laut;
e makin meningkatnya kegiatan terorisme, perompakan, dan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia; dan f masih lemahnya penegakan hukum kepada pelanggar hukum.
Pengamanan kedaulatan wilayah, kewenangan dan kepentingan nasional, di wilayah perbatasan dari perebutan penguasaan SDA dapat dilakukan melalui kombinasi pendekatan
ekonomi dan pendekatan pertahanan keamanan. Dalam konteks ini, terdapat tiga agenda utama yang perlu diperhatikan, yaitu: 1 penyelesaian batas wilayah laut Indonesia dengan negara
tetangga Filipina; 2 penguatan dan pengembangan kemampuan pertahanan keamanan nasional di laut khususnya di wilayah perbatasan; dan 3 memakmurkan masyarakat wilayah Kepulauan
Sangihe dengan berbagai kegiatan pembangunan ekonomi secara efisien, berkelanjutan sustainable dan berkeadilan atas dasar potensi SDA dan budaya lokal serta aspek pemasaran.
Rapat kerja Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia PPKT dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia DPR RI tanggal 2 September
2004, merumuskan daftar inventarisasi masalah di perbatasan Indonesia – Filipina, yaitu: 1 belum adanya kepastian garis batas Zone Ekonomi Eksklusif ZEE dan Landas Kontinen
Indonesia – Filipina; 2 berlangsungnya kegiatan-kegiatan illegal di daerah perbatasan, seperti penyelundupan barang, trafficking, dolar palsu, kapal tidak dilengkapi dengan dokumen yang sah,
illegal loging, illegal fishing, dan transit point bagi kelompok teroris internasional. Sebagai satu kesatuan negara kepulauan, secara konseptual, geopolitik Indonesia
dituangkan dalam salah satu doktrin nasional yang disebut Wawasan Nusantara dan politik luar negeri yang bebas aktif, sedangkan geostrategis Indonesia diwujudkan melalui konsep Ketahanan
Nasional yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan.
Dengan demikian mengacu pada kondisi geografi yang bercirikan maritim, maka diperlukan strategi besar grand strategy maritim sejalan dengan doktrin
pertahanan defensif aktif dan fakta bahwa bagian terluar wilayah yang harus dipertahankan adalah laut. Implementasi strategi dari strategi maritim adalah mewujudkan kekuatan maritim
maritime power yang dapat menjamin kedaulatan dan integritas wilayah dari berbagai ancaman, tantangan, dan gangguan.
Matindas dan Sutisna 2006, mengingatkan bahwa penyelesaian masalah perbatasan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan lingkungan strategis secara internasional, regional dan
nasional, yang terus berkembang dalam beberapa dekade belakangan ini dan telah menimbulkan berbagai pergeseran-pergeseran di beberapa sisi hubungan internasional.
Pergeseran geopolitik ke penguasaan secara ekonomi saat ini jauh lebih besar pengaruhnya karena bergerak melewati
batas-batas kedaulatan sebuah negara. Pengelolaan wilayah perbatasan Kepulauan Sangihe masih merupakan masalah utama
dan mendesak serta memerlukan perhatian bersama, serta harus dikelola secara terpadu, berkelanjutan dan terintegrasi antar berbagai sektor demi keutuhan kedaulatan soveregnity dan
kesejahteraan prosperity masyarakat. Secara garis besar terdapat dua hal penting yang harus
dilakukan yaitu pembangunan daerah perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan prosperity
approach untuk mengangkat taraf hidup masyarakat setempat dan pendekatan keamanan security approach yang diperlukan guna terciptanya stabilitas politik, ekonomi, sosial budaya
dan hankam Dahuri 2005; Poetranto 2005. Dalam konteks pertahanan secara ekstrinsik, nelayan dan masyarakat pesisir memiliki
peran “pengawas” laut yang selalu dapat berkoordinasi dengan aparat. Dengan demikian penting mendidik mereka untuk memperkuat nasionalisme, memahami isu-isu pertahanan serta secara
teknis mampu menggunakan alat-alat komunikasi di laut. Untuk itulah dibutuhkan proses
pelatihan nelayan untuk memperlancar proses ini. Namun reposisi nelayan dan masyarakat
pesisir ke arah peran geopolitik tetap sangat tergantung pada posisi sosial ekonominya. Dalam perspektif geopolitik, wilayah perbatasan tidak hanya harus diisi dengan pertahanan militer yang
tangguh, tetapi juga harus didukung oleh aktivitas ekonomi yang tangguh pula. Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan lepas dari NKRI karena salah satu alasannya adalah lemahnya kita memanfaatkan pulau itu untuk aktivitas ekonomi.
Terdapat beberapa komponen yang seyogyanya ditempuh untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan, yaitu: 1 meningkatkan pemahaman pentingnya laut dari aspek
geopolitik dan geostrategis. Indonesia selayaknya memiliki armada pengamanan laut yang andal dan kuat guna menjaga keutuhan NKRI dan SDA; 2 mengubah orientasi pembangunan dari
land based oriented menjadi archipelagic based oriented. Konsep archipelagic based oriented, mencakup darat, laut dan udara; dan 3
menentukan batas-batas wilayah perairan dengan mempercepat penetapan garis batas antara Indonesia dengan negara-negara tetangganya di
kawasan laut. Turmudzi 2005 menyatakan bahwa Indonesia telah melupakan visi dan orientasi
kepulauan dan lebih berorientasi tanah daratan land based oriented yang bersifat inward looking. Tanpa orientasi kepulauan, Indonesia tidak akan memiliki national security belt yakni
titik-titik kawasan strategis bagi pengamanan kewilayahan dan kedaulatan Negara. Setiap titik
bukan saja menjadi pos pertahanan tetapi juga harus dikembangkan potensi ekonomi dan sarana
prasarana pendidikan sehingga kawasan-kawasan tersebut akan terbangun sistem peringatan dini early warning system.
Orientasi kepulauan akan membangun dengan pandangan integratif antara darat, laut dan udara yang akan membuat lebih bersifat outward looking.
Untuk mampu menjaga integritas wilayah, terutama wilayah-wilayah perbatasan di Kepulauan Sangihe, ke depan harus lebih mempertinggi dorongan untuk segera menetapkan
kepastian batas-batas laut dengan Filipina. Pada saat bersamaan, memberikan perhatian
membangun daerah perbatasan sesuai dengan kebutuhan masyarakat perbatasan. Keterbatasan
wilayah sesuai dengan karakteristik wilayah Kepulauan Sangihe meniscayakan perlunya dirumuskan strategi pembangunan yang khas kepulauan perbatasan tersebut.
Pelibatan masyarakat dalam berbagai program pemerintah serta memperhitungkan dampak secara seksama
bagi perbaikan mutu kehidupan masyarakat adalah program yang penting untuk dikembangkan. Pemerintah harus mendorong tumbuhnya prakarsa masyarakat perbatasan untuk berkembang
sesuai dengan tantangan dan peluang yang ada.
Masyarakat Kepulauan Sangihe memperoleh kesempatan untuk memanfaatkan SDI sebagai potensi utama kawasan ini, seharusnya juga diberikan peranan yang luas dalam
perdagangan wilayah perbatasan. Harapan ini terbentur dengan kebijakan di daerah perbatasan justru bercirikan pembatasan. Peraturan tentang produk ikan yang harus dipasarkan ke Bitung,
yang letaknya jauh dari kawasan perbatasan serta harga yang relatif rendah sangat tidak ekonomis. Sebaliknya peluang pemasaran hasil tangkapan ikan ke pusat perikanan di negara
tetangga Filipina yaitu di General Santos Minandao justru sangat dibatasi mesti faktanya di wilayah tersebut memiliki pabrik pengolahan ikan yang terbesar di Asia Tenggara dan lokasinya
tidak terlalu jauh dari kawasan perbatasan dengan patokan harga yang relatif baik. Oleh karena itu, berbagai pembatasan yang dikenakan kepada masyarakat perbatasan harus ditinjau kembali
terkait dengan upaya memajukan ekonomi masyarakat perbatasan di Kepulauan Sangihe. Berdasarkan uraian pemikiran tersebut di atas, diharapkan pengelolaan P2K perbatasan
Kepulauan Sangihe akan memberikan keuntungan,
antara lain: 1 terpelihara dan
berkembangnya keanekaragaman
hayati biodiversity
ekosistem; 2
terpelihara dan
berkembangnya kekhasan dan keaslian nilai budaya; 3 meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal; 4 meningkatnya kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah;
dan 5 dapat berfungsi sebagai pita pengaman ekonomi economic safety belt dan pita pengamanan nasional national security belt.
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud, di masa kolonial Belanda disebut sebagai noorden einlanden yang berarti pulau-pulau lebih utara atau diterjemahkan sebagai “Nusa Utara”.
Munculnya istilah noorden einlanden berawal dari perjalanan Gubernur Maluku Robertus Padtbrugge 16 Agustus - 25 Desember 1677, yang dilandasi oleh kepentingan geopolitik dan
ekonomi pemerintah Hindia Belanda. Perspektif geopolitik adalah peneguhan batas wilayah
jajahan Belanda sebab di bagian utara yaitu Filipina bagian selatan adalah wilayah jajahan Spanyol, sedangkan dalam perspektif ekonomi, Nusa Utara dijadikan kawasan penunjang
kepentingan rempah-rempah dan produk perkebunan bagi perusahaan Belanda, yaitu kopra, pala dan cengkeh.
Sebelum kedatangan Padtbrugge, orientasi pendidikan, perdagangan, dan hubungan
kekerabatan masyarakat Nusa Utara adalah Ternate Maluku dan Filipina bagian selatan
jajahan Spanyol, yang dirintis oleh Winsulangi Raja Siau, Tolo Raja Manganitu, dan Tahete Raja Tahuna. Padtbrugge mengubah kiblat tersebut dan mengalihkan dari Ternate dan Filipina
Selatan ke wilayah daratan Sulawesi terutama ke Manado, serta jalur perdagangan ke wilayah Filipina dan Ternate resmi dihentikan. Kegiatan perdagangan yang dilakukan dalam arus utama
trade mainstream, diubah menjadi wilayah perbatasan border area yang bercirikan pinggiran periphery.
Pola pengembangan Hindia Belanda ditiru oleh Indonesia dan Filipina, saat kedua negara menyatakan kemerdekaan. Kegiatan masyarakat Nusa Utara berniaga ke Filipina bagian selatan
dikategorikan sebagai penyelundupan. Perdagangan wilayah perbatasan border trade area,
BTA, meskipun secara retoris diberikan kesempatan, namun dibebani berbagai pembatasan, baik volume dan nilai barang yang didagangkan serta batas arealnya. Kecenderungan orientasi Nusa
Utara ke daratan Sulawesi yang dirintis oleh Padtbrugge, kemudian dikukuhkan dengan isu Nusa Utara sebagai perpanjangan daratan Manado landstreek van Manado Henley 1996.
Pengukuhan isu ini berinteraksi dengan kondisi alam Nusa Utara sehingga membawa implikasi terhadap keberadaan Nusa Utara sampai saat ini, yaitu: 1 ciri kepulauan yang terbuka
selama berabad-abad dilakoni, akhirnya ditinggalkan dan dipatok sebagai daerah perbatasan border region; 2 laut sebagai lalu lintas perniagaan atau lintas ekonomi dieliminasi dengan
menerapkan kebijakan pembangunan bercirikan daratan continental oriented; 3 gerak
ekonomi berbentuk “kipas” diarahkan kendalinya ke satu sentrum sehingga menempatkan Nusa Utara sebagai kawasan periphery; 4 keunggulan sebagai kawasan yang dapat memanfaatkan
kekuatan luar outsourcing power dan lintasan ekonomi dari berbagai penjuru disurutkan ke titik nadir; dan 5 kekuatan ekonomi bahari maritime economic atau archipelagic economic
sebelum kedatangan “Barat” disirnakan dengan continental oriented; serta 6 SDI yang menjadi daya dorong prime mover ekonomi Nusa Utara faktanya dicuri resources squeezing oleh
nelayan asing. P2K
perbatasan Kepulauan Sangihe, selama ini kurang memperoleh sentuhan pembangunan, disebabkan
beberapa alasan, yaitu: 1 kebanyakan P2K perbatasan tidak berpenghuni karena ukuran relatif kecil; kalaupun berpenghuni, jumlah penduduknya sangat
sedikit sehingga tidak menjadi prioritas utama; 2 kawasan ini cenderung terisolasi sehingga diperlukan investasi yang besar high cost investment untuk membangun prasarana dan
perhubungan laut; 3 kurangnya kepastian perlindungan hak dan kepastian berusaha; 4
pembangunan nasional selama ini lebih berorientasi ke darat; 5 rendahnya tingkat pendidikan masyarakat setempat; 6 kurang minatnya dunia usaha berinvestasi;
7 pilihan pengelolaan ekonomi menjadi terbatas karena ukuran luas P2K dan lokasi yang jauh remote serta
terbelakang; dan 8 kecilnya skala ekonomi dalam hal aktivitas produksi, transportasi, konsumsi dan administrasi.
Atas dasar kepentingan mendesak untuk melihat sejauh mana posisi geografis dan potensi SDA di P2K perbatasan Kepulauan Sangihe dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan
nasional dan kesejahteraan masyarakat, maka dirumuskan pertanyaan penelitian, sebagai berikut: 1
Bagaimana kinerja ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe? 2
Komoditas apa yang dapat menjadi unggulan untuk dapat dikembangkan di Kepulauan Sangihe?
3 Bagaimana kondisi daya dukung ekonomi dan lingkungan yang dijadikan bahan
pertimbangan dalam pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe? 4
Bagaimana kondisi wilayah perbatasan saat ini serta bagaimana aspirasi Kabupaten Kepulauan Sangihe ? ; dan
5 Variaberl apa saja yang mendorong
terjadinya perdagangan illegal di perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe?.
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan merumuskan alternatif kebijakan dan program pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe berbasis geopolitik, daya dukung ekonomi dan
lingkungan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan: 1
Mengevaluasi dan menganalisis kinerja ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe; 2
Mengevaluasi dan menganalisis komoditas unggulan Kepulauan Sangihe; 3
Mengevaluasi dan menganalisis daya dukung ekonomi dan lingkungan SDA di Kabupaten Kepulauan Sangihe;
4 Mengevaluasi dan menganalisis kondisi dan perkembangan wilayah perbatasan saat ini
serta aspirasi masyarakat P2K perbatasan Kepulauan Sangihe; dan
5 Menganalisis variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kegiatan perdagangan illegal
di perbatasan Kepulauan Sangihe. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak,
terutama: pemerintah, masyarakat dan dunia pendidikan. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini
dapat dijadikan bahan masukan dalam pengambilan keputusan,
agar pembangunan kawasan perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe memperoleh porsi yang setara dan seimbang antara
pendekatan geopolitik terutama pendekatan keamanan security, ekonomi dan lingkungan. Bagi masyarakat, dapat dijadikan bahan informasi untuk pengembangan dunia usaha
dalam rangka peningkatan kesejahteraan.
Sedangkan untuk dunia akademik, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam pengelolaan P2K
perbatasan Kepulauan Sangihe yang berbasis geopolitik, daya dukung ekonomi dan daya dukung lingkungan.
1.4 Kerangka Pendekatan Masalah
Kepulauan Sangihe mempunyai peran strategis mengingat secara geografis letaknya berbatasan dengan negara Filipina, yang berpeluang terjadinya ancaman serta gangguan terhadap
SDA dan kedaulatan negara. Kondisi ini diperparah dengan sentuhan pembangunan yang relatif rendah sebagai akibat paradigma pengelolaan
lebih berorientasi kepada pendekatan keamanan security approach.
Kerangka pendekatan masalah penelitian tentang kebijakan pengelolaan P2K
perbatasan Kepulauan Sangihe yang berbasis geopolitik, daya dukung ekonomi dan lingkungan disajikan pada Gambar 1. Selain penekanan pengelolaan yang lebih kepada security
juga paradigma yang berhaluan daratan mampu menggeser posisi Negara Kepulauan archipelagic state sebagai bagian dari paradigma pembangunan nasional khususnya wilayah
dengan luas laut yang dominan matra laut. Interaksi paradigma pembangunan dengan karakteristik P2K di Kepulauan Sangihe isolation, smallness,
dan vulnerability berakibat menjadi “pembatasan dan terbatasnya” ruang untuk economic activity sehingga terjadi proses
marjinalisasi dan pemiskinan serta rendahnya pemanfaatan SDA, yang bermuara pada rendahnya optimasi pemanfaatan SDA oleh masyarakat setempat. Pembatasan dan dibatasi juga tercermin
dari proses penataan border crossing agreement BCA yang sejak awal penerapan perjanjian tersebut belum mampu memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Kepulauan
Sangihe khususnya di P2K perbatasan.
Analisis Kondisi Saat Ini
Kebijakan Saat Ini
Potensi dan Permasalahan
Sumber daya alam
Analisis Permasalahan
Geopolitik Alternatif Kebijakan
Pengelolaan
Sosial dan Ekonomi
Daya Dukung Kebijakan
Pemerintah Pusat
Kondisi Kawasan
Perbatasan
Hukum dan perundang-
undangan
Ekonomi Kebijakan
Pemerintah Kebijakan
Masa Lalu Politik dan
Hankam Daya
Dukung Lingkungan
Daerah
ALTERNATIF KEBIJAKAN DAN PROGRAM
PENGELOLAAN P2K PERBATASAN
Gambar 1 Pendekatan masalah penelitian kebijakan pengelolaan P2K perbatasan Realitas untuk dapat bertahan survival dalam kehidupan ekonomi masyarakat P2K
perbatasan Kepulauan Sangihe terutama di Pulau Marore, Pulau Kawio, dan Pulau Matutuang
serta pulau-pulau sekitarnya yang berada di Kecamatan Nusa Tabukan dan Kecamatan Tabukan Utara
disebabkan sebagian dari kebutuhan sandang pangan, dan papan dipasok dari negara tetangga Filipina melalui Pulau Balut dan Pulau Saranggani. Fakta ini yang harus diterima untuk
dijadikan koreksi terhadap implementasi kebijakan pengelolaan P2K perbatasan selama ini, walaupun sebagian bersifat illegal activity.
Oleh karena itu upaya memperkecil illegal gains merupakan salah satu cara mengeliminasi kegiatan penyelundupan yang terjadi di Kepulauan
Sangihe. Selain itu, paradigma pengelolaan berbasis SDA sebagai prime mover pembangunan harus dirubah dengan cara untuk mereduksi kekeliruan pengelolaan, yaitu: 1 meningkatkan
kemampuan memanfaatkan SDA oleh masyarakat P2K perbatasan dengan pemberian modal, peningkatan kemampuan tenaga kerja, peningkatan teknologi dan perluasan aksesibilitas pasar;
dan 2 peningkatan kemampuan kelembagaan untuk melakukan koordinasi dalam implementasi program pengawasan SDI.
Pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe berbasis geopolitik, daya dukung ekonomi dan lingkungan merupakan salah satu model kebijakan yang ingin dikaji, karena
memiliki posisi strategis dalam mempertahankan kedaulatan negara, serta berpedoman kepada: 1 menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa serta
menciptakan stabilitas kawasan; 2 memanfaatkan SDA dalam rangka pembangunan yang
berkelanjutan; 3 memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.
Kebijakan pengelolaan P2K perbatasan tersebut perlu didekati dengan tiga pendekatan yang komprehensif yaitu melakukan sinergi antara pendekatan kesejahteraan welfare approach
terutama pengembangan ekonomi perbatasan border economic dan geopolitik terutama keamanan security, serta pendekatan lingkungan environmental.
1.5 Kebaruan Penelitian
Penelitian ini menemukan bahwa walaupun penduduk relatif kecil dan potensi perikanan yang cukup tersedia, tetapi karena keterbatasan pasar menyebabkan secara relatif potensi
perikanan belum memberikan kegiatan ekonomi yang mendorong kesejeahteraan bagi
penduduknya. Di lain pihak degradasi dan depresiasi SDI relatif cukup memprihatinkan
walaupun belum membahayakan, yang relatif lebih disebabkan oleh tindakan illegal fishing dari nelayan asing dan nelayan lokal.
Kerusakan lingkungan perairan dan terjadinya penyelundupan di kawasan perbatasan Kepulauan Sangihe dipicu oleh kebutuhan ekonomi dan kegagalan
kebijakan. Oleh karena itu penyelesaian pasar secara politik karena berkaitan dengan negara tetangga dan kebijakan pengelolaan yang memadukan antara kepentingan pertahanan keamanan,
ekonomi dan lingkungan perlu segera dikembangkan jangan menunggu terjadinya ledakan kemiskinan dan kehilangan pulau kecil.
Identifikasi negara bangsa mensyaratkan pengenalan batas-batas wilayah, sehingga persoalan perbatasan negara penting dikaitkan dengan identitas negara dan kedaulatan negara.
Namun ketika batas-batas wilayah telah diidentifikasi dan diterapkan bukan berarti kedaulatan itu dengan demikian menjadi abadi. Pada perjalanannya, tanggungjawab pemerintah tetap dituntut
untuk menjaga keberlangsungan kedaulatan tersebut dengan menjaga dan memperhatikan kawasan perbatasan tersebut.
Perbatasan negara antara Indonesia dengan Filipina, walaupun secara hukum internasional belum ada kesepakatan batas wilayah terutama di ZEE dan Landas
Kontinen, namun karena pembagian wilayah telah “diwariskan” oleh penjajah Spanyol dan Belanda. Penelitian ini menemukan bahwa kebanggaan terhadap fakta hukum dan sejarah akan
menjadi lemah kedudukannya jika persoalan ekonomi tidak diselesaikan. Oleh karena itu
penelitian menemukan akan terjadinya pergeseran persoalan penyelundupan menjadi “persoalan yang akut” apabila tidak dikembangkan kebijakan border trade yang memiliki keadilan secara
ekonomi dan hukum, memiliki kemungkinan peluang yang relatif besar.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pulau Kecil dan Pulau Kecil Terluar
Pulau adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah, dikelilingi air dan selalu berada di atas air pada saat air pasang Ello dan Subandi 1998; UNCLOS 1982. Definisi
ini, membatasi pengertian pulau, yaitu: 1 terbentuk secara alamiah dan 2 terletak di atas air pada saat air pasang tinggi. Suatu pulau yang tidak memiliki kriteria pertama,
dikategorikan sebagai pulau buatan yang berarti tidak memiliki hak sebagai rejim pulau. Suatu daratan yang
bentukannya hanya nampak pada saat pasang rendah saja, sementara pada saat pasang tinggi menjadi tergenang, tidak kelihatan, maka kenampakan seperti ini dalam Konvensi Hukum Laut,
disebut flow tide elevation yang memiliki rejim hukum berbeda dengan pulau Setiyono 2000. Pulau kecil didefinisikan sebagai pulau dengan luas area
≤ 10 000 km
2
dan lebarnya ≤ 10
km Bengen 2004. Menurut Brookfield 1990, pulau kecil small island adalah pulau yang memiliki luas daratan
≤ 1 000 km
2
dan berpenduduk ≤ 100 000 jiwa. Pulau kecil sebagai pulau
dengan luas areanya ≤ 10 000 km
2
dan mempunyai penduduk 500 000 jiwa UNESCO 1994; Beller 1990. Menurut Kamaluddin 2002, pulau kecil adalah pulau yang jumlah penduduknya
sedikit dan umumnya tidak mudah dijangkau, sebab tidak tersedia atau terbatas akses dari kawasan tersebut ke kawasan yang lebih berkembang.
Penelitian ini menggunakan definisi pulau kecil adalah pulau yang berukuran ≤ 10 000
km² dengan jumlah penduduknya ≤ 200 000 orang DKP 2002; PERPRES Republik Indonesia
2005. Berdasarkan definisi ini, maka seluruh pulau yang ada di Kabupaten Kepulauan Sangihe tergolong P2K, dengan pulau yang terluas adalah P. Karakelang sekitar 1 077.97 km² dan yang
terkecil adalah P. Batutadinting sekitar 0.000002 km². Menurut Dishidros TNI-AL 2003, terdapat 11 P2K terluar yang berada di Provinsi Sulawesi
Utara, dan tiga diantaranya sebagai P2K perbatasan yang berada di Samudera Pasifik dan Laut Sulawesi yang berbatasan langsung dengan Filipina, yaitu Pulau Miangas, Pulau
Marore, dan Pulau Marampit. Pulau Miangas dan Pulau Marampit secara geografis berada pada wilayah pemerintahan Kabupaten Kepulauan Talaud, sedangkan Pulau Marore termasuk
dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Kepulauan Sangihe. P2K perbatasan di Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah P2K terluar dengan luas area
≤ 2000 km² yang memiliki titik- titik koordinat geografis sesuai dengan hukum internasional, meliputi: P. Kawio, P. Marore,
P. Kemboleng, P. Kawaluso, dan P. Lipang serta P. Matutuang.
Briguglio 1995, menyebutkan bahwa karakteristik P2K sebagai suatu permasalahan, adalah: smallness, isolation, dependence, dan vulnerability. Faktor smallness secara ekonomi
menjadi faktor ketidakunggulan disadvantage, antara lain: 1 keterbatasan resource endowement;
2 ketergantungan
kisaran diversifikasi
produk; 3
keterbatasan mempengaruhi perubahan harga produk; 4 keterbatasan kompetisi lokal; dan 5
keterbatasan mengembangkan economic of scale. Faktor isolation akan mengakibatkan
tingginya biaya transportasi, sedangkan vulnerability cenderung rentan terhadap bencana alam natural disaster dan ekosistem yang rapuh
fragile. Menurut Bengen 2004, permasalahan yang terjadi di P2K adalah kondisinya yang relatif terisolasi dan jauh dari pulau
induk, terbatasnya sarana dan prasarana perekonomian seperti jalan, pelabuhan, pasar, listrik, lembaga keuangan, menyebabkan tingkat kesejahteraannya rendah serta rendahnya kualitas
sumber daya manusia SDM akibat kurangnya fasilitas pendidikan, tidak tersedianya media informasi dan komunikasi serta fasilitas kesehatan.
2.2 Geopolitik dan Geostrategi
Geopolitik dapat diartikan sebagai politik atau kebijakan dan strategi nasional yang didorong oleh aspirasi nasional geografik suatu negara, yang apabila dilaksanakan dan berhasil
akan berdampak langsung atau tidak langsung kepada sistem politik suatu negara Sadono dan Holdun 2007; Suradinata 2005. Sebaliknya politik negara itu, secara langsung akan berdampak
kepada geografi negara yang bersangkutan Suradinata 2005. Geopolitik menganggap bahwa
geografi, topografi, demografi, kandungan sumber daya dan lokasi menentukan karakter politik negara Anggoro 2005.
Geopolitik suatu negara direfleksikan dari posisi dan bentuk suatu wilayah dalam implementasi berbangsa dan bernegara menuju tujuan nasional.
Posisi strategis ini akan lebih bermakna apabla dikaitkan dengan adanya pergeseran centre of gravity geopilitik
dunia ke arah Asia Pasifik Artjana 1993 yang lebih berorientasi pada kepentingan maritim, sehingga mengandung dimensi ekonomi dan kekuatan yang semakin mengemuka.
Sejalan dengan itu, Indonesia seharusnya dapat menjadi pemain utama dalam percaturan global yang
berpusat di Pasifik Ratulangi 1982. Istilah geopolitik semula adalah sebagai ilmu bumi politik, kemudian berkembang
menjadi pengetahuan tentang sesuatu yang berhubungan dengan konstelasi ciri khas negara berupa: bentuk, luas, letak, iklim, dan sumber daya alam suatu negara untuk membangun dan
membina negara. Geopolitik suatu negara terkait erat dengan kekuasaan negara sehingga perlu mendalami ciri khusus negara berdasarkan geomorfologinya ciri fisik dan non-fisik, karena
akan menentukan sikap politik negara dalam membangun negaranya Rangkuti 2007. Teori
geopolitik berkembang menjadi ajaran yang melegitimasi hukum ekspansi suatu negara disebabkan dipengaruhi oleh beberapa ajaran. Soemiarno 2005, teori geopolitik telah
berkembang menjadi konsepsi wawasan nasional suatu bangsa yang seiring dengan berkembangnya teori-teori kekuasaan, oleh karena itu wawasan nasional suatu bangsa selalu
mengacu kepada geopolitik, sehingga dengan wawasan tersebut, suatu negara dapat diketahui arah perkembangan suatu negara.
Geografi, geopolotik dan geostrategi merupakan tiga serangkai yang sulit dipisahkan. Geostrategi berusaha menjelaskan bagaimana opsi-opsi strategis untuk memanfaatkan faktor
geografi dalam pertarungan geopolitik. Pemahaman terhadap geografi
tidak terbatas pada konstruksi fisik dan peristiwa-peristiwa alam tetapi juga karakter sosial yang berada di dalamnya.
Disebabkan kompleksitas masalah, validitas pendekatan geopolitik dan geostrategi acapkali mengundang perdebatan Anggoro 2005. Dalam dimensi ini, adanya berbagai arus pemikiran
tentang geopolitik yaitu Mahan 1890 meyakini bahwa kekuatan laut sea power merupakan kunci utama bagi suatu negara untuk memenangkan pertarungan politik, sedangkan Mactkinder
dikutip oleh Sloan 1996 meyakini pentingnya kekuatan darat land power. Kedua pandangan geopolitik tersebut cukup memadai dalam perumusan strategi kebijakan nasional, khususnya
dalam kaitannya dengan keamanan nasional national secutiry, kepentingan nasional national interest, dan orientasi nasional national orientation.
Sebuah negara pulau island states dengan sumber daya dan pasar relatif terbatas mungkin hanya dapat bertahan dengan ekspansi
geopolitik. Sejalan dengan pengertian tersebut maka rumusan masalah yang teridentifikasi dalam
pembangunan geopolitik, meliputi: 1 kurangnya perhatian pemerintah terhadap isu tapal batas border Sadono dan Holdun 2007; Pailah 2008; Anggoro 2005, Djalal 2003, Pardede 2005,
Waluyo 2006;
Jemabut dan Santi 2006; 2 kurang fokusnya pemerintah
dalam mengakomodasikan aspek geopolitik dalam menentukan kepentingan pertahanan; dan 3 belum
optimalnya pemerintah dalam memperhatikan karakteristik geografiwilayah NKRI guna mengakomodasikan geopolitik berkaitan dengan pembangunan.
Geopolitik Indonesia pada dasarnya adalah Wawasan Nusantara, yaitu cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai jati diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan
dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang satu kesatuan ideologi, satu kesatuan politik, satu kesatuan
ekonomi, satu kesatuan sosial budaya dan dalam satu kesatuan ketahanan nasional. Sedangkan
ketahanan nasional adalah kondisi dinamik suatu bangsa meliputi seluruh aspek kehidupan nasioanl yang terintegrasi berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi seluruh tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan, baik yang dating dari luar maupun dari dalam, yang langsung
maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan nasionalnya Suradinata 2005.
Secara umum, penelitian ini merumuskan geopolitik Indonesia sebagai kemampuan untuk mempertimbangkan
dan memperhitungkan keuntungan dan kerugian lokasi dari posisi
geografisnya berdasarkan
telaah ilmu politik untuk kepentingan politiknya.
Dasar perhitungannya adalah peta bumi politik dan peta bumi sumber daya strategis yang disesuaikan
dengan perkembangan teknologi. Implementasi dalam kebijakan pengelolaan P2K perbatasan
dalam perspektif
geopolitik di Kabupaten
Kepulauan Sangihe
adalah kemampuan
mempertimbangkan dan menghitung manfaat benefit dibandingkan dengan kerugian cost
yang akan muncul dalam pemanfaatan SDA strategis berdasarkan teknologi dan penggunaan
peta bumi politik dengan memandang faktor geografis sebagai faktor penentu.
2.3 Pengelolaan Kawasan Perbatasan
Perbatasan adalah sebuah demarkasi antara dua negara state’s border yang berdaulat
dan terbentuk dengan lahirnya negara. Sebelumnya penduduk yang tinggal di wilayah tertentu tidak merasakan perbedaan itu, bahkan tidak jarang mereka berasal dari etnis yang sama. Namun
dengan munculnya negara, mereka terpisahkan dan adanya tuntutan negara itu mereka
mempunyai kewarganegaraan yang berbeda Susetyo 2008. Perbatasan telah memperoleh
makna yang baru sebagai konstruksi sosial dan kultural yang tidak lagi terikat pada pengertian yang bersifat teritorial Tirtosudarmo 2005. Menurut Wadley 2002, batas negara ialah sebuah
garis yang memisahkan sistem sosial yang berbeda dan daerah perbatasan menjadi wilayah yang bersifat marjinal, yang legitimasinya tergantung
hubungan dan partisipasi dalam sistem sosial yang dtentukan di pusat, sehingga bukan sekedar sistem sosial yang unik.
Perbatasan dapat diartikan sebagai suatu unit legal politis yang mempunyai berbagai fungsi unik sekaligus startegis bagi suatu negara.
Dalam konteks pemahaman tersebut maka perbatasan memiliki fungsi militer strategis, ekonomi, konstitusi, identitas, kesatuan nasional,
pembangunan negara dan kepentingan domestik Blanchard 2005.
Untuk menganalisis perbatasan ada beberapa elemen yang perlu mendapat perhatian, sebagai berikut: 1 kekuatan
pasar dan arus perdagangan; 2 kebijakan pemerintah negara-negara yang berbatasan langsung; 3 pengaruh faktor politis masyarakat di wilayah perbatasan; dan 4 budaya khas masyarakat di
wilayah perbatasan. Dalam konteks borders dipahami sebagai suatu garis imajiner yang memisahkan wilayah suatu negara yang secara geografis berbatasan langsung dengan wilayah
negara lain. Sesungguhnya pengertian mengenai perbatasan tidaklah sederhana, karena di
dalamnya juga mengandung dimensi lain seperti garis batas border lines, sempadan boundary, dan perhinggaan frontier, yang merupakan persoalan politik Anggoro 2004.
Kawasan perbatasan kepulauan Sangihe dimaksud adalah sebutan bentangan laut dengan beberapa pulau kecil yang terletak di ujung utara sebagai penentuan batas wilayah NKRI. Pulau
terluar dalam kawasan perbatasan dimaksud adalah Pulau Marore, Pulau Kawio, Pulau Kemboleng, Pulau Matutuang, Pulau Kawaluso, dan Pulau Lipang.
Kawasan perbatasan kepulauan Sangihe mempunyai keterkaitan kedepan forward linkage adalah Filipina dengan
wilayah pemasaran produk adalah Filipina Manila, Hongkong, Kaohsiung, Busan dan Jepang. Sedangkan keterkaitan kebelakang backward linkage, adalah: Kepulauan Talaud, Kepulauan
Sitaro, Manado Sulawesi Utara, dan Gorontalo. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain dalam pengelolaan P2K perbatasan harus menganut sistem outward looking dalam pengelolaannya
bukan inward looking. Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam
sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain. Sedangkan dalam pengelolaan
Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, Pemerintah berwenang: 1 menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan; 2 mengadakan
perundingan dengan negara lain mengenai penetapan Batas Wilayah Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional; 3 membangun dan
membuat tanda Batas Wilayah; 4 melakukan pendataan dan pemberian nama pulau dan kepulauan serta unsur geografis lainnya; 5 memberikan
izin kepada penerbangan internasional untuk melintasi wilayah udara teritorial pada jalur yang telah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan; 6 memberikan izin lintas damai kepada kapal-kapal asing untuk melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan pada jalur yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan; 7 melaksanakan pengawasan di zona tambahan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran dan menghukum pelanggar peraturan perundang-undangan di bidang bea
cukai, fiskal, imigrasi, atau saniter di dalam Wilayah Negara atau laut teritorial; 8 menetapkan wilayah udara yang dilarang dilintasi oleh penerbangan internasional untuk pertahanan
keamanan; 9 membuat dan memperbarui peta Wilayah Negara dan menyampaikannya kepada DPR sekurang-kurangnya setiap 5 lima tahun sekali; dan 10 menjaga keutuhan, kedaulatan,
dan keamanan Wilayah Negara serta Kawasan Perbatasan Pasal 10 UU No. 432008. Selanjutnya untuk kewenangan pemerintah provinsi telah dimuat dalam Pasal 11 UU No.
432008, serta untuk kewenangan pemerintah kabupatenkota dimuat dalam Pasal 12 UU No. 432008.
Dengan demikian pengelolaan kawasan perbatasan negara Indonesia dengan negara Filipina, idealnya mempertimbangkan perwujudan fungsi dan wewenang dalam konteks aturan
perundang-undangan. Pertimbangan pengelolaan kawasan perbatasan harus sesuai dengan fungsi yaitu: keamanan security, kesejahteraan prosperity, dan fungsi lingkungan environment. Hal
ini merupakan suatu keniscayaan dalam upaya melakukan transformasi kawasan perbatasan dari “halaman belakang” menjadi “beranda terdepan” wilayah NKRI.
Pengelolaan masalah keamanan di kawasan perbatasan dapat dimaknai sebagai segenap kebijakan dan upaya terkait yang ditujukan untuk mengurangi potensi ancaman, kondisi
ketidakamanan, dan memaksimalkan keamanan di wilayah perbatasan. Terdapat dua sistem yang diterapkan oleh negara dalam pengelolaan keamanan di kawasan perbatasan, yaitu: 1 hard
border regime, yakni rejim keamanan perbatasan yang menganut sistem perbatasan sangat ketat dengan menempatkan pasukan bersenjata lengkap di setiap pos-pos perbatasan; dan 2 soft
border regime, yaitu memperlakukan pengamanan perbatasan tidak terlalu ketat Wuryandari 2009.
Sejalan dengan itu maka pantai dan laut harus dijaga dengan tugasnya, adalah: 1 melakukan tugas-tugas patroli guna menegakan hukum di laut; 2 melakukan shipping law
enforcement dalam rangka penegakan ketentuan keselamatan pelayaran, 3 melaksanakan pengawasan di laut terhadap kemungkinan pengrusakan terumbu karang dan habitat laut; 4
melaksanakan pemeriksaan di laut terhadap kapal-kapal yang melakukan pelanggaran hukum serta ketentuan keselamatan pelayaran; 5 melaksanakan pencarian dan pertolongan di laut; 6
melaksanakan penanggulangan dan pertolongan tumpahan minyak dan kebakaran kapal di laut; dan 7 memasang, mengawasi dan menjaga sarana bantu navigasi dan stasiun radio pantai
Kamaluddin 2002.
2.4 Daya Dukung dalam Pengelolaan P2K Perbatasan
Fauzi 2000 menyatakan, terdapat beberapa konsep pengukuran daya dukung lingkungan yang sering digunakan yaitu: 1 potensi maksimum sumber daya; 2 kapasitas penyerapan
absorptive capacity atau sering disebut dengan kapasitas asimilasi assimilative capacity, dan 3 daya dukung lingkungan environmental carrying capacity.
Konsep potensi maksimum sumber daya didasarkan pada pemahaman untuk mengetahui potensi
sumber daya yang dapat menghasilkan barang dan jasa dalam jangka waktu tertentu,
pengukurannya didasarkan pada perkiraan-perkiraan ilmiah atau teoritis.
Kapasitas penyerapan absorptive capacity atau kapasitas asimilasi assimilative capacity adalah kemampuan SDA dapat pulih misalnya air,
udara untuk menyerap limbah akibat aktivitas manusia. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung
perikehidupan dan makhluk lain Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009. Menurut Dahuri
2003, sumber daya hayati pesisir dan lautan memiliki peluang sangat besar untuk mengalami kepunahan. Hal ini disebabkan karena sumber daya hayati laut biasanya bersifat milik bersama
common property dan open access siapa saja dan kapan saja boleh memanfaatkan. Untuk
menjaga kelestarian sumber daya perairan yang bersifat common property dan open access perlu
dibuat kebijakan ekonomi yang tidak hanya berorientasi pada tingkat pertumbuhan semata, melainkan juga tetap berpihak pada lingkungan.
Fauzi 2004, salah satu masalah penting yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi adalah bagaimana menghadapi trade off antara pemenuhan kebutuhan pembangunan dan upaya
mempertahankan kelestarian lingkungan. Pembangunan ekonomi yang berbasis SDA yang tidak memperhatikan aspek lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan,
karena SDA dan lingkungan memiliki kapasitas yang terbatas. Menurut Fauzi 2005, kerusakan lingkungan secara umum dipicu oleh dua faktor utama yang dominan yaitu kebutuhan ekonomi
economic driven dan kegagalan kebijakan policy failure driven. Daya dukung dalam pengelolaan P2K dapat dilihat dari beberapa tingkatan, yaitu daya
dukung ekologis, daya dukung fisik, daya dukung sosial, dan daya dukung ekonomi. Daya
dukung ekologis adalah tingkat maksimum jumlah dan volume pemanfaatan suatu sumber daya atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan atau zona sebelum terjadinya
penurunan kualitas ekologis. Secara fisik, daya dukung adalah jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumber daya atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan atau zona tanpa
menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas fisik. Daya dukung sosial adalah tingkat
kenyamanan apresiasi pengguna suatu sumber daya atau ekosistem terhadap suatu kawasan atau zona akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan. Daya dukung ekonomi adalah tingkat
skala usaha dalam pemanfaatan suatu sumber daya yang memberikan keuntungan maksimum secara bersinambungan Dahuri 2003a.
Daya dukung suatu ekosistem alam seperti wilayah pesisir dan lautan dapat dilihat dari empat fungsinya, yaitu: 1 penyedia SDA; 2 penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan life
supporting systems; 3 penyedia jasa-jasa kenyamanan amenity services; dan 4 penyerap limbah waste receplace Ortolano 1984. Menurut Dahuri, et al 1996 secara ekologis terdapat
empat syarat agar pembangunan di wilayah pesisir dan lautan dapat berlangsung secara berkelanjutan, yaitu: 1 menempatkan setiap kegiatan pembangunan pada lokasi yang secara
ekologis sesuai suitable dengan kegiatan pembangunan tersebut; 2 pemanfaatan SDA tidak melebihi potensi lestari renewable capacity; 3 pembuangan limbah tidak melebihi kapasitas
asimilasi ekosistem pesisir dan lautan; dan 4 kegiatan rancang bangun konstruksi dan modifikasi bentang alam landscape harus sesuai dengan karakteristik dan dinamika alamiah
pesisir dan lautan.
2.5 Penilaian Depresiasi Sumber Daya Ikan
Menurut Fauzi dan Anna 2005, degradasi mengacu pada penurunan kualitas kuantitas SDA yang dapat diperbaharukan renewable resources, dalam hal ini, kemampuan SDA untuk
regenerasi sesuai kapasitas produksinya yang berkurang. Kondisi ini dapat terjadi baik karena
kondisi alamiah maupun karena pengaruh aktivitas manusia. Untuk SDI, kebanyakan degradasi terjadi akibat kegiatan manusia anthropogenic, baik berupa aktivitas produksi penangkapan
atau eksplorasi maupun aktvitas non produksi pencemaran.
Fauzi dan Anna 2002 menyatakan, dalam kondisi aktual, jarang sekali terjadi eksploitasi perikanan pada tingkat penangkapan maupun upaya yang optimal, padahal dengan melakukan
eksploitasi pada tingkat optimal maka perikanan tangkap akan lestari. Hartwick 1990,
menyatakan bahwa perbedaan antara upaya aktual dengan upaya optimal sangat diperlukan bagi penentu kebijakan, guna meminimalkan opportunity cost dalam bentuk keuntungan ekonomi
optimal lestari yang hilang karena mengeksploitasi sumber daya perikanan pada tingkat sekarang. Pengukuran depresiasi menggunakan metode present value, di mana seluruh rente yang
akan datang future value of rent yang diharapkan dihasilkan dari SDI dihitung dalam nilai di masa sekarang present value Fauzi dan Anna 2002, dengan anggapan bahwa kurva permintaan
bersifat elastis, maka rente SDI dihitung berdasarkan persamaan:
t
a bH
t
H
t
c
t
E
t
U H cE
2.1
t
V
t
2.2
t
adalah rente SDI, a adalah intersep kurva permintaan, b adalah slope kemiringan,
H
t
adalah tangkapan lestari, E
t
adalah tingkat upaya, c
t
adalah biaya per unit upaya dan t adalah periode waktu. UH adalah utilitas manfaat yang dihasilkan dari SDI.
Jika diasumsikan bahwa biaya per unit input adalah konstan, maka present value dari rente perikanan pada periode tidak terbatas t = 0 sampai tak terhingga adalah sebagai berikut:
adalah nilai social discount rate konstan. Perubahan present value dari sumber daya antar
periode t-1 dan t, V
t
– V
t-1
menyebabkan nilai bersih perubahan dalam stok sumber daya terdepresiasi sebagai berikut:
V
t
V
t 1
t
t 1
2.3
di mana
V
t
V H
t
, p
t
H
t
, E
t
, c
t
,
dan
V
t 1
V H
t 1
, p
t 1
H
t 1
, E
t 1
, c
t 1
,
. 2.6
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Optimal
Eksploitasi optimal SDI sepanjang waktu, pada dasarnya dapat diketahui dengan menggunakan teori kapital ekonomi sumber daya yang dikembangkan oleh Clark dan Munro
1975, dimana manfaat dari eksploitasi sumber daya perikanan sepanjang waktu ditulis sebagai berikut:
max V
t
t 0
t
H
t
, x
t
E
t
e
t
dt 2.4
dengan kendala :
x t
x F x hx, E x x
max
h h
max
Dengan memberlakukan Pontryagins Maximum
Principle, masalah di atas dapat dipecahkan dengan teknik Hamiltonian.
Fungsi Hamiltonian adalah formula dalam optimal control theory yang digunakan untuk menentukan time path yang lengkap dari peubah control,
state variabel dan nilai stok Anna 2003, sebagai berikut:
2.5 Persamaan di atas menggambarkan present value Hamiltonian.
Dengan mentransformasikan persamaan di atas menjadi current value Hamiltonian, maka persamaan 2.5 berubah menjadi:
2.6 Dimana
adalah current value shadow price, dan H adalah current value Hamiltonian. Dengan menggunakan Pontryagin Maximim Principle dari persamaan tersebut di atas menjadi:
2.7
2.8
2.9
2.10 Salam kondisi steady state, maka
dan , sehingga dari persamaan 2.7 dan
persamaan 2.10, menghasilkan:
2.11
Dan 2.12
Dengan menggunakan persamaan 2.9 dihasilkan: 2.13
Persamaan 2.13 dapat disederhanakan menjadi:
2.14
Dengan mengalikan kedua sisi persamaan 2.14 dan menyederhanakan, maka akan diperoleh Modified Golden Rule sebagai:
2.15
Di mana FX
t
adalah pertumbuhan alami dari stok ikan,
H , x, E x
adalah rente marjinal akibat perubahan biomass,
H , x, E H adalah rente marjinal akibat perubahan produksi.
Parameter ekonomi dan biologi ditentukan oleh besaran c biaya per unit effort, p harga ikan,
adalah discount rate dan q merupakan koefisien penangkapan. FX
t
adalah produktivitas marjinal dari dari biomas yang merupakan turunan pertama dari FX
t
. Hasil dari persamaan di atas menghasilkan X
optimal yang dapat digunakan untuk menghitung tingkat tangkapan dan upaya yang optimal.
Dengan demikian maka diketahui rente SDI yang merupakan hasil dari perkalian antara harga produk ikan dengan tangkapan optimal dikurangi biaya dari tingkat upaya
optimal, atau:
t
P
t
H H
t
c
t
E
t
2.16
2.7 Model Bio-Ekonomi Sumber Daya Perikanan
Untuk mengetahui nilai estimasi tangkapan lestari, perlu diketahui produktivitas dari stok ikan, yang biasanya diestimasi dengan model kuantitatif.
Produktivitas stok ikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik biologi, iklim, maupun aktivitas manusia yang menyebabkan turunnya
kualitas perairan melalui pencemaran, perusakan ekosistem pesisir serta pemutusan rantai makanan.
Faktor eksogenous seperti penggunaan input atau upaya penangkapan, serta pengelolaan dan regulasi sumber daya juga akan sangat mempengaruhi produktivitas stok ikan.
Untuk menganalisis stok ikan sebagai digunakan production surplus dengan persamaan:
dX
t
dt F X
t
H 2.17
Di mana FX
t
adalah laju pertumbuhan alami atau laju penambahan asset biomas, H
t
adalah laju penangkapan
atau laju pengambilan. Terdapat
dua bentuk model fungsional untuk menggambarkan stok biomas, yaitu bentuk Logistik dan bentuk Gompertz, sebagaimana
persamaan dibawah ini:
Bentuk Logistik: dX
t
dt rX
t
1
X
t
K
H
t
2.18
Bentuk Gompertz: dX
t
dt rx lnK X
t
H
t
2.19
Dimana r adalah laju pertumbuhan intrinsik, K adalah daya dukung lingkungan. Bentuk fungsional Logistik adalah simetris, sementara bentuk Gompertz tidak. Diasumsikan bahwa laju
penangkapan linear terhadap biomas dan effort sebagaimana ditulis sebagai berikut:
H
t
qE
t
X
t
2.20 dimana q adalah koefisien kemampuan penangkapan dan E
t
adalah upaya penangkapan. Dengan mengasumsikan kondisi keseimbangan maka kurva tangkapan-upaya lestari yield-effort curve
dari kedua fungsi di atas dapat ditulis sebagai berikut:
Logistik : H
t
qKE
t
E
qE
q
2
K
2
r 2.21
Gompertz : H
t
qKE
t
exp
r
Estimasi parameter r, K dan q untuk persamaan yield-effort dari kedua model di atas Logistik dan Gompertz
melibatkan teknik non-linear. Namun
demikian, dengan menuliskan
U
t
H
t
E
t
persamaan 2.21 di atas dapat ditransformasikan menjadi persamaan linear sehingga metode regresi biasa dapat digunakan untuk mengestimasi parameter biologi dari fungsi di atas. Dalam
penelitian ini teknik estimasi parameter yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley 1992 atau sering dikenal sebagai metode CYP digunakan untuk menduga parameter r, q dan K
melalui persamaan:
lnU
t 1
2r
2 r
lnqK
2 r
2 r
lnU
t
q
2 r
E
t
E
t 1
2.22
Data time series produksi dan upaya catch and effort selama dua puluh tahun yang dikumpulkan dari wilayah penelitian Kabupaten Kepulauan Sangihe dijadikan basis untuk
perhitungan kurve yield-effort dengan menggunakan perangkat lunak komputer program microsoft excel.
Alat tangkap untuk menangkap ikan pelagis kecil dan alat tangkap yang menangkap ikan pelagis besar digunakan dalam pemecahannya rumus tersebut di atas.
Oleh karena itu untuk memperoleh unit upaya yang benar, seluruh unit effort distandardisasi
berdasarkan alat tangkap base. Sementara data ekonomi yakni biaya dan harga diperoleh dari
survei. Seluruh data ekonomi dikonversikan ke nilai riil dengan menyesuaikan nilai nominal ke indeks harga konsumen consumer’s price index. Khusus untuk data time series dari biaya per
upaya tidak tersedia secara time series, maka dilakukan perhitungan sebagaimana dilakukan oleh Tai et al 2001 untuk menkonversi data cross section biaya ke time series dilakukan dengan
menyesuaikan dengan indeks harga konsumen. Perhitungan nilai optimal produksi dan upaya
serta rente ekonomi dilakukan secara numerik dengan perangkat lunak Maple.13.
2.8 Perkembangan Wilayah dan Model Ekonomi Basis
Menurut Arsyad 1991, pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola
kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam
pembangunan daerah terletak pada penekanan terhadap kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan endogeneus development sesuai potensi SDM,
kelembagaan dan sumber daya fisik secara lokal. Alkadri dan Djajadiningrat 2002, menyatakan disadari bahwa pembangunan daerah
tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi merupakan suatu proses perbaikan tatanan sosial, ekonomi, hukum, politik, lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat yang
berkelanjutan sustainable welfare. Pada tahap awal, kegiatan pembangunan daerah biasanya
ditekankan pada pembangunan fisik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kemudian diikuti dengan pembangunan sistem sosial dan politik.
Namun demikian tahapan ini, bukanlah
merupakan suatu ketentuan yang baku, karena setiap daerah mempunyai potensi pertumbuhan yang berbeda dengan daerah lain.
Secara garis besar, beberapa konsep perencanaan pembangunan di suatu daerah Mangari 2000; Widiati 2000, meliputi: 1 perencanaan
pembangunan daerah berbasis sumber daya; 2 perencanaan pembangunan daerah berbasis komoditas unggulan; 3 perencanaan pembangunan daerah berbasis efisiensi free market
mechanism, dan 4 perencanaan daerah menurut peranan pelaku pembangunan. Untuk mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah, perlu ditentukan prioritas
pembangunan daerah. Kebijakannya adalah mengusahakan semaksimal mungkin agar prioritas pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan.
Prioritas pembangunan yang tidak sesuai dengan potensi daerah, mengakibatkan sumber daya yang ada belum atau kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Keadaan ini mengakibatkan
lambatnya proses pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan, dan pada akhirnya dapat
mengakibatkan timbulnya kepincangan pembangunan dan tertinggalnya daerah tersebut dibandingkan dengan wilayah lain Safrizal 1997
Pertumbuhan berbasis ekspor didasarkan pada pemikiran bahwa suatu wilayah harus meningkatkan arus atau aliran langsung keluar wilayah agar bisa tumbuh secara efektif.
Pasar ekspor merupakan penggerak utama atau sebagai mesin pertumbuhan ekonomi wilayah engine of
region economic growth Tiebout 1962. Teori pertumbuhan berbasis ekspor memisahkan
kegiatan ekonomi dalam dua sektor terpisah. Sektor ekspor adalah seluruh aktivitas ekonomi
yang terutama ditujukan untuk memenuhi permintaan ekspor, yang dikenal dengan sektor dasar basic sector, dan lainnya adalah sektor lokal local sector, yaitu aktivitas produksi dan jasa
yang ditujukan untuk melayani permintaan masyarakat lokal Budhiharsono 2005; Ghalib 2005; Glasson 1974; Safrizal 2008; Tiebout 1962.
Inti dari model ekonomi basis economic basis model adalah bahwa arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah
tersebut Budhiharsono 2005; Safrizal 2008.
Beberapa alat ukur secara kuantitatif yang digunakan dalam menganalisis potensi daerah sebagai komoditas ekspor atau sebagai ekonomi basis, meliputi: 1 model location quotients
LQ; 2 concentration index CI; 3 specialization index SI; dan4 model shift share
Alkadri dan Djajadiningrat 2002; Budhiharsono 2005; Ghalib 2005; Safrizal 2008. Menurut
Bendavid 1991, LQ adalah suatu index untuk mengukur tingkat spesialisasi relatif suatu sektor atau sub sektor ekonomi suatu wilayah tertentu.
LQ dapat dinyatakan dalam beragam ukuran terminology namun yang sering digunakan adalah ukuran tenaga kerja sector and sub sector
employment dan ukuran nilai tambah produk sector and sub sector value added. Formula yang digunakan dan yang menggambarkan indeks konsentrasi untuk terminologi
kesempatan kerja adalah sebagai berikut:
2.23
di mana: LQ = Location Quotients; = total angkatan kerja sektor i wilayah R;
= total angkatan kerja wilayah R;
= total angkatan kerja sektor i wilayah N; = total angkatan kerja
wilayah N. Sedangkan formula yang menggambarkan definisi indeks konsentrasi untuk
terminologi nilai tambah produksi sebagai berikut:
2.24
di mana: LQ = Location Quotients; = total nilai tambah produksi sektor i wilayah R;
= total nilai tambah produksi wilayah R;
= total nilai tambah produksi sektor i wilayah N; =
total nilai tambah produksi wilayah N. Ketentuan yang berlaku adalah jika LQ 1 maka sektor tersebut realtif di atas representasinya over represented di daerah studi tersebut. Jika LQ = 1,
maka sektor tersebut relatif proporsional proportional, dan jika nilai LQ 1 maka sektor tersebut relatif di bawah proporsional under proportional.
Peningkatan ekspor terjadi disebabkan suatu daerah yang bersangkutan memiliki keuntungan komparatif comparative advantage yang cukup besar untuk beberapa sektor
tertentu, namun pengukuran besarnya keuntungan komparatif tidak dapat dilakukan dengan persamaan regresi Safrizal 2008.
Oleh karena itu analisis untuk model basis ekspor perlu dilengkapi dengan metode lain yang lazim disebut dengan shift share analysis.
Shift share merupakan salah satu analisis yang cukup penting dalam studi perencanaan wilayah, yang pendekatannya menggabungkan dua hal pokok yakni unsur spasial dan unsur
sektoral yang diterapkan dalam kerangka dimensi waktu.
Perbedaannya dengan model pertumbuhan makro ekonomi umumnya, pendekatan shift share cenderung melakukan
disagregasi ekonomi sektoral dengan menganalisis peranan masing-masing sektor terhadap perekonomian lokal. Konsep dasar yang melatarbelakangi hal ini adalah bahwa terdapat daerah
yang memiliki pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya, maka analisis yang dilakukan harus menguraikan peranan masing-masing unsur baik sektoral maupun
unsur spasial Setiono 2010.
Pertumbuhan ekonomi lokal diasumsikan
dapat didekomposisikan menjadi dua
komponen utama yaitu komponen share dan komponen shift. Komponen share merupakan
komponen kontribusi dari pertumbuhan perekonomian wilayah acuan secara keseluruhan, sedangkan komponen shift merupakan simpangan
atau pergeseran terhadap komponen share tersebut Gambar 2.
Kontribusi ekonomi wilayah
faktor share
Pertumbuhan
Pergeseran Proporsional Proportionality shift sektor
ekonomi wilayah kontribusi faktor eksternal terhadap
ekonomi lokal Pergeseran diferensial
Kontribusi dari pergeseran
ekonomi sektoral dan lokal faktor
shift
Ekonomi Lokal Kabupaten
Kepulauan Sangihe
differential shift sektoral ekonomi lokal kontribusi
faktor internal terhadap ekonomi lokal
Gambar 2. Diagram konsep dari model perhitungan shift-share Terjadinya komponen shift disebabkan oleh dua hal, yakni: 1 simpangan antara
pertumbuhan sektoral wilayah acuan dengan pertumbuhan total wilayah acuan; dan 2 simpangan antara pertumbuhan sektor lokal dengan pertumbuhan sektor wilayah acuan.
Komponen shift yang pertama merupakan pengaruh kontribusi dari pertumbuhan sektor eksternal terhadap ekonomi lokal, sedangkan komponen shift yang kedua merupakan pengaruh kontribusi
dari pertumbuhan sektor internal. Komponen shift pertama sering juga disebut dengan
proportional shift atau kadang-kadang disebut sebagai komponen industri campuran industrial mix, sedangkan komponen shift yang kedua sering disebut sebagai differential shift.
Model shift-share diterapkan untuk menganalisis komponen-komponen yang menentukan terjadinya pertumbuhan perekonomian lokal untuk satu periode tertentu.
Pengetahuan atas komponen-komponen
tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk melakukan
proyeksi pertumbuhan perekonomian lokal mendatang.
Data yang digunakan dalam analisis ini adalah
data PDRB-ADHK harga konstan tahun 2000 tahun 2005 dan tahun 2009 baik untuk Provinsi Sulawesi Utara maupun untuk Kepulauan Sangihe.
Penggunaan data PDRB tahun 2005 dan tahun 2009 di atas dapat dirumuskan model aljabar analisis shift share sebagai berikut:
2.25 Dimana
= differential shift Dengan:
∆E05-09i =
Tingkat pertumbuhan PDRB sektor i di perekonomian Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2005 sampai tahun 2009.
Ref09 =
Jumlah PDRB di perekonomian Sulawesi Utara tahun 2009 Ref05
= Jumlah PDRB di perekonomian Sulawesi Utara tahun 2005
E09i =
Jumlah PDRB di sektor i perekonomian Sulawesi Utara tahun 2009 E05i
= Jumlah PDRB di sektor i perekonomian Sulawesi Utara tahun 2005
Lok09i =
Jumlah PDRB di sektor i perkonomian Kepulauan Sangihe tahun 2009 Lok05i
= Jumlah PDRB di sektor i perkonomian Kepulauan Sangihe tahun 2005
2.9 Model Analisis Regresi dengan Variabel Kategorik
Penelitian terapan kuantitatif seperti mencari model hubungan, mencari bentuk
kecenderungan, meramalkan, analisis inferensi, dan pengambilan keputusan perancangan percobaan, secara keseluruhan sangat tergantung kepada statistika sebagai alat untuk proses
analisisnya. Diantara bentuk-bentuk tersebut diatas, analisis regresi menjadi salah satu yang paling banyak aplikasinya.
Analisis regresi memberikan keleluasaan kepada peneliti untuk menyusun model hubungan atau pengaruh beberapa peubah bebas atau variabel bebas
independent variable terhadap peubah terikat atau variabel terikat dependent variable, bahkan digunakan untuk meramal kondisi berikutnya Suhardjo 2008.
Regresi memiliki bentuk bermacam-macam, antara lain: a regresi linear sederhana maupun regresi linear berganda digunakan untuk mencari model hubungan linear antara peubah-
peubah bebas dengan peubah terikat sepanjang tipe datanya adalah interval atau rasio; b regresi dummy memfasilitasi apabila ada salah satu atau lebih peubah bebas yang bertipe nominal atau
ordinal; c regresi data panel memberikan keleluasaan kepada peneliti apabila data yang diregresikan merupakan data cross section maupun data runtun waktu; dan d regresi logistik
membantu peneliti untuk meregresikan peubah terikat yang betipe nominal biner maupun nominal atau ordinal non-linear sehingga dapat dicarikan peluang untuk terjadi atau tidak
terjadinya suatu kejadian. Banyak topik penelitian yang menuntut peubah tidak bebas berupa pilihan nominal
seperti tidak terjadi atau terjadi, memilih atau tidak memilih, sukses atau gagal. Regresi dengan peubah tidak bebas berupa nilai dummy 1 atau 0.
Misalnya suatu bank akan meneliti apakah pembayaran dari nasabah baik atau tidak baik. Peubah Y = 1 jika tidak menunggak dan Y = 0,
jika menunggak. Jika peubah bebas hanya satu peubah X saja, maka model digunakan adalah fungsi logistik:
2.26
Fungsi ini kemudian disederhanakan, dengan Hasilnya adalah model
sebagai berikut: 2.27
Sehingga kalau dilakukan transformasi logaritmik hasilnya adalah:
2.28
Ini disebut fungsi logistik dan tampak sangat jelas berbentuk linear, sehingga persamaan di atas juga dapat diselesaikan secara regresi linear sebagaimana sebelumnya.
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pemetaan Proses Penelitian
Secara ringkas, keseluruhan proses penelitian disertasi ini dipetakan dalam diagram yang dibangun berdasarkan prinsip input, proses dan output Gambar 3.
Input penelitian berupa tujuan penelitian yang diuraikan secara lebih detail. Untuk masing-masing tujuan dapat
mempunyai satu atau lebih dari satu tolok ukur dan setiap tolok ukur akan terkait dengan jenis data yang dibutuhkan dan saling terkait antara tolok ukur yang satu dengan yang lain, dalam arti
bahwa terjadi kemungkinan bahwa data atau informasi yang telah digunakan dalam tolok ukur yang satu akan digunakan kembali oleh tolok ukur lainnya.
Proses berikutnya dilakukan dilakukan pengumpulan data berupa data Produk Domestik Regional Bruto PDRB untuk Kabupaten Kepulauan Sangihe maupun Provinsi Sulawesi Utara.
Data PDRB yang dikumpulkan adalah data PDRB atas dasar harga yang berlaku PDRB- ADHB, dan PDRB atas dasar harga konstan PDRB-ADHK.
Selain data PDRB, juga dikumpulkan data tentang produksi ikan menurut jenis ikan, jumlah trip melaut, harga ikan,
harga bahan bakar minyak BBM, olie, dan lain-lain. Data yang lain juga dikumpulkan adalah: jumlah penduduk, kegiatan pos Marore, perkembangan usaha pertanian, pemasukan bahan
pokok dan lain-lain. Data mengenai persepsi masyarakat terhadap proses pembangunan di
Kabupaten Kepulauan Sangihe diperoleh dari masyarakat dan tokoh masyarakat dalam bentuk opini atau apresiasi masyarakat.
Pengumpulan data juga dilakukan melalui suatu diskusi yang mendalam berupa focus group discussion FGD yang dilakukan di Manado dan Tahuna.
UJUAN UMUM TUJUAN KHUSUS
INDIKATOR DATA
METODE DAN TOOLS O
Menganalisis dan mengevaluasi kinerja
ekonomi Kepulauan Perkembangan kinerja
ekonomi Kepulauan Sangihe
Merumuskan natif kebijakan
dan program gelolaan pulau-
pulau kecil perbatasan
basis geopolitik, daya dukung
ekonomi dan
Sangihe Menganalisisis dan
mengevaluasi komoditas unggulan
Kepulauan Sangihe Mengevaluasi dan
menganalisis daya dukung ekonomi
dan lingkungan SDA di Kepulauan
Sangihe Menganalisis dan
mengevaluasi Teridentifikasinya
komoditas unggulan Kepulauan Sangihe
berbasis SDA Ternilainya tingkat
depresiasi SDI
Dirumuskannya pola pengembangan SDI
berbasis kelestarian PDRB Kepulauan
Sangihe ADHB dan ADHK, laju
pertumbuhan, dll Produksi SDI
menurut jenis, alat tangkap, jumlah
unit usaha, dll MSY, MEY,
discount rate, pengelolaan optimal
PDRB Sektor, Laju Pertumbuhan,
strukutur, shift share, LQ, dll
CPUE, Discounte rate, CYP,
depresiaisi, fungsi produksi, dll
MICROSOFT EXCEL
MICROSOFT EXCEL,
MAPLE,
kondisi dan perkembangan
wilayah perbatasan serta apresiasi
masyarakat Teridentifikasinya
kondisi dan apresiasi masyarakat P2K
Perbatasan Kepulauan Sangihe
Primer Sekunder: dokumen, surat
penting, persepsi, sejarah, dll
Analisis Isi, wacana,
deskriptif, Menganalisis dan
mengevaluasi peubah-peubah yang
berpengaruh terhadap kegiatan
perdagangan illegal Teridentifikasinya
peubah-peubah yang berpengaruh
terhadap kegiatan perdagangan illegal
Primer sekunder: Dokumen, data dari
penyelundup, non- penyelundup, data
pengusaha Analisis rregresi
logoistik MICROSOFT
EXCEL,
MINITAB, EViews
Gambar 3 Pemetaan proses penelitian kebijakan pengelolaan P2K perbatasan
Proses pengolahan data dilakukan untuk menghitung berapa permintaan wilayah luar Kepulauan Sangihe melalui metode location quotient LQ dan menganalisis perubahan-
perubahan struktur ekonomi wilayah lokal dalam kaitannya dengan ekonomi wilayah acuan tertentu yang lebih besar melalui metode shift share.
Selanjutnya diperoleh hasil tentang ekonomi basis yang mampu memenuhi kebutuhan sendiri dan mempunyai peluang dan
kemampuan melaksanakan ekspor. Pengukuran untuk evaluasi perkembangan perikanan dilakukan melalui perhitungan
catch per unit effort CPUE, standardisasi effort, pendugaan parameter biologi, degradasi, discount rate, dengan metode Clarke, Yoshimoto dan Pooley atau dikenal dengan CYP 1992
serta MAPLE. Kajian ini menggambarkan daya dukung ekonomi dan lingkungan perairan di Kepulauan Sangihe.
Sebagai daerah perbatasan, sering terjadi transaksi barang dan jasa antara masyarakat Kepulauan Sangihe dengan Filipina bagian selatan seperti masyarakat dari Pulau Balut, Pulau
Saranggani, Glan, dan General Santos, yang secara tradisional telah terjadi berabad-abad yang lalu. Pernyataan kemerdekaan kedua negara menyebabkan terpisahnya hubungan yang secara
tradisional telah dilakoni pada masa lalu, karena adanya aturan negara-negara yang bertetangga. Pembatasan aturan tersebut menyebabkan “tersumbatnya” berbagai aktivitas perdagangan
masyarakat P2K perbatasan karena keterbatasan pasar akibat dibatasinya jumlah dan nilai yang dapat diperdagangkan yang berlaku sejak tahun 1957 sampai saat ini belum disesuaikan.
Akibatnya terjadilah kegiatan perdagangan illegal yang disebut penyelundupan, untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Analisis ini dilakukan dengan regresi logistik yang akan memberikan masukan tentang kemungkinan perlakuan perdagangan yang khusus untuk daerah
tersebut. Kombinasi kajian tersebut di atas menghasilkan implikasi kebijakan secara terpadu
dengan kemampuan mengembangkan keunggulan geopolitik, geoekonomi dan geostrategik yang dipandu oleh daya dukung ekonomi dan daya dukung lingkungan.
Keunggulan
geoekonomi adalah keunggulan untuk mengkombinasikan faktor ekonomi dan geografi dalam perdagangan internasional, sedangkan geostrategik adalah kombinasi antara faktor geopolitik
pengaruh faktor geografi, ekonomi dan demografi dalam politik luar negeri suatu Negara dan strategi yang memberikan peran tertentu pada suatu kawasan geografi.
Dalam bingkai inilah rumusan alternatif kebijakan dan program pengelolaan P2K perbatasan berbasis geopolitik,
daya dukung ekonomi dan lingkungan Kepulauan Sangihe sebagai wilayah perbatasan dirumuskan.
3.2 Wilayah Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan April 2007 sampai dengan bulan Desember 2009 termasuk penulisan disertasi. Penelitian berlokasi di Kabupaten Kepulauan Sangihe Provinsi
Sulawesi Utara Gambar 4, meliputi: Kecamatan Tahuna ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kecamatan Tabukan Utara Pulau Tinakareng, Bukide, Kawio, Matutuang, dan Pulau
Marore, Kecamatan Kendahe Pulau Kawaluso dan Pulau Lipang. Pertimbangannya adalah:
a lokasi ini memiliki karakteristik sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti yaitu suatu kawasan yang berbatasan dengan negara Filipina; b kawasan ini sering dijadikan transaksi
perdagangan illegal antara masyarakat Filipina Selatan terutama Pulau Saranggani, Pulau Balut, dan General Santos; c kawasan ini menjual beberapa komoditas hasil “selundupan” dari
Filipina ke Indonesia dan sebaliknya; dan d khusus di Kecamatan Tahuna adalah lokasi pemerintahan Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Wilayah penelitian ini kemudian mengalami pemekaran yaitu Pulau Marore, Matutuang, dan Pulau Kawio, yang sebelumnya berada di Kecamatan Tabukan Utara, berganti menjadi
Kabupaten Kepulauan Marore. Sedangkan wilayah penelitan yang lain masuk dalam Kecamatan Nusa Tabukan.
Gambar 4 Lokasi penelitian Kepulauan Sangihe
3.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian dibatasi pada beberapa analisis yang diduga akan mempunyai kaitan erat dengan tujuan penelitian, yaitu: 1 analisis struktur dan pertumbuhan ekonomi
Kabupaten Kepulauan Sangihe; 2 analisis komoditas unggulan; 3 analisis daya dukung perikanan tangkap; 4 enalisis ekonomi pengembangan perikanan tangkap; 5 rezim
pengelolaan sumber daya perikanan; 6 analisis kondisi dan perkembangan serta apresiasi masyarakat P2K perbatasan dan 7 analisis terjadinya perdagangan illegal.
Analisis struktur perekonomian dan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe menggunakan data Produk Domestik Regional Bruto PDRB atas dasar harga berlaku
ADHB dan atas dasar harga konstan ADHK. Analisis komoditas unggulan diniatkan pada
ruang lingkup komoditas yang memiliki keunggulan komparatif melalui analisis location quotient LQ dan memiliki keunggulan kompetitif melalui analisis shift share.
Analisis perikanan dilakukan untuk beberapa species tertentu terutama yang memiliki
nilai ekonomis tinggi sesuai sarana produksi, usaha penangkapan, prasarana, unit pengolahan, unit pemasaran dan unit pembinaan. Dalam struktur ekonomi perikanan hanya akan mengukur
harga output dan aspek peningkatan pendapatan nelayan. Analisis perdagangan illegal
mengambil ruang lingkup perbedaan harga ikan dan karakteristik penduduk yang melakukan kegiatan illegal disebabkan berbagai keterbatasan yang ada.
Selanjutnya dilakukan penelitian mengenai apresiasi masyarakat terhadap pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe.
3.4 Data dan Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang belum tersedia dan diperoleh dengan cara pengambilan langsung di
lapangan. Pengambilan data primer berupa struktur biaya dari usaha penangkapan antar fleet serta pola usaha perikanan. Data ini merupakan data cross section yang diperoleh melalui survei
dengan teknik purposive atau judgement sampling. Data struktur biaya dibagi dalam beberapa
w
j
c
j
3.1
s
3.2
kelas fleet yang kemudian dilakukan pembobotan untuk memperoleh rataan tertimbang weighted average, sebagai berikut:
C
n j
i
dimana bobot weighted didasarkan pada rasio landing antar fleet j dengan total landing atau
w
j
h
j
h
j
. Jumlah
sampel contoh yang diambil didasarkan pada penentuan formula
j
sebagaimana dijelaskan oleh Fauzi 2001, yaitu:
NZ
2
0,25
d
2
N
1
Z
2
0,25
dimana s adalah jumlah sampel yang diambil, N adalah jumlah populasi, Z adalah jumlah standar deviasi dari tabel statistik, dan d adalah tingkat ketelitian 5 atau 10.
Penelitian ini juga memanfaatkan data sekunder yang runtun waktu time series yang meliputi data landing produksi, input yang digunakan effort, harga per unit output harga
ikan per kg, indeks harga konsumen consumers price index, gross domestic regional product PDRB. Data lainnya juga diambil berupa komponen sosial, ekonomi, dan budaya yang
dikumpulkan dari berbagai instansi baik pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa Instansi yang terkait dalam pengumpulan data penelitian ini adalah: Departemen Kelautan dan
Perikanan, Badan Pusat Statistik BPS Kabuoaten Sangihe, dan Dinas Kelautan dan Perikanan di Provinsi dan Kabupaten, serta Pemerintah Kecamatan serta KelurahanDesa.
Metode pengumpulan data lainnya dilakukan dengan focus group discussion FGD yang merangkum pemikiran-pemikiran serta pilihan-pilihan kebijakan pengelolaan P2K perbatasan
secara bersama-sama dengan stakeholder dalam kelompok kecil yang terarah terutama untuk memilih kebijakan dan program yang telah dikaji sebelum melalui berbagai metode yang
digunakan. FGD dilakukan di Tahuna, dihadiri oleh Bupati Kepulauan Sangihe, Bappeda, dinasinstansi, Camat, LurahDesa, dan LSM.
Menurut Patton 2002 yang dikutip oleh Emzir 2010, terdapat tiga cara pengumpulan data dalam penelitian kualitatif, yaitu: wawancara, pengamatan, dan dokumen.
Wawancara adalah pertanyaan terbuka dan teliti hasil tanggapan mendalam tentang pengalaman, persepsi,
pendapat, perasaan, dan pengetahuan orang. Data ini terdiri kutipan yang sama dengan konteks yang cukup untuk diintepretasi.
Pengamatan merupakan deskripsi kerja lapangan kegiatan, perilaku, tindakan percakapan, interkasi interpersonal, organisasi atau proses masyarakat, atau
aspek lain dari pengalaman manusia yang diamati. Data ini terdiri dari catatan lapangan: deskripsi yang rinci, termasuk konteks dimana pengamatan dilakukan.
Dokumen adalah bahan dan dokumen tertulis lainnya dari memorandum organisasi atau catatan program, publikasi dan
laporan resmi, catatan harian pribadi, surat-surat dan tanggapan tertulis untuk survei terbuka. Data terdiri dari dokumen-dokumen yang diambil dengan cara mencatat dan mempertahankan
konteks. Pada umunya studi kualitatif tidak menggunakan satu jenis data saja tetapi
menggunakan berbagai variasi sumber data.
3.5 Metode Analisis Data
3.5.1 Analisis ekonomi basis
1 Analisis
location quotient LQ
Penelitian ini menggunakan nilai tambah bruto setiap sektor. Berdasarkan persamaan
yang dikembangkan oleh Bendavid 1991 dapat ditulis kembali persamaan location quotient LQ sebagai berikut:
3.3 dimana
LQ = Locatin Quotient subsektor di Kabupaten Kepulauan Sangihe;
= Nilai tambah bruto subsektor i di Kabupaten Kepulauan Sangihe rupiah; = PDRB di Kabupaten Kepulauan Sangihe rupiah;
= Nilai tambah bruto subsektor i di Provinsi Sulawesi Utara rupiah; = PDRB Provinsi Sulawesi Utara rupiah;
Kriteria pengukuran model location quotient LQ tersebut adalah: 1
Jika nilai LQ 1, berarti sektor tersebut di Kabupaten Kepulauan Sangihe merupakan sektor basis, yang memberikan pengertian bahwa sektor tersebut mampu melayani pasar
di dalam dan di luar Kabupaten Kepulauan Sangihe; 2
Jika nilai LQ = 1, berarti sektor tersebut hanya mampu melayani pasar di Kabupaten Kepulauan Sangihe saja atau belum mampu memasarkan hasil sektor tersebut ke daerah
lain; dan 3
Jika LQ 1, berarti sektor tersebut belum mampu melayani pasar di Kabupaten Kepulauan Sangihe sekaligus bukan merupakan sektor basis.
2 Faktor pengganda pada metode LQ
Dengan asumsi bahwa wilayah melakukan kegiatan ekspor pada nilai LQ 1, maka suatu kegiatan yang berdasarkan lapangan usaha yang melakukan ekspor dapat dihitung sebagai
berikut:
3.4
Dimana adalah nilai atau juml;ah produk yang dapat menghasilkan ekspor
3 Analisis
shift share
Dalam menganalisis perubahan perekonomian Kabupaten Kepulauan Sangihe yang dibandingkan dengan perekonomian Sulawesi Utara digunakan model analisis shift share.
Penggunaan data PDRB dengan harga konstan tahun 2000 adalah data PDRB tahun 2005 dan tahun 2009 baik untuk data Kabupaten Kepulauan Sangihe dan data untuk Sulawesi Utara.
Menurut Setiono 2010, dari data tersebut dapat dirumuskan model aljabar analisis shift share sebagai berikut:
3.5
Dimana
= differential shift Dengan:
∆E05-09i = Tingkat pertumbuhan PDRB sektor i di perekonomian Kabupaten Kepulauan
Sangihe tahun 2005 sampai tahun 2009. Ref09
= Jumlah PDRB di perekonomian Sulawesi Utara tahun 2009 Ref05
= Jumlah PDRB di perekonomian Sulawesi Utara tahun 2005 E09i
= Jumlah PDRB di sektor i perekonomian Sulawesi Utara tahun 2009 E05i
= Jumlah PDRB di sektor i perekonomian Sulawesi Utara tahun 2005 Lok09i
= Jumlah PDRB di sektor i perkonomian Kepulauan Sangihe tahun 2009 Lok05i
= Jumlah PDRB di sektor i perkonomian Kepulauan Sangihe tahun 2005
3.5.2 Evaluasi perkembangan perikanan tangkap
1 Data produksi perikanan
Untuk menganalisis komponen biologi dalam penelitian perikanan, digunakan data time series produksi dan effort perikanan di lokasi penelitian selama periode tertentu 20 tahun data
time series. Selanjutnya data yang tersedia masih bersifat agregat, maka dilakukan dekomposisi data untuk menentukan data produksi dan effort untuk jenis alat tertentu yang beroperasi di
wilayah penelitian. Dekomposisi dilakukan dengan memilih alat tangkap dominan beroperasi di wilayah penelitian dengan target spesies.
Untuk menghitung proporsi produksi terhadap alat tangkap digunakan formula:
h =
m
∏
t=1
h
it
h
1i
+ h
1m 1
n 1
di mana:i = 1,2,....., n. 3.6
h
m
h
ij
n 1
i 1
h
i
46
Dengan diketahuinya proporsi ini, maka akan diketahui data disagregasi produksi ikan terhadap total alat tangkap.
Proses dekomposisi untuk menentukan produksi ikan di suatu perairan dilakukan dengan perhitungan melalui persamaan berikut:
h =
ij
h
it 1
3.7
m
ij
= ∏
t=1
h
ij
∑
i n-1
3.8
Jadi hasil tangkapan spesies i oleh alat tangkap j pada periode t adalah sebagai berikut:
h
ijt
h
it 1
3.9
Sehingga total produksi perikanan yang akan dianalisis setelah dekomposisi adalah sebagai berikut:
hD
i
h
ijt i
j
3.10
Teknik ini dimodifikasi dari teknik yang sama yang telah dilakukan oleh Watson et al. 2001 dan telah digunakan dalam penelitian oleh Anna 2003.
Penjelasan dari keseluruhan proses persamaan di atas adalah sebagai berikut: jika dimisalkan bahwa catch dari spesies i oleh alat
tangkap j pada periode t sebagai h
ijt
adalah proporsional terhadap jumlah spesies i yang diproduksi secara total pada periode t. Untuk menentukan proporsi yang tepat, maka digunakan
rataan geometrik antara rasio dari hasil tangkapan dari spesies i sebagaimana diperlihatkan pada
persamaan 3.9 yang merupakan perjumlahan hasil tangkapan dari spesies i oleh seluruh alat tangkap j.
2 Standardisasi
effort
Alat tangkap yang digunakan di sekitar perairan Kepulauan Sangihe cukup beragam, sehingga diperlukan suatu pendekataan kesetaraan dalam mengukur tingkat upaya yang
dilakukan. Oleh karena itu dilakukan standardisasi tingkat upaya effort antar alat tangkap yang ada yang mengacu pada teknik standardisasi yang dikembangkan oleh King 1985 yang dikutip
oleh Anna 2003, yang menyebutkan bahwa effort dari alat tangkap yang distandardisasi E berbanding lurus dengan nilai fishing power
dikalikan dengan jumlah fishing days D,
sedangkan nilai fishing power didefinisikan sebagai perbandingan jumlah produksi per alat tangkap yang distandardisasi U dengan jumlah produksi per alat tangkap menjadi standar
U
std
, dengan formula sebagai berikut:
E
it
it
D
it
,
dimana
it
U
it
U
std
3.11
Dimana:
E
it
D
it
it
U
it
U
std
= Tingkat upaya effort dari alat tangkap i pada waktu t yang distandardisasi = Jumlah hari melaut fishing days dari alat tangkap i pada waktu t.
= Nilai kekuatan menangkap fishing power dari alat tangkap i pada waktu t. = Jumlah produksi per alat tangkap catch per unit effort, CPUE dari alat tangkap i
pada waktu t. = Jumlah produksi per alat tangkap catch per unit effort, CPUE dari alat tangkap
yang dijadikan sebagai basis standar. Untuk memperoleh nilai upaya, maka seluruh unit effort distandardisasi berdasarkan alat tangkap
yang dominan digunakan serta memiliki proporsi produksi yang relatif lebih tinggi dari alat tangkap lainnya.
3 Produktivitas hasil tangkapan
Produktivitas adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu. Produktivitas hasil
tangkapan dihitung dengan menggunakan perbandingan total catch terhadap total fishing effort. Rumus yang digunakan dalam menghitung nilai CPUE Guland 1983, adalah:
2 r
b
2 r
3.12
Di mana: = Hasil tangkapan per upaya penangkapan ikan pada tahun ke i tontrip
= Hasil tangkapan pada tahun ke i ton = Upayan penangkapan ikan pada tahun ke i trip
4 Pendugaan parameter biologi
Parameter biologi yang diduga dalam penelitian ini meliputi r adalah pertumbuhan intrinsik alami, q adalah koefisien kemampuan penangkapan dan K adalah daya dukung
lingkungan carrying capacity. Nilai r, q dan K pada dasarnya telah dikaji dalam Bab 2 melalui persamaan 2.22 yang dikembangkan oleh CYP 1992 dan ditulis kembali sebagai berikut:
lnU
t 1
2r
2 r
lnqK
2 r
2 r
lnU
t
q
2 r
E
t
E
t 1
3.13
Untuk memecahkan persamaan 3.13 tersebut dimulai dengan memisalkan 2r
2 r
ln
qK
a 3.14
1
3.15 q
2 r
b
2
3.16
Sehingga persamaan 3.13 dapat disederhanakan sebagai berikut: ln
U
t 1
a b
1
ln
U
t
b
2
E
t
E
t 1
3.17
Koefisien penduga a, b
1
dan b
2
dapat dihitung dengan menggunakan teknik ordinary least square OLS. Pemecahan OLS dilakukan dengan menggunakan perangkat komputer dengan
Logistik : H
t
qKE
t
E
qE
metode excel. Data yang digunakan adalah data runtun waktu time series selama kurang lebih 20 tahun. Selanjutnya parameter r, q dan K dapat diperoleh dari persamaan 3.14, 3.15 dan
persamaan 3.16. Jenis alat tangkap yang dianalisis mengikuti standardisasi jenis alat yang optimal digunakan. Oleh karenanya untuk memperoleh nilai unit upaya yang benar, seluruh unit
effort distandardisasi berdasarkan purse seine base.
5 Pendugaan produksi lestari
Terdapat dua bentuk model fungsional untuk menggambarkan stok biomas, yaitu bentuk Logistik dan bentuk Gompertz, sebagaimana persamaan dibawah ini:
Bentuk Logistik: dX
t
dt rX
t
1
X
t
K
H
t
3.18
Bentuk Gompertz: dX
t
dt rx lnK X
t
H
t
3.19
Dimana r adalah laju pertumbuhan intrinsik, K adalah daya dukung lingkungan. Bentuk fungsional Logistik adalah simetris, sementara bentuk Gompertz tidak. Diasumsikan bahwa laju
penangkapan linear terhadap biomas dan effort sebagaimana ditulis sebagai berikut:
H
t
qE
t
X
t
3.20
dimana q adalah koefisien kemampuan penangkapan dan E
t
adalah upaya penangkapan. Dengan mengasumsikan kondisi keseimbangan maka kurva tangkapan-upaya lestari yield-effort curve
dari kedua fungsi di atas dapat ditulis sebagai berikut:
q
2
K
2
r
Gompertz : H
t
qKE
t
exp
r
3.21
Estimasi parameter r, K dan q untuk persamaan yield-effort dari kedua model di atas Logistik dan Gompertz melibatkan teknik non-linear. Nilai parameter r, q dan K kemudian
disubsitusikan ke dalam persamaan 3.19 baik dalam bentuk Logistik maupun dalam bentuk Gompertz.
6 Pendugaan parameter degradasi
Tingkat degradasi untuk SDI dilakukan dengan pendataan
inputeffort dan hasil tangkapan dari ikan yang tertera dalam data series.
Dari kedua data tersebut dapat dihitung pendugaan stok dan panen lestari sustainable yield, kemudian dengan membandingkan kondisi
ekstraksi aktual dan sustainable dengan analisis trend dan contrast akan dapat diketahui laju degradasi. Dalam penelitian ini, fungsi degradasi sumber daya perikanan dihitung berdasarkan
formula Anna 2003 yang dimodifikasi dari Amman dan Duraiappah 2001, sebagai berikut:
t
1
1 e
h
st
h
at
3.22
Di mana
t
adalah koefisien atau tingkat degradasi pada periode t,
h
st
adalah produksi lestari pada
periode t, dan
h
at
adalah produksi aktual dalam periode t.
7 Analisis struktur biaya
Struktur biaya merupakan data komponen ekonomi yang sangat penting dalam penelitian ini yang menyangkut struktur biaya dari penggunaan alat tangkap pada waktu operasi
penangkapan dengan menggunakan data cross section. Data cross section diperoleh dari
responden untuk masing-masing alat tangkap. Biaya per unit standard effort dari grup ikan
masing-masing alat tangkap tersebut. Biaya per unit standardisasi effort dari grup ikan yang
digunakan dalam analisis disesuaikan dengan indeks harga konsumen ikan segar tahunan dari
C
et
i 1
i
t 1
CP
t
h
it
i 1
h h h
100
P
t
P
i
...P
j
m
t 1
CP
Badan Pusat Statistik untuk menghasilkan biaya series selama tahun pengamatan. Secara
matematis, biaya per unit effort standard dapat ditulis sebagai berikut:
1
n
TC
i
n E
n i j k
1
3.23
Di mana:
C
et
= biaya per unit standardized effort pada periode t.
TC
i
= biaya total untuk alat tangkap i untuk i = 1, 2, 3, ......m
E
i
= total standardized effort untuk alat tangkap i
h
it
= produksi alat tangkap i pada periode t.
h
i
h
j
.... h
m
= total produksi ikan yang dianalisis untuk seluruh alat tangkap N= jumlah alat tangkap
CPI
t
= indeks harga konsumen pada peride t.
8 Pendugaan fungsi permintaan
Parameter ekonomi yang diperlukan dalam penelitian ini juga menyangkut harga. Parameter harga output diperoleh dengan cara mengkonversi harga nominal per satuan ikan yang
ditangkap ex-vessel price ke dalam harga riil dengan cara menyesuaikannya dengan indeks harga konsumen.
Artinya, nilai yang diperoleh dari survai ataupun data sekunder harus dikonversi ke pengukuran riil, dengan cara menyesuaikan dengan Indeks Harga Konsumen
IHK, sehingga pengaruh inflasi dapat dieliminir. Jadi harga nominal pada periode t bisa
dikonversi dengan harga riil. Pendugaan parameter harga dilakukan dengan:
1
Di mana
P
t
= harga ikan pada periode t dan P
i
..... P
j
adalah harga jenis ikan i sampai j sangat tergantung dari beberapa jenis ikan, m dan n adalah tahun yang dijadikan basis perhitungan
rataan geometrik. Rataan ini kemudian digunakan untuk mengestimasi harga tahunan selama
pengamatan.
9 Pendugaan
discount rate
Untuk menentukan nilai discount rate pemanenan SDI dalam suatu penelitian digunakan real discount rate dengan pendekatan Ramsey.
Dalam pendekatan ini teknik yang digunakan adalah yang dikembangkan oleh Kula 1984 dan teknik ini telah dilakukan atau diadopsi oleh
beberapa peneliti. Kula 1984 mengembangkan teknik ini dengan menggunakan formula yang sama dengan formula yang dikembangkan oleh Ramsey.
Real discount rate r Kula didefinisikan sebagai:
r
g 3.25
Dimana: r = pure time preference konsumsi SDA, yang didasarkan kepada nominal discount
rate; = elastisitas pendapatan terhadap ekstraksi SDI; dan g = laju pertumbuhan ekonomi
karena ekstraksi SDA. Kemudian laju pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh ekstraksi
SDI dihitung dari laju konsumsi sumber daya perikanan yang didekati dengan PDRB perikanan, dengan perhitungan melalui formula:
ln C
t
a a
t
ln t
3.26
Di mana Ct adalah PDRB perikanan di lokasi penelitian pada tahun ke t, sehingga derivate persamaan di atas dapat diperoleh nilai elastisitas konsumsi sumber daya alam yaitu:
a
1
ln C
t
ln t 3.27
yang kemudian secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
C C
t g
3.28
t
Mengikuti teknik Brent yang dikutip oleh Anna 2003, dengan menggunakan standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumber daya alam sebesar 1, dan
menggunakan nilai discount rate saat ini dari Ramsey sebesar 15, maka diperoleh nilai real discount rate sebagai berikut:
r marketdiscount rate 1g
3.29
10 Pendugaan nilai depresiasi
Untuk menilai depresiasi SDI jenis ikan yang dianalisis digunakan metode present value. Artinya bahwa seluruh rente yang akan datang future value of rent yang diharapkan dihasilkan
dari SDI dihitung dengan nilai masa sekarang present value. Perhitungan depresiasi dalam
penelitian ini menggunakan dua nilai discount rate yang berbeda yaitu market discount rate 15 dan real discount rate dari persamaan 3.29.
Hasil estimasi biofisik dan ekonomi yang telah dilakukan dalam kajian sebelumnya digunakan untuk menghitung depresiasi SDI. Nilai rente yang dihitung adalah nilai selisih antara
penerimaan total total revenue dikurangi dengan total biaya total cost pemanfaatan SDI, yang dinotasikan sebagai berikut Fauzi dan Anna 2005:
3.30 Dimana
= Rente SDI
=
Tingkat upaya
= Biaya per unit effort
t =
Periode waktu Uh
=
Utilitas manfaat yang dihasilkan dari SDI
=
Tangkapan lestari
t t
V
3.31 54
Selanjutnya jika diasumsikan bahwa per input adalah konstan, maka present value dari rente perikanan pada periode tidak terbatas t=0 sampai tak terhingga adalah sebagai berikut:
Dimana adalah nilai discount rate, dan dalam studi ini dilakukan dua skenario
perhitungan depresiasi, yaitu dengan mengunakan dua nilai discount rate yang berbeda, yaitu social discount rate dan nominal market discount rate. Perubahan present value dari SDI antara
periode t – 1 dan t, menyebabkan nilai bersih perubahan dalam stok SDI
terdepresiasi dengan asumsi bahwa kurva permintaan bersifat elastis. Untuk perhitungan laju
depresiasi pada dasarnya sama dengan laju degradasi, hanya menggunakan parameter-parameter ekonomi, sebagai berikut:
3.32 Dimana
dan
11 Pendugaan pengelolaan tingkat maksimum secara ekonomi
Sumber daya perikanan merupakan aset kapital yang dalam pengelolaannya harus dikelola secara optimal juga memerlukan kapital.
Pada pendekatan kapital, biaya korbanan opportunity cost untuk mengelola SDI pada saat ini dihitung melalui rente ekonomi optimal
optimal rent yang seharusnya diperoleh dari SDI apabila dikelola secara optimal. Dalam
kondisi aktual, jarang sekali terjadi pemanfaatan pada effort yang optimal, padahal dengan melakukan pemanfaatan pada tingkat optimal inilah maka perikanan tangkap akan lestari.
Menurut Hartwick 1990, pengetahuan mengenai perbedaan antara tingkat tangkapan dan upaya aktual dan optimal sangat diperlukan bagi penentu kebijakan, untuk menyesuaikan kebijakan
tangkap agar dapat meminimalisasi opprotunity cost dalam bentuk ekonomi optimal yang lestari, yang hilang karena memanfaatkan SDI pada tingkat saat ini.
Pemanfaatan optimal dari SDI sepanjang waktu, pada dasarnya dapat diketahui dengan menggunakan teori kapital ekonomi sumber daya yang dikembangkan oleh Clark dan Munro
1975, dimana manfaat sumber daya perikanan sepanjang waktu adalah sebagai berikut:
3.33 Dengan kendala:
Kemudian dengan memberlakukan Pontryagin Maximum Principle dan mendefinisikan current value Hamiltonian sebagai:
H = x, h + Fx-hx,E
3..34 Dimana
adalah current value shadow price. Akan diperoleh Modified Golden Rule sebagai berikut:
F x
x, h x
x, h h
3.35
Dimana
F x
t
adalah pertumbuhan alami dari stok ikan,
x, h x adalah rente marjinal akibat perubahan biomass,
x, h h adalah rente terjadi akibat perubahan produksi.
Parameter biologi dan ekonomi ditentukan oleh besaran cost per unit effort c, p adalah harga ikan,
adalah discount rate dan q adalah koefisien penangkapan. F x F x adalah
produktivitas marjinal dari biomas yang merupakan turunan pertama dari Fx terhadap x. Persamaan ini menghasilkan tingkat biomas x yang optimal yang dapat digunakan untuk
menghitung tingkat tangkapan dan upaya yang optimal. Dengan menggunakan fungsi biologi
Gompertz dalam persamaan 3.21, diperoleh nilai optimal dari SDI melalui persamaan sebagai berikut:
r lnk x r
cr lnk x x pqx
c
0 3.36
Persamaaan di atas menghasilkan tingkat biomas atau x yang optimal sehingga dapat diketahui tingkat tangkapan dan upaya optimal. Sehingga dapat diketahui rente SDI yang merupakan hasil
dari perkalian antara harga produk ikan dengan tangkapan optimal dikurangi biaya dan tingkat upaya yang optimal atau:
3.37
12 Rezim pengelolaan sumber daya perikanan
Pendekatan untuk mengetahui keseimbangan dalam akses terbuka open access dan terkendali dilakukan dengan analitik optimasi statik yang pendekatannya diacu dalam dari Fauzi
2004, dengan menggunakan parameter biologi dan parameter ekonomi yang dipeproleh sebelumnya. Dengan asumsi dalam kondisi keseimbangan lestari di mana h = F x, maka rente
ekonomi lestari sustainable rent didefinisikan sebagai fungsi dari biomas dalam bentuk:
3.38
Dengan menggunakan model pertumbuhan logistik, rente ekonomi lestari secara eksplisit dapat ditulis menjadi:
3.39
Sehingga maksimisasi keuntungan static diperoleh dengan menurunkan persamaan di atas terhadap x, sehingga diperoleh:
3.40
Persamaan 3.39 di atas dapat dipecahkan untuk menentukan tingkat biomas yang optimal
yakni sebesar:
3.41 Dengan diketahui nilai optimal biomas tersebut, nilai ini dapat disubsitusikan kembali ke
fungsi produksi untuk memperoleh nilai tangkap optimal dan upaya optimal. Dengan substisusi aljabar sederhana diperoleh nilai tangkap optimal dan upaya optimal sebesar:
3.42
3.43
Nilai dan
inilah dalam formula tersebut di atas disebut sebagai tingkat upaya pada konidisi maximum economic yield MEY. Melalui teknik regresi sederhana atau ordinary least
square OLS, parameter-parameter biologi seperti r, q, dan K dapat diketahui dengan langsung sehingga dengan menggabungkannya dengan parameter ekonomi p dan c, nilai optimal biomas,
tangkap dan upaya serta rente ekonomi dapat diktehui. Untuk menghitung tingkat upaya yang optimal dalam kondisi akses terbuka dapat
dilakukan dengan menghitung rente ekonomi yang hilang dissipated di mana: 3.44
Sehingga nilai biomas optimal pada akses terbuka dapat ditentukan sebesar:
3.45
Dengan demikian tingkat produksi dan upaya optimal pada kondisi akses terbuka dapat dihitung melalui subsitusi aljabar, sebagai berikut:
3.46 3.47
3.5.3 Analisis data kualitatif
Analisis data kualitatif dilakukan apabila data empiris yang diperoleh adalah data kualitatif berupa kumpulan berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka serta tidak dapat
disusun dalam kategori-kategoristruktur klasifikasi. Data dalam bentuk kata-kata yang telah
dikumpulkan melalui FGD, disusun kembali dalam teks yang diperluas dan tidak menggunakan perhitungan matematis atau statistika sebagai alat bantu analisis Silalahi 2009.
Data kualitatif dianalisis dengan model reduksi data, data display, analisis etnografi, dan analisis isi. Analisis reduksi data merujuk pada proses pemilihan, pemokusan, penyederhaan,
abstraksi, dan pentransformasian “data mentah” yang terjadi dari lapangan tertulis. Model
display yang sering dilakukan adalah data kualitatif dibuat berupa teks naratif, yang dapat ditarik kesimpulan atau verifikasi kesimpulan.
Model etnografi adalah model untuk mengumpulkan catatan-catatan untuk menemukan pola budaya setempat dan biasanya dilanjutkan dengan analisis
taksonomi. Model analisis isi merupakan suau analisis mendalam yang dapat menggunakan
teknik kuantitatif maupun teknik kualitatif terhadap pesan-pesan dengan menggunakan metode ilmian yang tidak terbatas pada jenis variabel yang dapat diukur atau konteks tempat pesan-pesan
itu diciptakan atau disajikan. Obyek analisis isi kualitatif dapat berupa semua jenis komunikasi yang direkam dan tidak hanya menganalisis isi materi yang kelihatan tetapi juga menganalisis
bagian yang “tersembunyi”. Menurut Kripprndroff 1969 yang dikutip oleh Emzir 2010
analisis isi sebagai penggunaan metode yang replikabel dan valid untuk membuat inferensi- inferensi khusus dari teks pada pernyataan-pernyataan lain atau properti-properti dari sumbernya.
3.5.4 Analisis logit
Model logit logistic regression adalah model regresi yang digunakan untuk
menganalisis peubah terikat dengan kemungkinan di antara 0 dan 1. Model logit dalam penelitian ini menggunakan data individu yang agak mirip dengan model regresi OLS dengan data silang.
Model yang digunakan dalam analisis logit adalah:
3.48
Dimana p adalah probabilitas seseorang memilih nilai peubah terikat 1. Rumus untuk
menghitung p akan ditunjukkan dengan hasil hitungan, dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
3.49
Analisis perdagangan illegal di kawasan Filipina bagian selatan dan P2K perbatasan digunakan dengan analisis logit dengan menggunakan program Eviews Winarno 2009. Uji yang
digunakan untuk menguji parameter-parameter hasil analisis logit digunakan Likelihood Ratio LR dan uji Wald. Uji Likelihood Ratio LR digunakan untuk menguji pengaruh semua variabel
penjelas yang mengikuti distribusi Chi Square
2
. Hipotesa yang digunakan adalah : H
: β
1
= β
2
= …= β
k
= 0 H
1
: Paling tidak terdapat satu β
k
≠ 0 Uji statistik untuk Likelihood Ratio ini dihitung dengan menggunakan formula dibawah ini :
2
2 ln L
contrained
L
unconstrained
2
j
3.50 atau
2
2 ln L
constrained
ln L
unconstrained
2
j
3.51
Dimana L constrained adalah Likelihood dengan variabel independen tertentu, dan L unconstrained adalah Likelihood tanpa variabel independen tertentu. Karena uji statistik ini
mengikuti distribusi chi – square dimana derajat bebasnya adalah banyaknya parameter dalam model, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah H
diterima jika uji LR
2
Formula logit model :
3.52 Dimana
Pdd : Variabel ini dihitung sejak SD = 6 tahun, SMP = 9 tahun, dan SMA=12 tahun
Tangkel : Variabel dinyatakan dalam jumlah tanggungan keluarga saat dilakukan
wawancara dengan responden Umur
: Variabel ordinal yang sesuai dengan nilai pada saat dilakukan wawancara dan bila lebih enam bulan dihitung dalam waktu satu tahun
Awas : Variabel dummy binary lemahnya pengawasan di wilayah perbatasan, diberi nilai
1 jika pengawasan di wilayah perbatasan lemah, 0 jika baik Koop
: Variabel dummy binary kooperatif petugas Filipina, diberi nilai 1 jika petugas tersebut kooperatif dalam meloloskan barang iliegal, 0 jika tidak.
Ikan : Variabel disparitas harga ikan Tuna di Tahuna Indonesia dan di Gensan
Filipina dalam ribu rupiah Mklp
: Variabel disparitas harga minyak Kelapa di Tahuna Indonesia dan di Gensan Filipina dalam ribu rupiah
Pemecahan analisis logit ini dilakukan dengan menggunakan perangkat komputer dan tools yang digunakan adalah program EViews versi 0.7.
4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1 Keadaan Geografis dan Iklim
Kabupaten Kepulauan Sangihe merupakan bagian integral dari Provinsi Sulawesi Utara, dengan ibukota Tahuna, yang berjarak sekitar 142 mil laut dari Manado sebagai ibukota Provinsi
Sulawesi Utara. Wilayah ini berada di antara P. Sulawesi dengan P. Mindanao Republik
Filipina, dengan batas-batasnya sebagai berikut: 1 sebelah utara berbatasan dengan Republik Filipina; 2 sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Talaud; 3 sebelah selatan
berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Sitaro; dan 4 sebelah barat berbatasan dengan Laut Sulawesi.
Memperhatikan posisi Kabupaten Kepulauan Sangihe, maka Kabupaten ini dapat disebut sebagai “Daerah Perbatasan”, dan juga dijuluki sebagai Daerah Kepulauan, Daerah Tertinggal
dan Daerah Rawan Bencana Alam. Sebagai Kawasan Perbatasan, Kabupaten Kepulauan Sangihe memiliki peluang dan kekuatan yang dapat diandalkan untuk bersinergi ke dalam dinamika
globalisasi karena posisi daerah ini terletak di pinggiran Samudera Pasifik yang sangat
memungkinkan untuk melakukan terobosan-terobosan di bidang ekonomi dan perdagangan yang bersifat outwardlooking mengingat bagian utara terdapat beberapa negara yang memiliki tingkat
pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia seperti Jepang, Korea, Cina, Taiwan, dan Amerika Serikat dengan memanfaatkan posisi negara tetangga Filipina sebagai pelabuhan transit.
Kabupaten Kepulauan Sangihe pada awalnya menjadi satu kabupaten dengan Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud yang pada tahun 2002 dimekarkan menjadi dua kabupaten yaitu
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud melalui UU No. 52002, kemudian pada tahun 2007, Kabupaten Kepulauan Sangihe kembali mengalami pemekaran
dengan dibentuknya Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, Biaro atau disingkat menjadi Kabupaten Kepulauan Sitaro melalui UU No. 152007.
Iklim Kepulauan Sangihe dipengaruhi oleh angin Muson, musim kemarau pada bulan Juli sampai dengan bulan September, dan musim penghujan terjadi pada bulan September sampai
dengan Nopember. Tipe iklim ini menurut Schmidt dan Ferguson adalah tipe iklim A atau
beriklim basah. Suhu udara di suatu tempat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tempat tersebut terhadap permukaan laut dan jaraknya dari pantai. Secara umum, suhu rata-rata berkisar antara
27ºC sampai 28ºC selama periode tahun 2002 sampai 2007. Suhu rata-rata terendah terjadi pada bulan Desember 2003 yaitu 26.6ºC dan suhu tertinggi terjadi pada bulan Juni 2007 yaitu 28.5ºC.
Kabupaten Kepulauan Sangihe mempunyai kelembaban udara nisbi relatif tinggi dengan rata-rata per bulan pada tahun 2007 adalah 83.92. Kelembaban udara nisbi beragam tiap bulan
dari terendah sebesar 80 pada bulan Oktober sampai dengan tertinggi 87 persen pada bulan Januari dan Desember. Curah hujan tertinggi selama tahun 2007 terjadi pada bulan Januari yaitu
731 mm dengan hari hujan 26 hari, sedangkan curah hujan yang terendah terjadi pada bulan Mei sebesar 168 mm dengan 22 hari hujan.
4.2 Penduduk dan Ketenagakerjaan
Hasil sensus penduduk dan catatan registrasi penduduk, jumlah penduduk cenderung stabil setiap tahunnya. Tahun 1995, jumlah penduduk sebanyak 191 108 jiwa dan meningkat
menjadi 192 363 jiwa pada tahun 2004. Meskipun jumlah penduduk meningkat, tetapi laju
pertumbuhan penduduk LPP, cenderung menurun yaitu dari pertumbuhan 0.65 pada tahun
1990 menurun menjadi – 0.25 pada tahun 2000.
Dalam tahun 2007, jumlah penduduk Kabupaten Kepulauan Sangihe berjumlah 130 129 jiwa dengan tingkat kepadatan sebesar 177
jiwakm². Jumlah penduduk tersebut tersebar di beberapa kecamatan dan yang tertinggi di
Kecamatan Tabukan Utara sejumlah 20 986 orang 16.13, menyusul di Kecamatan Tahuna sebanyak 14 579 jiwa 11.20, dan di Kecamatan Tamako sebanyak 13 269 jiwa 10.20
Tabel 2.
Tabel 2 Penduduk, prosentase dan tingkat kepadatan di Kepulauan Sangihe Tahun 2009.
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Sangihe Permasalahan penduduk, khususnya dalam sektor ketenagakerjaan yang dialami saat ini,
adalah: 1 rendahnya tingkat pendidikan angkatan kerja yang bekerja pada sektor pertanian; 2 jumlah persebaran penduduk yang belum seimbang dengan daya dukung dan daya tampung
lingkungan sesuai dengan wilayah; 3 lebih dari 70 penduduk yang bekerja di sektor informal pada sektor pertanian; 4 tingginya angka kemiskinan penduduk yang secara proporsional;
meningkat yaitu pada tahun 2004 mencapai 40.56 atau naik 4.77
dari tahun 2003; 5 rendahnya tingkat elastisitas kesempatan kerja pertumbuhan angkatan kerja melebihi
pertumbuhan kesempatan kerja, yang memicu migrasi keluar bagi angkatan kerja yang berkualitas; 6 adopsi teknologi yang rendah di sektor pertanian; dan 7 kebijakan dan strategi
pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas dan pengerahan mobilitas penduduk yang sesuai dengan pertumbuhan ekonomi wilayah belum mendukung pembangunan berkelanjutan.
Kecamatan Penduduk
jiwa Persentase
Luas Km²
Kepadatan jiwakm²
Manganitu Selatan 10 266
7.87 73.99
139 Tatoareng
4 532 3.47
18.56 244
Tamako 13 481
10.33 69.42
194 Tabukan Selatan
6 057 4.64
68.76 88
Tabukan Selatan Tengah 2 787
2.14 46.84
60 Tabukan Selatan Tenggara
2 179 1.67
22.29 98
Tabukan Tengah 10 656
8.17 87.39
122 Manganitu
14 378 11.02
66.48 216
Tahuna 16 410
12.58 25.76
637 Tahuna Timur
12 808 9.82
25.15 509
Tahuna Barat 5 638
4.32 40.66
139 Tabukan Utara
20 153 15.45
121.18 177
Nusa Tabukan 3 005
2.30 14.73
204 Kep. Marore
1 414 1.08
12.94 109
Kendahe 6 685
5.12 50.28
133
Jumlah 130 449
100.00 736.98
177
Dalam aktivitas perdagangan dan kunjung mengunjungi antara masyarakat di P2K Perbatasan ini terlihat bahwa pada tahun 2006 jumlah pas pelintas batas yang berangkat ke
Filipina melalui Pos Marore untuk Warga Negara Indonesia WNI pada tahun 2006 sebanyak 361 orang penumpang dan tahun 2007 meningkat menjadi 483 orang penumpang, dengan jumlah
kapal 32 kapal dan 53 kapal, sedangkan dalam waktu yang bersamaan pada tahun 2006 WNI yang datang dari negara tetangga Filipina sebanyak 268 penumpang dan tahun 2007 sebanyak
531 penumpang dengan jumlah kapal masing-masing 26 kapal dan 57 kapal. Sedangkan Warga Negara Asing WNA yang datang pada tahun 2006 dan 2007 masing-masing 35 orang dan 16
orang sedangkan yang berangkat dari Indonesia dalam tahun yang sama sebanyak 27 orang dan 130 orang Tabel 3.
Tabel 3 Rekapitulasi kegiatan pos Marore selama tahun 2007
Sumber: Kantor Imigrasi Kelas II Tahuna
Bulan Warga Negara Indonesia WNI
Warga Negara Asing WNA Datang
Berangkat Datang
Berangkat Kapal
Crew Penpg
Kapal Crew
Penpg Kapal
Crew Penpg
Kapal Crew
Penpg Januari
3 5
32 2
2 6
2 6
Februari 1
4 7
2 4
13 2
6 2
1 3
Maret 1
4 10
1 2
28 3
12 4
5 12
1 April
9 30
43 11
25 44
3 4
3 8
1 Mei
5 12
52 6
19 45
4 22
1 6
26 53
Juni 1
12 38
2 13
46 8
27 6
17 26
Juli 6
18 70
4 10
44 6
22 1
4 10
6 Agustus
2 11
24 4
20 24
4 13
1 4
13 13
September 7
18 46
6 16
43 6
24 2
7 29
4 Oktober
8 19
63 2
15 55
13 4
10 8
29 11
Nopember 8
20 86
6 17
56 12
232 9
8 22
4 Desember
6 13
60 7
16 79
7 25
4 10
35 11
Thn 2007 57
166 531
53 159
483 70
235 35
62 204
130 Thn 2006
26 109
268 32
125 361
45 173
16 46
197 27
Dari Tabel 3 terlihat bahwa jumlah kapal yang datang atau masuk ke wilayah perbatasan di kawasan perbatasan Kepulauan Sangihe pada tahun 2006 sebanyak 71 kapal dan tahun 2007
sebanyak 127 kapal, demikian pula dalam tahun yang sama untuk berangkat ke Filipina bagian selatan masing-masing sebanyak 78 kapal dan 115 kapal. Angka ini menunjukkan relatif sama
antara jumlah kapal yang masuk ke wilayah NKRI dan juga keluar dari wilayah NKRI menuju Filipina di bagian selatan seperti General Santos, P. Balut dan P. Saranggani. Artinya dinamika
sosial ekonomi yang bergerak di kawasan perbatasan dalam berdagang, kunjungan keluarga dan wisata cenderung bergerak dalam keadaan seimbang antara jumlah kapal yang masuk dan keluar.
Kegiatan di pos perbatasan P. Marore apabila ditinjau dari sudut penumpang terlihat pada tahun 2007 jumlah penumpang yang datang sebanyak 566 orang dengan jumlah WNI sebanyak 531
orang dan WNI sebanyak 35 orang, sedangkan yang berangkan dalam tahun yang sama adalah 613 orang dengan WNI sebanyak 483 orang dan WNA sebanyak 130 orang.
4.3 Perkembangan Usaha Pertanian
Penggunaan lahan dibedakan menjadi lahan sawah, bukan sawah dan lahan non- pertanian. Penggunaan lahan bukan sawah terbagi menjadi ladang, perkebunan, hutan rakyat,
perumahan, bangunan, dan yang sementara lahan tidak dimanfaatkan. Pada tahun 2008 luas
lahan sawah 188 ha 0.19, dan lahan bukan sawah 79 668.3 ha 81.68, sedangkan lahan untuk non-pertanian seluas 17 685.8 ha 18.13 Tabel 4.
Luas panen padi sawah pada tahun 2007 seluas 36 ha dengan produksi 66 ton atau produktivitas mencapai 1.83 tonha. Apabila dibandingkan dengan luas areal untuk sawah yang
tersedia, maka luas panen hanya mencapai 19.15 dari total luas yang ada.
Wilayah yang memiliki lahan padi sawah adalah Manganitu Selatan 6 ha, Tamako 12 ha, Tabukan Selatan
Tenggara 7 ha dan Tabukan Utara 11 ha. Demikian pula untuk padi ladang seluas 29 ha
dengan produksi 29 ton.
Tabel 4 Luas panen, produksi, dan produktivitas tanaman pangan, buah-buahan dan sayur-
sayuran di Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2007
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Kepulauan Sangihe Pengusahaan perkebunan besar sampai dengan tahun 2007 belum ada di Kabupaten
Kepulauan Sangihe dan secara keseluruhan masih termasuk perkebunan rakyat. Tanaman kelapa, pala dan cengkih merupakan komoditas unggulan daerah ini, disamping beberapa tanaman
perkebunan yang hanya diusahakan oleh sebagian masyarakat seperti kakao, kopi dan vanili yang merupakan komoditas penunjang.
Luas panen dan produksi tanaman perkebunan tidak
mengalami perubahan yang cukup berarti karena selain lahan yang relatif sudah sempit untuk dikembangkan juga umur tanaman perkebunan seperti kelapa perlu dipikirkan peremajaannya.
Data tanaman perkebunan tertera pada Tabel 5. Tanaman kelapa yang memiliki luas lahan 19 351 ha ternyata belum menghasilkan seluas
1 413 ha 7.30, tidak menghasilkan seluas 2 192 ha 11.32, atau dengan kata lain luas lahan tanaman kelapa yang belum dan tidak menghasilkan pada tahun 2007 seluas 3 605 ha 18.62
dan yang menghasilkan 15 746 ha 81.38. Selanjutnya dalam luas areal tanaman kelapa
terdapat 2 593 490 pohon atau setiap lahan memiliki 134 pohon kelapa, dan yang belum menghasilkan sebanyak 187 848 pohon, menghasilkan 2 114 369 pohon, dan tidak menghasilkan
sebanyak 291 273 pohon.
Jenis Tanaman Luas Panen ha
Produksi ton Produktivtas
tonha
Padi sawah + ladang 65
207 3.18
Tanaman Jagung 464
1 158 2.50
Tanaman Ubi Kayu 1 107
8 240 7.44
Tanaman Ubi Jalar 956
3 003 3.14
Kacang tanah 265
288 1.09
Kacang hijau 16
16 1.00
Sayur-sayuran 1 234
4 371 3.54
Buah-buahan 1 879
19 224 10.24
Tabel 5 Luas areal, produksi, dan produktivitas tanaman perkebunan di Kabupaten
Kepulauan Sangihe tahun 2007
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Kepulauan Sangihe
.
Selanjutnya untuk tanaman cengkih, dari luas areal sekitar 3 713 ha ternyata luas areal yang belum menghasilkan sekitar 484 ha, areal yang menghasilkan 2 973 ha dan areal yang tidak
menghasilkan seluas 276 ha, sedangkan apabila ditinjau dari jumlah pohon yang ada dalam areal tersebut terlihat bahwa jumlah pohon secara keseluruhan untuk tanaman cengkih sekitar 580 656
pohon, dan yang belum menghasilkan sebanyak 72 594 pohon, menghasilkan sebanyak 464 880 pohon, dan tidak menghasilkan sebanyak 43 182 pohon. Demikian pula untuk tanaman pala dari
luas areal 2 827.11 ha, ternyata luas lahan yang belum menghasilkan seluas 197.10 ha, lahan yang menghasilkan 2 428.50 ha dan lahan tidak menghasilkan seluas 201.51 ha, dan apabila dilihat dari
jumlah pohon pala sebanyak 431 075 pohon, terlihat jumlah pohon yang belum menghasilkan sebanyak 30 046 pohon dan yang menghasilkan sebanyak 370 449 pohon serta tidak
menghasilkan sebanyak 30 580 pohon. Menurut fungsinya, hutan dapat dibagi menjadi hutan lindung, hutan produksi, hutan
konservasi hutan suaka dan hutan pelestarian alam. Data tahun 2007 menunjukkan bahwa luas hutan yang ada di Kabupaten Kepulauan Sangihe seluas 11 196 ha yang terdiri dari hutan lindung
sekitar 10 642 ha dan hutan bakau mangrove seluas 554 ha. Hutan lindung di Kabupaten ini tersebar di 8 Kecamatan yaitu: Kecamatan Manganitu Selatan 559 ha, Tamako 1 418 ha,
Jenis Tanaman Luas Areal ha
Produksi ton Produktivitas
tonha
Kelapa 19 320.00
15 964.47 0.82
Cengkih 3 713.00
2 745.50 0.73
Pala 2 827.09
1 556.20 0.55
Kopi 37.50
0.46 PM
Kakao 274.50
0.63 PM
Vanili 52.60
0.087 PM
Tabukan Selatan 1 163 ha, Tabukan Tengah 1 341 ha, Manganitu 826 ha, tahuna 1 519 ha, Tabukan Utara 1 643 ha, dan Kecamatan Kendahe seluar 2 173 ha. Selanjutnya untuk hutan
bakau terdapat di 5 Kecamatan yaitu: Kecamatan Manganitu Selatan 51 ha, Tabukan Selatan 189 ha, Tabukan Tengah 35 ha, Manganitu 250 ha, Tabukan Utara 20 ha dan Kecamatan
Kendahe 9 ha.
4.4 Perdagangan
Jumlah perusahaan perdagangan di Kabupaten Kepulauan Sangihe pada tahun 2006 sebanyak 119 unit meningkat menjadi 127 unit atau naik 6.72, namun masih didominasi oleh
perusahaan perdagangan kecil sebanyak 103 unit 81.1, menyusul perusahaan menengah sebanyak 23 unit 18.1 dan perusahaan perdagangan besar sebanyak satu unit 0.8. Lokasi
perusahaan tersebut lebih banyak di Kecamatan Tahuna Timur dan Kecamatan Tahuna yang merupakan lokasi ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Pembahasan yang sangat penting dalam masalah perdagangan adalah pemasukan bahan pokok beras, gula pasir, garam, ikan asin,
minyak goreng, minyak tanah, sabun cuci, tekstil, dan batik serta bahan penting tepung terigu, semen, besi beton, seng, paku besi, minyak premium, minyak solar, pupuk, pelumas, aspal, dan
tripleks. Data perkembangan bahan pokok disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6
Banyaknya pemasukan bahan pokok di Kabupaten Kepulauan Sangihe
Sumber: Dinas Perindag dan Penanaman Modal Kabupaten Kepulauan Sangihe
Jenis bahan pokok Pemasukan bahan pokok ton pada tahun
2005 2006
2007 2008
2009 Beras
5 200 5 500
6 000 5 375
5 696 Gula pasir
1 350 850
1 100 1 175
1 206 Garam
90 86
76 78
Ikan asin Minyak goreng
625 260
120 115
120 Minyak tanah
8 412 8 160
7 052 8 250
4 745 Sabun cuci
80 29
30 Tekstil
12 395
390 Batik
84 85
Jumlah 15 769
14 770 14 358
15 499 12 623
Jumlah pemasukan bahan pokok pada tahun 2005 sebanyak 15 769 ton menurun pada tahun 2006 menjadi 14 770 ton, menurun kembali pada tahun 2007 menjadi 14 358 ton, tahun
2008 menjadi 15 499 ton, dan tahun 2009 menurun kembali menjadi 12 623 ton. Berbeda dengan bahan pokok, ternyata pemasukan bahan penting di Kabupaten Kepulauan Sangihe semakin tahun
semakin meningkat dari 33 050 ton pada tahun 2006 meningkat menjadi 94 534.78 ton pada tahun 2007. Pada tahun 2007 pemasukan yang terbesar berasal dari bahan penting seng sebanyak
38 100 ton, menyusul besi beton 18 600 ton, dan semen sebanyak 16 000 ton. Selanjutnya diketahui bahwa produkbarang yang keluar dari Kabupaten Kepulauan
Sangihe adalah kopra, cengkih, pala dan fuli. Produk ikan belum tercatat dengan baik secara statistik jumlah dan nilai ekspor ke Filipina.
Jumlah produk yang keluar dari Kabupaten Kepulauan Sangihe pada tahun 2007 sebanyak 16 556.26 ton yang terdiri dari 14 400 ton kopra,
961.96 ton cengkih, 1 117.54 ton biji pala, dan 76.76 ton fulli pala. Sedangkan pada tahun 2006 jumlah produk yang keluar dari Kabupaten Kepulauan Sangihe sebanyak 13 894 ton yang terdiri
dari kopra sebanyak 12 400 ton, menyusul biji pala sebanyak 3 100 ton, cengkih sebanyak 252 ton dan fulli sebanyak 72 ton Tabel 7.
Tabel 7 Pengeluaran antar pulau hasil bumi di Kabupaten Kepulauan Sangihe
Sumber: Dinas Perindag dan Penanaman Modal Kabupaten Kepulauan Sangihe Jenis produk
2005 2006
2007 2008
2009 Kopra
14 400.00 12 400.00
14 400.00 2 175.00
18 163.00 Cengkih
477.80 252.00
961.96 773.00
254.09 Pala
3 100.25 1 170.00
1 117.54 2 175.16
2 287.46 Fulli
410.50 72.00
76.76 217.00
22.96 Jumlah
18 388.55 13 894.00
16 556.26 5 340.00
20 727.41
4.5 Transportasi dan Pariwisata
Kunjungan kapal penumpang dan barang adalah jenis pelayaran dalam negeri, pelayaran rakyat, perintis, luar negeri, dan khususnon pelayaran.
Jumlah penumpang pada tahun 2007 yang turun sebanyak 100 769 penumpang dan yang naik sebanyak 92 760 penumpang, sedangkan
jumlah barang yang dibongkar pada tahun yang sama adalah 85 862 ton sedangkan barang yang dimuat sebanyak 25 354 ton Tabel 8.
Tabel 8 Kunjungan kapal penumpang dan barang di Kabupaten Kepulauan Sangihe
Sumber : Dinas Perhubungan Kabupaten Kepulauan Sangihe Selain potensi sumber daya perairan, Kabupaten Kepulauan Sangihe miliki potensi wisata
baik potensi wisata bahari, wisata budaya, dan wisata alam. Potensi wisata ini tersebar di
beberapa Kacamatan seperti Kecamatan Tamako, Manganitu, Kendahe, Tahuna, Manganitu Selatan dan Kecamatan Tatoareng Tabel 9
Lokasi wisata cukup tersedia di Kabupaten Kepulauan Sangihe, namun belum tergali dengan baik karena sarana dan prasarana wisata yang relatif masih rendah, ditambah promosi
wisata yang belum memadai karena ketidaksediaan anggaran promosi. Dalam bidang pariwisata pemerintah daerah
belum mampu mendorong perekonomian daerah ini apabila tidak ada perlakuan khusus dari pemerintah pusat, sebab sarana dan prasarana relatif sangat mahal untuk
Tahun Jumlah Kapal
Penumpang org Barang ton
Turun Naik
Bongkar Muat
2003 2 597
99 529 103 910
304 487.65 117 038.66
2004 2 831
109 931 115 097
322 575.00 123 715.00
2005 1 643
55 644 80 583
84 896.00 37 493.00
2006 1 303
80 386 68 485
71 791.00 26 134.00
2007 PM
100 760 92 760
85 862.00 12 754.00
2008 PM
100 769 92 760
85 862.00 12 754.00
2009 1 020
109 128 104 005
96 161.00 16 532.00
investasi publik bagi pemerintah daerah dan masyarakat daerah. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain bagi Kepulauan Sangihe sebagai “Daerah Perbatasan” yang memiliki “Kawasan Perbatasan”
kecuali membuka jalur transportasi ke wilayah Pasifik Selatan kearah Filipina, Jepang, Korea, dan Taiwan . Artinya pembukaan kawasan khusus perdagangan bebas sangat diperlukan Tabel
10. Tabel 9 Lokasi wisata di Kabupaten Kepulauan Sangihe
Sumber : Dinas Pariwisata dan Seni Budaya Kabupaten Kepulauan Sangihe
Kecamatan Lokasi Wisata
Obyek
Tamako Palingan Kapehetang
Wisata bahari Tanjung Hesang
Wisata bahari Air terjun Ngurah Lawo
Wisata Alam Hutan lindung Sahandarumang
Wisata Alam P. Mahumu
Wisata Alam Pantai Enemosa
Wisata Bahari Rumah Komite Belanda dan Lonceng Gereja
Wisata Budaya Meriam Peninggalan Belanda
Wisata Budaya Tanjung Lelapide
Wisata AlamBahari Manganitu
Makam Pahlawan Raja Bataha Santiago Wisata Budaya
Sumber air jernih pegunungan desa Manganitu Wisata Alam
Gunung Mentahi Wisata Alam
Bekas istana Raja WMP Mokodompis Rumah Raja Wisata Budaya
Kendahe Masalihe patahan Masalihe
Wisata Bahari P. Matutuang
Wisata Bahari Air Terjun Sura
Wisata Alam Air Terjun Pempanikiang
Wisata Alam Tahuna
Tanjung Tahuna Wisata Bahari
Pantai Kolongan Wisata bahari
Gunung Awu Wisata Alam
Makam Pahlawan Malebur Wisata Budaya
Makam Raja Tatehe Wisata Budaya
Makam Raja-Raja Sangihe Wisata Budaya
Taman Teletubies Wisata Alam
Teluk Tahuna Wisata Alambahari
Manganitu Selatan
Air terjun Kadadima Wisata Alam
P. Bebalang Wisata Bahari
P. Mandaku Wisata Bahari
Tatoareng Gunung Api Bawah Laut Desa Mahangetang
Wisata Alam P. Para
Wisata Bahari P. Nenung dan Sanggaluhang
Wisata Bahari P. Bowondeke
Wisata Bahari P. Niu
Wisata Bahari P. Siha
Wisata Bahari P. Kalama
Wisata Bahari P. Kahakitang
Wisata Bahari
Tabel 10 Kunjungan wisatawan Nusantara dan Manca Negara di Kabupaten Kepulauan Sangihe
Sumber : Dinas Pariwisata dan Seni Budaya Kabupaten Kepulauan Sangihe
4.6 Profil Kawasan Perbatasan Kepulauan Sangihe
4.6.1 Wilayah administratif
Secara administratif Kawasan Perbatasan di bagian utara berbatasan dengan Kepulauan Mindanao Filipina Bagian Selatan, yang meliputi: Pulau Sarangani, Pulau Balut dan Pulau
Olanivan, di sebelah selatan berbatasan dengan Gugus Pulau Toade Pulau Bukide, meliputi: Pulau Buang, Pulau Bukide, Pulau Manipa, Pulau Balontohe, dan Pulau Ehise, di sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Talaud, dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Sulawesi. Sebelum diterapkannya UU No. 152007, tentang pembentukan Kabupaten Kepulauan
Sitaro Siau, Tagulandang, dan Biaro di Provinsi Sulawesi Utara yang efektif berlaku pada tanggal 2 Januari 2007, pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe telah menetapkan strategi
pembangunan dengan sistem perwilayahan kluster sebagai suatu pendekatan dalam percepatan pembangunan yaitu: 1 kluster Pulau Sangihe wilayah Pulau Sangihe Besar dan Pulau Bukide;
2 kluster Pulau Siau; 3 kluster Pulau Tagulandang; 4 kluster Pulau Biaro; 5 kluster Pulau Tatoareng meliputi Pulau Kalama, Pulau Kahakitang, Pulau Mahegetang, dan Pulau Para, dan
6 kluster Pulau Perbatasan, meliputi Pulau Kawio, Pulau Kawaluso, Pulau Lipang. Pulau
Wisatawan Kunjungan wisatawan pada tahun
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009
Nusantara 53 032
27 014 22 140
23 092 25 670
3 320 25 650
Manca Negara 1 293
185 231
193 248
351 274
- Eropa Barat 453
72 87
91 61
68 71
- Amerika 261
34 59
43 57
64 71
- Australia 84
5 24
13 11
20 24
- Asean 143
46 39
32 70
80 73
- Jepang 105
16 8
11 18
15 15
- Lainnya 247
12 14
3 31
20 20
Matutuang, Pulau Kemboleng dan Pulau Marore. Data wilayah P2K perbatasan Kabupaten
Kepulauan Sangihe disajikan dalam Tabel 11.
Tabel 11 Wilayah P2K perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe
Sumber: diolah dari Peta Dishidros 2003, dan data Kecamatan Tabukan Utara dan Kendahe Berdasarkan Tabel 11 dan perjanjian lintas batas terlihat bahwa terdapat 10 pulau kecil
yang berada di wilayah perbatasan, dan 6 enam pulau yang berpenghuni, sedangkan 4 empat pulau lainnya tidak berpenghuni. Gugus Pulau Toade saat ini masuk dalam wilayah Kecamatan
Nusa Tabukan. Oleh karena itu P2K perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe memiliki nilai strategis ditinjau dari geopolitik, potensi sumber daya ekonomi maritim, dan lingkungan hidup.
Nilai strategis P2K perbatasan juga ditentukan oleh adanya Alur Laut Kepulauan Indonesia ALKI, yang berada di antara Gugus Pulau Toade dengan Gugus Pulau Kawio dengan
kedalaman laut 1 240 m – 2 375 m, serta batas laut teritorial, ZEEI, dan Landas Kontinen. Selanjutnya kedekatan Gugus Pulau Kawio dan Gugus Pulau Sarangani menempatkan lalu lintas
barang dan orang yang intensif baik secara legal maupun illegal, sehingga memerlukan pengamanan yang intensif di wilayah perbatasan.
Batas maritim Indonesia dengan Filipina disajikan dalam Gambar 5.
Kecamatan Pulau
Keterangan
Tabukan Utara Liang
Tidak berpenghuni Dumarehe
Tidak berpenghuni Matutuang
Berpenghuni Ehise
Tidak berpenghuni Mamanu
Tidak berpenghuni Marore
Berpenghuni Kendahe
Kawio Berpenghuni
Kemboleng Berpenghuni
Kawaluso Berpenghuni
Lipang Berpenghuni
Gambar 5 Batas maritim wilayah Indonesia dengan Filipina
4.6.2 Kondisi geografis
Menurut Dishidros TNI-AL 2003 dan PP No.382002, P2K perbatasan Kepulauan Sangihe meliputi: Pulau Kawio, Pulau Marore, Pulau Matutuang, dan Pulau Kawaluso Tabel
12. Sebagai akibat geografis yang berbatasan dengan Filipina, maka masyarakat P2K perbatasan lebih sering melakukan transaksi perdagangan dengan masyarakat Pulau Balut, Pulau Saranggani
dan General Santos untuk memenuhi kebutuhan hidup, apalagi kondisi transportasi dari Tahuna ke P2K perbatasan dan sebaliknya sering tidak menentu.
Untuk berlayar ke Pulau Balut dan Pulau Saranggani Filipina hanya memerlukan waktu kurang lebih 3 jam dari Pulau Marore dan
6 jam dari Pulau Matutuang, serta 8 jam dari Pulau Kawaluso. Sebaliknya dari Marore ke
Tahuna membutuhkan waktu 9 jam, Pulau Matutuang ke Tahuna memerlukan waktu relatif sama dengan ke Filipina.
Sarana transportasi yang digunakan adalah transportasi laut dengan
menggunakan pamboat, fuso, dan jukung sangat tergantung gelombang laut. Pulau Marore
merupakan pulau kecil yang memiliki luas kurang lebih 214.49 Ha dan ditetapkan sebagai wilayah khusus di perbatasan antara Indonesia dengan Filipina yang dikenal sebagai wilayah
check point border crossing area BCA, sedangkan sebelah selatan Pulau Marore terdapat Pulau Matutuang dengan luas 0.24 km² atau 24 Ha, serta Pulau Kawaluso agak lebih luas dari pada
kedua pulau tersebut di atas yaitu 4.95 km² dan Pulau Kawio dengan luas 0.9 km². Tabel 12
Posisi geografis P2K perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe
Sumber: Dishidros TNI-AL 2003 dan PP No. 382002
4.6.3 Topografi
Bentuk lahan di P2K perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe pada umumnya terdiri dari perbukitan, rataan lumpur, dan terumbu paparan pelataran.
Komposisi lahan terdiri dari hutan lahan kering, belukar, semak, lahan terbuka, dan terumbu karang. Sebagian besar daerah
perbukitan digunakan sebagai areal perkebunan seperti tanaman kelapa, selebihnya tanaman liar, kecuali wilayahdaerah yang dihuni oleh penduduk. Karakteristik pantai sebagian besar berupa
tebing yang terjalcuram, yang dikelilingi terumbu karang yang kondisinya relatif baik.
Nama Pulau Posisi Geografis
Batas Negara
Perairan Lintang Utara
Bujur Timur
Pulau Kawio 4º39’51”-4º40’37”
125º25’38”-125º26’21” Filipina
Laut Sulawesi Pulau Marore
4º42’49”-4º44’42” 125º28’16”-125º28’48”
Filipina Laut Sulawesi
Pulau Matutuang 4º25’54”-4º26’23”
125º41’15”-125º41’54” Filipina
Laut Sulawesi Pulau Kawaluso
3º13’22”-3º14’15” 125º18’35”-125º19’57”
Filipina Laut Sulawesi
Kerusakan terumbu karang sebagian besar dipengaruhi oleh abrasi pantai disebabkan adanya angin, gelombang laut dan arus, dan didorong oleh kerusakan akibat jangkar serta perlakukan
manusia dalam cara penangkapan ikan.
4.6.4 Oseanografi
Kondisi pantai P2K perbatasan berupa pantai berbatu karang. Kondisi ini dapat ditemui di Pulau Matutuang, Pulau Kawio, Pulau Marore dan Pulau Kemboleng. Di sebagian wilayah
pantai dikelilingi terumbu karang dan dikelilingi substrat pasir di beberapa tempat. Pada saat
pasang, karang di sekitar pantai tidak terlihat karena tertutup air laut, tetapi pada air surut permukaan karang akan terlihat menghampar.
Di perairan P2K perbatasan dikenal dengan dua arah angin yang berpengaruh terhadap gelombang dan arus, yaitu angin utara dan angin selatan, terutama di Pulau Marore. Khusus di
Pulau Matutuang, angin berpengaruh walaupun tidak terlalu besar pengaruhnya seperti di Pulau Matore dan Pulau Kawio serta Pulau Kemboleng. Menurut informasi masyarakat setempat, pada
saat angin utara bertiup dari utara ke selatan, arah arus angin utara bertiup dari utara ke selatan, arah arus sebaliknya yaitu dari selatan menuju utara dan sebaliknya.
Pola pasang yang terjadi adalah tipe semi diumal, yaitu dalam satu hari terjadi dua kali pasang naik dan pasang turun, dengan fluktuasi pasang sekitar 2 meter dan mencapai puncaknya
pada saat bulan purnama. Gelombang laut pada saat angin utara lebih besar dibandingkan saat angin selatan
4.6.5 Iklim dan curah hujan
Keadaan cuaca di P2K perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe sering tidak menentu dan sering berubah-ubah. Pada saat musim angin barat dan utara kecepatan angin mencapai rata-
rata 40 miljam, laut bergelombang besar sehingga kapal-kapal di bawah 100 GT tidak dapat melintas di perairan ini.
P2K perbatasan ini beriklim tropis basah dengan dua pola angin, yaitu angin utara yang bertiup pada bulan Nopember sampai dengan bulan April, bersamaan dengan datangnya musim
kemarau, dan angin barat terjadi selama 4 bulan yaitu bulan Desember sampai dengan April dengan ketinggian ombak berkisar 2 – 5 meter. Keadaan iklim ini sangat berpengaruh terhadap
aktivitas nelayan dalam melaksanakan penangkapan ikan, sedangkan angin timur tidak banyak berpengaruh terhadap aktivitas nelayan. Berdasarkan karakteristik musim tersebut, maka musim
penangkapan yang efektif adalah musim kemarau dan musim pancaroba antara bulan Maret hingga bulan Oktober.
Keadaan cuaca tidak menetu dan sering berubah-ubah. Pada waktu musim angin barat dan utara kecepatan angin mencapai 5 kmjam.
Iklim di daerah ini dipengaruhi oleh angin muson. Pada bulan Juli sampai dengan September musim kemarau dan musim penghujan terjadi
pada bulan September sampai dengan November. Tipe iklim ini menurut Schmidt dan Ferguson adalah Tipe A iklim basah.
Secara umum suhu udara rata-rata per bulan pada tahun 2005 adalah 27.3°C, di mana suhu udara terendah adalah 26.9°C pada bulan Januari dan Desember,
sedangkan tertinggi 27.7°C pada bulan Oktober. Kelembaban nisbih daerah ini berkisar antara 81 persen sampai dengan 87 persen, dengan
curah hujan tertinggi pada tahun 2005 terjadi pada bukan Desember yaitu 382 mm, dengan hari hujan 28 hari, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu 94 mm dengan
jumlah hari hujan 15 hari. Keadaan angin pada musim penghujan lebih kencang bertiup dari barat dan barat laut dengan kecepatan 5 – 8 kmjam.
4.6.6 Aksesibilitas
P2K perbatasan dapat dicapai dengan transportasi laut, dan secara reguler dilayani oleh satu trayek dari dua trayek kapal perintis setiap minggu sekali yaitu KM. Daya Sakti dan KM
Surya, namun keduanya pada saat ini telah docking dan diganti oleh kapal perintis KM Tilongkabila. Sarana dan prasarana yang ada di Pulau Marore antara lain dermaga dengan
panjang 70 meter, lebar 8 meter, kedalaman air pasang 8 meter, air surut 6 meter dan daya rapat 3,000 dwt. Mobilitas penduduk selain tergantung pada kapal perintis, juga menggunakan perahu
nelayan tradisional yang disesuaikan dengan kondisi cuaca, seperti londe, pamo, pamboat dan perahu pelang. Londe adalah perahu kecil bercadik sema-sema yang berukuran sekitar 10 meter
dengan lebar 2 meter, dijalankan dengan menggunakan dayung dan layar. Umumnya setiap
keluarga memiliki jenis perahu ini. Perahu londe biasanya digunakan untuk memancing jarak dekat dan digunakan di sekitar pulau.
Perahu pelang adalah sejenis perahu londe, tetapi
ukurannya lebih besar, yakni sekitar 15 meter dan biasanya menggunakan motor tempel. Jenis
perahu ini digunakan untuk mobilitas penduduk antar pulau. Sedangkan perahu pamo merupakan perahu berbadan lebar dengan menggunakan mesinmotor penggerak di dalam.
Perahu ini biasanya digunakan untuk mengangkut barang dan orang karena daya tampung perahu ini lebih
besar dibandingkan dengan perahu pelang. Selanjutnya dalam perkembangan hubungan dengan Filipina penduduk setempat menggunakan pump boat yang bentuk menyerupai dengan pamo,
serta fuso yaitu pump boat dengan mesin mobil fuso.
4.7 Mengenal Profil Pulau-Pulau Perbatasan 4.7.1
Pulau Marore
Pulau Marore merupakan sebuah pulau kecil yang berada paling depan dari wilayah NKRI yang berbatasan langsung dengan negara Filipina. Letak pulau pada posisi geografisnya
seperti terlihat dalam Gambar 6. Perbukitan bergelombang dengan ketinggian antara nol dari
permukaan laut sampai dengan 110 meter dari permukaan laut. Daerah perbukitan merupakan
daerah perkebunan kelapa, cengkeh, mangga, jambu mede, rumpun bambu, dan lain sebagainya. Mayoritas penduduknya mendiami di bagian pantai sebelah barat daya dan minoritas di pantai
timur. Penduduk Pulau Marore pada tahun 2006 sebanyak 562 jiwa dengan 135 KK,
yang digolongkan pada kategori miskin, hal ini terlihat sekitar 50 atau 60 KK masih mendapatkan
bantuan tunjangan uang miskin. Mata pencaharian penduduk sebagai nelayan dan petani, dengan hasil perkebunan berupa kelapa yang diolah menjadi kopra dan dijual di Tahuna, sedangkan hasil
tangkapan ikan dijual melalui pedagang yang datang dari Filipina atau yang dibawa ke General Santos City, Pulau Mindanao, Filipina.
Penangkapan ikan hanya dilakukan pada musim tidak berombak dan jika ada pesanan dari Filipina. Jika tidak ada pesanan atau pembeli dari Filipina,
ikan hasil tangkapan dikonsumsi sendiri. Selain itu penduduk Pulau Marore melakukan
perniagaan dengan penduduk Marore yang tinggal di Filipina, dan barang dagangannya berupa beras, minuman keras, minuman ringan, alat rumah tangga dan kebutuhan lainnya, dengan
menggunakan mata uang peso sebagai alat transaksinya atau kadang-kadang dengan cara barter. Sarana dan prasarana yang ada di Pulau Marore berupa kantor Kepala Kampung, Kantor
Camat, kantor Border Crossing Filipina, kantor Syahbandar, Bea Cukai, Imigrasi, dan Pos
Angkatan Laut, Koramil, Kepolisian. Fasilitas lainnya adalah Gereja, Puskesmas, SD, SMP dan SMA. Untuk fasilitas listrik dari PLN hanya hidup selama 12 jam pada malam hari. Sedangkan
prasarana transportasi jalan adalah jalan kampung dengan lebar 3.5 meter dan jalan lainnya yang sering mengalami kerusakan akibat tergerus oleh arus ombak.
Pulau Marore memiliki lahan terumbu karang yang luas mencakup 30 dari luas pulau, dengan demikian pulau ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi tempat kawasan wisata
bahari khususnya wisata bawah laut. Terumbu karang yang indah tersebut sangat potensial dan menjanjikan apabila dikembangkan secara optimal. Keanekaragaman jenis terumbu karang dan
biota laut lainnya yang tinggi serta obyek dan daya tarik wisata yang beragam pantai pasir putih, obyek bawah laut memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk berkunjung ke pulau ini.
Selain keindahan terumbu karang, wilayah pesisir dan perairan P. Marore mempunyai potensi perikanan yang besar, terutama di ZEEI. Di wilayah perairan pulau ini dan ZEEI terdapat
ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi antara lain kerapu Ephinephelus spp.,, tuna Thunnus spp., cakalang Katsuwonus pelamis, layang teripang Holothruea spp, rumput laut
Euchema spp., lobster kakap Lutjanus kasmira, dan lain-lain. Keberadaan berbagai jenis ikan
tersebut menyebabkan banyak nelayan asing yang beroperasi di sekitar perairan pulau tersebut. Untuk mengantisipasi agar SDI tidak dieksploitasi oleh nelayan dari luar daerah dan nelayan
asing, maka diperlukan penambahan dan pengembangan unit penangkapan ikan yang ramah lingkungan, terutama untuk mengoptimalkan pemanfaatan SDI di perairan ZEEI.
4 42’49”-
125 28’16” - 12528’48”
Sumber : Ekspedisi Garis Depan Nusantara Foto, 2010. Gambar 6. Posisi Pulau Marore secara geografis
Nasib nelayan Pulau Marore cukup memprihatinkan disebabkan dalam setahun hanya bisa melaut selama empat bulan hingga lima bulan, yaitu pada bulan Mei, Juni, Juli, Nopember
dan bulan Desember. Pada bulan lainnya cuaca tidak mendukung yang diakibatkan oleh
pengaruh badai Filipina, yang sekurang-kurangnya terjadi dua kali badai dalam setahun. Namun demikian potensi laut sangat menjanjikan apabila dikembangkan dengan baik.
Nelayan Pulau Marore sangat ulung dalam menangkap ikan hiu cucut.
Dalam memburu ikan hiu mereka menggunakan rawai cucut, pancing ulur dan senjata panah.
Selain itu perahu yang digunakan dalam memburu ikan hiu adalah perahu pelang sehingga daerah jelajah hanya sampai dengan 15
mil laut. Persoalan yang mendasar bagi pengembangan potensi perikanan di Pulau Marore pada
khususnya dan P2K Perbatasan pada umumnya adalah: 1 ketiadaan es untuk pengawetan ikan apabila akan dibekukan dan dijual di General Santos;
2 pemasaran ikan yang menunggu pembeli dari Filipina; dan 3 masalah bahan bakar minyak BBM; serta 4 hilangnya pulau
akibat abrasi yang cukup tinggi. Krisis BBM biasanya mengakibatkan kenaikan harga BBM
yang cukup tinggi antara Rp. 10 000,- sampai dengan Rp. 15 000 per liter untuk bensin dan harga berkisar Rp. 7 000,- sampai Rp. 10 000,- per liter untuk minyak tanah.
4.7.2 Pulau Kawio
Pulau Kawio merupakan salah satu pulau terluar yang secara geografis terletak pada koordinat
4º39’51”-4º40’37” LU dan 125º25’38”-125º26’21” dengan batas sebelah utara berbatasan dengan negara Filipina, sebelah timur berbatasan dengan Samudera Pasifik, sebelah
selatan berbatasan dengan Pulau Kemboleng, dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Sulawesi. Jarak antara pulau Kawio dengan Manado sekitar 188.9 mil laut sedangkan untuk ke Davao,
kepulauan Mindanao Filipina sekitar 147.55 mil laut. Gambar 7 memperlihatkan posisi secara
geografis. Pulau Kawio mempunyai panorama yang indah dan alam bawah laut yang kaya akan
terumbu karang dan ikan, pantai berkarang, tebing dan berbatu, serta
hanya sedikit saja permukaan pantainya berupa pasir.
Di daerah pantai yang berbatu dan berkarang umumnya kondisi pantai landai. Medan datar di pulau ini terletak di sebelah selatan dan utara pulau, dan
relatif kecil dari total luasan pulau dan digunakan untuk pemukiman penduduk. Sungai di pulau
ini adalah sungai buatan yang hulunya berasal dari sebuah mata air.
4 39’51” -
125 25’38”-
Sumber: Ekspedisi Garis Depan Nusantara 2010 Gambar 7 Posisi Pulau Kawio Secara Geografis
Pulau Kawio terletak di sebelah utara katulistiwa, menyebabkan daerah ini mempunyai iklim equatorial, yang tidak memiliki suhu yang berbeda dengan observasi di beberapa daerah di
Kepulauan Sangihe. Persentase kelembaban yang tertinggi sekitar 89
dan yang terendah sekitar 82. Keadaan angin di daerah ini sangat dipengaruhi kehidupan masyarakat, dengan
posisi sebagai berikut: 1 angin barat bertiup antara bulan September sampai dengan Januari dengan kecepatan rata-rata 50 kmjam sampai dengan 80 kmjam.
Pada musim ini dikenal dengan ombaknya besar disertai dengan hujan lebat sehingga mempengaruhi lalu lintas pelayaran
dan sering mengakibatkan kecelakaan; 2 angin utara bertiup ke selatan antara bulan Februari sampai dengan Maret dengan kecepatan 30 kmjam sampai dengan 60 kmjam.
Kondisi ini menimbulkan ombak besar dengan curah hujan amat kurang, kadang-kadang angin bertiup terus
menerus selama satu sampai dua minggu, kemudian selama dua atau tiga hari keadaan laut tenang kembali, demikian terus menerus berganti sampai musim berikutnya tiba; 3 angin selatan yang
bertiup ke utara dengan kecepatan 20 sampai 40 kmjam dan bertiup pada bulan Juli sampai Agustus dengan keadaan laut berombak cukup besar; dan 4 angin timur bertiup ke arah barat
antara bulan April sampai dengan Juni dengan kecepatan 15 kmjam sampai dengan 25 kmjam. Kadang-kadang angin tidak ada sama sekali. Keadaan laut tenang, sehingga pada musim ini baik
sekali untuk pelayaran. Curah hujan tertinggi sebesar 591.2 mm dan terjadi pada bulan Februasi dan terendah
sebesar 127.9 mm dan terjadi pada bulan Mei. Sedangkan musim terbagi tiga musim yaitu
musim hujan September sampai Nopember, musim kemarau Juli sampai September dan musim pancaroba Februari sampai Juni. Jumlah penduduk P. Kawio sebanyak 392 jiwa dengan
jumlah laki-laki sebanyak 213 jiwa dan perempuan 179 jiwa, dengan jumlah 117 KK. Mata
pencaharian penduduk sebagai nelayanpetani sebesar 90 dan lain-lain sebanyak 10. Nelayan pulau ini sangat menggantungkan diri kepada alam, dan jika cuaca buruk para nelayan tersebut
memilih tidak melaut dan mengolah kopra.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe
Salah satu ukuran kuantitatif yang diperlukan untuk memberikan gambaran pembangunan ekonomi tentang keadaan pada masa lalu, masa kini, dan
sasaran-sasaran yang dicapai dalam masa mendatang adalah Produk Domestik Regional Bruto PDRB. PDRB merupakan salah satu
ukuran perkembangan atau kinerja ekonomi suatu daerah yang dapat dilihat pada PDRB atas dasar harga berlaku ADHB dan atas dasar harga konstan ADHK.
Khusus untuk PDRB ADHK digunakan data harga konstan tahun 2000 sebagai tahun dasar berdasarkan harga konstan
tahun 2000 karena dianggap kondisi harga pada saat itu relatif konstan.
5.1.1 Struktur ekonomi
Kinerja ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe selama tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 cukup menggembirakan hal ini dapat dilihat pada PDRB ADHB tahun 2005 mencapai Rp.
709 .62 miliar meningkat pada tahun 2006 sebesar Rp. 803.73 miliar, tahun 2007 sebesar Rp. 896.74 miliar tahun 2008 sebesar Rp. 1 040.34 miliar dan tahun 2009 mencapai Rp. 1 231.15
miliar sebagaimana disajikan dalam Lampiran 1. Lampiran 1 menggambarkan struktur ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe yang
biasanya dilihat dengan pendekatan makro sektoral, yaitu berdasarkan kontribusi sektor ekonomi terhadap pembentukan PDRB.
Secara makro sektoral, perekonomian Kabupaten Kepulauan Sangihe masih mengandalkan potensi sektor pertanian yang
didukung oleh subsektor tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Data selengkapnya disajikan
dalam Tabel 13.
Tabel 13 Struktur perekonomian PDRB ADHB Kabupaten Kepulauan Sangihe
Dalam
Sumber: Hasil olahan data dari BPS Kepulauan Sangihe 2010.
Lapangan Usaha 2005
2006 2007
2008 2009
Rata-rata 1. Pertanian
29.91 29.24
31.00 32.14
32.22 30.90
a. Tabama 2.84
3.04 3.74
3.31 3.03
3.19 b. Perkebunan
17.48 17.13
18.83 20.89
21.91 19.25
c. Peternakan 2.72
2.38 2.21
2.12 1.87
2.26 d. Kehutanan
0.10 0.10
0.09 0.10
0.09 0.10
e Perikanan 6.76
6.59 6.13
5.72 5.32
6.10
2. Pertambangan dan Penggalian 3.58
3.61 3.51
3.53 3.28
3.50
a. Pertambangan 0.00
0.00 0.00
0.00 0.00
0.00 b. Penggalian
3.58 3.61
3.51 3.53
3.28 3.50
3. Industri Pengolahan 7.17
7.16 6.70
6.24 5.80
6.62 4. Listrik, Gas dan Air
0.58 0.55
0.53 0.50
0.45 0.52
a. Listrik 0.47
0.45 0.43
0.41 0.37
0.42 b. Air Bersih
0.11 0.10
0.10 0.09
0.08 0.09
5. Bangunan 8.23
8.25 8.51
9.37 9.60
8.79 6. Perdagangan, Hotel Restoran
16.13 15.75
16.03 16.01
16.34 16.05
a. Perdagangan besar eceran 14.95
14.55 14.87
15.00 15.41
14.96 b. Hotel
0.26 0.25
0.24 0.24
0.22 0.24
c. Restoran 0.92
0.95 0.93
0.77 0.70
0.85
7. Pengangkutan Komunikasi 11.42
11.19 10.80
9.63 10.08
10.63
a. Angkutan 11.04
10.82 10.43
9.29 9.77
10.27 b. Komunikasi
0.38 0.37
0.37 0.34
0.32 0.36
8. Keuangan Jasa Perusahaan 5.96
6.58 6.47
7.20 7.08
6.66
a. Bank 3.98
4.75 4.72
5.58 5.60
4.93 b. Lembaga keuangan non bank
0.05 0.05
0.05 0.05
0.05 0.05
c. Sewa rumah 1.86
1.71 1.64
1.50 1.36
1.61 d. Jasa perusahaan
0.07 0.07
0.07 0.07
0.07 0.07
9 Jasa-jasa 17.03
17.67 16.44
15.40 15.15
16.34
a. Pemerintahan 14.09
14.92 13.72
12.69 12.50
13.59 b. Swasta
2.94 2.75
2.72 2.71
2.65 2.75
PDRB 100.00
100.00 100.00
100.00 100.00
100.00
Kontribusi sektor pertanian relatif cukup besar yaitu pada tahun 2005 sebesar 29.91, tahun 2006 sebesar 29.24, tahun 2007 sebesar 31, tahun 2008 sebesar 32.14
dan tahun 2009 sebesar 32.22, dengan rata-rata selama lima tahun kontribusinya sebesar 30.90.
Kontribusi sektor pertanian yang cukup tinggi terhadap PDRB-ADHB Kabupaten Kepulauan Sangihe dipengaruhi oleh suksektor perkebunan dan perikanan. Kontribusi subsektor perkebunan
terhadap PDRB-ADHB Kabupaten Kepulauan Sangihe pada tahun 2005 sebesar 17.48, tahun 2006 sebesar 17.13, tahun 2007 sebesar 18.83, tahun 2008 sebesar 20.89 , dan tahun 2009
sebesar 21.91, dengan rata-rata selama lima tahun sebesar 19.25. Selain sektor pertanian, terdapat beberapa sektor yang memberikan kontribusi yang
signifikan dalam pembentukan struktur ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe pada tahun 2009 meliputi: 1 sektor jasa-jasa sebesar 15.15; 2 perdagangan, hotel dan restoran sebesar
16.34; 3 pengangkutan dan komunikasi sebesar 10.08; 4 keuangan dan jasa perusahaan sebesar 7.08; dan 5 industri pengolahan sebesar 5.80.
Tabel 13 juga memberikan arah bahwa nilai tambah value added kegiatan ekonomi pada subsektor perdagangan disebabkan
oleh perkembangan subsektor tanaman perkebunan yaitu perdagangan hasil bumi berupa kopra, pala, fuli, dan cengkih. Oleh karena itu diduga pembentukan kontribusi subsektor perdagangan
besar sangat didominasi oleh produk tanaman perkebunan. Keterkaitan ini dapat dijelaskan
bahwa peningkatan produksi tanaman perkebunan akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan perdagangan karena input terbesar dalam perhitungan nilai tambah bruto subsektor
perdagangan di Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah output subsektor perkebunan. Sumbangan subsektor perkebunan terhadap subsektor perdagangan belum diikuti oleh
subsektor perikanan. Menurut informasi subsektor perdagangan telah melakukan ekspor
langsung ke Filipina dari Tahuna, terutama untuk komoditas kopra namun kontinuitasnya belum signifikan. Subsektor perikanan juga telah melakukan kegiatan “ekspor” yang dilakukan secara
tradisional yaitu para pedagang Filipina melakukan kegiatan perdagangan di P2K perbatasan
dengan pusat perdagangan ikan dengan pedagangnelayan Filipina berada di Pulau Matutuang
yang sebelumnya berada di Pulau Tinakareng, atau penjualannya dilakukan oleh nelayan P2K perbatasan ke General Santos Filipina, baik secara legal maupun illegal,
dan belum tercatat dalam statistik Kabupaten Kepulauan Sangihe.
5.1.2 Pertumbuhan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 ditunjukkan oleh PDRB atas dasar harga konstan ADHK pada harga konstan tahun 2000.
Nilai PDRB Kabupaten Kepulauan Sangihe ADHK pada tahun 2005 sebesar Rp. 570.79 miliar memiliki kecenderungan meningkat pada tahun 2009 menjadi Rp. 697.31 miliar, sebagaimana
disajikan dalam Lampiran 2. Nilai PDRB ADHK menunjukkan pertumbuhan ekonomi
Kabupaten Kepulauan Sangihe. Pada tahun 2005 pertumbuhan ekonomi mencapai 3.48, tahun 2006 mencapai 4.43, tahun 2007 sebesar 5.92, tahun 2008 sebesar 5.49, dan dan terus
meningkat pada tahun 2009 menjadi 5.80 dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi selama lima tahun sebesar 4.92. Data pertumbuhan ekonomi secara sektoral Kabupaten Kepulauan Sangihe
tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 disajikan dalam Tabel 14. Sektor pertanian memiliki nilai PDRB ADHK harga konstan tahun 2000, pada tahun
2005 senilai Rp. 183.95 miliar yang apabila dibandingkan dengan nilai PDRB ADHK dengan nilai tahun konstan yang sama untuk periode tahun 2004 diperoleh hasil pertumbuhan ekonomi
sektoral sebesar 3.38, tahun 2006 sebesar 3.68, tahun 2007 sebesar 0.45, dan tahun 2008 sebesar 2.14, serta tahun 2009 mencapai 3.04 dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sektor
pertanian selama lima tahun tersebut sebesar 2.54 . Pertumbuhan ekonomi sektor pertanian secara umum telah mengalami perlambatan,
bahkan pada tahun 2007 terdapat dua subsektor yang memiliki pertumbuhan negatif yaitu subsektor peternakan dengan pertumbuhan -0.51
dan subsektor kehutanan dengan pertumbuhan -1.60.
Perlambatan juga terjadi pada subsektor perkebunan pada tahun 2007, 2008 dan tahun 2009 dengan masing-masing pertumbuhannya sekitar 0.16, 0.05, dan 1.95.
Tabel 14 Pertumbuhan Ekonomi PDRB ADHK Kabupaten Kepulauan Sangihe
Dalam
Sumber: Hasil olahan data dari BPS Kepulauan Sangihe 2010.
Lapangan Usaha 2005
2006 2007
2008 2009
Rata-rata 1. Pertanian
3.38 3.68
0.45 2.14
3.04 2.54
a. Tabama 8.64
4.66 10.33
7.74 3.94
7.06 b. Perkebunan
1.70 6.34
0.16 0.06
1.96 2.04
c. Peternakan 2.24
0.10 -0.51
1.25 1.41
0.90 d. Kehutanan
2.87 4.61
-1.60 3.48
2.97 2.47
e Perikanan 6.51
0.02 2.13
5.96 6.46
4.22
2. Pertambangan dan Penggalian 6.76
7.96 6.95
9.02 7.29
7.60
a. Pertambangan 0.00
0.00 0.00
0.00 0.00
0.00 b. Penggalian
6.76 7.96
6.95 9.02
7.29 7.60
3. Industri Pengolahan 1.47
0.70 0.91
1.43 1.66
1.23 4. Listrik, Gas dan Air
4.80 6.82
8.33 3.63
3.91 5.50
a. Listrik 6.16
7.72 8.64
3.26 3.52
5.86 b. Air Bersih
2.85 1.85
6.49 6.87
6.19 4.85
5. Bangunan 7.83
8.98 7.48
9.08 9.47
8.57 6. Perdagangan, Hotel Restoran
2.99 4.91
5.82 7.73
7.93 5.88
a. Perdagangan besar eceran 3.06
4.86 5.98
7.82 8.03
5.95 b. Hotel
3.76 3.08
3.24 7.43
7.82 5.07
c. Restoran 1.65
0.89 3.76
6.27 6.12
3.74
7. Pengangkutan Komunikasi 4.42
5.86 7.56
8.77 8.55
7.03
a. Angkutan 4.24
5.68 7.42
8.56 8.38
6.86 b. Komunikasi
9.27 10.52
11.01 13.72
12.24 11.35
8. Keuangan Jasa Perusahaan 5.59
8.50 9.30
9.00 7.55
7.99
a. Bank 6.65
10.70 11.05
9.73 8.46
9.32 b. Lembaga keuangan non bank
4.41 5.80
7.87 8.45
8.52 7.01
c. Sewa rumah 2.85
3.01 4.70
6.92 4.83
4.46 d. Jasa perusahaan
9.40 6.84
5.28 8.54
6.57 7.33
9 Jasa-jasa 1.15
1.94 2.32
5.17 5.51
3.22
a. Pemerintahan 0.52
1.23 1.14
4.48 5.07
2.49 b. Swasta
4.12 5.21
7.54 8.04
7.26 6.43
PDRB 3.48
4.43 5.42
5.49 5.80
4.92
Pertumbuhan sektoral yang cenderung lebih baik adalah: 1 sektor pertambangan dan penggalian; 2 listrik, gas dan air; 3 bangunan; 4 perdagangan, hotel dan restoran; 5
pengangkutan dan komunikasi; 6 keuangan dan jasa-jasa perusahaan; dan 7 sektor jasa-jasa. Sedangkan sektor yang mengalami pertumbuhan sektoral yang rendah selain sektor pertanian
adalah sektor industri pengolahan. Sektor ini tumbuh pada tahun 2005 sebesar 1.47, tahun
2006 sebesar 0.70, tahun 2007 sebesar 0.91, tahun 2008 sebesar 1.43, dan tahun 2009 sebesar 1.66.
Sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh dengan kecenderungan yang meningkat. Pertumbuhan sektor ini pada tahun 2005 mencapai 4.80, tahun 2006 sebesar 6.82, tahun 2007
sebesar 6.95, tahun 2008 sebesar 9.02, dan tahun 2009 sebesar 7.93. Apabila dicermati secara mendalam terlihat bahwa kecenderungan pertumbuhan sektor perdagangan ini didukung
oleh sektor angkutan dan komunikasi serta subsektor perkebunan dan perikanan. Lalu lintas
barang dan jasa serta wisatawan baik domestik maupun manca negara, yang masuk ke dan keluar dari Kabupaten Kepulauan Sangihe merupakan inti pertumbuhan sektor perdagangan, hotel dan
restoran. Perusahaan perdagangan barang dan jasa di Kabupaten Kepulauan Sangihe pada tahun
2009 berjumlah 122 unit usaha, yang didominasi oleh perdagangan barang dan jasa berskala kecil sebanyak 100 unit usaha, berskala menengah 17 unit usaha, serta usaha perdagangan barang dan
jasa berskala besar hanya 5 unit usaha. Dari hasil pengamatan dan hasil FGD memmberikan kesan yang menarik untuk dikaji, yaitu bahwa: 1 kebutuhan sehari-hari seperti tomat, cabe, hasil
hortikultura lainnya sebagian besar didatangkan dari luar Kepulauan Sangihe yaitu dari Manado; 2 seluruh bahan pokok seperti beras, gula pasir, minyak tanah, sabun cuci, tekstil, dan batik
didatangkan dari luar Kepulauan Sangihe, kecuali minyak goreng crude coconut oil yang sebagian kecil di produksi di Sangihe dalam skala yang relatif kecil; 3 semua bahan penting
seperti tepung terigu, semen, tripleks dan lain-lain didatangkan dari luar Kepulauan ini; dan 4 pengeluaran antar pulau hasil bumi dan laut yang tercatat dalam data statistik hanyalah kopra,
cengkih, pala, dan fulli, sedangkan ikan sebagai produksi hasil tangkapan nelayan yang dipasarkan di luar Kabupaten Kepulauan Sangihe tidak tercatat dalam data statistik.
Informasi tersebut di atas menggambarkan permasalahan yang mendasar dalam perekonomian Kabupaten Kepulauan Sangihe, yaitu: 1 keterbatasan lahantanah untuk
pengembangan tanaman hortikultura; 2 SDM pertanian hortikultura relatif belum banyak tersedia walaupun secara relatif wilayah agronomi hortikultura dapat dikembangkan antara lain di
Desa Lenganeng; 3 walaupun tersedianya lahan pengembangan hortikultura tetapi apabila dikembangkan di Kepulauan Sangihe, harga jual akan lebih mahal jika dibandingkan dengan
komoditas yang sama didatangkan dari Manado; 4 budaya pertanian hortikultura belum dimiliki secara utuh oleh petani Kepulauan Sangihe jika dibandingkan dengan budaya perkebunan kelapa,
pala dan cengkih; dan 5 budaya “perdagangan impor” lebih kuat jika dibandingkan dengan etos kerja industri pertanian hortikultura.
Tingginya laju pertumbuhan sektor bangunan terkait erat dengan laju pertumbuhan sektor perdagangan dan subsektor jasa pemerintah.
Proses pembangunan sarana dan prasarana di Kabupaten Kepulauan Sangihe seperti pembuatan talud pencegah abrasi atau pemecah ombak,
pembuatan jalan di pantai, pembuatan jalan produksi dan lain-lain memerlukan semen, cat, dan besi serta seng. Selain itu laju pertumbuhan sektor bangunan juga memerlukan pasir dan batu,
sehingga penggalian pasir dan batu untuk bahan bangunan terus meningkat dan mendorong pesatnya laju pertumbuhan subsektor penggalian. Namun demikian tingginya laju pertumbuhan
subsektor penggalian tidak diikuti oleh perkembangan subsektor pertambangan. Pertambangan
emas di desa Lapango Kecamatan Manganitu Selatan sampai saat ini masih dalam proses eksplorasi
1
. Menurut Dinas Pertambangan dan Kehutanan 2009, proses eksplorasi juga
1
Menurut anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Sangihe Bapak Sem Junior Tadete, tingkat eksplorasi yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan perlu dievaluasi karena proses eksplorasi ini
cukup lama. Proses eksplorasi ini telah berumur lebih dari 15 tahun, jangan sampai menunggu hasil tambang emas habis dan perusahaan mengatakan tidak laik untuk dikembangkan serta menunggu
sampai terjadinya kerusakan lingkungan sebab sampel tanah yang diuji di luar Sangihe dikeluarkan dari Desa Lapango dalam jumlah yang cukup besar.
dilakukan untuk bahan tambang yang berada pada beberapa lokasi, seperti: 1 emas di Kecamatan Tabukan Selatan Tenggara; dan 2 pasir besi di Kecamatan Tabukan Utara, Kedahe,
Tabukan Selatan dan Kecamatan Tabukan Selatan Tengah.
5.2 Analisis SektorSubsektorKomoditas Unggulan Kabupaten Sangihe
5.2.1 Analisis
location quotient LQ
Model analisis sektorsubsektorkomoditas basis adalah location quotient LQ. LQ
adalah salah satu teknik untuk menghitung kapasitas ekspor suatu perekonomian wilayah dan juga untuk mengetahui derajat kemandirian sektorsubsektorkomoditas di perekonomian wilayah
tersebut. Dalam proses perhitungannya analisis LQ menggunakan perbandingan antara kondisi perekonomian suatu wilayah dengan perekonomian wilayah acuan yang melingkupi daerah yang
lebih besar. Dalam beberapa hal, model LQ merupakan pelengkap terhadap metode perhitungan yang lain yakni metode shift share. Perbedaannya adalah analisis LQ tidak mensyaratkan data
pada dua titik yang berbeda.
Penerapan model perhitungan analisis LQ untuk menghitung LQ dan faktor pengganda dari suatu ekonomi wilayah lokal.
Subyek yang dianalisis dalam penelitian ini adalah perekonomian Kabupaten Kepulauan Sangihe sedangkan wilayah acuannya adalah perekonomian
Provinsi Sulawesi Utara. Data yang digunakan adalah data PDRB ADHK Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Provinsi Sulawesi Utara untuk tahun 2005 sampai tahun 2009, sebagaimana
disajikan dalam Lampiran 2 dan Lampiran 3.
Dari data tersebut, subsektor pertambangan tanpa minyak dan gas tidak dihitung sebab unit usaha tersebut belum tercatat dalam data PDRB kabupaten Kepulauan Sangihe.
Nilai LQ masing-masing sektorsubsektorkomoditas dihitung dengan menggunakan persamaan 3.3.
Sebelum menggunakan persamaan 3.3 dilakukan perhitungan nilai dari nilai tambah
PDRB-ADHK Kabupaten Kepulauan Sangihe Lampiran 4, kemudian menghitung
perbandingan nilai tambah sektoral untuk Provinsi Sulawesi Utara dengan rumus sebagaimana disajikan dalam Lampiran 5.
Hasil lampiran tersebut dianalisis dengan
menggunakan persamaan 3.3 diperoleh nilai LQ sebagaimana disajikan dalam Tabel 15.
Tabel 15 Hasil perhitungan LQ menurut lapangan usaha
Dari hasil perhitungan tersebut terlihat bahwa terdapat empat sektor di Kabupaten Kepulauan Sangihe yang memiliki nilai LQ 1, dan lima sektor lainnya memiliki nilai LQ 1.
Sektor-sektor yang memiliki nilai LQ yang rendah adalah: pertambangan dan penggalian 0.645,
Lapangan Usaha 2005
2006 2007
2008 2009
Rata-rata 1. Pertanian
1.49019 1.51282
1.49780 1.51558
1.55961
1.51426
a. Tabama 0.50273
0.51019 0.57943
0.54577 0.57912
0.54345 b. Perkebunan
2.42193 2.45666
2.35535 2.52344
2.62420 2.47631
c. Peternakan 1.43570
1.41979 1.32210
1.28993 1.25159
1.34382
d. Kehutanan 0.31008
0.31885 0.31184
0.34934 0.36167
0.33036 e Perikanan
1.38456 1.40778
1.39171 1.43743
1.45952 1.41620
2. Pertambangan dan Penggalian 0.62968
0.63943 0.63522
0.64916 0.67295
0.64529 a. Pertambangan
0.00000 0.00000
0.00000 0.00000
0.00000 0.00000
b. Penggalian 0.87206
0.89034 0.88035
0.88842 0.92593
0.89142
3. Industri Pengolahan 0.81017
0.77718 0.74495
0.72966 0.70651
0.75370
4. Listrik, Gas dan Air 0.90973
0.92291 0.95565
0.86954 0.80167
0.89190 a. Listrik
0.99492 1.00334
1.03846 0.93971
0.84881 0.96505
b. Air Bersih 0.61569
0.62740 0.64660
0.60529 0.60892
0.62078
5. Bangunan 0.47189
0.49066 0.49503
0.50009 0.52595
0.49672
6. Perdagangan, Hotel Restoran 1.18527
1.17181 1.16108
1.14031 1.11703
1.15510
a. Perdagangan besar eceran 1.35145
1.35236 1.33159
1.32654 1.32070
1.33653
b. Hotel 0.20367
0.17621 0.17661
0.15899 0.13890
0.17088 c. Restoran
0.65236 0.63870
0.63979 0.63899
0.61890 0.63775
7. Pengangkutan Komunikasi
0.87865 0.88460
0.90677 0.91101
0.86238 0.88868
a. Angkutan 0.94561
0.95899 0.98205
0.99336 0.93926
0.96385 b. Komunikasi
0.31617 0.30902
0.32605 0.32092
0.31322 0.31708
8. Keuangan Jasa Perusahaan 0.95213
0.95126 0.99324
1.03408 1.05386
0.99691 a. Bank
1.35333 1.33357
1.42294 1.49516
1.55833
1.43267
b. Lembaga keuangan non bank 0.15116
0.15262 0.15456
0.15969 0.15308
0.15422 c. Sewa rumah
0.80907 0.80293
0.80402 0.82525
0.82156 0.81257
d. Jasa perusahaan 0.08715
0.08650 0.08534
0.08482 0.08311
0.08538
9 Jasa-jasa 1.00881
0.99995 1.00613
1.02934 1.03609
1.01606 a. Pemerintahan
1.16093 1.15378
1.16069 1.18732
1.19879
1.17230
b. Swasta 0.63044
0.62985 0.64831
0.67133 0.67591
0.65117
PDRB
1.00000 1.00000
1.00000 1.00000
1.00000
1.00000
sektor industri pengolahan 0.753, sektor listrik, gas dan air bersih 0.891, sektor bangunan 0.496, sektor pengangkutan dan komunikasi 0.888, dan sektor keuangan dan jasa perusahaan
0.996. Sektor-sektor yang memiliki nilai LQ 1, secara berturut-turut adalah: sektor pertanian
1.514, sektor perdagangan, hotel dan restoran 1.155, dan sektor sektor jasa-jasa 1.016. Selanjutnya subsektorkomoditas yang memiliki nilai LQ 1 secara berturut-turut adalah:
subsektor perkebunan 2.476, subsektor peternakan 1.343, subsektor perikanan 1.416, subsektor perdagangan besar dan eceran 1.336, subsektor bank 1.432 dan subsektor jasa
pemerintahan 1.016. Dari hasil identifikasi, maka sektor basis di Kabupaten Kepulauan Sangihe yang dilihat
dari LQ berdasarkan pendapatan adalah subsektor perkebunan, perikanan, peternakan, perdagangan, perbankan, dan subsektor jasa pemerintah.
Sektor basis ini menghasilkan barang dan jasa selain mampu memenuhi kebutuhan permintaan pasar di dalam wilayah Kabupaten
Kepulauan Sangihe juga dapat diekspor ke luar wilayah, baik melalui perdagangan antarpulau maupun perdagangan antarwilayah maupun perdagangan luar negeri.
Hal yang menarik untuk dikaji adalah bahwa subsektor perikanan memiliki nilai LQ 1.416 lebih kecil dari subsektor perkebunan yang memiliki nilai LQ
2.476, sedangkan dari sisi luas wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe memiliki lebih dari 95 wilayahnya adalah laut,
bahkan apabila ditambah dengan laut teritorial dan ZEE maka dapat dikatakan kekayaan sumber daya kelautan dan perikanan akan mampu menjadi pendorong perekonomian wilayah ini. Hasil
ini dapat dijelaskan bahwa secara statistik pengeluaran barang dan jasa dari subsektor perkebunan seperti kopra, pala, cengkih, dan fuli, tercatat di Dinas Perdagangan Kabupaten Kepulauan
Sangihe bahkan di Badan Pusat Statistik BPS Kepulauan Sangihe. Hal ini disebabkan wilayah daratan terluas yang memiliki luas lahan dan produksi subsektor perkebunan memiliki pelabuhan
Tahuna sebagai pelabuhan muat antarpulau atau antarwilayah.