Dr. Suzy Anna, MSi. Pertambangan dan Penggalian 0.62968

Peguji luar ujian tertutup : 1. Dr. Ir. Etty Riani

2. Dr. Suzy Anna, MSi.

Peguji luar ujian terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Laode M. Kamaludin, MEng.

2. Dr. Ir. Yuswandi A Temenggung, MSc

PRAKATA Jauh sebelum Belanda berlayar ke Nusantara, bangsa Spanyol sudah menjajah Filipina Selatan. Perang di Eropa dan persaingan kekuasaan Belanda dan Spanyol akhirnya mereda setelah kedua bangsa ini sepakat menandatangani Perjanjian Damai Munster tahun 1648. Lewat perjanjian ini, Spanyol mengakui Negara Persatuan Belanda menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, sekaligus menentukan batas wilayah jajahan di bagian utara Laut Sulawesi menjadi wilayah Spanyol berpusat di Manila, sedangkan di bagian selatan milik Belanda yang berpusat di Ternate. Pada tanggal 16 Agustus sampai 25 Desember 1677, Gubernur Maluku Robertus Padtbrugge melakukan perjalanan ke Sulawesi bagian utara dan mengembangkan istilah noorden ienlanden pulau-pulau lebih utara atau Nusa Utara Kepulauan Sangihe, Talaud dan Sitaro. Perjalanan ini juga memiliki kepentingan geopolitik Belanda karena di bagian utara Filipina adalah wilayah jajahan Spanyol, serta kepentingan ekonomi monopoli dagang rempah-rempah kompeni dengan komoditas utama adalah kopra, pala dan cengkeh, serta merubah kiblat ekonomi, pendidikan dan kekerabatan masyarakat Nusa Utara dari Ternate dan Filipina Selatan, dipandu ke daratan Sulawesi khususnya Manado dan ditasbihkan Nusa Utara sebagai landstreek van Manado perpanjangan daratan Manado, dengan demikian perdagangan yang dilakukan ke Filipina Selatan dikategorikan sebagai kegiatan illegal. Pola ini diakomodasi oleh pemerintah Indonesia dan Filipina setelah kedua negara memiliki kedaulatan negara karena kemerdekaan dan pernyataan “batas” kedua negara. Penelitian ini mencoba masuk ke urat nadi permasalahan Nusa Utara agar pengabaian Nusa Utara sebagai wilayah ekonomi dapat dihentikan. Akhirnya tiada kenyataan tanpa harapan, tiada keberhasilan tanpa kerja, dan tiada perencanaan tanpa rumusan dan informasi. Berbaur dengan masyarakat pulau kecil itulah informasi, dan keinginan hakiki yang harus disampaikan kepada pengambil kebijakan untuk menoleh ke utara Indonesia dalam hamparan pulau kecil terletak daerah harapan bernama Nusa Utara. Penelitian ini ingin melakukan keseimbangan paradigma border crossing agreement BCA sebagai poros paradigma keamanan kepada border trade agreement BTA sebagai pendekatan keamanan dan ekonomi melebur menjadi satu kesatuan. Semoga. Bogor, Nopember 2011 Achmad Nasir Biasane RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kampung Tidore, Kecamatan Tahuna, Kepulauan Sangihe pada tanggal 23 Maret 1955 dari pasangan Muhammad Biasane Almarhum dan Siti Aisyah Basiri Almarhumah. Penulis menimbah pendidikan dasar di Sekolah Dasar SD Yayasan Pendidikan Kristen Tahuna ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe, setelah tampat SD, penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTP juga di Tahuna, selanjutnya ke Sekolah Menengah Atas SMA di Telukbetung Bandarlampung, namun tidak selesai, dan melanjutkan kembali ke SMA Negeri Tahuna di Sangihe. Setelah lulus dari SMA Negeri I Tahuna Kabupaten Kepulauan Sangihe, penulis melanjutkan ke pendidikan tinggi pada tahun 1975 di Fakultas Pertanian Universitas Lampung Unila, dan lulus pada tahun 1982. Penulis melanjutkan program magister di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB, dan selanjutnya tahun 2004 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan program doktor S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Sekolah Pascasarjana IPB. Artikel yang berjudul Kebijakan Pengelolaan Pulau Kecil Perbatasan Berbasis Geopolitik, Daya Dukung Ekonomi dasn Lingkungan dimuat dalam Jurnal Sosio Ekonomika edisi Desember 2011 Vol 16 No 2. Artikel tersebut merupakan bagian dari Disertasi penulis. Penulis menikah dengan Dra Clara Tiwow, SH. MSi di Tahuna dan dikarunia dua orang putri yaitu Dewi Indira Biasane, SH. MSi dan Pratiwi Dwiastuti Biasane, S.Kom. Saat ini mengelola Pusat Pendidikan dan Pelatihan Graha Insan Cita, yang dibangun oleh Yayasan Bina Insan Cita. UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, karena perkenaan-Nya penelitian “Kebijakan Pengelolaan Pulau Pulau Kecil Perbatasan Berbasis Geopolitik, Daya Dukung Ekonomi dan Lingkungan Kasus: Pulau Pulau Kecil Perbatasan Kepulauan Sangihe” telah tersusun. Judul ini diminati, karena semasa kecil penulis sering “bermain” dengan nelayan Filipina khususnya nelayan berasal dari P. Balut, dan P. Saranggani karena penulis sendiri berasal dari Sangihe dan kedua orang tua berasal dari Kecamatan Tabukan Utara. Konon di P. Bukide dan P. Tinakareng tempat asal usul penulis kegiatan dagang pada 340 tahun silam marak dilakukan oleh penduduk setempat, tetapi saat ini marak dengan penyelundupan. Terumbu karang yang indah, gunung api bawah laut, pasir putih, pala, cengkeh, dan ikan, serta udang dan lobster, semuanya belum dapat dimanfaatkan sebagai potensi perbaikan hidup dan kehidupan masyarakat. Terbungkus dorongan tersebut, penelitian ini dilakukan dan menghasilkan buah pikiran yang hadir dalam bentuk disertasi, dengan harapan sumbangan yang “kecil” ini akan mampu menggugah para pengambil keputusan untuk memikirkan nasib masyarakat yang berada di ujung utara Sulawesi yang taat menjadi warga Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Berbagai upaya dilakukan untuk menghadirkan disertasi ini, dimulai dari memetakan masalah, menganalisis sampai menarik kesimpulan, tidak mungkin selesai tanpa bantuan pemikiran, sumbangan, dan dorongan orang lain, oleh karena itu, pada tempatnya penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih tak terhingga kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc., Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja., Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA., sebagai komisi pembimbing atas segala arahan dan bimbingan yang diberikan hingga selesainya disertasi ini. 2. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor IPB beserta staf, dan Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan PSL beserta staf atas segala perhatian dan fasilitas yang penulis terima selama mengikuti pendidikan pascasarjana. 3. Kanda Prof. Abdulkadir Muhammad, SH., beserta ayunda Siti Syamsiah, Soleman Biasane Taneko, SH.MA.Almarhum, Rizani Puspawidjaja, SH., Meita Djohan Oelangan, SH.MH, serta adinda Sugiarto SH., beserta Qomariah Biasane dan seluruh keluarga atas pengertian dan kesabaran serta dorongan yang diberikan dalam penyelesaian studi pascasarjana dan penyusunan disertasi. 4. Pengurus Yayasan Bina Insan Cita, terutama: Dr. Ir. Akbar Tandjung., Harun Kamil, SH., Gambar Anom., Dr Harry Azhar Aziz, MSc., Ir. Afni Ahmad., Prof. Dr. Ir Aida Vitayala., Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS., dan lain-lain yang telah memberikan dorongan dalam penyelesaian disertasi ini. 5. Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe Bapak Drs Winsulangi Salindeho, beserta jajaran Pemerintah Daerah mulai dari tingkat kabupaten sampai desa. Khususnya Kepala Kampung Wawu Lao Desa Marore P. Marore, dan pimpinan desa yang berada di P. Matutuang, P. Kawio., P. Lipang., dan P. Kawaluso, penulis sampaikan ucapan terima kasih atas semua informasi sehingga mempermudah penyusunan disertasi ini. 6. Khusus kepada istri yang tercinta Dra. Clara Tiwow, SH. M.Si., dan ananda Dewi Indira Biasane, SH.MSi, dan Pratiwi Dwiastuti Biasane, S. Kom., penulis sampaikan terimakasih atas iringan do’a dan dukungan moril yang diberikan selama penulis menjalani studi ini. Mudah-mudahan bantuan dan dorongan yang diberikan dari semua pihak beserta keluarga akan dapat memberikan makna bagi sumbangan pemikiran dalam pengelolaan pulau-pulau kecil perbatasan di Indonesia. Amien DAFTAR ISI Halaman Prakata x Daftar Isi xiv Daftar Tabel xvi Daftar Gambar xx Daftar Lampiran xxi 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang

1 1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah 8 1.3 1.4 1.5 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Kerangka Pendekatan Masalah Kebaruan Penelitian 10 11 13 2 TINJAUAN PUSTAKA 15 2.1 Pulau Pulau Kecil P2K Perbatasan 15 2.2 Geopolitik dan Geostrategi 16

2.3 Pengelolaan Kawasan Perbatasan

19 2.4 Daya Dukung dalam Pengelolaan P2K Perbatasan 22 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 Penilaian Depresiasi Sumber Daya Ikan Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Optimal Model Bio-Ekonomi Sumber Daya Perikanan Perkembangan Wilayah dan Model Ekonomi Basis Model Analisis Regresi dengan Peubah Katagorik 24 25 28 30 34 3 METODOLOGI PENELITIAN 36 3.1 3.2 3.3 Pemetaan Proses Penelitian Wilayah Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 36 39 41 3.4 Data dan Metode Pengumpulan Data 41

3.5 Metode Analisis Data

43 3.5.1 Analisis ekonomi basis 3.5.2 Evaluasi perkembangan perikanan tangkap 3.5.3 Analisis data kualitatif 3.5.4 Analisis logit 43 45 58 59 4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 61

4.1 Keadaan Geografis dan Iklim

61 4.2 Penduduk dan Ketenagakerjaan 62

4.3 Perkembangan Usaha Pertanian

65 4.4 Perdagangan 68

4.5 Transportasi dan Pariwisata

70 4.6 4.7 Profil Kawasan Perbatasan Kepulauan Sangihe Mengenal Profil Pulau-Pulau Perbatasan 72 79 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 84

5.1 Kondisi Ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe

84 5.1.1 Struktur ekonomi PDRB-ADHB 84 5.1.2 Pertumbuhan ekonomi PDRB-ADHK 87 5.2 Analisis Sektor Unggulan Kepulauan Sangihe 91 5.2.1 5.2.2 Analisis location quotient LQ Perhitungan factor pengganda 91 94 5.2.3 Analisis shift share 96 5.2.4 Subsektorkomoditas unggulan 105

5.3 Analisis Daya Dukung Perikanan Tangkap

106 5.3.1 Data keragaan perikanan tangkap 106 5.3.2 5.3.3 5.3.4 5.3.5 5.3.6 Standardisasi effort Produktivitas hasil tangkapan Estimasi parameter biologi Pendugaan produksi lestari Degradasi sumber daya perikanan 111 115 118 120 127

5.4 Analisis Ekonomi Pengembangan Perikanan Tangkap

128 5.4.1 Estimasi parameter ekonomi 128 5.4.2. Depresiasi sumber daya perikanan 131 5.4.3 Pengelolaan sumber daya perikanan yang optimal 136 5.5 5.6 5.7 5.8 Rezim Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Kondisi Perbatasan Kepulauan Sangihe Analisis Perdagangan Illegal Aspirasi Masyarakat P2K Perbatasan Kepulauan Sangihe 144 148 169 173

5.9 Implikasi Kebijakan

182 6 KESIMPULAN DAN SARAN 186

6.1 Simpulan

186 6.2 Saran-saran 189 DAFTAR PUSTAKA 190 LAMPIRAN-LAMPIRAN 199 DAFTAR TABEL Halaman 1 Nisbah luas laut dan daratan Kepulauan Nusa Utara 3 2 Penduduk, persentase, dan tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten 63 Kepulauan Sangihe Tahun 2009 3 Rekapitulasi kegiatan Pos Marore selama Tahun 2007 64 4 Luas panen, produksi dan produktivitas tanaman pangan, buah-buahan dan sayuran di Kabupaten Kepulauan Sangihe 5 Luas areal, produksi dan produktivitas tanaman perkebunan di Kabupaten 66 67 Kepulauan Sangihe Tahun 2007 6 Banyaknya pemasukan bahan penting di Kabupaten Kepulauan Sangihe 68 7 Pengeluaran antar pulau hasil bumi di Kabupaten Kepulauan Sangihe 69 8 Kunjungan kapal penumpang dan barang di Kabupaten Kepulauan Sangihe 70 9 Lokasi wisata di Kabupaten Kepulauan Sangihe 71 10 Kunjungan wisatawan nusantara dan manca negara di Kabupaten Kepulauan 72 Sangihe 11 Wilayah P2K Perbatasan Kepulauan Sangihe 73 12 Posisi geografis P2K Perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe 75 13 Struktur perekonomian Kabupaten Kepulauan Sangihe 85 14 Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe 88 15 Hasil analisis LQ kegiatan ekonomi di Kabupaten Kepulauan Sangihe 92 16 17 18 19 Hasil perhitungan ekspor ke luar wilayah LQ-1LQEil untuk Kabupaten Kepulauan Sangihe Nilai PDRB ADHK tahun 2005 dan tahun 2009 untuk Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Provinsi Sulawesi Utara yang digunakan dalam perhitungan shift share Hasil shift share kegiatan ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe Analisis sensitivitas dan skenario pertumbuhan PDRB Kepulauan Sangihe 2013 95 97 98 104 20 Produksi aktual jenis ikan yang dianalisis 108 21 22 23 24 25 26 Produksi ikan pelagis kecil hasil disagregasi Produksi ikan pelagis besar hasil disagregasi Effort standar dan total effort alat tangkap dari jenis ikan pelagis kecil Effort standar dan total effort alat tangkap dari jenis ikan pelagis besar Produktivitas hasil tangkapan ikan pelagis kecil Produktivitas hasil tangkapan ikan pelagis besar 110 111 113 114 115 117 27 Nilai penduga yang digunakan untuk menduga parameter biologi 119 28 Parameter biologi jenis ikan yang dianalisis dalam penelitian 119 29 Fungsi produksi menurut fungsi Logistik dan Gompertz 120 30 31 Effort, produksi aktual dan produksi lestari ikan pelagis kecil Effort, produksi aktual dan produksi lestari ikan pelagis besar 121 123 32 Biaya total penangkapan ikan pelagis kecil menurut alat tangkap 129 33 Harga satuan ikan dan biaya Rptrip dalam penangkapan ikan yang dianalisis 34 Perubahan rente ekonomi depresiasi sumber daya ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan Sangihe 35 Perubahan rente ekonomi depresiasi sumber daya ikan pelagis besar di perairan Kepulauan Sangihe 130 132 135 36 37 38 39 40 41 Optimal rent dan present value pengelolaan optimal ikan pelagis kecil Optimal rent dan present value pengelolaan optimal ikan pelagis besar Persentase perbedaan effort dan rent dalam pengelolaan ikan pelagis kecil secara optimal dan lestari Persentase perbedaan effort dan rent dalam pengelolaan ikan pelagis besar secara optimal dan lestari Perbandingan rezim pengelolaan MSY, MEY dan open access dengan kondisi aktual ikan pelagis kecil Perbandingan rezim pengelolaan MSY, MEY dan open access dengan kondisi aktual ikan pelagis kecil 140 141 142 143 146 148 42 43 44 45 46 47 Jumlah perjanjian danatau kesepakatan, jumlah yang diratifikasi dan tidak diratifikasi perjanjian danatau kesepakatan antara Indonesia dan Filipina Daftar kasus pidana perijinan di wilayah Lantamal VI januari – Juli 2004 Output analisis logit Persepsi responden terhadap geopolitik dan hankam dalam pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe Persepsi responden terhadap daya dukung ekonomi dalam pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe Persepsi responden terhadap daya dukung lingkungan dalam pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe 153 158 169 175 179 181 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 Pendekatan masalah penelitian kebijakan pengelolaan P2K perbatasan Diagram konsep dari model perhitungan shift share 12 33 3 Pemetaan proses penelitian kebijakan pengelolaan P2K Perbatasan 37 4 Lokasi penelitian Kepulauan Sangihe 40 5 Batas maritim wilayah Indonesia dengan Filipina 74 6 Pulau Marore pada posisi geografis 80 7 8 Pulau Kawio pada posisi geografis Grafik perkembangan produktivitas ikan pelagis 82 118 9 Grafik produksi aktual dan lestari ikan pelagis kecil 122 10 11 12 Grafik produksi aktual dan lestari ikan pelagis besar Sustainable yields dan produksi aktual ikan pelagis kecil menurut fungsi Gompertz Sustainable yields dan produksi aktual ikan pelagis besar menurut fungsi Gompertz 124 125 125 13 Grafik degradasi ikan pelagis kecil dan ikan pelagis besar 127 14 Present value, rente, dan depresiasi sumber daya ikan pelagis kecil 134 15 Present value, rente dan depresiasi sumber daya ikan pelagis besar 136 16 Perbandingan produksi aktual, lestari dan produksi optimal ikan pelagis kecil pada market discount rate 15 dan real discount rate 4.94 17 Perbandingan produksi aktual, lestari dan produksi optimal ikan pelagis besar 139 139 pada market discount rate 15 dan real discount rate 4.94 18 Rezim pengelolaan biomass perikanan pelagis kecil 144 19 Rezim pengelolaan hasil tangkapan, effort dan rente ekonomi ikan pelagis kecil 145 20 Rezim pengelolaan biomass perikanan pelagis besar 146 21 22 Rezim pengelolaan hasil tangkapan, effort dan rente ekonomi ikan pelagis besar Sulawesi Utara sebagai hubungan Kawasan Timur Indonesia 147 177 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 PDRB Kebupaten Kepulauan Sangihe atas dasar harga berlaku ADHB menurut lapangan usaha PDRB Kebupaten Kepulauan Sangihe atas dasar harga konstan ADHK menurut lapangan usaha PDRB Provinsi Sulawesi Utara atas dasar harga konstan ADHK menurut lapangan usaha 200 201 202 4 Perhitungan nilai sektor lokal dibagi dengan jumlah PDRB lokal Kabupaten Kepulauan Sangihe EilEl 5 Perhitungan nilai sektor regional Sulawesi Utara dengan jumlah PDRB 203 204 regional Provinsi Sulawesi Utara EirEr 6 Hasil perhitungan nilai LQ-1LQ untuk Kepulauan Sangihe 205 7 8 Perhitungan CPUE dan effort standar alat tangkap dari jenis ikan pelagis kecil Perhitungan CPUE dan effort standar alat tangkap dari jenis ikan pelagis besar 206 207 9 Perhitungan untuk menentukan koefisien penduga dengan menggunakan microsoft excel kelompok ikan pelagis kecil 10 Perhitungan untuk menentukan koefisien penduga dengan menggunakan 208 209 microsoft excel kelompok ikan pelagis besar 11 Perhitungan nilai r, q, dan K ikan pelagis kecil 210 12 Perhitungan nilai r, q, dan K ikan pelagis besar 210 13 Maple analitik fungsi produksi ikan pelagis kecil 211 14 Maple analitik fungsi produksi ikan pelagis besar 212 15 Proses perhitungan produksi lestari ikan pelagis kecil 213 16 Proses perhitungan produksi lestari ikan pelagis besar 214 17 Perhitungan persentase degradasi dalam penangkapan ikan pelagis kecil 215 18 Perhitungan persentase degradasi dalam penangkapan ikan pelagis besar 216 19 Proses pehitungan biaya produksi dalam penangkapan ikan pelagis kecil 217 20 Proses pehitungan biaya produksi dalam penangkapan ikan pelagis besar 219 21 Perhitungan discount rate dari Kulla 221 22 Proses pehitungan rente aktual dan lestari untuk menghitung depresiasi sumber daya ikan pelagis kecil 23 Proses pehitungan rente aktual dan lestari untuk menghitung depresiasi sumber daya ikan pelagis besar 24 Maple analitik pengelolaan optimal perikanan pelagis kecil pada market discount rate 15 dan real discount rate 4,94 25 Maple analitik untuk penentuan pengelolaan optimal ikan pelagis besar pada 222 223 224 227 market discount rate 15 dan real discount rate 4.94. 26 Maple analitik rezim pengelolaan 229 27 Kuesioner untuk pedagangnelayan yang melakukan dan atau tidak 232 melakukan kegiatan penyeludupan ke Filipina 28 Data hasil kuesioner dari penyelundupan antara Sangihe dengan P. Mindanao 234 29 30 Output analisis logit dengan Eviews Persepsi responden dalam pengelolaan P2K perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe 235 236 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam peta teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI, Kabupaten Kepulauan Sangihe merupakan salah satu kabupaten yang menempati posisi paling utara dan berbatasan dengan negara tetangga Filipina serta berada di Laut Sulawesi dan pinggir Samudera Pasifik. Letak geografis tersebut menempatkan posisi Kabupaten ini sebagai daerah perbatasan dan memiliki nilai strategis, mengingat besarnya peluang melakukan kerjasama interregional- internasional yang berpengaruh terhadap akses pasar global, tetapi di sisi lain posisi ini mengandung kerawanan-kerawanan tertentu, antara lain: infiltrasi idiologi asing, terorisme internasional, penyelundupan, pencurian sumber daya alam SDA, dan berbagai kegiatan illegal lainnya. Persoalan perbatasan negara bukan hanya mencakup persoalan teritorial, melainkan juga persoalan pengelolaan SDA dan kebanggaan identitas yang dalam konteks tertentu menjadi faktor penting terhadap kebanggaan lokal dan nasional. Persoalan perbatasan menjadi isu penting dalam agenda keamanan nasional. Perbatasan negara Indonesia di wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe, sering dijadikan jalur penyaluran senjata dan manusia untuk melakukan kegiatan terorisme di wilayah timur Indonesia, mulai perbatasan Filipina Selatan dari Zamboaga dan Davao Mindanao, menuju kepulauan Sulu ke Serawak dan Nunukan Kalimatan serta Kepulauan Sangihe Talaud di Sulawesi Utara menuju Maluku dan Sulawesi Tengah. Pencurian ikan oleh kapal-kapal asing di perairan zone ekonomi eksklusif ZEE maupun laut teritorial dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan yang masih tinggi dan meningkat, sudah sampai pada tahap yang mengkuatirkan karena dampaknya luar biasa, yaitu rusaknya kelestarian sumber daya ikan SDI dan kehilangan nilai ekonomi. Menurut Ditjen PSDKP 2009 modus penangkapan ikan oleh kapal-kapal asing illegal tersebut adalah menggunakan alat tangkap trawl yang merusak lingkungan, sebagian besar di ZEE dan dalam beberapa hal di laut teritorial. Tiga kawasan yang menjadi daerah operasi kapal asing illegal, yaitu: 1 Laut Natuna, didominasi oleh kapal-kapal Vietnam, Thailand, Cina dan Malaysia; 2 perairan utara Sulawesi Utara yang berbatasan dengan Filipina yang didominasi oleh kapal-kapal Filipina “pump boat” dengan menggunakan alat tangkap hand line dan purse seine; dan 3 laut Arafura yang didominasi oleh kapal-kapal Thailand dan Cina dengan menggunakan alat tangkap pukat ikan dan gillnet. Kedudukan pulau-pulau kecil P2K perbatasan Kepulauan Sangihe memiliki aspek penting sebagai pita pengamanan nasional national security belt ditinjau dari perspektif keamanan nasional, dan secara geopolitik ikut menentukan Indonesia sebagai negara kepulauan archipelagic state. Menurut Setiyono 2000, keutuhan wilayah negara Kepulauan Indonesia terjaga justru peranan P2K terluar yang lokasinya terpencil di perbatasan. Indonesia menggunakan ujung terluar daratan atau pulau sebagai dasar pengukuran lebar laut wilayah, zona ekonomi eksklusif ZEE, maupun landas kontinen. Salah satu pulau yang digunakan sebagai titik dasar base point, TD lenyap, maka konfigurasi wilayah Indonesia akan berubah. Kepulauan Sangihe memiliki 105 pulau, dan sebanyak 26 pulau 24.76 yang berpenduduk sisanya 79 pulau 75.24 tidak berpenduduk, serta memiliki 5 lima pulau sebagai penentu garis batas terluar dari Indonesia, yaitu: Pulaua Marore, Pulau Kawio, Pulau Matutuang, Pulau Kawaluso, dan Pulau Lipang. Kepulauan Sangihe pada awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud atau juga disebut dengan Kepulauan Nusa Utara dengan luas 35 400.23 km², dan luas laut 33 147.00 km² diukur 4 mil laut Tabel 1. Tabel 1 memperlihatkan akan potensi laut yang cukup luas dihitung dari kewenangan 4 mil laut, dengan demikian potensi perikanan akan sangat menentukan arah pembangunan Kepulauan Nusa Utara termasuk Kepulauan Sangihe. Nisbah luas laut dengan daratan di Kepulauan Nusa Utara 15 : 1 dan yang terluas adalah Kepulauan Talaud sebesar 13 902 km² menyusul Kepulauan Sangihe seluas 11 126 km². Kerjasama perikanan antar Kabupaten di Kepulauan Nusa Utara dengan pasar ekspor negara tetangga Filipina akan memberikan peluang yang cukup berarti bagi pengembangan ekonomi Nusa Utara. Anggoro 2001 menyatakan sasaran pembangunan perikanan di masa mendatang tidak hanya ditujukan untuk peningkatan pendapatan masyarakat, perolehan devisa, kesempatan kerja, tetapi juga dituntut untuk tetap mempertahankan daya dukung carrying capacity dan kualitas lingkungan agar tetap lestari bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Tabel 1. Nisbah luas laut dan daratan Kepulauan Nusa Utara Sumber: Diolah dari Salindeho dan Sombowadile 2008. Pada tahun 2002, Indonesia memiliki pengalaman pahit, dengan lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dari kedaulatan NKRI. Keputusan Mahkamah Internasional International Court of Justice, ICJ di Den Haag Belanda pada tanggal 17 Desember 2002 yang menetapkan kepemilikan P. Sipadan dan Ligitan bagian kedaulatan negara Malaysia merupakan “tragedi nasional” yang memiliki pengaruh terhadap luas laut. Keputusan ICJ diambil dengan memertimbangkan tiga aspek utama, yaitu: 1 penguasaan secara efektif effective occupation termasuk administrasi; 2 keberadaan terus menerus continuous presence; serta 3 perlindungan dan pelestarian ekologis maintenance and ecology preservation Adiwijoyo 2005; Rawis 2004; Retraubun dan Amini 2004; Sondakh 2003. Keputusan ICJ tersebut di atas memberikan pesan bagi Indonesia, antara lain: 1 kepemilikan P2K Perbatasan tidak hanya berdasarkan bukti hukum dan sejarah, tetapi harus diikuti dengan kebijakan dan implementasi program dan kegiatan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat; 2 hilangnya tiga titik dasar TD yaitu satu TD di Pulau Sipadan dan dua TD di Pulau Ligitan; 3 pembangunan TD baru yang terletak di sekitar wilayah Pulau Sebatik di Kabupaten Pulau buah Luas Daratan km² Luas Laut km² Total luas km² Nisbah Kepulauan Sangihe 105 736.97 11 126.00 11 862.97 15 : 1 Kepulauan Talaud 16 1 240.40 13 902.00 15 142.40 11 : 1 Kepulauan Sitaro 47 275.86 8 119.00 8 394.92 29 : 1 Nusa Utara 168 2 253.23 33 146.00 35 400.23 15 : 1 sebelah timur Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur; dan 4 hilangnya kontribusi ekonomi Pulau Sipadan dan Ligitan karena Malaysia mampu melakukan kreasi potensi ekonomi yang luar biasa dari kegiatan pariwisata bahari Fokus 2003. Menurut Hersutanto 2009, beberapa masalah krusial yang dihadapi Indonesia sebagai negara kepulauan, yaitu: 1 saat ini belum memiliki kebijakan nasional tentang pembangunan negara kepulauan archipelagic state yang terpadu. Kebijakan yang ada saat ini hanya bersifat sektoral, padahal pembangunan di negara kepulauan memiliki keterkaitan antar sektor yang tinggi; 2 lemahnya pemahaman dan kesadaran tentang arti dan makna Indonesia sebagai negara kepulauan dari segi geografi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya: 3 sampai saat ini belum seluruhnya ditetapkan batas-batas wilayah perairan; 4 permasalahan dalam pertahanan dan keamanan dari matra laut yang mencakup: a belum optimalnya peran pertahanan dan keamanan laut dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara; b ancaman kekuatan asing yang ingin memanfaatkan perairan ZEE; c belum lengkapnya perangkat hukum dan implementasi pertahanan dan keamanan laut; d masih terbatasnya fasilitas untuk melakukan pengamanan laut; e makin meningkatnya kegiatan terorisme, perompakan, dan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia; dan f masih lemahnya penegakan hukum kepada pelanggar hukum. Pengamanan kedaulatan wilayah, kewenangan dan kepentingan nasional, di wilayah perbatasan dari perebutan penguasaan SDA dapat dilakukan melalui kombinasi pendekatan ekonomi dan pendekatan pertahanan keamanan. Dalam konteks ini, terdapat tiga agenda utama yang perlu diperhatikan, yaitu: 1 penyelesaian batas wilayah laut Indonesia dengan negara tetangga Filipina; 2 penguatan dan pengembangan kemampuan pertahanan keamanan nasional di laut khususnya di wilayah perbatasan; dan 3 memakmurkan masyarakat wilayah Kepulauan Sangihe dengan berbagai kegiatan pembangunan ekonomi secara efisien, berkelanjutan sustainable dan berkeadilan atas dasar potensi SDA dan budaya lokal serta aspek pemasaran. Rapat kerja Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia PPKT dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia DPR RI tanggal 2 September 2004, merumuskan daftar inventarisasi masalah di perbatasan Indonesia – Filipina, yaitu: 1 belum adanya kepastian garis batas Zone Ekonomi Eksklusif ZEE dan Landas Kontinen Indonesia – Filipina; 2 berlangsungnya kegiatan-kegiatan illegal di daerah perbatasan, seperti penyelundupan barang, trafficking, dolar palsu, kapal tidak dilengkapi dengan dokumen yang sah, illegal loging, illegal fishing, dan transit point bagi kelompok teroris internasional. Sebagai satu kesatuan negara kepulauan, secara konseptual, geopolitik Indonesia dituangkan dalam salah satu doktrin nasional yang disebut Wawasan Nusantara dan politik luar negeri yang bebas aktif, sedangkan geostrategis Indonesia diwujudkan melalui konsep Ketahanan Nasional yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Dengan demikian mengacu pada kondisi geografi yang bercirikan maritim, maka diperlukan strategi besar grand strategy maritim sejalan dengan doktrin pertahanan defensif aktif dan fakta bahwa bagian terluar wilayah yang harus dipertahankan adalah laut. Implementasi strategi dari strategi maritim adalah mewujudkan kekuatan maritim maritime power yang dapat menjamin kedaulatan dan integritas wilayah dari berbagai ancaman, tantangan, dan gangguan. Matindas dan Sutisna 2006, mengingatkan bahwa penyelesaian masalah perbatasan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan lingkungan strategis secara internasional, regional dan nasional, yang terus berkembang dalam beberapa dekade belakangan ini dan telah menimbulkan berbagai pergeseran-pergeseran di beberapa sisi hubungan internasional. Pergeseran geopolitik ke penguasaan secara ekonomi saat ini jauh lebih besar pengaruhnya karena bergerak melewati batas-batas kedaulatan sebuah negara. Pengelolaan wilayah perbatasan Kepulauan Sangihe masih merupakan masalah utama dan mendesak serta memerlukan perhatian bersama, serta harus dikelola secara terpadu, berkelanjutan dan terintegrasi antar berbagai sektor demi keutuhan kedaulatan soveregnity dan kesejahteraan prosperity masyarakat. Secara garis besar terdapat dua hal penting yang harus dilakukan yaitu pembangunan daerah perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan prosperity approach untuk mengangkat taraf hidup masyarakat setempat dan pendekatan keamanan security approach yang diperlukan guna terciptanya stabilitas politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam Dahuri 2005; Poetranto 2005. Dalam konteks pertahanan secara ekstrinsik, nelayan dan masyarakat pesisir memiliki peran “pengawas” laut yang selalu dapat berkoordinasi dengan aparat. Dengan demikian penting mendidik mereka untuk memperkuat nasionalisme, memahami isu-isu pertahanan serta secara teknis mampu menggunakan alat-alat komunikasi di laut. Untuk itulah dibutuhkan proses pelatihan nelayan untuk memperlancar proses ini. Namun reposisi nelayan dan masyarakat pesisir ke arah peran geopolitik tetap sangat tergantung pada posisi sosial ekonominya. Dalam perspektif geopolitik, wilayah perbatasan tidak hanya harus diisi dengan pertahanan militer yang tangguh, tetapi juga harus didukung oleh aktivitas ekonomi yang tangguh pula. Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan lepas dari NKRI karena salah satu alasannya adalah lemahnya kita memanfaatkan pulau itu untuk aktivitas ekonomi. Terdapat beberapa komponen yang seyogyanya ditempuh untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan, yaitu: 1 meningkatkan pemahaman pentingnya laut dari aspek geopolitik dan geostrategis. Indonesia selayaknya memiliki armada pengamanan laut yang andal dan kuat guna menjaga keutuhan NKRI dan SDA; 2 mengubah orientasi pembangunan dari land based oriented menjadi archipelagic based oriented. Konsep archipelagic based oriented, mencakup darat, laut dan udara; dan 3 menentukan batas-batas wilayah perairan dengan mempercepat penetapan garis batas antara Indonesia dengan negara-negara tetangganya di kawasan laut. Turmudzi 2005 menyatakan bahwa Indonesia telah melupakan visi dan orientasi kepulauan dan lebih berorientasi tanah daratan land based oriented yang bersifat inward looking. Tanpa orientasi kepulauan, Indonesia tidak akan memiliki national security belt yakni titik-titik kawasan strategis bagi pengamanan kewilayahan dan kedaulatan Negara. Setiap titik bukan saja menjadi pos pertahanan tetapi juga harus dikembangkan potensi ekonomi dan sarana prasarana pendidikan sehingga kawasan-kawasan tersebut akan terbangun sistem peringatan dini early warning system. Orientasi kepulauan akan membangun dengan pandangan integratif antara darat, laut dan udara yang akan membuat lebih bersifat outward looking. Untuk mampu menjaga integritas wilayah, terutama wilayah-wilayah perbatasan di Kepulauan Sangihe, ke depan harus lebih mempertinggi dorongan untuk segera menetapkan kepastian batas-batas laut dengan Filipina. Pada saat bersamaan, memberikan perhatian membangun daerah perbatasan sesuai dengan kebutuhan masyarakat perbatasan. Keterbatasan wilayah sesuai dengan karakteristik wilayah Kepulauan Sangihe meniscayakan perlunya dirumuskan strategi pembangunan yang khas kepulauan perbatasan tersebut. Pelibatan masyarakat dalam berbagai program pemerintah serta memperhitungkan dampak secara seksama bagi perbaikan mutu kehidupan masyarakat adalah program yang penting untuk dikembangkan. Pemerintah harus mendorong tumbuhnya prakarsa masyarakat perbatasan untuk berkembang sesuai dengan tantangan dan peluang yang ada. Masyarakat Kepulauan Sangihe memperoleh kesempatan untuk memanfaatkan SDI sebagai potensi utama kawasan ini, seharusnya juga diberikan peranan yang luas dalam perdagangan wilayah perbatasan. Harapan ini terbentur dengan kebijakan di daerah perbatasan justru bercirikan pembatasan. Peraturan tentang produk ikan yang harus dipasarkan ke Bitung, yang letaknya jauh dari kawasan perbatasan serta harga yang relatif rendah sangat tidak ekonomis. Sebaliknya peluang pemasaran hasil tangkapan ikan ke pusat perikanan di negara tetangga Filipina yaitu di General Santos Minandao justru sangat dibatasi mesti faktanya di wilayah tersebut memiliki pabrik pengolahan ikan yang terbesar di Asia Tenggara dan lokasinya tidak terlalu jauh dari kawasan perbatasan dengan patokan harga yang relatif baik. Oleh karena itu, berbagai pembatasan yang dikenakan kepada masyarakat perbatasan harus ditinjau kembali terkait dengan upaya memajukan ekonomi masyarakat perbatasan di Kepulauan Sangihe. Berdasarkan uraian pemikiran tersebut di atas, diharapkan pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe akan memberikan keuntungan, antara lain: 1 terpelihara dan berkembangnya keanekaragaman hayati biodiversity ekosistem; 2 terpelihara dan berkembangnya kekhasan dan keaslian nilai budaya; 3 meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal; 4 meningkatnya kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah; dan 5 dapat berfungsi sebagai pita pengaman ekonomi economic safety belt dan pita pengamanan nasional national security belt.

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah

Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud, di masa kolonial Belanda disebut sebagai noorden einlanden yang berarti pulau-pulau lebih utara atau diterjemahkan sebagai “Nusa Utara”. Munculnya istilah noorden einlanden berawal dari perjalanan Gubernur Maluku Robertus Padtbrugge 16 Agustus - 25 Desember 1677, yang dilandasi oleh kepentingan geopolitik dan ekonomi pemerintah Hindia Belanda. Perspektif geopolitik adalah peneguhan batas wilayah jajahan Belanda sebab di bagian utara yaitu Filipina bagian selatan adalah wilayah jajahan Spanyol, sedangkan dalam perspektif ekonomi, Nusa Utara dijadikan kawasan penunjang kepentingan rempah-rempah dan produk perkebunan bagi perusahaan Belanda, yaitu kopra, pala dan cengkeh. Sebelum kedatangan Padtbrugge, orientasi pendidikan, perdagangan, dan hubungan kekerabatan masyarakat Nusa Utara adalah Ternate Maluku dan Filipina bagian selatan jajahan Spanyol, yang dirintis oleh Winsulangi Raja Siau, Tolo Raja Manganitu, dan Tahete Raja Tahuna. Padtbrugge mengubah kiblat tersebut dan mengalihkan dari Ternate dan Filipina Selatan ke wilayah daratan Sulawesi terutama ke Manado, serta jalur perdagangan ke wilayah Filipina dan Ternate resmi dihentikan. Kegiatan perdagangan yang dilakukan dalam arus utama trade mainstream, diubah menjadi wilayah perbatasan border area yang bercirikan pinggiran periphery. Pola pengembangan Hindia Belanda ditiru oleh Indonesia dan Filipina, saat kedua negara menyatakan kemerdekaan. Kegiatan masyarakat Nusa Utara berniaga ke Filipina bagian selatan dikategorikan sebagai penyelundupan. Perdagangan wilayah perbatasan border trade area, BTA, meskipun secara retoris diberikan kesempatan, namun dibebani berbagai pembatasan, baik volume dan nilai barang yang didagangkan serta batas arealnya. Kecenderungan orientasi Nusa Utara ke daratan Sulawesi yang dirintis oleh Padtbrugge, kemudian dikukuhkan dengan isu Nusa Utara sebagai perpanjangan daratan Manado landstreek van Manado Henley 1996. Pengukuhan isu ini berinteraksi dengan kondisi alam Nusa Utara sehingga membawa implikasi terhadap keberadaan Nusa Utara sampai saat ini, yaitu: 1 ciri kepulauan yang terbuka selama berabad-abad dilakoni, akhirnya ditinggalkan dan dipatok sebagai daerah perbatasan border region; 2 laut sebagai lalu lintas perniagaan atau lintas ekonomi dieliminasi dengan menerapkan kebijakan pembangunan bercirikan daratan continental oriented; 3 gerak ekonomi berbentuk “kipas” diarahkan kendalinya ke satu sentrum sehingga menempatkan Nusa Utara sebagai kawasan periphery; 4 keunggulan sebagai kawasan yang dapat memanfaatkan kekuatan luar outsourcing power dan lintasan ekonomi dari berbagai penjuru disurutkan ke titik nadir; dan 5 kekuatan ekonomi bahari maritime economic atau archipelagic economic sebelum kedatangan “Barat” disirnakan dengan continental oriented; serta 6 SDI yang menjadi daya dorong prime mover ekonomi Nusa Utara faktanya dicuri resources squeezing oleh nelayan asing. P2K perbatasan Kepulauan Sangihe, selama ini kurang memperoleh sentuhan pembangunan, disebabkan beberapa alasan, yaitu: 1 kebanyakan P2K perbatasan tidak berpenghuni karena ukuran relatif kecil; kalaupun berpenghuni, jumlah penduduknya sangat sedikit sehingga tidak menjadi prioritas utama; 2 kawasan ini cenderung terisolasi sehingga diperlukan investasi yang besar high cost investment untuk membangun prasarana dan perhubungan laut; 3 kurangnya kepastian perlindungan hak dan kepastian berusaha; 4 pembangunan nasional selama ini lebih berorientasi ke darat; 5 rendahnya tingkat pendidikan masyarakat setempat; 6 kurang minatnya dunia usaha berinvestasi; 7 pilihan pengelolaan ekonomi menjadi terbatas karena ukuran luas P2K dan lokasi yang jauh remote serta terbelakang; dan 8 kecilnya skala ekonomi dalam hal aktivitas produksi, transportasi, konsumsi dan administrasi. Atas dasar kepentingan mendesak untuk melihat sejauh mana posisi geografis dan potensi SDA di P2K perbatasan Kepulauan Sangihe dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat, maka dirumuskan pertanyaan penelitian, sebagai berikut: 1 Bagaimana kinerja ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe? 2 Komoditas apa yang dapat menjadi unggulan untuk dapat dikembangkan di Kepulauan Sangihe? 3 Bagaimana kondisi daya dukung ekonomi dan lingkungan yang dijadikan bahan pertimbangan dalam pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe? 4 Bagaimana kondisi wilayah perbatasan saat ini serta bagaimana aspirasi Kabupaten Kepulauan Sangihe ? ; dan 5 Variaberl apa saja yang mendorong terjadinya perdagangan illegal di perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe?.

1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan merumuskan alternatif kebijakan dan program pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe berbasis geopolitik, daya dukung ekonomi dan lingkungan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan: 1 Mengevaluasi dan menganalisis kinerja ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe; 2 Mengevaluasi dan menganalisis komoditas unggulan Kepulauan Sangihe; 3 Mengevaluasi dan menganalisis daya dukung ekonomi dan lingkungan SDA di Kabupaten Kepulauan Sangihe; 4 Mengevaluasi dan menganalisis kondisi dan perkembangan wilayah perbatasan saat ini serta aspirasi masyarakat P2K perbatasan Kepulauan Sangihe; dan 5 Menganalisis variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kegiatan perdagangan illegal di perbatasan Kepulauan Sangihe. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak, terutama: pemerintah, masyarakat dan dunia pendidikan. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam pengambilan keputusan, agar pembangunan kawasan perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe memperoleh porsi yang setara dan seimbang antara pendekatan geopolitik terutama pendekatan keamanan security, ekonomi dan lingkungan. Bagi masyarakat, dapat dijadikan bahan informasi untuk pengembangan dunia usaha dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Sedangkan untuk dunia akademik, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe yang berbasis geopolitik, daya dukung ekonomi dan daya dukung lingkungan.

1.4 Kerangka Pendekatan Masalah

Kepulauan Sangihe mempunyai peran strategis mengingat secara geografis letaknya berbatasan dengan negara Filipina, yang berpeluang terjadinya ancaman serta gangguan terhadap SDA dan kedaulatan negara. Kondisi ini diperparah dengan sentuhan pembangunan yang relatif rendah sebagai akibat paradigma pengelolaan lebih berorientasi kepada pendekatan keamanan security approach. Kerangka pendekatan masalah penelitian tentang kebijakan pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe yang berbasis geopolitik, daya dukung ekonomi dan lingkungan disajikan pada Gambar 1. Selain penekanan pengelolaan yang lebih kepada security juga paradigma yang berhaluan daratan mampu menggeser posisi Negara Kepulauan archipelagic state sebagai bagian dari paradigma pembangunan nasional khususnya wilayah dengan luas laut yang dominan matra laut. Interaksi paradigma pembangunan dengan karakteristik P2K di Kepulauan Sangihe isolation, smallness, dan vulnerability berakibat menjadi “pembatasan dan terbatasnya” ruang untuk economic activity sehingga terjadi proses marjinalisasi dan pemiskinan serta rendahnya pemanfaatan SDA, yang bermuara pada rendahnya optimasi pemanfaatan SDA oleh masyarakat setempat. Pembatasan dan dibatasi juga tercermin dari proses penataan border crossing agreement BCA yang sejak awal penerapan perjanjian tersebut belum mampu memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Kepulauan Sangihe khususnya di P2K perbatasan. Analisis Kondisi Saat Ini Kebijakan Saat Ini Potensi dan Permasalahan Sumber daya alam Analisis Permasalahan Geopolitik Alternatif Kebijakan Pengelolaan Sosial dan Ekonomi Daya Dukung Kebijakan Pemerintah Pusat Kondisi Kawasan Perbatasan Hukum dan perundang- undangan Ekonomi Kebijakan Pemerintah Kebijakan Masa Lalu Politik dan Hankam Daya Dukung Lingkungan Daerah ALTERNATIF KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGELOLAAN P2K PERBATASAN Gambar 1 Pendekatan masalah penelitian kebijakan pengelolaan P2K perbatasan Realitas untuk dapat bertahan survival dalam kehidupan ekonomi masyarakat P2K perbatasan Kepulauan Sangihe terutama di Pulau Marore, Pulau Kawio, dan Pulau Matutuang serta pulau-pulau sekitarnya yang berada di Kecamatan Nusa Tabukan dan Kecamatan Tabukan Utara disebabkan sebagian dari kebutuhan sandang pangan, dan papan dipasok dari negara tetangga Filipina melalui Pulau Balut dan Pulau Saranggani. Fakta ini yang harus diterima untuk dijadikan koreksi terhadap implementasi kebijakan pengelolaan P2K perbatasan selama ini, walaupun sebagian bersifat illegal activity. Oleh karena itu upaya memperkecil illegal gains merupakan salah satu cara mengeliminasi kegiatan penyelundupan yang terjadi di Kepulauan Sangihe. Selain itu, paradigma pengelolaan berbasis SDA sebagai prime mover pembangunan harus dirubah dengan cara untuk mereduksi kekeliruan pengelolaan, yaitu: 1 meningkatkan kemampuan memanfaatkan SDA oleh masyarakat P2K perbatasan dengan pemberian modal, peningkatan kemampuan tenaga kerja, peningkatan teknologi dan perluasan aksesibilitas pasar; dan 2 peningkatan kemampuan kelembagaan untuk melakukan koordinasi dalam implementasi program pengawasan SDI. Pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe berbasis geopolitik, daya dukung ekonomi dan lingkungan merupakan salah satu model kebijakan yang ingin dikaji, karena memiliki posisi strategis dalam mempertahankan kedaulatan negara, serta berpedoman kepada: 1 menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan; 2 memanfaatkan SDA dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan; 3 memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Kebijakan pengelolaan P2K perbatasan tersebut perlu didekati dengan tiga pendekatan yang komprehensif yaitu melakukan sinergi antara pendekatan kesejahteraan welfare approach terutama pengembangan ekonomi perbatasan border economic dan geopolitik terutama keamanan security, serta pendekatan lingkungan environmental.

1.5 Kebaruan Penelitian

Penelitian ini menemukan bahwa walaupun penduduk relatif kecil dan potensi perikanan yang cukup tersedia, tetapi karena keterbatasan pasar menyebabkan secara relatif potensi perikanan belum memberikan kegiatan ekonomi yang mendorong kesejeahteraan bagi penduduknya. Di lain pihak degradasi dan depresiasi SDI relatif cukup memprihatinkan walaupun belum membahayakan, yang relatif lebih disebabkan oleh tindakan illegal fishing dari nelayan asing dan nelayan lokal. Kerusakan lingkungan perairan dan terjadinya penyelundupan di kawasan perbatasan Kepulauan Sangihe dipicu oleh kebutuhan ekonomi dan kegagalan kebijakan. Oleh karena itu penyelesaian pasar secara politik karena berkaitan dengan negara tetangga dan kebijakan pengelolaan yang memadukan antara kepentingan pertahanan keamanan, ekonomi dan lingkungan perlu segera dikembangkan jangan menunggu terjadinya ledakan kemiskinan dan kehilangan pulau kecil. Identifikasi negara bangsa mensyaratkan pengenalan batas-batas wilayah, sehingga persoalan perbatasan negara penting dikaitkan dengan identitas negara dan kedaulatan negara. Namun ketika batas-batas wilayah telah diidentifikasi dan diterapkan bukan berarti kedaulatan itu dengan demikian menjadi abadi. Pada perjalanannya, tanggungjawab pemerintah tetap dituntut untuk menjaga keberlangsungan kedaulatan tersebut dengan menjaga dan memperhatikan kawasan perbatasan tersebut. Perbatasan negara antara Indonesia dengan Filipina, walaupun secara hukum internasional belum ada kesepakatan batas wilayah terutama di ZEE dan Landas Kontinen, namun karena pembagian wilayah telah “diwariskan” oleh penjajah Spanyol dan Belanda. Penelitian ini menemukan bahwa kebanggaan terhadap fakta hukum dan sejarah akan menjadi lemah kedudukannya jika persoalan ekonomi tidak diselesaikan. Oleh karena itu penelitian menemukan akan terjadinya pergeseran persoalan penyelundupan menjadi “persoalan yang akut” apabila tidak dikembangkan kebijakan border trade yang memiliki keadilan secara ekonomi dan hukum, memiliki kemungkinan peluang yang relatif besar. 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pulau Kecil dan Pulau Kecil Terluar

Pulau adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah, dikelilingi air dan selalu berada di atas air pada saat air pasang Ello dan Subandi 1998; UNCLOS 1982. Definisi ini, membatasi pengertian pulau, yaitu: 1 terbentuk secara alamiah dan 2 terletak di atas air pada saat air pasang tinggi. Suatu pulau yang tidak memiliki kriteria pertama, dikategorikan sebagai pulau buatan yang berarti tidak memiliki hak sebagai rejim pulau. Suatu daratan yang bentukannya hanya nampak pada saat pasang rendah saja, sementara pada saat pasang tinggi menjadi tergenang, tidak kelihatan, maka kenampakan seperti ini dalam Konvensi Hukum Laut, disebut flow tide elevation yang memiliki rejim hukum berbeda dengan pulau Setiyono 2000. Pulau kecil didefinisikan sebagai pulau dengan luas area ≤ 10 000 km 2 dan lebarnya ≤ 10 km Bengen 2004. Menurut Brookfield 1990, pulau kecil small island adalah pulau yang memiliki luas daratan ≤ 1 000 km 2 dan berpenduduk ≤ 100 000 jiwa. Pulau kecil sebagai pulau dengan luas areanya ≤ 10 000 km 2 dan mempunyai penduduk 500 000 jiwa UNESCO 1994; Beller 1990. Menurut Kamaluddin 2002, pulau kecil adalah pulau yang jumlah penduduknya sedikit dan umumnya tidak mudah dijangkau, sebab tidak tersedia atau terbatas akses dari kawasan tersebut ke kawasan yang lebih berkembang. Penelitian ini menggunakan definisi pulau kecil adalah pulau yang berukuran ≤ 10 000 km² dengan jumlah penduduknya ≤ 200 000 orang DKP 2002; PERPRES Republik Indonesia 2005. Berdasarkan definisi ini, maka seluruh pulau yang ada di Kabupaten Kepulauan Sangihe tergolong P2K, dengan pulau yang terluas adalah P. Karakelang sekitar 1 077.97 km² dan yang terkecil adalah P. Batutadinting sekitar 0.000002 km². Menurut Dishidros TNI-AL 2003, terdapat 11 P2K terluar yang berada di Provinsi Sulawesi Utara, dan tiga diantaranya sebagai P2K perbatasan yang berada di Samudera Pasifik dan Laut Sulawesi yang berbatasan langsung dengan Filipina, yaitu Pulau Miangas, Pulau Marore, dan Pulau Marampit. Pulau Miangas dan Pulau Marampit secara geografis berada pada wilayah pemerintahan Kabupaten Kepulauan Talaud, sedangkan Pulau Marore termasuk dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Kepulauan Sangihe. P2K perbatasan di Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah P2K terluar dengan luas area ≤ 2000 km² yang memiliki titik- titik koordinat geografis sesuai dengan hukum internasional, meliputi: P. Kawio, P. Marore, P. Kemboleng, P. Kawaluso, dan P. Lipang serta P. Matutuang. Briguglio 1995, menyebutkan bahwa karakteristik P2K sebagai suatu permasalahan, adalah: smallness, isolation, dependence, dan vulnerability. Faktor smallness secara ekonomi menjadi faktor ketidakunggulan disadvantage, antara lain: 1 keterbatasan resource endowement; 2 ketergantungan kisaran diversifikasi produk; 3 keterbatasan mempengaruhi perubahan harga produk; 4 keterbatasan kompetisi lokal; dan 5 keterbatasan mengembangkan economic of scale. Faktor isolation akan mengakibatkan tingginya biaya transportasi, sedangkan vulnerability cenderung rentan terhadap bencana alam natural disaster dan ekosistem yang rapuh fragile. Menurut Bengen 2004, permasalahan yang terjadi di P2K adalah kondisinya yang relatif terisolasi dan jauh dari pulau induk, terbatasnya sarana dan prasarana perekonomian seperti jalan, pelabuhan, pasar, listrik, lembaga keuangan, menyebabkan tingkat kesejahteraannya rendah serta rendahnya kualitas sumber daya manusia SDM akibat kurangnya fasilitas pendidikan, tidak tersedianya media informasi dan komunikasi serta fasilitas kesehatan.

2.2 Geopolitik dan Geostrategi

Geopolitik dapat diartikan sebagai politik atau kebijakan dan strategi nasional yang didorong oleh aspirasi nasional geografik suatu negara, yang apabila dilaksanakan dan berhasil akan berdampak langsung atau tidak langsung kepada sistem politik suatu negara Sadono dan Holdun 2007; Suradinata 2005. Sebaliknya politik negara itu, secara langsung akan berdampak kepada geografi negara yang bersangkutan Suradinata 2005. Geopolitik menganggap bahwa geografi, topografi, demografi, kandungan sumber daya dan lokasi menentukan karakter politik negara Anggoro 2005. Geopolitik suatu negara direfleksikan dari posisi dan bentuk suatu wilayah dalam implementasi berbangsa dan bernegara menuju tujuan nasional. Posisi strategis ini akan lebih bermakna apabla dikaitkan dengan adanya pergeseran centre of gravity geopilitik dunia ke arah Asia Pasifik Artjana 1993 yang lebih berorientasi pada kepentingan maritim, sehingga mengandung dimensi ekonomi dan kekuatan yang semakin mengemuka. Sejalan dengan itu, Indonesia seharusnya dapat menjadi pemain utama dalam percaturan global yang berpusat di Pasifik Ratulangi 1982. Istilah geopolitik semula adalah sebagai ilmu bumi politik, kemudian berkembang menjadi pengetahuan tentang sesuatu yang berhubungan dengan konstelasi ciri khas negara berupa: bentuk, luas, letak, iklim, dan sumber daya alam suatu negara untuk membangun dan membina negara. Geopolitik suatu negara terkait erat dengan kekuasaan negara sehingga perlu mendalami ciri khusus negara berdasarkan geomorfologinya ciri fisik dan non-fisik, karena akan menentukan sikap politik negara dalam membangun negaranya Rangkuti 2007. Teori geopolitik berkembang menjadi ajaran yang melegitimasi hukum ekspansi suatu negara disebabkan dipengaruhi oleh beberapa ajaran. Soemiarno 2005, teori geopolitik telah berkembang menjadi konsepsi wawasan nasional suatu bangsa yang seiring dengan berkembangnya teori-teori kekuasaan, oleh karena itu wawasan nasional suatu bangsa selalu mengacu kepada geopolitik, sehingga dengan wawasan tersebut, suatu negara dapat diketahui arah perkembangan suatu negara. Geografi, geopolotik dan geostrategi merupakan tiga serangkai yang sulit dipisahkan. Geostrategi berusaha menjelaskan bagaimana opsi-opsi strategis untuk memanfaatkan faktor geografi dalam pertarungan geopolitik. Pemahaman terhadap geografi tidak terbatas pada konstruksi fisik dan peristiwa-peristiwa alam tetapi juga karakter sosial yang berada di dalamnya. Disebabkan kompleksitas masalah, validitas pendekatan geopolitik dan geostrategi acapkali mengundang perdebatan Anggoro 2005. Dalam dimensi ini, adanya berbagai arus pemikiran tentang geopolitik yaitu Mahan 1890 meyakini bahwa kekuatan laut sea power merupakan kunci utama bagi suatu negara untuk memenangkan pertarungan politik, sedangkan Mactkinder dikutip oleh Sloan 1996 meyakini pentingnya kekuatan darat land power. Kedua pandangan geopolitik tersebut cukup memadai dalam perumusan strategi kebijakan nasional, khususnya dalam kaitannya dengan keamanan nasional national secutiry, kepentingan nasional national interest, dan orientasi nasional national orientation. Sebuah negara pulau island states dengan sumber daya dan pasar relatif terbatas mungkin hanya dapat bertahan dengan ekspansi geopolitik. Sejalan dengan pengertian tersebut maka rumusan masalah yang teridentifikasi dalam pembangunan geopolitik, meliputi: 1 kurangnya perhatian pemerintah terhadap isu tapal batas border Sadono dan Holdun 2007; Pailah 2008; Anggoro 2005, Djalal 2003, Pardede 2005, Waluyo 2006; Jemabut dan Santi 2006; 2 kurang fokusnya pemerintah dalam mengakomodasikan aspek geopolitik dalam menentukan kepentingan pertahanan; dan 3 belum optimalnya pemerintah dalam memperhatikan karakteristik geografiwilayah NKRI guna mengakomodasikan geopolitik berkaitan dengan pembangunan. Geopolitik Indonesia pada dasarnya adalah Wawasan Nusantara, yaitu cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai jati diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang satu kesatuan ideologi, satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial budaya dan dalam satu kesatuan ketahanan nasional. Sedangkan ketahanan nasional adalah kondisi dinamik suatu bangsa meliputi seluruh aspek kehidupan nasioanl yang terintegrasi berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi seluruh tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan, baik yang dating dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan nasionalnya Suradinata 2005. Secara umum, penelitian ini merumuskan geopolitik Indonesia sebagai kemampuan untuk mempertimbangkan dan memperhitungkan keuntungan dan kerugian lokasi dari posisi geografisnya berdasarkan telaah ilmu politik untuk kepentingan politiknya. Dasar perhitungannya adalah peta bumi politik dan peta bumi sumber daya strategis yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi. Implementasi dalam kebijakan pengelolaan P2K perbatasan dalam perspektif geopolitik di Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah kemampuan mempertimbangkan dan menghitung manfaat benefit dibandingkan dengan kerugian cost yang akan muncul dalam pemanfaatan SDA strategis berdasarkan teknologi dan penggunaan peta bumi politik dengan memandang faktor geografis sebagai faktor penentu.

2.3 Pengelolaan Kawasan Perbatasan

Perbatasan adalah sebuah demarkasi antara dua negara state’s border yang berdaulat dan terbentuk dengan lahirnya negara. Sebelumnya penduduk yang tinggal di wilayah tertentu tidak merasakan perbedaan itu, bahkan tidak jarang mereka berasal dari etnis yang sama. Namun dengan munculnya negara, mereka terpisahkan dan adanya tuntutan negara itu mereka mempunyai kewarganegaraan yang berbeda Susetyo 2008. Perbatasan telah memperoleh makna yang baru sebagai konstruksi sosial dan kultural yang tidak lagi terikat pada pengertian yang bersifat teritorial Tirtosudarmo 2005. Menurut Wadley 2002, batas negara ialah sebuah garis yang memisahkan sistem sosial yang berbeda dan daerah perbatasan menjadi wilayah yang bersifat marjinal, yang legitimasinya tergantung hubungan dan partisipasi dalam sistem sosial yang dtentukan di pusat, sehingga bukan sekedar sistem sosial yang unik. Perbatasan dapat diartikan sebagai suatu unit legal politis yang mempunyai berbagai fungsi unik sekaligus startegis bagi suatu negara. Dalam konteks pemahaman tersebut maka perbatasan memiliki fungsi militer strategis, ekonomi, konstitusi, identitas, kesatuan nasional, pembangunan negara dan kepentingan domestik Blanchard 2005. Untuk menganalisis perbatasan ada beberapa elemen yang perlu mendapat perhatian, sebagai berikut: 1 kekuatan pasar dan arus perdagangan; 2 kebijakan pemerintah negara-negara yang berbatasan langsung; 3 pengaruh faktor politis masyarakat di wilayah perbatasan; dan 4 budaya khas masyarakat di wilayah perbatasan. Dalam konteks borders dipahami sebagai suatu garis imajiner yang memisahkan wilayah suatu negara yang secara geografis berbatasan langsung dengan wilayah negara lain. Sesungguhnya pengertian mengenai perbatasan tidaklah sederhana, karena di dalamnya juga mengandung dimensi lain seperti garis batas border lines, sempadan boundary, dan perhinggaan frontier, yang merupakan persoalan politik Anggoro 2004. Kawasan perbatasan kepulauan Sangihe dimaksud adalah sebutan bentangan laut dengan beberapa pulau kecil yang terletak di ujung utara sebagai penentuan batas wilayah NKRI. Pulau terluar dalam kawasan perbatasan dimaksud adalah Pulau Marore, Pulau Kawio, Pulau Kemboleng, Pulau Matutuang, Pulau Kawaluso, dan Pulau Lipang. Kawasan perbatasan kepulauan Sangihe mempunyai keterkaitan kedepan forward linkage adalah Filipina dengan wilayah pemasaran produk adalah Filipina Manila, Hongkong, Kaohsiung, Busan dan Jepang. Sedangkan keterkaitan kebelakang backward linkage, adalah: Kepulauan Talaud, Kepulauan Sitaro, Manado Sulawesi Utara, dan Gorontalo. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain dalam pengelolaan P2K perbatasan harus menganut sistem outward looking dalam pengelolaannya bukan inward looking. Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain. Sedangkan dalam pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, Pemerintah berwenang: 1 menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan; 2 mengadakan perundingan dengan negara lain mengenai penetapan Batas Wilayah Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional; 3 membangun dan membuat tanda Batas Wilayah; 4 melakukan pendataan dan pemberian nama pulau dan kepulauan serta unsur geografis lainnya; 5 memberikan izin kepada penerbangan internasional untuk melintasi wilayah udara teritorial pada jalur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; 6 memberikan izin lintas damai kepada kapal-kapal asing untuk melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan pada jalur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; 7 melaksanakan pengawasan di zona tambahan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran dan menghukum pelanggar peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, fiskal, imigrasi, atau saniter di dalam Wilayah Negara atau laut teritorial; 8 menetapkan wilayah udara yang dilarang dilintasi oleh penerbangan internasional untuk pertahanan keamanan; 9 membuat dan memperbarui peta Wilayah Negara dan menyampaikannya kepada DPR sekurang-kurangnya setiap 5 lima tahun sekali; dan 10 menjaga keutuhan, kedaulatan, dan keamanan Wilayah Negara serta Kawasan Perbatasan Pasal 10 UU No. 432008. Selanjutnya untuk kewenangan pemerintah provinsi telah dimuat dalam Pasal 11 UU No. 432008, serta untuk kewenangan pemerintah kabupatenkota dimuat dalam Pasal 12 UU No. 432008. Dengan demikian pengelolaan kawasan perbatasan negara Indonesia dengan negara Filipina, idealnya mempertimbangkan perwujudan fungsi dan wewenang dalam konteks aturan perundang-undangan. Pertimbangan pengelolaan kawasan perbatasan harus sesuai dengan fungsi yaitu: keamanan security, kesejahteraan prosperity, dan fungsi lingkungan environment. Hal ini merupakan suatu keniscayaan dalam upaya melakukan transformasi kawasan perbatasan dari “halaman belakang” menjadi “beranda terdepan” wilayah NKRI. Pengelolaan masalah keamanan di kawasan perbatasan dapat dimaknai sebagai segenap kebijakan dan upaya terkait yang ditujukan untuk mengurangi potensi ancaman, kondisi ketidakamanan, dan memaksimalkan keamanan di wilayah perbatasan. Terdapat dua sistem yang diterapkan oleh negara dalam pengelolaan keamanan di kawasan perbatasan, yaitu: 1 hard border regime, yakni rejim keamanan perbatasan yang menganut sistem perbatasan sangat ketat dengan menempatkan pasukan bersenjata lengkap di setiap pos-pos perbatasan; dan 2 soft border regime, yaitu memperlakukan pengamanan perbatasan tidak terlalu ketat Wuryandari 2009. Sejalan dengan itu maka pantai dan laut harus dijaga dengan tugasnya, adalah: 1 melakukan tugas-tugas patroli guna menegakan hukum di laut; 2 melakukan shipping law enforcement dalam rangka penegakan ketentuan keselamatan pelayaran, 3 melaksanakan pengawasan di laut terhadap kemungkinan pengrusakan terumbu karang dan habitat laut; 4 melaksanakan pemeriksaan di laut terhadap kapal-kapal yang melakukan pelanggaran hukum serta ketentuan keselamatan pelayaran; 5 melaksanakan pencarian dan pertolongan di laut; 6 melaksanakan penanggulangan dan pertolongan tumpahan minyak dan kebakaran kapal di laut; dan 7 memasang, mengawasi dan menjaga sarana bantu navigasi dan stasiun radio pantai Kamaluddin 2002.

2.4 Daya Dukung dalam Pengelolaan P2K Perbatasan

Fauzi 2000 menyatakan, terdapat beberapa konsep pengukuran daya dukung lingkungan yang sering digunakan yaitu: 1 potensi maksimum sumber daya; 2 kapasitas penyerapan absorptive capacity atau sering disebut dengan kapasitas asimilasi assimilative capacity, dan 3 daya dukung lingkungan environmental carrying capacity. Konsep potensi maksimum sumber daya didasarkan pada pemahaman untuk mengetahui potensi sumber daya yang dapat menghasilkan barang dan jasa dalam jangka waktu tertentu, pengukurannya didasarkan pada perkiraan-perkiraan ilmiah atau teoritis. Kapasitas penyerapan absorptive capacity atau kapasitas asimilasi assimilative capacity adalah kemampuan SDA dapat pulih misalnya air, udara untuk menyerap limbah akibat aktivitas manusia. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan dan makhluk lain Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009. Menurut Dahuri 2003, sumber daya hayati pesisir dan lautan memiliki peluang sangat besar untuk mengalami kepunahan. Hal ini disebabkan karena sumber daya hayati laut biasanya bersifat milik bersama common property dan open access siapa saja dan kapan saja boleh memanfaatkan. Untuk menjaga kelestarian sumber daya perairan yang bersifat common property dan open access perlu dibuat kebijakan ekonomi yang tidak hanya berorientasi pada tingkat pertumbuhan semata, melainkan juga tetap berpihak pada lingkungan. Fauzi 2004, salah satu masalah penting yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi adalah bagaimana menghadapi trade off antara pemenuhan kebutuhan pembangunan dan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan. Pembangunan ekonomi yang berbasis SDA yang tidak memperhatikan aspek lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan, karena SDA dan lingkungan memiliki kapasitas yang terbatas. Menurut Fauzi 2005, kerusakan lingkungan secara umum dipicu oleh dua faktor utama yang dominan yaitu kebutuhan ekonomi economic driven dan kegagalan kebijakan policy failure driven. Daya dukung dalam pengelolaan P2K dapat dilihat dari beberapa tingkatan, yaitu daya dukung ekologis, daya dukung fisik, daya dukung sosial, dan daya dukung ekonomi. Daya dukung ekologis adalah tingkat maksimum jumlah dan volume pemanfaatan suatu sumber daya atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan atau zona sebelum terjadinya penurunan kualitas ekologis. Secara fisik, daya dukung adalah jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumber daya atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan atau zona tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas fisik. Daya dukung sosial adalah tingkat kenyamanan apresiasi pengguna suatu sumber daya atau ekosistem terhadap suatu kawasan atau zona akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan. Daya dukung ekonomi adalah tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu sumber daya yang memberikan keuntungan maksimum secara bersinambungan Dahuri 2003a. Daya dukung suatu ekosistem alam seperti wilayah pesisir dan lautan dapat dilihat dari empat fungsinya, yaitu: 1 penyedia SDA; 2 penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan life supporting systems; 3 penyedia jasa-jasa kenyamanan amenity services; dan 4 penyerap limbah waste receplace Ortolano 1984. Menurut Dahuri, et al 1996 secara ekologis terdapat empat syarat agar pembangunan di wilayah pesisir dan lautan dapat berlangsung secara berkelanjutan, yaitu: 1 menempatkan setiap kegiatan pembangunan pada lokasi yang secara ekologis sesuai suitable dengan kegiatan pembangunan tersebut; 2 pemanfaatan SDA tidak melebihi potensi lestari renewable capacity; 3 pembuangan limbah tidak melebihi kapasitas asimilasi ekosistem pesisir dan lautan; dan 4 kegiatan rancang bangun konstruksi dan modifikasi bentang alam landscape harus sesuai dengan karakteristik dan dinamika alamiah pesisir dan lautan.

2.5 Penilaian Depresiasi Sumber Daya Ikan

Menurut Fauzi dan Anna 2005, degradasi mengacu pada penurunan kualitas kuantitas SDA yang dapat diperbaharukan renewable resources, dalam hal ini, kemampuan SDA untuk regenerasi sesuai kapasitas produksinya yang berkurang. Kondisi ini dapat terjadi baik karena kondisi alamiah maupun karena pengaruh aktivitas manusia. Untuk SDI, kebanyakan degradasi terjadi akibat kegiatan manusia anthropogenic, baik berupa aktivitas produksi penangkapan atau eksplorasi maupun aktvitas non produksi pencemaran. Fauzi dan Anna 2002 menyatakan, dalam kondisi aktual, jarang sekali terjadi eksploitasi perikanan pada tingkat penangkapan maupun upaya yang optimal, padahal dengan melakukan eksploitasi pada tingkat optimal maka perikanan tangkap akan lestari. Hartwick 1990, menyatakan bahwa perbedaan antara upaya aktual dengan upaya optimal sangat diperlukan bagi penentu kebijakan, guna meminimalkan opportunity cost dalam bentuk keuntungan ekonomi optimal lestari yang hilang karena mengeksploitasi sumber daya perikanan pada tingkat sekarang. Pengukuran depresiasi menggunakan metode present value, di mana seluruh rente yang akan datang future value of rent yang diharapkan dihasilkan dari SDI dihitung dalam nilai di masa sekarang present value Fauzi dan Anna 2002, dengan anggapan bahwa kurva permintaan bersifat elastis, maka rente SDI dihitung berdasarkan persamaan:  t  a  bH t H t  c t E t  U H  cE 2.1  t V t  2.2  t adalah rente SDI, a adalah intersep kurva permintaan, b adalah slope kemiringan, H t adalah tangkapan lestari, E t adalah tingkat upaya, c t adalah biaya per unit upaya dan t adalah periode waktu. UH adalah utilitas manfaat yang dihasilkan dari SDI. Jika diasumsikan bahwa biaya per unit input adalah konstan, maka present value dari rente perikanan pada periode tidak terbatas t = 0 sampai tak terhingga adalah sebagai berikut:   adalah nilai social discount rate konstan. Perubahan present value dari sumber daya antar periode t-1 dan t, V t – V t-1 menyebabkan nilai bersih perubahan dalam stok sumber daya terdepresiasi sebagai berikut: V t  V t 1    t   t 1   2.3 di mana V t  V H t , p t H t , E t , c t ,  dan V t 1  V H t 1 , p t 1 H t 1 , E t 1 , c t 1 ,  . 2.6 Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Optimal Eksploitasi optimal SDI sepanjang waktu, pada dasarnya dapat diketahui dengan menggunakan teori kapital ekonomi sumber daya yang dikembangkan oleh Clark dan Munro 1975, dimana manfaat dari eksploitasi sumber daya perikanan sepanjang waktu ditulis sebagai berikut: max V t     t 0 t H t , x t E t e   t dt 2.4 dengan kendala : x t   x  F x  hx, E  x  x max  h  h max Dengan memberlakukan Pontryagins Maximum Principle, masalah di atas dapat dipecahkan dengan teknik Hamiltonian. Fungsi Hamiltonian adalah formula dalam optimal control theory yang digunakan untuk menentukan time path yang lengkap dari peubah control, state variabel dan nilai stok Anna 2003, sebagai berikut: 2.5 Persamaan di atas menggambarkan present value Hamiltonian. Dengan mentransformasikan persamaan di atas menjadi current value Hamiltonian, maka persamaan 2.5 berubah menjadi: 2.6 Dimana adalah current value shadow price, dan H adalah current value Hamiltonian. Dengan menggunakan Pontryagin Maximim Principle dari persamaan tersebut di atas menjadi: 2.7 2.8 2.9 2.10 Salam kondisi steady state, maka dan , sehingga dari persamaan 2.7 dan persamaan 2.10, menghasilkan: 2.11 Dan 2.12 Dengan menggunakan persamaan 2.9 dihasilkan: 2.13 Persamaan 2.13 dapat disederhanakan menjadi: 2.14 Dengan mengalikan kedua sisi persamaan 2.14 dan menyederhanakan, maka akan diperoleh Modified Golden Rule sebagai: 2.15 Di mana FX t adalah pertumbuhan alami dari stok ikan,   H , x, E x adalah rente marjinal akibat perubahan biomass,   H , x, E H adalah rente marjinal akibat perubahan produksi. Parameter ekonomi dan biologi ditentukan oleh besaran c biaya per unit effort, p harga ikan,  adalah discount rate dan q merupakan koefisien penangkapan. FX t adalah produktivitas marjinal dari dari biomas yang merupakan turunan pertama dari FX t . Hasil dari persamaan di atas menghasilkan X optimal yang dapat digunakan untuk menghitung tingkat tangkapan dan upaya yang optimal. Dengan demikian maka diketahui rente SDI yang merupakan hasil dari perkalian antara harga produk ikan dengan tangkapan optimal dikurangi biaya dari tingkat upaya optimal, atau:  t   P t  H H t   c t  E t  2.16

2.7 Model Bio-Ekonomi Sumber Daya Perikanan

Untuk mengetahui nilai estimasi tangkapan lestari, perlu diketahui produktivitas dari stok ikan, yang biasanya diestimasi dengan model kuantitatif. Produktivitas stok ikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik biologi, iklim, maupun aktivitas manusia yang menyebabkan turunnya kualitas perairan melalui pencemaran, perusakan ekosistem pesisir serta pemutusan rantai makanan. Faktor eksogenous seperti penggunaan input atau upaya penangkapan, serta pengelolaan dan regulasi sumber daya juga akan sangat mempengaruhi produktivitas stok ikan. Untuk menganalisis stok ikan sebagai digunakan production surplus dengan persamaan: dX t dt  F X t  H 2.17 Di mana FX t adalah laju pertumbuhan alami atau laju penambahan asset biomas, H t adalah laju penangkapan atau laju pengambilan. Terdapat dua bentuk model fungsional untuk menggambarkan stok biomas, yaitu bentuk Logistik dan bentuk Gompertz, sebagaimana persamaan dibawah ini: Bentuk Logistik: dX t dt  rX t  1   X t K    H t 2.18 Bentuk Gompertz: dX t dt  rx lnK X t  H t 2.19 Dimana r adalah laju pertumbuhan intrinsik, K adalah daya dukung lingkungan. Bentuk fungsional Logistik adalah simetris, sementara bentuk Gompertz tidak. Diasumsikan bahwa laju penangkapan linear terhadap biomas dan effort sebagaimana ditulis sebagai berikut: H t  qE t X t 2.20 dimana q adalah koefisien kemampuan penangkapan dan E t adalah upaya penangkapan. Dengan mengasumsikan kondisi keseimbangan maka kurva tangkapan-upaya lestari yield-effort curve dari kedua fungsi di atas dapat ditulis sebagai berikut: Logistik : H t  qKE t   E  qE   q 2 K  2  r  2.21 Gompertz : H t  qKE t exp    r  Estimasi parameter r, K dan q untuk persamaan yield-effort dari kedua model di atas Logistik dan Gompertz melibatkan teknik non-linear. Namun demikian, dengan menuliskan U t  H t E t persamaan 2.21 di atas dapat ditransformasikan menjadi persamaan linear sehingga metode regresi biasa dapat digunakan untuk mengestimasi parameter biologi dari fungsi di atas. Dalam penelitian ini teknik estimasi parameter yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley 1992 atau sering dikenal sebagai metode CYP digunakan untuk menduga parameter r, q dan K melalui persamaan: lnU t 1  2r 2  r lnqK  2  r 2  r lnU t  q 2  r E t  E t 1 2.22 Data time series produksi dan upaya catch and effort selama dua puluh tahun yang dikumpulkan dari wilayah penelitian Kabupaten Kepulauan Sangihe dijadikan basis untuk perhitungan kurve yield-effort dengan menggunakan perangkat lunak komputer program microsoft excel. Alat tangkap untuk menangkap ikan pelagis kecil dan alat tangkap yang menangkap ikan pelagis besar digunakan dalam pemecahannya rumus tersebut di atas. Oleh karena itu untuk memperoleh unit upaya yang benar, seluruh unit effort distandardisasi berdasarkan alat tangkap base. Sementara data ekonomi yakni biaya dan harga diperoleh dari survei. Seluruh data ekonomi dikonversikan ke nilai riil dengan menyesuaikan nilai nominal ke indeks harga konsumen consumer’s price index. Khusus untuk data time series dari biaya per upaya tidak tersedia secara time series, maka dilakukan perhitungan sebagaimana dilakukan oleh Tai et al 2001 untuk menkonversi data cross section biaya ke time series dilakukan dengan menyesuaikan dengan indeks harga konsumen. Perhitungan nilai optimal produksi dan upaya serta rente ekonomi dilakukan secara numerik dengan perangkat lunak Maple.13.

2.8 Perkembangan Wilayah dan Model Ekonomi Basis

Menurut Arsyad 1991, pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan daerah terletak pada penekanan terhadap kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan endogeneus development sesuai potensi SDM, kelembagaan dan sumber daya fisik secara lokal. Alkadri dan Djajadiningrat 2002, menyatakan disadari bahwa pembangunan daerah tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi merupakan suatu proses perbaikan tatanan sosial, ekonomi, hukum, politik, lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan sustainable welfare. Pada tahap awal, kegiatan pembangunan daerah biasanya ditekankan pada pembangunan fisik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kemudian diikuti dengan pembangunan sistem sosial dan politik. Namun demikian tahapan ini, bukanlah merupakan suatu ketentuan yang baku, karena setiap daerah mempunyai potensi pertumbuhan yang berbeda dengan daerah lain. Secara garis besar, beberapa konsep perencanaan pembangunan di suatu daerah Mangari 2000; Widiati 2000, meliputi: 1 perencanaan pembangunan daerah berbasis sumber daya; 2 perencanaan pembangunan daerah berbasis komoditas unggulan; 3 perencanaan pembangunan daerah berbasis efisiensi free market mechanism, dan 4 perencanaan daerah menurut peranan pelaku pembangunan. Untuk mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah, perlu ditentukan prioritas pembangunan daerah. Kebijakannya adalah mengusahakan semaksimal mungkin agar prioritas pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Prioritas pembangunan yang tidak sesuai dengan potensi daerah, mengakibatkan sumber daya yang ada belum atau kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Keadaan ini mengakibatkan lambatnya proses pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan, dan pada akhirnya dapat mengakibatkan timbulnya kepincangan pembangunan dan tertinggalnya daerah tersebut dibandingkan dengan wilayah lain Safrizal 1997 Pertumbuhan berbasis ekspor didasarkan pada pemikiran bahwa suatu wilayah harus meningkatkan arus atau aliran langsung keluar wilayah agar bisa tumbuh secara efektif. Pasar ekspor merupakan penggerak utama atau sebagai mesin pertumbuhan ekonomi wilayah engine of region economic growth Tiebout 1962. Teori pertumbuhan berbasis ekspor memisahkan kegiatan ekonomi dalam dua sektor terpisah. Sektor ekspor adalah seluruh aktivitas ekonomi yang terutama ditujukan untuk memenuhi permintaan ekspor, yang dikenal dengan sektor dasar basic sector, dan lainnya adalah sektor lokal local sector, yaitu aktivitas produksi dan jasa yang ditujukan untuk melayani permintaan masyarakat lokal Budhiharsono 2005; Ghalib 2005; Glasson 1974; Safrizal 2008; Tiebout 1962. Inti dari model ekonomi basis economic basis model adalah bahwa arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah tersebut Budhiharsono 2005; Safrizal 2008. Beberapa alat ukur secara kuantitatif yang digunakan dalam menganalisis potensi daerah sebagai komoditas ekspor atau sebagai ekonomi basis, meliputi: 1 model location quotients LQ; 2 concentration index CI; 3 specialization index SI; dan4 model shift share Alkadri dan Djajadiningrat 2002; Budhiharsono 2005; Ghalib 2005; Safrizal 2008. Menurut Bendavid 1991, LQ adalah suatu index untuk mengukur tingkat spesialisasi relatif suatu sektor atau sub sektor ekonomi suatu wilayah tertentu. LQ dapat dinyatakan dalam beragam ukuran terminology namun yang sering digunakan adalah ukuran tenaga kerja sector and sub sector employment dan ukuran nilai tambah produk sector and sub sector value added. Formula yang digunakan dan yang menggambarkan indeks konsentrasi untuk terminologi kesempatan kerja adalah sebagai berikut: 2.23 di mana: LQ = Location Quotients; = total angkatan kerja sektor i wilayah R; = total angkatan kerja wilayah R; = total angkatan kerja sektor i wilayah N; = total angkatan kerja wilayah N. Sedangkan formula yang menggambarkan definisi indeks konsentrasi untuk terminologi nilai tambah produksi sebagai berikut: 2.24 di mana: LQ = Location Quotients; = total nilai tambah produksi sektor i wilayah R; = total nilai tambah produksi wilayah R; = total nilai tambah produksi sektor i wilayah N; = total nilai tambah produksi wilayah N. Ketentuan yang berlaku adalah jika LQ 1 maka sektor tersebut realtif di atas representasinya over represented di daerah studi tersebut. Jika LQ = 1, maka sektor tersebut relatif proporsional proportional, dan jika nilai LQ 1 maka sektor tersebut relatif di bawah proporsional under proportional. Peningkatan ekspor terjadi disebabkan suatu daerah yang bersangkutan memiliki keuntungan komparatif comparative advantage yang cukup besar untuk beberapa sektor tertentu, namun pengukuran besarnya keuntungan komparatif tidak dapat dilakukan dengan persamaan regresi Safrizal 2008. Oleh karena itu analisis untuk model basis ekspor perlu dilengkapi dengan metode lain yang lazim disebut dengan shift share analysis. Shift share merupakan salah satu analisis yang cukup penting dalam studi perencanaan wilayah, yang pendekatannya menggabungkan dua hal pokok yakni unsur spasial dan unsur sektoral yang diterapkan dalam kerangka dimensi waktu. Perbedaannya dengan model pertumbuhan makro ekonomi umumnya, pendekatan shift share cenderung melakukan disagregasi ekonomi sektoral dengan menganalisis peranan masing-masing sektor terhadap perekonomian lokal. Konsep dasar yang melatarbelakangi hal ini adalah bahwa terdapat daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya, maka analisis yang dilakukan harus menguraikan peranan masing-masing unsur baik sektoral maupun unsur spasial Setiono 2010. Pertumbuhan ekonomi lokal diasumsikan dapat didekomposisikan menjadi dua komponen utama yaitu komponen share dan komponen shift. Komponen share merupakan komponen kontribusi dari pertumbuhan perekonomian wilayah acuan secara keseluruhan, sedangkan komponen shift merupakan simpangan atau pergeseran terhadap komponen share tersebut Gambar 2. Kontribusi ekonomi wilayah faktor share Pertumbuhan Pergeseran Proporsional Proportionality shift sektor ekonomi wilayah kontribusi faktor eksternal terhadap ekonomi lokal Pergeseran diferensial Kontribusi dari pergeseran ekonomi sektoral dan lokal faktor shift Ekonomi Lokal Kabupaten Kepulauan Sangihe differential shift sektoral ekonomi lokal kontribusi faktor internal terhadap ekonomi lokal Gambar 2. Diagram konsep dari model perhitungan shift-share Terjadinya komponen shift disebabkan oleh dua hal, yakni: 1 simpangan antara pertumbuhan sektoral wilayah acuan dengan pertumbuhan total wilayah acuan; dan 2 simpangan antara pertumbuhan sektor lokal dengan pertumbuhan sektor wilayah acuan. Komponen shift yang pertama merupakan pengaruh kontribusi dari pertumbuhan sektor eksternal terhadap ekonomi lokal, sedangkan komponen shift yang kedua merupakan pengaruh kontribusi dari pertumbuhan sektor internal. Komponen shift pertama sering juga disebut dengan proportional shift atau kadang-kadang disebut sebagai komponen industri campuran industrial mix, sedangkan komponen shift yang kedua sering disebut sebagai differential shift. Model shift-share diterapkan untuk menganalisis komponen-komponen yang menentukan terjadinya pertumbuhan perekonomian lokal untuk satu periode tertentu. Pengetahuan atas komponen-komponen tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk melakukan proyeksi pertumbuhan perekonomian lokal mendatang. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data PDRB-ADHK harga konstan tahun 2000 tahun 2005 dan tahun 2009 baik untuk Provinsi Sulawesi Utara maupun untuk Kepulauan Sangihe. Penggunaan data PDRB tahun 2005 dan tahun 2009 di atas dapat dirumuskan model aljabar analisis shift share sebagai berikut: 2.25 Dimana = differential shift Dengan: ∆E05-09i = Tingkat pertumbuhan PDRB sektor i di perekonomian Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2005 sampai tahun 2009. Ref09 = Jumlah PDRB di perekonomian Sulawesi Utara tahun 2009 Ref05 = Jumlah PDRB di perekonomian Sulawesi Utara tahun 2005 E09i = Jumlah PDRB di sektor i perekonomian Sulawesi Utara tahun 2009 E05i = Jumlah PDRB di sektor i perekonomian Sulawesi Utara tahun 2005 Lok09i = Jumlah PDRB di sektor i perkonomian Kepulauan Sangihe tahun 2009 Lok05i = Jumlah PDRB di sektor i perkonomian Kepulauan Sangihe tahun 2005

2.9 Model Analisis Regresi dengan Variabel Kategorik

Penelitian terapan kuantitatif seperti mencari model hubungan, mencari bentuk kecenderungan, meramalkan, analisis inferensi, dan pengambilan keputusan perancangan percobaan, secara keseluruhan sangat tergantung kepada statistika sebagai alat untuk proses analisisnya. Diantara bentuk-bentuk tersebut diatas, analisis regresi menjadi salah satu yang paling banyak aplikasinya. Analisis regresi memberikan keleluasaan kepada peneliti untuk menyusun model hubungan atau pengaruh beberapa peubah bebas atau variabel bebas independent variable terhadap peubah terikat atau variabel terikat dependent variable, bahkan digunakan untuk meramal kondisi berikutnya Suhardjo 2008. Regresi memiliki bentuk bermacam-macam, antara lain: a regresi linear sederhana maupun regresi linear berganda digunakan untuk mencari model hubungan linear antara peubah- peubah bebas dengan peubah terikat sepanjang tipe datanya adalah interval atau rasio; b regresi dummy memfasilitasi apabila ada salah satu atau lebih peubah bebas yang bertipe nominal atau ordinal; c regresi data panel memberikan keleluasaan kepada peneliti apabila data yang diregresikan merupakan data cross section maupun data runtun waktu; dan d regresi logistik membantu peneliti untuk meregresikan peubah terikat yang betipe nominal biner maupun nominal atau ordinal non-linear sehingga dapat dicarikan peluang untuk terjadi atau tidak terjadinya suatu kejadian. Banyak topik penelitian yang menuntut peubah tidak bebas berupa pilihan nominal seperti tidak terjadi atau terjadi, memilih atau tidak memilih, sukses atau gagal. Regresi dengan peubah tidak bebas berupa nilai dummy 1 atau 0. Misalnya suatu bank akan meneliti apakah pembayaran dari nasabah baik atau tidak baik. Peubah Y = 1 jika tidak menunggak dan Y = 0, jika menunggak. Jika peubah bebas hanya satu peubah X saja, maka model digunakan adalah fungsi logistik: 2.26 Fungsi ini kemudian disederhanakan, dengan Hasilnya adalah model sebagai berikut: 2.27 Sehingga kalau dilakukan transformasi logaritmik hasilnya adalah: 2.28 Ini disebut fungsi logistik dan tampak sangat jelas berbentuk linear, sehingga persamaan di atas juga dapat diselesaikan secara regresi linear sebagaimana sebelumnya. 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pemetaan Proses Penelitian

Secara ringkas, keseluruhan proses penelitian disertasi ini dipetakan dalam diagram yang dibangun berdasarkan prinsip input, proses dan output Gambar 3. Input penelitian berupa tujuan penelitian yang diuraikan secara lebih detail. Untuk masing-masing tujuan dapat mempunyai satu atau lebih dari satu tolok ukur dan setiap tolok ukur akan terkait dengan jenis data yang dibutuhkan dan saling terkait antara tolok ukur yang satu dengan yang lain, dalam arti bahwa terjadi kemungkinan bahwa data atau informasi yang telah digunakan dalam tolok ukur yang satu akan digunakan kembali oleh tolok ukur lainnya. Proses berikutnya dilakukan dilakukan pengumpulan data berupa data Produk Domestik Regional Bruto PDRB untuk Kabupaten Kepulauan Sangihe maupun Provinsi Sulawesi Utara. Data PDRB yang dikumpulkan adalah data PDRB atas dasar harga yang berlaku PDRB- ADHB, dan PDRB atas dasar harga konstan PDRB-ADHK. Selain data PDRB, juga dikumpulkan data tentang produksi ikan menurut jenis ikan, jumlah trip melaut, harga ikan, harga bahan bakar minyak BBM, olie, dan lain-lain. Data yang lain juga dikumpulkan adalah: jumlah penduduk, kegiatan pos Marore, perkembangan usaha pertanian, pemasukan bahan pokok dan lain-lain. Data mengenai persepsi masyarakat terhadap proses pembangunan di Kabupaten Kepulauan Sangihe diperoleh dari masyarakat dan tokoh masyarakat dalam bentuk opini atau apresiasi masyarakat. Pengumpulan data juga dilakukan melalui suatu diskusi yang mendalam berupa focus group discussion FGD yang dilakukan di Manado dan Tahuna. UJUAN UMUM TUJUAN KHUSUS INDIKATOR DATA METODE DAN TOOLS O Menganalisis dan mengevaluasi kinerja ekonomi Kepulauan Perkembangan kinerja ekonomi Kepulauan Sangihe Merumuskan natif kebijakan dan program gelolaan pulau- pulau kecil perbatasan basis geopolitik, daya dukung ekonomi dan Sangihe Menganalisisis dan mengevaluasi komoditas unggulan Kepulauan Sangihe Mengevaluasi dan menganalisis daya dukung ekonomi dan lingkungan SDA di Kepulauan Sangihe Menganalisis dan mengevaluasi Teridentifikasinya komoditas unggulan Kepulauan Sangihe berbasis SDA Ternilainya tingkat depresiasi SDI Dirumuskannya pola pengembangan SDI berbasis kelestarian PDRB Kepulauan Sangihe ADHB dan ADHK, laju pertumbuhan, dll Produksi SDI menurut jenis, alat tangkap, jumlah unit usaha, dll MSY, MEY, discount rate, pengelolaan optimal PDRB Sektor, Laju Pertumbuhan, strukutur, shift share, LQ, dll CPUE, Discounte rate, CYP, depresiaisi, fungsi produksi, dll MICROSOFT EXCEL MICROSOFT EXCEL, MAPLE, kondisi dan perkembangan wilayah perbatasan serta apresiasi masyarakat Teridentifikasinya kondisi dan apresiasi masyarakat P2K Perbatasan Kepulauan Sangihe Primer Sekunder: dokumen, surat penting, persepsi, sejarah, dll Analisis Isi, wacana, deskriptif, Menganalisis dan mengevaluasi peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kegiatan perdagangan illegal Teridentifikasinya peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kegiatan perdagangan illegal Primer sekunder: Dokumen, data dari penyelundup, non- penyelundup, data pengusaha Analisis rregresi logoistik MICROSOFT EXCEL, MINITAB, EViews Gambar 3 Pemetaan proses penelitian kebijakan pengelolaan P2K perbatasan Proses pengolahan data dilakukan untuk menghitung berapa permintaan wilayah luar Kepulauan Sangihe melalui metode location quotient LQ dan menganalisis perubahan- perubahan struktur ekonomi wilayah lokal dalam kaitannya dengan ekonomi wilayah acuan tertentu yang lebih besar melalui metode shift share. Selanjutnya diperoleh hasil tentang ekonomi basis yang mampu memenuhi kebutuhan sendiri dan mempunyai peluang dan kemampuan melaksanakan ekspor. Pengukuran untuk evaluasi perkembangan perikanan dilakukan melalui perhitungan catch per unit effort CPUE, standardisasi effort, pendugaan parameter biologi, degradasi, discount rate, dengan metode Clarke, Yoshimoto dan Pooley atau dikenal dengan CYP 1992 serta MAPLE. Kajian ini menggambarkan daya dukung ekonomi dan lingkungan perairan di Kepulauan Sangihe. Sebagai daerah perbatasan, sering terjadi transaksi barang dan jasa antara masyarakat Kepulauan Sangihe dengan Filipina bagian selatan seperti masyarakat dari Pulau Balut, Pulau Saranggani, Glan, dan General Santos, yang secara tradisional telah terjadi berabad-abad yang lalu. Pernyataan kemerdekaan kedua negara menyebabkan terpisahnya hubungan yang secara tradisional telah dilakoni pada masa lalu, karena adanya aturan negara-negara yang bertetangga. Pembatasan aturan tersebut menyebabkan “tersumbatnya” berbagai aktivitas perdagangan masyarakat P2K perbatasan karena keterbatasan pasar akibat dibatasinya jumlah dan nilai yang dapat diperdagangkan yang berlaku sejak tahun 1957 sampai saat ini belum disesuaikan. Akibatnya terjadilah kegiatan perdagangan illegal yang disebut penyelundupan, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Analisis ini dilakukan dengan regresi logistik yang akan memberikan masukan tentang kemungkinan perlakuan perdagangan yang khusus untuk daerah tersebut. Kombinasi kajian tersebut di atas menghasilkan implikasi kebijakan secara terpadu dengan kemampuan mengembangkan keunggulan geopolitik, geoekonomi dan geostrategik yang dipandu oleh daya dukung ekonomi dan daya dukung lingkungan. Keunggulan geoekonomi adalah keunggulan untuk mengkombinasikan faktor ekonomi dan geografi dalam perdagangan internasional, sedangkan geostrategik adalah kombinasi antara faktor geopolitik pengaruh faktor geografi, ekonomi dan demografi dalam politik luar negeri suatu Negara dan strategi yang memberikan peran tertentu pada suatu kawasan geografi. Dalam bingkai inilah rumusan alternatif kebijakan dan program pengelolaan P2K perbatasan berbasis geopolitik, daya dukung ekonomi dan lingkungan Kepulauan Sangihe sebagai wilayah perbatasan dirumuskan.

3.2 Wilayah Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan April 2007 sampai dengan bulan Desember 2009 termasuk penulisan disertasi. Penelitian berlokasi di Kabupaten Kepulauan Sangihe Provinsi Sulawesi Utara Gambar 4, meliputi: Kecamatan Tahuna ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kecamatan Tabukan Utara Pulau Tinakareng, Bukide, Kawio, Matutuang, dan Pulau Marore, Kecamatan Kendahe Pulau Kawaluso dan Pulau Lipang. Pertimbangannya adalah: a lokasi ini memiliki karakteristik sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti yaitu suatu kawasan yang berbatasan dengan negara Filipina; b kawasan ini sering dijadikan transaksi perdagangan illegal antara masyarakat Filipina Selatan terutama Pulau Saranggani, Pulau Balut, dan General Santos; c kawasan ini menjual beberapa komoditas hasil “selundupan” dari Filipina ke Indonesia dan sebaliknya; dan d khusus di Kecamatan Tahuna adalah lokasi pemerintahan Kabupaten Kepulauan Sangihe. Wilayah penelitian ini kemudian mengalami pemekaran yaitu Pulau Marore, Matutuang, dan Pulau Kawio, yang sebelumnya berada di Kecamatan Tabukan Utara, berganti menjadi Kabupaten Kepulauan Marore. Sedangkan wilayah penelitan yang lain masuk dalam Kecamatan Nusa Tabukan. Gambar 4 Lokasi penelitian Kepulauan Sangihe

3.3 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian dibatasi pada beberapa analisis yang diduga akan mempunyai kaitan erat dengan tujuan penelitian, yaitu: 1 analisis struktur dan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe; 2 analisis komoditas unggulan; 3 analisis daya dukung perikanan tangkap; 4 enalisis ekonomi pengembangan perikanan tangkap; 5 rezim pengelolaan sumber daya perikanan; 6 analisis kondisi dan perkembangan serta apresiasi masyarakat P2K perbatasan dan 7 analisis terjadinya perdagangan illegal. Analisis struktur perekonomian dan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe menggunakan data Produk Domestik Regional Bruto PDRB atas dasar harga berlaku ADHB dan atas dasar harga konstan ADHK. Analisis komoditas unggulan diniatkan pada ruang lingkup komoditas yang memiliki keunggulan komparatif melalui analisis location quotient LQ dan memiliki keunggulan kompetitif melalui analisis shift share. Analisis perikanan dilakukan untuk beberapa species tertentu terutama yang memiliki nilai ekonomis tinggi sesuai sarana produksi, usaha penangkapan, prasarana, unit pengolahan, unit pemasaran dan unit pembinaan. Dalam struktur ekonomi perikanan hanya akan mengukur harga output dan aspek peningkatan pendapatan nelayan. Analisis perdagangan illegal mengambil ruang lingkup perbedaan harga ikan dan karakteristik penduduk yang melakukan kegiatan illegal disebabkan berbagai keterbatasan yang ada. Selanjutnya dilakukan penelitian mengenai apresiasi masyarakat terhadap pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe.

3.4 Data dan Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang belum tersedia dan diperoleh dengan cara pengambilan langsung di lapangan. Pengambilan data primer berupa struktur biaya dari usaha penangkapan antar fleet serta pola usaha perikanan. Data ini merupakan data cross section yang diperoleh melalui survei dengan teknik purposive atau judgement sampling. Data struktur biaya dibagi dalam beberapa   w j c j 3.1 s  3.2 kelas fleet yang kemudian dilakukan pembobotan untuk memperoleh rataan tertimbang weighted average, sebagai berikut: C n j i dimana bobot weighted didasarkan pada rasio landing antar fleet j dengan total landing atau w j  h j  h j . Jumlah sampel contoh yang diambil didasarkan pada penentuan formula j sebagaimana dijelaskan oleh Fauzi 2001, yaitu: NZ 2 0,25  d 2 N  1    Z 2 0,25  dimana s adalah jumlah sampel yang diambil, N adalah jumlah populasi, Z adalah jumlah standar deviasi dari tabel statistik, dan d adalah tingkat ketelitian 5 atau 10. Penelitian ini juga memanfaatkan data sekunder yang runtun waktu time series yang meliputi data landing produksi, input yang digunakan effort, harga per unit output harga ikan per kg, indeks harga konsumen consumers price index, gross domestic regional product PDRB. Data lainnya juga diambil berupa komponen sosial, ekonomi, dan budaya yang dikumpulkan dari berbagai instansi baik pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa Instansi yang terkait dalam pengumpulan data penelitian ini adalah: Departemen Kelautan dan Perikanan, Badan Pusat Statistik BPS Kabuoaten Sangihe, dan Dinas Kelautan dan Perikanan di Provinsi dan Kabupaten, serta Pemerintah Kecamatan serta KelurahanDesa. Metode pengumpulan data lainnya dilakukan dengan focus group discussion FGD yang merangkum pemikiran-pemikiran serta pilihan-pilihan kebijakan pengelolaan P2K perbatasan secara bersama-sama dengan stakeholder dalam kelompok kecil yang terarah terutama untuk memilih kebijakan dan program yang telah dikaji sebelum melalui berbagai metode yang digunakan. FGD dilakukan di Tahuna, dihadiri oleh Bupati Kepulauan Sangihe, Bappeda, dinasinstansi, Camat, LurahDesa, dan LSM. Menurut Patton 2002 yang dikutip oleh Emzir 2010, terdapat tiga cara pengumpulan data dalam penelitian kualitatif, yaitu: wawancara, pengamatan, dan dokumen. Wawancara adalah pertanyaan terbuka dan teliti hasil tanggapan mendalam tentang pengalaman, persepsi, pendapat, perasaan, dan pengetahuan orang. Data ini terdiri kutipan yang sama dengan konteks yang cukup untuk diintepretasi. Pengamatan merupakan deskripsi kerja lapangan kegiatan, perilaku, tindakan percakapan, interkasi interpersonal, organisasi atau proses masyarakat, atau aspek lain dari pengalaman manusia yang diamati. Data ini terdiri dari catatan lapangan: deskripsi yang rinci, termasuk konteks dimana pengamatan dilakukan. Dokumen adalah bahan dan dokumen tertulis lainnya dari memorandum organisasi atau catatan program, publikasi dan laporan resmi, catatan harian pribadi, surat-surat dan tanggapan tertulis untuk survei terbuka. Data terdiri dari dokumen-dokumen yang diambil dengan cara mencatat dan mempertahankan konteks. Pada umunya studi kualitatif tidak menggunakan satu jenis data saja tetapi menggunakan berbagai variasi sumber data.

3.5 Metode Analisis Data

3.5.1 Analisis ekonomi basis

1 Analisis location quotient LQ Penelitian ini menggunakan nilai tambah bruto setiap sektor. Berdasarkan persamaan yang dikembangkan oleh Bendavid 1991 dapat ditulis kembali persamaan location quotient LQ sebagai berikut: 3.3 dimana LQ = Locatin Quotient subsektor di Kabupaten Kepulauan Sangihe; = Nilai tambah bruto subsektor i di Kabupaten Kepulauan Sangihe rupiah; = PDRB di Kabupaten Kepulauan Sangihe rupiah; = Nilai tambah bruto subsektor i di Provinsi Sulawesi Utara rupiah; = PDRB Provinsi Sulawesi Utara rupiah; Kriteria pengukuran model location quotient LQ tersebut adalah: 1 Jika nilai LQ 1, berarti sektor tersebut di Kabupaten Kepulauan Sangihe merupakan sektor basis, yang memberikan pengertian bahwa sektor tersebut mampu melayani pasar di dalam dan di luar Kabupaten Kepulauan Sangihe; 2 Jika nilai LQ = 1, berarti sektor tersebut hanya mampu melayani pasar di Kabupaten Kepulauan Sangihe saja atau belum mampu memasarkan hasil sektor tersebut ke daerah lain; dan 3 Jika LQ 1, berarti sektor tersebut belum mampu melayani pasar di Kabupaten Kepulauan Sangihe sekaligus bukan merupakan sektor basis. 2 Faktor pengganda pada metode LQ Dengan asumsi bahwa wilayah melakukan kegiatan ekspor pada nilai LQ 1, maka suatu kegiatan yang berdasarkan lapangan usaha yang melakukan ekspor dapat dihitung sebagai berikut: 3.4 Dimana adalah nilai atau juml;ah produk yang dapat menghasilkan ekspor 3 Analisis shift share Dalam menganalisis perubahan perekonomian Kabupaten Kepulauan Sangihe yang dibandingkan dengan perekonomian Sulawesi Utara digunakan model analisis shift share. Penggunaan data PDRB dengan harga konstan tahun 2000 adalah data PDRB tahun 2005 dan tahun 2009 baik untuk data Kabupaten Kepulauan Sangihe dan data untuk Sulawesi Utara. Menurut Setiono 2010, dari data tersebut dapat dirumuskan model aljabar analisis shift share sebagai berikut: 3.5 Dimana = differential shift Dengan: ∆E05-09i = Tingkat pertumbuhan PDRB sektor i di perekonomian Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2005 sampai tahun 2009. Ref09 = Jumlah PDRB di perekonomian Sulawesi Utara tahun 2009 Ref05 = Jumlah PDRB di perekonomian Sulawesi Utara tahun 2005 E09i = Jumlah PDRB di sektor i perekonomian Sulawesi Utara tahun 2009 E05i = Jumlah PDRB di sektor i perekonomian Sulawesi Utara tahun 2005 Lok09i = Jumlah PDRB di sektor i perkonomian Kepulauan Sangihe tahun 2009 Lok05i = Jumlah PDRB di sektor i perkonomian Kepulauan Sangihe tahun 2005

3.5.2 Evaluasi perkembangan perikanan tangkap

1 Data produksi perikanan Untuk menganalisis komponen biologi dalam penelitian perikanan, digunakan data time series produksi dan effort perikanan di lokasi penelitian selama periode tertentu 20 tahun data time series. Selanjutnya data yang tersedia masih bersifat agregat, maka dilakukan dekomposisi data untuk menentukan data produksi dan effort untuk jenis alat tertentu yang beroperasi di wilayah penelitian. Dekomposisi dilakukan dengan memilih alat tangkap dominan beroperasi di wilayah penelitian dengan target spesies. Untuk menghitung proporsi produksi terhadap alat tangkap digunakan formula: h = m ∏ t=1 h it h 1i + h 1m 1 n 1 di mana:i = 1,2,....., n. 3.6 h  m  h ij  n 1   i 1   h i  46 Dengan diketahuinya proporsi ini, maka akan diketahui data disagregasi produksi ikan terhadap total alat tangkap. Proses dekomposisi untuk menentukan produksi ikan di suatu perairan dilakukan dengan perhitungan melalui persamaan berikut: h =  ij h it 1 3.7 m  ij = ∏ t=1 h ij ∑ i n-1 3.8 Jadi hasil tangkapan spesies i oleh alat tangkap j pada periode t adalah sebagai berikut: h ijt       h it 1  3.9 Sehingga total produksi perikanan yang akan dianalisis setelah dekomposisi adalah sebagai berikut: hD i    h ijt i j 3.10 Teknik ini dimodifikasi dari teknik yang sama yang telah dilakukan oleh Watson et al. 2001 dan telah digunakan dalam penelitian oleh Anna 2003. Penjelasan dari keseluruhan proses persamaan di atas adalah sebagai berikut: jika dimisalkan bahwa catch dari spesies i oleh alat tangkap j pada periode t sebagai h ijt adalah proporsional terhadap jumlah spesies i yang diproduksi secara total pada periode t. Untuk menentukan proporsi yang tepat, maka digunakan rataan geometrik antara rasio dari hasil tangkapan dari spesies i sebagaimana diperlihatkan pada persamaan 3.9 yang merupakan perjumlahan hasil tangkapan dari spesies i oleh seluruh alat tangkap j. 2 Standardisasi effort Alat tangkap yang digunakan di sekitar perairan Kepulauan Sangihe cukup beragam, sehingga diperlukan suatu pendekataan kesetaraan dalam mengukur tingkat upaya yang dilakukan. Oleh karena itu dilakukan standardisasi tingkat upaya effort antar alat tangkap yang ada yang mengacu pada teknik standardisasi yang dikembangkan oleh King 1985 yang dikutip oleh Anna 2003, yang menyebutkan bahwa effort dari alat tangkap yang distandardisasi E berbanding lurus dengan nilai fishing power    dikalikan dengan jumlah fishing days D, sedangkan nilai fishing power didefinisikan sebagai perbandingan jumlah produksi per alat tangkap yang distandardisasi U dengan jumlah produksi per alat tangkap menjadi standar  U std  , dengan formula sebagai berikut: E it   it D it , dimana  it  U it U std 3.11 Dimana: E it D it  it U it U std = Tingkat upaya effort dari alat tangkap i pada waktu t yang distandardisasi = Jumlah hari melaut fishing days dari alat tangkap i pada waktu t. = Nilai kekuatan menangkap fishing power dari alat tangkap i pada waktu t. = Jumlah produksi per alat tangkap catch per unit effort, CPUE dari alat tangkap i pada waktu t. = Jumlah produksi per alat tangkap catch per unit effort, CPUE dari alat tangkap yang dijadikan sebagai basis standar. Untuk memperoleh nilai upaya, maka seluruh unit effort distandardisasi berdasarkan alat tangkap yang dominan digunakan serta memiliki proporsi produksi yang relatif lebih tinggi dari alat tangkap lainnya. 3 Produktivitas hasil tangkapan Produktivitas adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu. Produktivitas hasil tangkapan dihitung dengan menggunakan perbandingan total catch terhadap total fishing effort. Rumus yang digunakan dalam menghitung nilai CPUE Guland 1983, adalah:  2  r   b  2  r  3.12 Di mana: = Hasil tangkapan per upaya penangkapan ikan pada tahun ke i tontrip = Hasil tangkapan pada tahun ke i ton = Upayan penangkapan ikan pada tahun ke i trip 4 Pendugaan parameter biologi Parameter biologi yang diduga dalam penelitian ini meliputi r adalah pertumbuhan intrinsik alami, q adalah koefisien kemampuan penangkapan dan K adalah daya dukung lingkungan carrying capacity. Nilai r, q dan K pada dasarnya telah dikaji dalam Bab 2 melalui persamaan 2.22 yang dikembangkan oleh CYP 1992 dan ditulis kembali sebagai berikut: lnU t 1  2r 2  r lnqK  2  r 2  r lnU t  q 2  r E t  E t 1 3.13 Untuk memecahkan persamaan 3.13 tersebut dimulai dengan memisalkan 2r 2  r ln  qK   a 3.14 1 3.15 q  2  r   b 2 3.16 Sehingga persamaan 3.13 dapat disederhanakan sebagai berikut: ln  U t 1   a  b 1 ln  U t   b 2  E t  E t 1  3.17 Koefisien penduga a, b 1 dan b 2 dapat dihitung dengan menggunakan teknik ordinary least square OLS. Pemecahan OLS dilakukan dengan menggunakan perangkat komputer dengan Logistik : H t  qKE t   E  qE  metode excel. Data yang digunakan adalah data runtun waktu time series selama kurang lebih 20 tahun. Selanjutnya parameter r, q dan K dapat diperoleh dari persamaan 3.14, 3.15 dan persamaan 3.16. Jenis alat tangkap yang dianalisis mengikuti standardisasi jenis alat yang optimal digunakan. Oleh karenanya untuk memperoleh nilai unit upaya yang benar, seluruh unit effort distandardisasi berdasarkan purse seine base. 5 Pendugaan produksi lestari Terdapat dua bentuk model fungsional untuk menggambarkan stok biomas, yaitu bentuk Logistik dan bentuk Gompertz, sebagaimana persamaan dibawah ini: Bentuk Logistik: dX t dt  rX t  1   X t K    H t 3.18 Bentuk Gompertz: dX t dt  rx lnK X t  H t 3.19 Dimana r adalah laju pertumbuhan intrinsik, K adalah daya dukung lingkungan. Bentuk fungsional Logistik adalah simetris, sementara bentuk Gompertz tidak. Diasumsikan bahwa laju penangkapan linear terhadap biomas dan effort sebagaimana ditulis sebagai berikut: H t  qE t X t 3.20 dimana q adalah koefisien kemampuan penangkapan dan E t adalah upaya penangkapan. Dengan mengasumsikan kondisi keseimbangan maka kurva tangkapan-upaya lestari yield-effort curve dari kedua fungsi di atas dapat ditulis sebagai berikut:  q 2 K  2  r    Gompertz : H t  qKE t exp  r  3.21 Estimasi parameter r, K dan q untuk persamaan yield-effort dari kedua model di atas Logistik dan Gompertz melibatkan teknik non-linear. Nilai parameter r, q dan K kemudian disubsitusikan ke dalam persamaan 3.19 baik dalam bentuk Logistik maupun dalam bentuk Gompertz. 6 Pendugaan parameter degradasi Tingkat degradasi untuk SDI dilakukan dengan pendataan inputeffort dan hasil tangkapan dari ikan yang tertera dalam data series. Dari kedua data tersebut dapat dihitung pendugaan stok dan panen lestari sustainable yield, kemudian dengan membandingkan kondisi ekstraksi aktual dan sustainable dengan analisis trend dan contrast akan dapat diketahui laju degradasi. Dalam penelitian ini, fungsi degradasi sumber daya perikanan dihitung berdasarkan formula Anna 2003 yang dimodifikasi dari Amman dan Duraiappah 2001, sebagai berikut:  t  1 1  e h st h at 3.22 Di mana  t adalah koefisien atau tingkat degradasi pada periode t, h st adalah produksi lestari pada periode t, dan h at adalah produksi aktual dalam periode t. 7 Analisis struktur biaya Struktur biaya merupakan data komponen ekonomi yang sangat penting dalam penelitian ini yang menyangkut struktur biaya dari penggunaan alat tangkap pada waktu operasi penangkapan dengan menggunakan data cross section. Data cross section diperoleh dari responden untuk masing-masing alat tangkap. Biaya per unit standard effort dari grup ikan masing-masing alat tangkap tersebut. Biaya per unit standardisasi effort dari grup ikan yang digunakan dalam analisis disesuaikan dengan indeks harga konsumen ikan segar tahunan dari C et     i 1  i   t 1 CP t  h it     i 1   h  h  h   100   P t    P i ...P j   m  t 1 CP Badan Pusat Statistik untuk menghasilkan biaya series selama tahun pengamatan. Secara matematis, biaya per unit effort standard dapat ditulis sebagai berikut:  1 n TC i n E  n i j k 1 3.23 Di mana: C et = biaya per unit standardized effort pada periode t. TC i = biaya total untuk alat tangkap i untuk i = 1, 2, 3, ......m E i = total standardized effort untuk alat tangkap i h it = produksi alat tangkap i pada periode t.  h i  h j  ....  h m = total produksi ikan yang dianalisis untuk seluruh alat tangkap N= jumlah alat tangkap CPI t = indeks harga konsumen pada peride t. 8 Pendugaan fungsi permintaan Parameter ekonomi yang diperlukan dalam penelitian ini juga menyangkut harga. Parameter harga output diperoleh dengan cara mengkonversi harga nominal per satuan ikan yang ditangkap ex-vessel price ke dalam harga riil dengan cara menyesuaikannya dengan indeks harga konsumen. Artinya, nilai yang diperoleh dari survai ataupun data sekunder harus dikonversi ke pengukuran riil, dengan cara menyesuaikan dengan Indeks Harga Konsumen IHK, sehingga pengaruh inflasi dapat dieliminir. Jadi harga nominal pada periode t bisa dikonversi dengan harga riil. Pendugaan parameter harga dilakukan dengan: 1 Di mana P t = harga ikan pada periode t dan P i ..... P j adalah harga jenis ikan i sampai j sangat tergantung dari beberapa jenis ikan, m dan n adalah tahun yang dijadikan basis perhitungan rataan geometrik. Rataan ini kemudian digunakan untuk mengestimasi harga tahunan selama pengamatan. 9 Pendugaan discount rate Untuk menentukan nilai discount rate pemanenan SDI dalam suatu penelitian digunakan real discount rate dengan pendekatan Ramsey. Dalam pendekatan ini teknik yang digunakan adalah yang dikembangkan oleh Kula 1984 dan teknik ini telah dilakukan atau diadopsi oleh beberapa peneliti. Kula 1984 mengembangkan teknik ini dengan menggunakan formula yang sama dengan formula yang dikembangkan oleh Ramsey. Real discount rate r Kula didefinisikan sebagai: r    g 3.25 Dimana: r = pure time preference konsumsi SDA, yang didasarkan kepada nominal discount rate;  = elastisitas pendapatan terhadap ekstraksi SDI; dan g = laju pertumbuhan ekonomi karena ekstraksi SDA. Kemudian laju pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh ekstraksi SDI dihitung dari laju konsumsi sumber daya perikanan yang didekati dengan PDRB perikanan, dengan perhitungan melalui formula: ln C t  a  a t ln t 3.26 Di mana Ct adalah PDRB perikanan di lokasi penelitian pada tahun ke t, sehingga derivate persamaan di atas dapat diperoleh nilai elastisitas konsumsi sumber daya alam yaitu: a 1   ln C t  ln t 3.27 yang kemudian secara matematis dapat ditulis sebagai berikut: C C t  g 3.28 t Mengikuti teknik Brent yang dikutip oleh Anna 2003, dengan menggunakan standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumber daya alam sebesar 1, dan  menggunakan nilai discount rate saat ini dari Ramsey sebesar 15, maka diperoleh nilai real discount rate sebagai berikut: r  marketdiscount rate  1g 3.29 10 Pendugaan nilai depresiasi Untuk menilai depresiasi SDI jenis ikan yang dianalisis digunakan metode present value. Artinya bahwa seluruh rente yang akan datang future value of rent yang diharapkan dihasilkan dari SDI dihitung dengan nilai masa sekarang present value. Perhitungan depresiasi dalam penelitian ini menggunakan dua nilai discount rate yang berbeda yaitu market discount rate 15 dan real discount rate dari persamaan 3.29. Hasil estimasi biofisik dan ekonomi yang telah dilakukan dalam kajian sebelumnya digunakan untuk menghitung depresiasi SDI. Nilai rente yang dihitung adalah nilai selisih antara penerimaan total total revenue dikurangi dengan total biaya total cost pemanfaatan SDI, yang dinotasikan sebagai berikut Fauzi dan Anna 2005: 3.30 Dimana = Rente SDI = Tingkat upaya = Biaya per unit effort t = Periode waktu Uh = Utilitas manfaat yang dihasilkan dari SDI = Tangkapan lestari  t t V  3.31 54 Selanjutnya jika diasumsikan bahwa per input adalah konstan, maka present value dari rente perikanan pada periode tidak terbatas t=0 sampai tak terhingga adalah sebagai berikut:  Dimana  adalah nilai discount rate, dan dalam studi ini dilakukan dua skenario perhitungan depresiasi, yaitu dengan mengunakan dua nilai discount rate yang berbeda, yaitu social discount rate dan nominal market discount rate. Perubahan present value dari SDI antara periode t – 1 dan t, menyebabkan nilai bersih perubahan dalam stok SDI terdepresiasi dengan asumsi bahwa kurva permintaan bersifat elastis. Untuk perhitungan laju depresiasi pada dasarnya sama dengan laju degradasi, hanya menggunakan parameter-parameter ekonomi, sebagai berikut: 3.32 Dimana dan 11 Pendugaan pengelolaan tingkat maksimum secara ekonomi Sumber daya perikanan merupakan aset kapital yang dalam pengelolaannya harus dikelola secara optimal juga memerlukan kapital. Pada pendekatan kapital, biaya korbanan opportunity cost untuk mengelola SDI pada saat ini dihitung melalui rente ekonomi optimal optimal rent yang seharusnya diperoleh dari SDI apabila dikelola secara optimal. Dalam kondisi aktual, jarang sekali terjadi pemanfaatan pada effort yang optimal, padahal dengan melakukan pemanfaatan pada tingkat optimal inilah maka perikanan tangkap akan lestari. Menurut Hartwick 1990, pengetahuan mengenai perbedaan antara tingkat tangkapan dan upaya aktual dan optimal sangat diperlukan bagi penentu kebijakan, untuk menyesuaikan kebijakan tangkap agar dapat meminimalisasi opprotunity cost dalam bentuk ekonomi optimal yang lestari, yang hilang karena memanfaatkan SDI pada tingkat saat ini. Pemanfaatan optimal dari SDI sepanjang waktu, pada dasarnya dapat diketahui dengan menggunakan teori kapital ekonomi sumber daya yang dikembangkan oleh Clark dan Munro 1975, dimana manfaat sumber daya perikanan sepanjang waktu adalah sebagai berikut: 3.33 Dengan kendala: Kemudian dengan memberlakukan Pontryagin Maximum Principle dan mendefinisikan current value Hamiltonian sebagai: H =  x, h +  Fx-hx,E 3..34 Dimana adalah current value shadow price. Akan diperoleh Modified Golden Rule sebagai berikut: F x    x, h x   x, h h   3.35 Dimana F x t adalah pertumbuhan alami dari stok ikan,   x, h x adalah rente marjinal akibat perubahan biomass,   x, h h adalah rente terjadi akibat perubahan produksi. Parameter biologi dan ekonomi ditentukan oleh besaran cost per unit effort c, p adalah harga ikan,  adalah discount rate dan q adalah koefisien penangkapan. F x  F x adalah produktivitas marjinal dari biomas yang merupakan turunan pertama dari Fx terhadap x. Persamaan ini menghasilkan tingkat biomas x yang optimal yang dapat digunakan untuk menghitung tingkat tangkapan dan upaya yang optimal. Dengan menggunakan fungsi biologi Gompertz dalam persamaan 3.21, diperoleh nilai optimal dari SDI melalui persamaan sebagai berikut: r lnk x  r  cr lnk x x pqx  c    0 3.36 Persamaaan di atas menghasilkan tingkat biomas atau x yang optimal sehingga dapat diketahui tingkat tangkapan dan upaya optimal. Sehingga dapat diketahui rente SDI yang merupakan hasil dari perkalian antara harga produk ikan dengan tangkapan optimal dikurangi biaya dan tingkat upaya yang optimal atau: 3.37 12 Rezim pengelolaan sumber daya perikanan Pendekatan untuk mengetahui keseimbangan dalam akses terbuka open access dan terkendali dilakukan dengan analitik optimasi statik yang pendekatannya diacu dalam dari Fauzi 2004, dengan menggunakan parameter biologi dan parameter ekonomi yang dipeproleh sebelumnya. Dengan asumsi dalam kondisi keseimbangan lestari di mana h = F x, maka rente ekonomi lestari sustainable rent didefinisikan sebagai fungsi dari biomas dalam bentuk: 3.38 Dengan menggunakan model pertumbuhan logistik, rente ekonomi lestari secara eksplisit dapat ditulis menjadi: 3.39 Sehingga maksimisasi keuntungan static diperoleh dengan menurunkan persamaan di atas terhadap x, sehingga diperoleh: 3.40 Persamaan 3.39 di atas dapat dipecahkan untuk menentukan tingkat biomas yang optimal yakni sebesar: 3.41 Dengan diketahui nilai optimal biomas tersebut, nilai ini dapat disubsitusikan kembali ke fungsi produksi untuk memperoleh nilai tangkap optimal dan upaya optimal. Dengan substisusi aljabar sederhana diperoleh nilai tangkap optimal dan upaya optimal sebesar: 3.42 3.43 Nilai dan inilah dalam formula tersebut di atas disebut sebagai tingkat upaya pada konidisi maximum economic yield MEY. Melalui teknik regresi sederhana atau ordinary least square OLS, parameter-parameter biologi seperti r, q, dan K dapat diketahui dengan langsung sehingga dengan menggabungkannya dengan parameter ekonomi p dan c, nilai optimal biomas, tangkap dan upaya serta rente ekonomi dapat diktehui. Untuk menghitung tingkat upaya yang optimal dalam kondisi akses terbuka dapat dilakukan dengan menghitung rente ekonomi yang hilang dissipated di mana: 3.44 Sehingga nilai biomas optimal pada akses terbuka dapat ditentukan sebesar: 3.45 Dengan demikian tingkat produksi dan upaya optimal pada kondisi akses terbuka dapat dihitung melalui subsitusi aljabar, sebagai berikut: 3.46 3.47

3.5.3 Analisis data kualitatif

Analisis data kualitatif dilakukan apabila data empiris yang diperoleh adalah data kualitatif berupa kumpulan berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka serta tidak dapat disusun dalam kategori-kategoristruktur klasifikasi. Data dalam bentuk kata-kata yang telah dikumpulkan melalui FGD, disusun kembali dalam teks yang diperluas dan tidak menggunakan perhitungan matematis atau statistika sebagai alat bantu analisis Silalahi 2009. Data kualitatif dianalisis dengan model reduksi data, data display, analisis etnografi, dan analisis isi. Analisis reduksi data merujuk pada proses pemilihan, pemokusan, penyederhaan, abstraksi, dan pentransformasian “data mentah” yang terjadi dari lapangan tertulis. Model display yang sering dilakukan adalah data kualitatif dibuat berupa teks naratif, yang dapat ditarik kesimpulan atau verifikasi kesimpulan. Model etnografi adalah model untuk mengumpulkan catatan-catatan untuk menemukan pola budaya setempat dan biasanya dilanjutkan dengan analisis taksonomi. Model analisis isi merupakan suau analisis mendalam yang dapat menggunakan teknik kuantitatif maupun teknik kualitatif terhadap pesan-pesan dengan menggunakan metode ilmian yang tidak terbatas pada jenis variabel yang dapat diukur atau konteks tempat pesan-pesan itu diciptakan atau disajikan. Obyek analisis isi kualitatif dapat berupa semua jenis komunikasi yang direkam dan tidak hanya menganalisis isi materi yang kelihatan tetapi juga menganalisis bagian yang “tersembunyi”. Menurut Kripprndroff 1969 yang dikutip oleh Emzir 2010 analisis isi sebagai penggunaan metode yang replikabel dan valid untuk membuat inferensi- inferensi khusus dari teks pada pernyataan-pernyataan lain atau properti-properti dari sumbernya.

3.5.4 Analisis logit

Model logit logistic regression adalah model regresi yang digunakan untuk menganalisis peubah terikat dengan kemungkinan di antara 0 dan 1. Model logit dalam penelitian ini menggunakan data individu yang agak mirip dengan model regresi OLS dengan data silang. Model yang digunakan dalam analisis logit adalah: 3.48 Dimana p adalah probabilitas seseorang memilih nilai peubah terikat 1. Rumus untuk menghitung p akan ditunjukkan dengan hasil hitungan, dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: 3.49 Analisis perdagangan illegal di kawasan Filipina bagian selatan dan P2K perbatasan digunakan dengan analisis logit dengan menggunakan program Eviews Winarno 2009. Uji yang digunakan untuk menguji parameter-parameter hasil analisis logit digunakan Likelihood Ratio LR dan uji Wald. Uji Likelihood Ratio LR digunakan untuk menguji pengaruh semua variabel penjelas yang mengikuti distribusi Chi Square  2 . Hipotesa yang digunakan adalah : H : β 1 = β 2 = …= β k = 0 H 1 : Paling tidak terdapat satu β k ≠ 0 Uji statistik untuk Likelihood Ratio ini dihitung dengan menggunakan formula dibawah ini :  2  2 ln L  contrained  L  unconstrained  ฀  2  j  3.50 atau  2  2  ln L  constrained   ln L  unconstrained   ฀  2  j  3.51 Dimana L constrained adalah Likelihood dengan variabel independen tertentu, dan L unconstrained adalah Likelihood tanpa variabel independen tertentu. Karena uji statistik ini mengikuti distribusi chi – square dimana derajat bebasnya adalah banyaknya parameter dalam model, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah H diterima jika uji LR   2 Formula logit model : 3.52 Dimana Pdd : Variabel ini dihitung sejak SD = 6 tahun, SMP = 9 tahun, dan SMA=12 tahun Tangkel : Variabel dinyatakan dalam jumlah tanggungan keluarga saat dilakukan wawancara dengan responden Umur : Variabel ordinal yang sesuai dengan nilai pada saat dilakukan wawancara dan bila lebih enam bulan dihitung dalam waktu satu tahun Awas : Variabel dummy binary lemahnya pengawasan di wilayah perbatasan, diberi nilai 1 jika pengawasan di wilayah perbatasan lemah, 0 jika baik Koop : Variabel dummy binary kooperatif petugas Filipina, diberi nilai 1 jika petugas tersebut kooperatif dalam meloloskan barang iliegal, 0 jika tidak. Ikan : Variabel disparitas harga ikan Tuna di Tahuna Indonesia dan di Gensan Filipina dalam ribu rupiah Mklp : Variabel disparitas harga minyak Kelapa di Tahuna Indonesia dan di Gensan Filipina dalam ribu rupiah Pemecahan analisis logit ini dilakukan dengan menggunakan perangkat komputer dan tools yang digunakan adalah program EViews versi 0.7. 4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1 Keadaan Geografis dan Iklim

Kabupaten Kepulauan Sangihe merupakan bagian integral dari Provinsi Sulawesi Utara, dengan ibukota Tahuna, yang berjarak sekitar 142 mil laut dari Manado sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Utara. Wilayah ini berada di antara P. Sulawesi dengan P. Mindanao Republik Filipina, dengan batas-batasnya sebagai berikut: 1 sebelah utara berbatasan dengan Republik Filipina; 2 sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Talaud; 3 sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Sitaro; dan 4 sebelah barat berbatasan dengan Laut Sulawesi. Memperhatikan posisi Kabupaten Kepulauan Sangihe, maka Kabupaten ini dapat disebut sebagai “Daerah Perbatasan”, dan juga dijuluki sebagai Daerah Kepulauan, Daerah Tertinggal dan Daerah Rawan Bencana Alam. Sebagai Kawasan Perbatasan, Kabupaten Kepulauan Sangihe memiliki peluang dan kekuatan yang dapat diandalkan untuk bersinergi ke dalam dinamika globalisasi karena posisi daerah ini terletak di pinggiran Samudera Pasifik yang sangat memungkinkan untuk melakukan terobosan-terobosan di bidang ekonomi dan perdagangan yang bersifat outwardlooking mengingat bagian utara terdapat beberapa negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia seperti Jepang, Korea, Cina, Taiwan, dan Amerika Serikat dengan memanfaatkan posisi negara tetangga Filipina sebagai pelabuhan transit. Kabupaten Kepulauan Sangihe pada awalnya menjadi satu kabupaten dengan Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud yang pada tahun 2002 dimekarkan menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud melalui UU No. 52002, kemudian pada tahun 2007, Kabupaten Kepulauan Sangihe kembali mengalami pemekaran dengan dibentuknya Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, Biaro atau disingkat menjadi Kabupaten Kepulauan Sitaro melalui UU No. 152007. Iklim Kepulauan Sangihe dipengaruhi oleh angin Muson, musim kemarau pada bulan Juli sampai dengan bulan September, dan musim penghujan terjadi pada bulan September sampai dengan Nopember. Tipe iklim ini menurut Schmidt dan Ferguson adalah tipe iklim A atau beriklim basah. Suhu udara di suatu tempat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tempat tersebut terhadap permukaan laut dan jaraknya dari pantai. Secara umum, suhu rata-rata berkisar antara 27ºC sampai 28ºC selama periode tahun 2002 sampai 2007. Suhu rata-rata terendah terjadi pada bulan Desember 2003 yaitu 26.6ºC dan suhu tertinggi terjadi pada bulan Juni 2007 yaitu 28.5ºC. Kabupaten Kepulauan Sangihe mempunyai kelembaban udara nisbi relatif tinggi dengan rata-rata per bulan pada tahun 2007 adalah 83.92. Kelembaban udara nisbi beragam tiap bulan dari terendah sebesar 80 pada bulan Oktober sampai dengan tertinggi 87 persen pada bulan Januari dan Desember. Curah hujan tertinggi selama tahun 2007 terjadi pada bulan Januari yaitu 731 mm dengan hari hujan 26 hari, sedangkan curah hujan yang terendah terjadi pada bulan Mei sebesar 168 mm dengan 22 hari hujan.

4.2 Penduduk dan Ketenagakerjaan

Hasil sensus penduduk dan catatan registrasi penduduk, jumlah penduduk cenderung stabil setiap tahunnya. Tahun 1995, jumlah penduduk sebanyak 191 108 jiwa dan meningkat menjadi 192 363 jiwa pada tahun 2004. Meskipun jumlah penduduk meningkat, tetapi laju pertumbuhan penduduk LPP, cenderung menurun yaitu dari pertumbuhan 0.65 pada tahun 1990 menurun menjadi – 0.25 pada tahun 2000. Dalam tahun 2007, jumlah penduduk Kabupaten Kepulauan Sangihe berjumlah 130 129 jiwa dengan tingkat kepadatan sebesar 177 jiwakm². Jumlah penduduk tersebut tersebar di beberapa kecamatan dan yang tertinggi di Kecamatan Tabukan Utara sejumlah 20 986 orang 16.13, menyusul di Kecamatan Tahuna sebanyak 14 579 jiwa 11.20, dan di Kecamatan Tamako sebanyak 13 269 jiwa 10.20 Tabel 2. Tabel 2 Penduduk, prosentase dan tingkat kepadatan di Kepulauan Sangihe Tahun 2009. Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Sangihe Permasalahan penduduk, khususnya dalam sektor ketenagakerjaan yang dialami saat ini, adalah: 1 rendahnya tingkat pendidikan angkatan kerja yang bekerja pada sektor pertanian; 2 jumlah persebaran penduduk yang belum seimbang dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan sesuai dengan wilayah; 3 lebih dari 70 penduduk yang bekerja di sektor informal pada sektor pertanian; 4 tingginya angka kemiskinan penduduk yang secara proporsional; meningkat yaitu pada tahun 2004 mencapai 40.56 atau naik 4.77 dari tahun 2003; 5 rendahnya tingkat elastisitas kesempatan kerja pertumbuhan angkatan kerja melebihi pertumbuhan kesempatan kerja, yang memicu migrasi keluar bagi angkatan kerja yang berkualitas; 6 adopsi teknologi yang rendah di sektor pertanian; dan 7 kebijakan dan strategi pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas dan pengerahan mobilitas penduduk yang sesuai dengan pertumbuhan ekonomi wilayah belum mendukung pembangunan berkelanjutan. Kecamatan Penduduk jiwa Persentase Luas Km² Kepadatan jiwakm² Manganitu Selatan 10 266 7.87 73.99 139 Tatoareng 4 532 3.47 18.56 244 Tamako 13 481 10.33 69.42 194 Tabukan Selatan 6 057 4.64 68.76 88 Tabukan Selatan Tengah 2 787 2.14 46.84 60 Tabukan Selatan Tenggara 2 179 1.67 22.29 98 Tabukan Tengah 10 656 8.17 87.39 122 Manganitu 14 378 11.02 66.48 216 Tahuna 16 410 12.58 25.76 637 Tahuna Timur 12 808 9.82 25.15 509 Tahuna Barat 5 638 4.32 40.66 139 Tabukan Utara 20 153 15.45 121.18 177 Nusa Tabukan 3 005 2.30 14.73 204 Kep. Marore 1 414 1.08 12.94 109 Kendahe 6 685 5.12 50.28 133 Jumlah 130 449 100.00 736.98 177 Dalam aktivitas perdagangan dan kunjung mengunjungi antara masyarakat di P2K Perbatasan ini terlihat bahwa pada tahun 2006 jumlah pas pelintas batas yang berangkat ke Filipina melalui Pos Marore untuk Warga Negara Indonesia WNI pada tahun 2006 sebanyak 361 orang penumpang dan tahun 2007 meningkat menjadi 483 orang penumpang, dengan jumlah kapal 32 kapal dan 53 kapal, sedangkan dalam waktu yang bersamaan pada tahun 2006 WNI yang datang dari negara tetangga Filipina sebanyak 268 penumpang dan tahun 2007 sebanyak 531 penumpang dengan jumlah kapal masing-masing 26 kapal dan 57 kapal. Sedangkan Warga Negara Asing WNA yang datang pada tahun 2006 dan 2007 masing-masing 35 orang dan 16 orang sedangkan yang berangkat dari Indonesia dalam tahun yang sama sebanyak 27 orang dan 130 orang Tabel 3. Tabel 3 Rekapitulasi kegiatan pos Marore selama tahun 2007 Sumber: Kantor Imigrasi Kelas II Tahuna Bulan Warga Negara Indonesia WNI Warga Negara Asing WNA Datang Berangkat Datang Berangkat Kapal Crew Penpg Kapal Crew Penpg Kapal Crew Penpg Kapal Crew Penpg Januari 3 5 32 2 2 6 2 6 Februari 1 4 7 2 4 13 2 6 2 1 3 Maret 1 4 10 1 2 28 3 12 4 5 12 1 April 9 30 43 11 25 44 3 4 3 8 1 Mei 5 12 52 6 19 45 4 22 1 6 26 53 Juni 1 12 38 2 13 46 8 27 6 17 26 Juli 6 18 70 4 10 44 6 22 1 4 10 6 Agustus 2 11 24 4 20 24 4 13 1 4 13 13 September 7 18 46 6 16 43 6 24 2 7 29 4 Oktober 8 19 63 2 15 55 13 4 10 8 29 11 Nopember 8 20 86 6 17 56 12 232 9 8 22 4 Desember 6 13 60 7 16 79 7 25 4 10 35 11 Thn 2007 57 166 531 53 159 483 70 235 35 62 204 130 Thn 2006 26 109 268 32 125 361 45 173 16 46 197 27 Dari Tabel 3 terlihat bahwa jumlah kapal yang datang atau masuk ke wilayah perbatasan di kawasan perbatasan Kepulauan Sangihe pada tahun 2006 sebanyak 71 kapal dan tahun 2007 sebanyak 127 kapal, demikian pula dalam tahun yang sama untuk berangkat ke Filipina bagian selatan masing-masing sebanyak 78 kapal dan 115 kapal. Angka ini menunjukkan relatif sama antara jumlah kapal yang masuk ke wilayah NKRI dan juga keluar dari wilayah NKRI menuju Filipina di bagian selatan seperti General Santos, P. Balut dan P. Saranggani. Artinya dinamika sosial ekonomi yang bergerak di kawasan perbatasan dalam berdagang, kunjungan keluarga dan wisata cenderung bergerak dalam keadaan seimbang antara jumlah kapal yang masuk dan keluar. Kegiatan di pos perbatasan P. Marore apabila ditinjau dari sudut penumpang terlihat pada tahun 2007 jumlah penumpang yang datang sebanyak 566 orang dengan jumlah WNI sebanyak 531 orang dan WNI sebanyak 35 orang, sedangkan yang berangkan dalam tahun yang sama adalah 613 orang dengan WNI sebanyak 483 orang dan WNA sebanyak 130 orang.

4.3 Perkembangan Usaha Pertanian

Penggunaan lahan dibedakan menjadi lahan sawah, bukan sawah dan lahan non- pertanian. Penggunaan lahan bukan sawah terbagi menjadi ladang, perkebunan, hutan rakyat, perumahan, bangunan, dan yang sementara lahan tidak dimanfaatkan. Pada tahun 2008 luas lahan sawah 188 ha 0.19, dan lahan bukan sawah 79 668.3 ha 81.68, sedangkan lahan untuk non-pertanian seluas 17 685.8 ha 18.13 Tabel 4. Luas panen padi sawah pada tahun 2007 seluas 36 ha dengan produksi 66 ton atau produktivitas mencapai 1.83 tonha. Apabila dibandingkan dengan luas areal untuk sawah yang tersedia, maka luas panen hanya mencapai 19.15 dari total luas yang ada. Wilayah yang memiliki lahan padi sawah adalah Manganitu Selatan 6 ha, Tamako 12 ha, Tabukan Selatan Tenggara 7 ha dan Tabukan Utara 11 ha. Demikian pula untuk padi ladang seluas 29 ha dengan produksi 29 ton. Tabel 4 Luas panen, produksi, dan produktivitas tanaman pangan, buah-buahan dan sayur- sayuran di Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2007 Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Kepulauan Sangihe Pengusahaan perkebunan besar sampai dengan tahun 2007 belum ada di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan secara keseluruhan masih termasuk perkebunan rakyat. Tanaman kelapa, pala dan cengkih merupakan komoditas unggulan daerah ini, disamping beberapa tanaman perkebunan yang hanya diusahakan oleh sebagian masyarakat seperti kakao, kopi dan vanili yang merupakan komoditas penunjang. Luas panen dan produksi tanaman perkebunan tidak mengalami perubahan yang cukup berarti karena selain lahan yang relatif sudah sempit untuk dikembangkan juga umur tanaman perkebunan seperti kelapa perlu dipikirkan peremajaannya. Data tanaman perkebunan tertera pada Tabel 5. Tanaman kelapa yang memiliki luas lahan 19 351 ha ternyata belum menghasilkan seluas 1 413 ha 7.30, tidak menghasilkan seluas 2 192 ha 11.32, atau dengan kata lain luas lahan tanaman kelapa yang belum dan tidak menghasilkan pada tahun 2007 seluas 3 605 ha 18.62 dan yang menghasilkan 15 746 ha 81.38. Selanjutnya dalam luas areal tanaman kelapa terdapat 2 593 490 pohon atau setiap lahan memiliki 134 pohon kelapa, dan yang belum menghasilkan sebanyak 187 848 pohon, menghasilkan 2 114 369 pohon, dan tidak menghasilkan sebanyak 291 273 pohon. Jenis Tanaman Luas Panen ha Produksi ton Produktivtas tonha Padi sawah + ladang 65 207 3.18 Tanaman Jagung 464 1 158 2.50 Tanaman Ubi Kayu 1 107 8 240 7.44 Tanaman Ubi Jalar 956 3 003 3.14 Kacang tanah 265 288 1.09 Kacang hijau 16 16 1.00 Sayur-sayuran 1 234 4 371 3.54 Buah-buahan 1 879 19 224 10.24 Tabel 5 Luas areal, produksi, dan produktivitas tanaman perkebunan di Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2007 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Kepulauan Sangihe . Selanjutnya untuk tanaman cengkih, dari luas areal sekitar 3 713 ha ternyata luas areal yang belum menghasilkan sekitar 484 ha, areal yang menghasilkan 2 973 ha dan areal yang tidak menghasilkan seluas 276 ha, sedangkan apabila ditinjau dari jumlah pohon yang ada dalam areal tersebut terlihat bahwa jumlah pohon secara keseluruhan untuk tanaman cengkih sekitar 580 656 pohon, dan yang belum menghasilkan sebanyak 72 594 pohon, menghasilkan sebanyak 464 880 pohon, dan tidak menghasilkan sebanyak 43 182 pohon. Demikian pula untuk tanaman pala dari luas areal 2 827.11 ha, ternyata luas lahan yang belum menghasilkan seluas 197.10 ha, lahan yang menghasilkan 2 428.50 ha dan lahan tidak menghasilkan seluas 201.51 ha, dan apabila dilihat dari jumlah pohon pala sebanyak 431 075 pohon, terlihat jumlah pohon yang belum menghasilkan sebanyak 30 046 pohon dan yang menghasilkan sebanyak 370 449 pohon serta tidak menghasilkan sebanyak 30 580 pohon. Menurut fungsinya, hutan dapat dibagi menjadi hutan lindung, hutan produksi, hutan konservasi hutan suaka dan hutan pelestarian alam. Data tahun 2007 menunjukkan bahwa luas hutan yang ada di Kabupaten Kepulauan Sangihe seluas 11 196 ha yang terdiri dari hutan lindung sekitar 10 642 ha dan hutan bakau mangrove seluas 554 ha. Hutan lindung di Kabupaten ini tersebar di 8 Kecamatan yaitu: Kecamatan Manganitu Selatan 559 ha, Tamako 1 418 ha, Jenis Tanaman Luas Areal ha Produksi ton Produktivitas tonha Kelapa 19 320.00 15 964.47 0.82 Cengkih 3 713.00 2 745.50 0.73 Pala 2 827.09 1 556.20 0.55 Kopi 37.50 0.46 PM Kakao 274.50 0.63 PM Vanili 52.60 0.087 PM Tabukan Selatan 1 163 ha, Tabukan Tengah 1 341 ha, Manganitu 826 ha, tahuna 1 519 ha, Tabukan Utara 1 643 ha, dan Kecamatan Kendahe seluar 2 173 ha. Selanjutnya untuk hutan bakau terdapat di 5 Kecamatan yaitu: Kecamatan Manganitu Selatan 51 ha, Tabukan Selatan 189 ha, Tabukan Tengah 35 ha, Manganitu 250 ha, Tabukan Utara 20 ha dan Kecamatan Kendahe 9 ha.

4.4 Perdagangan

Jumlah perusahaan perdagangan di Kabupaten Kepulauan Sangihe pada tahun 2006 sebanyak 119 unit meningkat menjadi 127 unit atau naik 6.72, namun masih didominasi oleh perusahaan perdagangan kecil sebanyak 103 unit 81.1, menyusul perusahaan menengah sebanyak 23 unit 18.1 dan perusahaan perdagangan besar sebanyak satu unit 0.8. Lokasi perusahaan tersebut lebih banyak di Kecamatan Tahuna Timur dan Kecamatan Tahuna yang merupakan lokasi ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe. Pembahasan yang sangat penting dalam masalah perdagangan adalah pemasukan bahan pokok beras, gula pasir, garam, ikan asin, minyak goreng, minyak tanah, sabun cuci, tekstil, dan batik serta bahan penting tepung terigu, semen, besi beton, seng, paku besi, minyak premium, minyak solar, pupuk, pelumas, aspal, dan tripleks. Data perkembangan bahan pokok disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6 Banyaknya pemasukan bahan pokok di Kabupaten Kepulauan Sangihe Sumber: Dinas Perindag dan Penanaman Modal Kabupaten Kepulauan Sangihe Jenis bahan pokok Pemasukan bahan pokok ton pada tahun 2005 2006 2007 2008 2009 Beras 5 200 5 500 6 000 5 375 5 696 Gula pasir 1 350 850 1 100 1 175 1 206 Garam 90 86 76 78 Ikan asin Minyak goreng 625 260 120 115 120 Minyak tanah 8 412 8 160 7 052 8 250 4 745 Sabun cuci 80 29 30 Tekstil 12 395 390 Batik 84 85 Jumlah 15 769 14 770 14 358 15 499 12 623 Jumlah pemasukan bahan pokok pada tahun 2005 sebanyak 15 769 ton menurun pada tahun 2006 menjadi 14 770 ton, menurun kembali pada tahun 2007 menjadi 14 358 ton, tahun 2008 menjadi 15 499 ton, dan tahun 2009 menurun kembali menjadi 12 623 ton. Berbeda dengan bahan pokok, ternyata pemasukan bahan penting di Kabupaten Kepulauan Sangihe semakin tahun semakin meningkat dari 33 050 ton pada tahun 2006 meningkat menjadi 94 534.78 ton pada tahun 2007. Pada tahun 2007 pemasukan yang terbesar berasal dari bahan penting seng sebanyak 38 100 ton, menyusul besi beton 18 600 ton, dan semen sebanyak 16 000 ton. Selanjutnya diketahui bahwa produkbarang yang keluar dari Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah kopra, cengkih, pala dan fuli. Produk ikan belum tercatat dengan baik secara statistik jumlah dan nilai ekspor ke Filipina. Jumlah produk yang keluar dari Kabupaten Kepulauan Sangihe pada tahun 2007 sebanyak 16 556.26 ton yang terdiri dari 14 400 ton kopra, 961.96 ton cengkih, 1 117.54 ton biji pala, dan 76.76 ton fulli pala. Sedangkan pada tahun 2006 jumlah produk yang keluar dari Kabupaten Kepulauan Sangihe sebanyak 13 894 ton yang terdiri dari kopra sebanyak 12 400 ton, menyusul biji pala sebanyak 3 100 ton, cengkih sebanyak 252 ton dan fulli sebanyak 72 ton Tabel 7. Tabel 7 Pengeluaran antar pulau hasil bumi di Kabupaten Kepulauan Sangihe Sumber: Dinas Perindag dan Penanaman Modal Kabupaten Kepulauan Sangihe Jenis produk 2005 2006 2007 2008 2009 Kopra 14 400.00 12 400.00 14 400.00 2 175.00 18 163.00 Cengkih 477.80 252.00 961.96 773.00 254.09 Pala 3 100.25 1 170.00 1 117.54 2 175.16 2 287.46 Fulli 410.50 72.00 76.76 217.00 22.96 Jumlah 18 388.55 13 894.00 16 556.26 5 340.00 20 727.41

4.5 Transportasi dan Pariwisata

Kunjungan kapal penumpang dan barang adalah jenis pelayaran dalam negeri, pelayaran rakyat, perintis, luar negeri, dan khususnon pelayaran. Jumlah penumpang pada tahun 2007 yang turun sebanyak 100 769 penumpang dan yang naik sebanyak 92 760 penumpang, sedangkan jumlah barang yang dibongkar pada tahun yang sama adalah 85 862 ton sedangkan barang yang dimuat sebanyak 25 354 ton Tabel 8. Tabel 8 Kunjungan kapal penumpang dan barang di Kabupaten Kepulauan Sangihe Sumber : Dinas Perhubungan Kabupaten Kepulauan Sangihe Selain potensi sumber daya perairan, Kabupaten Kepulauan Sangihe miliki potensi wisata baik potensi wisata bahari, wisata budaya, dan wisata alam. Potensi wisata ini tersebar di beberapa Kacamatan seperti Kecamatan Tamako, Manganitu, Kendahe, Tahuna, Manganitu Selatan dan Kecamatan Tatoareng Tabel 9 Lokasi wisata cukup tersedia di Kabupaten Kepulauan Sangihe, namun belum tergali dengan baik karena sarana dan prasarana wisata yang relatif masih rendah, ditambah promosi wisata yang belum memadai karena ketidaksediaan anggaran promosi. Dalam bidang pariwisata pemerintah daerah belum mampu mendorong perekonomian daerah ini apabila tidak ada perlakuan khusus dari pemerintah pusat, sebab sarana dan prasarana relatif sangat mahal untuk Tahun Jumlah Kapal Penumpang org Barang ton Turun Naik Bongkar Muat 2003 2 597 99 529 103 910 304 487.65 117 038.66 2004 2 831 109 931 115 097 322 575.00 123 715.00 2005 1 643 55 644 80 583 84 896.00 37 493.00 2006 1 303 80 386 68 485 71 791.00 26 134.00 2007 PM 100 760 92 760 85 862.00 12 754.00 2008 PM 100 769 92 760 85 862.00 12 754.00 2009 1 020 109 128 104 005 96 161.00 16 532.00 investasi publik bagi pemerintah daerah dan masyarakat daerah. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain bagi Kepulauan Sangihe sebagai “Daerah Perbatasan” yang memiliki “Kawasan Perbatasan” kecuali membuka jalur transportasi ke wilayah Pasifik Selatan kearah Filipina, Jepang, Korea, dan Taiwan . Artinya pembukaan kawasan khusus perdagangan bebas sangat diperlukan Tabel 10. Tabel 9 Lokasi wisata di Kabupaten Kepulauan Sangihe Sumber : Dinas Pariwisata dan Seni Budaya Kabupaten Kepulauan Sangihe Kecamatan Lokasi Wisata Obyek Tamako Palingan Kapehetang Wisata bahari Tanjung Hesang Wisata bahari Air terjun Ngurah Lawo Wisata Alam Hutan lindung Sahandarumang Wisata Alam P. Mahumu Wisata Alam Pantai Enemosa Wisata Bahari Rumah Komite Belanda dan Lonceng Gereja Wisata Budaya Meriam Peninggalan Belanda Wisata Budaya Tanjung Lelapide Wisata AlamBahari Manganitu Makam Pahlawan Raja Bataha Santiago Wisata Budaya Sumber air jernih pegunungan desa Manganitu Wisata Alam Gunung Mentahi Wisata Alam Bekas istana Raja WMP Mokodompis Rumah Raja Wisata Budaya Kendahe Masalihe patahan Masalihe Wisata Bahari P. Matutuang Wisata Bahari Air Terjun Sura Wisata Alam Air Terjun Pempanikiang Wisata Alam Tahuna Tanjung Tahuna Wisata Bahari Pantai Kolongan Wisata bahari Gunung Awu Wisata Alam Makam Pahlawan Malebur Wisata Budaya Makam Raja Tatehe Wisata Budaya Makam Raja-Raja Sangihe Wisata Budaya Taman Teletubies Wisata Alam Teluk Tahuna Wisata Alambahari Manganitu Selatan Air terjun Kadadima Wisata Alam P. Bebalang Wisata Bahari P. Mandaku Wisata Bahari Tatoareng Gunung Api Bawah Laut Desa Mahangetang Wisata Alam P. Para Wisata Bahari P. Nenung dan Sanggaluhang Wisata Bahari P. Bowondeke Wisata Bahari P. Niu Wisata Bahari P. Siha Wisata Bahari P. Kalama Wisata Bahari P. Kahakitang Wisata Bahari Tabel 10 Kunjungan wisatawan Nusantara dan Manca Negara di Kabupaten Kepulauan Sangihe Sumber : Dinas Pariwisata dan Seni Budaya Kabupaten Kepulauan Sangihe

4.6 Profil Kawasan Perbatasan Kepulauan Sangihe

4.6.1 Wilayah administratif

Secara administratif Kawasan Perbatasan di bagian utara berbatasan dengan Kepulauan Mindanao Filipina Bagian Selatan, yang meliputi: Pulau Sarangani, Pulau Balut dan Pulau Olanivan, di sebelah selatan berbatasan dengan Gugus Pulau Toade Pulau Bukide, meliputi: Pulau Buang, Pulau Bukide, Pulau Manipa, Pulau Balontohe, dan Pulau Ehise, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Talaud, dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Sulawesi. Sebelum diterapkannya UU No. 152007, tentang pembentukan Kabupaten Kepulauan Sitaro Siau, Tagulandang, dan Biaro di Provinsi Sulawesi Utara yang efektif berlaku pada tanggal 2 Januari 2007, pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe telah menetapkan strategi pembangunan dengan sistem perwilayahan kluster sebagai suatu pendekatan dalam percepatan pembangunan yaitu: 1 kluster Pulau Sangihe wilayah Pulau Sangihe Besar dan Pulau Bukide; 2 kluster Pulau Siau; 3 kluster Pulau Tagulandang; 4 kluster Pulau Biaro; 5 kluster Pulau Tatoareng meliputi Pulau Kalama, Pulau Kahakitang, Pulau Mahegetang, dan Pulau Para, dan 6 kluster Pulau Perbatasan, meliputi Pulau Kawio, Pulau Kawaluso, Pulau Lipang. Pulau Wisatawan Kunjungan wisatawan pada tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Nusantara 53 032 27 014 22 140 23 092 25 670 3 320 25 650 Manca Negara 1 293 185 231 193 248 351 274 - Eropa Barat 453 72 87 91 61 68 71 - Amerika 261 34 59 43 57 64 71 - Australia 84 5 24 13 11 20 24 - Asean 143 46 39 32 70 80 73 - Jepang 105 16 8 11 18 15 15 - Lainnya 247 12 14 3 31 20 20 Matutuang, Pulau Kemboleng dan Pulau Marore. Data wilayah P2K perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11 Wilayah P2K perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe Sumber: diolah dari Peta Dishidros 2003, dan data Kecamatan Tabukan Utara dan Kendahe Berdasarkan Tabel 11 dan perjanjian lintas batas terlihat bahwa terdapat 10 pulau kecil yang berada di wilayah perbatasan, dan 6 enam pulau yang berpenghuni, sedangkan 4 empat pulau lainnya tidak berpenghuni. Gugus Pulau Toade saat ini masuk dalam wilayah Kecamatan Nusa Tabukan. Oleh karena itu P2K perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe memiliki nilai strategis ditinjau dari geopolitik, potensi sumber daya ekonomi maritim, dan lingkungan hidup. Nilai strategis P2K perbatasan juga ditentukan oleh adanya Alur Laut Kepulauan Indonesia ALKI, yang berada di antara Gugus Pulau Toade dengan Gugus Pulau Kawio dengan kedalaman laut 1 240 m – 2 375 m, serta batas laut teritorial, ZEEI, dan Landas Kontinen. Selanjutnya kedekatan Gugus Pulau Kawio dan Gugus Pulau Sarangani menempatkan lalu lintas barang dan orang yang intensif baik secara legal maupun illegal, sehingga memerlukan pengamanan yang intensif di wilayah perbatasan. Batas maritim Indonesia dengan Filipina disajikan dalam Gambar 5. Kecamatan Pulau Keterangan Tabukan Utara Liang Tidak berpenghuni Dumarehe Tidak berpenghuni Matutuang Berpenghuni Ehise Tidak berpenghuni Mamanu Tidak berpenghuni Marore Berpenghuni Kendahe Kawio Berpenghuni Kemboleng Berpenghuni Kawaluso Berpenghuni Lipang Berpenghuni Gambar 5 Batas maritim wilayah Indonesia dengan Filipina

4.6.2 Kondisi geografis

Menurut Dishidros TNI-AL 2003 dan PP No.382002, P2K perbatasan Kepulauan Sangihe meliputi: Pulau Kawio, Pulau Marore, Pulau Matutuang, dan Pulau Kawaluso Tabel 12. Sebagai akibat geografis yang berbatasan dengan Filipina, maka masyarakat P2K perbatasan lebih sering melakukan transaksi perdagangan dengan masyarakat Pulau Balut, Pulau Saranggani dan General Santos untuk memenuhi kebutuhan hidup, apalagi kondisi transportasi dari Tahuna ke P2K perbatasan dan sebaliknya sering tidak menentu. Untuk berlayar ke Pulau Balut dan Pulau Saranggani Filipina hanya memerlukan waktu kurang lebih 3 jam dari Pulau Marore dan 6 jam dari Pulau Matutuang, serta 8 jam dari Pulau Kawaluso. Sebaliknya dari Marore ke Tahuna membutuhkan waktu 9 jam, Pulau Matutuang ke Tahuna memerlukan waktu relatif sama dengan ke Filipina. Sarana transportasi yang digunakan adalah transportasi laut dengan menggunakan pamboat, fuso, dan jukung sangat tergantung gelombang laut. Pulau Marore merupakan pulau kecil yang memiliki luas kurang lebih 214.49 Ha dan ditetapkan sebagai wilayah khusus di perbatasan antara Indonesia dengan Filipina yang dikenal sebagai wilayah check point border crossing area BCA, sedangkan sebelah selatan Pulau Marore terdapat Pulau Matutuang dengan luas 0.24 km² atau 24 Ha, serta Pulau Kawaluso agak lebih luas dari pada kedua pulau tersebut di atas yaitu 4.95 km² dan Pulau Kawio dengan luas 0.9 km². Tabel 12 Posisi geografis P2K perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe Sumber: Dishidros TNI-AL 2003 dan PP No. 382002

4.6.3 Topografi

Bentuk lahan di P2K perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe pada umumnya terdiri dari perbukitan, rataan lumpur, dan terumbu paparan pelataran. Komposisi lahan terdiri dari hutan lahan kering, belukar, semak, lahan terbuka, dan terumbu karang. Sebagian besar daerah perbukitan digunakan sebagai areal perkebunan seperti tanaman kelapa, selebihnya tanaman liar, kecuali wilayahdaerah yang dihuni oleh penduduk. Karakteristik pantai sebagian besar berupa tebing yang terjalcuram, yang dikelilingi terumbu karang yang kondisinya relatif baik. Nama Pulau Posisi Geografis Batas Negara Perairan Lintang Utara Bujur Timur Pulau Kawio 4º39’51”-4º40’37” 125º25’38”-125º26’21” Filipina Laut Sulawesi Pulau Marore 4º42’49”-4º44’42” 125º28’16”-125º28’48” Filipina Laut Sulawesi Pulau Matutuang 4º25’54”-4º26’23” 125º41’15”-125º41’54” Filipina Laut Sulawesi Pulau Kawaluso 3º13’22”-3º14’15” 125º18’35”-125º19’57” Filipina Laut Sulawesi Kerusakan terumbu karang sebagian besar dipengaruhi oleh abrasi pantai disebabkan adanya angin, gelombang laut dan arus, dan didorong oleh kerusakan akibat jangkar serta perlakukan manusia dalam cara penangkapan ikan.

4.6.4 Oseanografi

Kondisi pantai P2K perbatasan berupa pantai berbatu karang. Kondisi ini dapat ditemui di Pulau Matutuang, Pulau Kawio, Pulau Marore dan Pulau Kemboleng. Di sebagian wilayah pantai dikelilingi terumbu karang dan dikelilingi substrat pasir di beberapa tempat. Pada saat pasang, karang di sekitar pantai tidak terlihat karena tertutup air laut, tetapi pada air surut permukaan karang akan terlihat menghampar. Di perairan P2K perbatasan dikenal dengan dua arah angin yang berpengaruh terhadap gelombang dan arus, yaitu angin utara dan angin selatan, terutama di Pulau Marore. Khusus di Pulau Matutuang, angin berpengaruh walaupun tidak terlalu besar pengaruhnya seperti di Pulau Matore dan Pulau Kawio serta Pulau Kemboleng. Menurut informasi masyarakat setempat, pada saat angin utara bertiup dari utara ke selatan, arah arus angin utara bertiup dari utara ke selatan, arah arus sebaliknya yaitu dari selatan menuju utara dan sebaliknya. Pola pasang yang terjadi adalah tipe semi diumal, yaitu dalam satu hari terjadi dua kali pasang naik dan pasang turun, dengan fluktuasi pasang sekitar 2 meter dan mencapai puncaknya pada saat bulan purnama. Gelombang laut pada saat angin utara lebih besar dibandingkan saat angin selatan

4.6.5 Iklim dan curah hujan

Keadaan cuaca di P2K perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe sering tidak menentu dan sering berubah-ubah. Pada saat musim angin barat dan utara kecepatan angin mencapai rata- rata 40 miljam, laut bergelombang besar sehingga kapal-kapal di bawah 100 GT tidak dapat melintas di perairan ini. P2K perbatasan ini beriklim tropis basah dengan dua pola angin, yaitu angin utara yang bertiup pada bulan Nopember sampai dengan bulan April, bersamaan dengan datangnya musim kemarau, dan angin barat terjadi selama 4 bulan yaitu bulan Desember sampai dengan April dengan ketinggian ombak berkisar 2 – 5 meter. Keadaan iklim ini sangat berpengaruh terhadap aktivitas nelayan dalam melaksanakan penangkapan ikan, sedangkan angin timur tidak banyak berpengaruh terhadap aktivitas nelayan. Berdasarkan karakteristik musim tersebut, maka musim penangkapan yang efektif adalah musim kemarau dan musim pancaroba antara bulan Maret hingga bulan Oktober. Keadaan cuaca tidak menetu dan sering berubah-ubah. Pada waktu musim angin barat dan utara kecepatan angin mencapai 5 kmjam. Iklim di daerah ini dipengaruhi oleh angin muson. Pada bulan Juli sampai dengan September musim kemarau dan musim penghujan terjadi pada bulan September sampai dengan November. Tipe iklim ini menurut Schmidt dan Ferguson adalah Tipe A iklim basah. Secara umum suhu udara rata-rata per bulan pada tahun 2005 adalah 27.3°C, di mana suhu udara terendah adalah 26.9°C pada bulan Januari dan Desember, sedangkan tertinggi 27.7°C pada bulan Oktober. Kelembaban nisbih daerah ini berkisar antara 81 persen sampai dengan 87 persen, dengan curah hujan tertinggi pada tahun 2005 terjadi pada bukan Desember yaitu 382 mm, dengan hari hujan 28 hari, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu 94 mm dengan jumlah hari hujan 15 hari. Keadaan angin pada musim penghujan lebih kencang bertiup dari barat dan barat laut dengan kecepatan 5 – 8 kmjam.

4.6.6 Aksesibilitas

P2K perbatasan dapat dicapai dengan transportasi laut, dan secara reguler dilayani oleh satu trayek dari dua trayek kapal perintis setiap minggu sekali yaitu KM. Daya Sakti dan KM Surya, namun keduanya pada saat ini telah docking dan diganti oleh kapal perintis KM Tilongkabila. Sarana dan prasarana yang ada di Pulau Marore antara lain dermaga dengan panjang 70 meter, lebar 8 meter, kedalaman air pasang 8 meter, air surut 6 meter dan daya rapat 3,000 dwt. Mobilitas penduduk selain tergantung pada kapal perintis, juga menggunakan perahu nelayan tradisional yang disesuaikan dengan kondisi cuaca, seperti londe, pamo, pamboat dan perahu pelang. Londe adalah perahu kecil bercadik sema-sema yang berukuran sekitar 10 meter dengan lebar 2 meter, dijalankan dengan menggunakan dayung dan layar. Umumnya setiap keluarga memiliki jenis perahu ini. Perahu londe biasanya digunakan untuk memancing jarak dekat dan digunakan di sekitar pulau. Perahu pelang adalah sejenis perahu londe, tetapi ukurannya lebih besar, yakni sekitar 15 meter dan biasanya menggunakan motor tempel. Jenis perahu ini digunakan untuk mobilitas penduduk antar pulau. Sedangkan perahu pamo merupakan perahu berbadan lebar dengan menggunakan mesinmotor penggerak di dalam. Perahu ini biasanya digunakan untuk mengangkut barang dan orang karena daya tampung perahu ini lebih besar dibandingkan dengan perahu pelang. Selanjutnya dalam perkembangan hubungan dengan Filipina penduduk setempat menggunakan pump boat yang bentuk menyerupai dengan pamo, serta fuso yaitu pump boat dengan mesin mobil fuso. 4.7 Mengenal Profil Pulau-Pulau Perbatasan 4.7.1 Pulau Marore Pulau Marore merupakan sebuah pulau kecil yang berada paling depan dari wilayah NKRI yang berbatasan langsung dengan negara Filipina. Letak pulau pada posisi geografisnya seperti terlihat dalam Gambar 6. Perbukitan bergelombang dengan ketinggian antara nol dari permukaan laut sampai dengan 110 meter dari permukaan laut. Daerah perbukitan merupakan daerah perkebunan kelapa, cengkeh, mangga, jambu mede, rumpun bambu, dan lain sebagainya. Mayoritas penduduknya mendiami di bagian pantai sebelah barat daya dan minoritas di pantai timur. Penduduk Pulau Marore pada tahun 2006 sebanyak 562 jiwa dengan 135 KK, yang digolongkan pada kategori miskin, hal ini terlihat sekitar 50 atau 60 KK masih mendapatkan bantuan tunjangan uang miskin. Mata pencaharian penduduk sebagai nelayan dan petani, dengan hasil perkebunan berupa kelapa yang diolah menjadi kopra dan dijual di Tahuna, sedangkan hasil tangkapan ikan dijual melalui pedagang yang datang dari Filipina atau yang dibawa ke General Santos City, Pulau Mindanao, Filipina. Penangkapan ikan hanya dilakukan pada musim tidak berombak dan jika ada pesanan dari Filipina. Jika tidak ada pesanan atau pembeli dari Filipina, ikan hasil tangkapan dikonsumsi sendiri. Selain itu penduduk Pulau Marore melakukan perniagaan dengan penduduk Marore yang tinggal di Filipina, dan barang dagangannya berupa beras, minuman keras, minuman ringan, alat rumah tangga dan kebutuhan lainnya, dengan menggunakan mata uang peso sebagai alat transaksinya atau kadang-kadang dengan cara barter. Sarana dan prasarana yang ada di Pulau Marore berupa kantor Kepala Kampung, Kantor Camat, kantor Border Crossing Filipina, kantor Syahbandar, Bea Cukai, Imigrasi, dan Pos Angkatan Laut, Koramil, Kepolisian. Fasilitas lainnya adalah Gereja, Puskesmas, SD, SMP dan SMA. Untuk fasilitas listrik dari PLN hanya hidup selama 12 jam pada malam hari. Sedangkan prasarana transportasi jalan adalah jalan kampung dengan lebar 3.5 meter dan jalan lainnya yang sering mengalami kerusakan akibat tergerus oleh arus ombak. Pulau Marore memiliki lahan terumbu karang yang luas mencakup 30 dari luas pulau, dengan demikian pulau ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi tempat kawasan wisata bahari khususnya wisata bawah laut. Terumbu karang yang indah tersebut sangat potensial dan menjanjikan apabila dikembangkan secara optimal. Keanekaragaman jenis terumbu karang dan biota laut lainnya yang tinggi serta obyek dan daya tarik wisata yang beragam pantai pasir putih, obyek bawah laut memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk berkunjung ke pulau ini. Selain keindahan terumbu karang, wilayah pesisir dan perairan P. Marore mempunyai potensi perikanan yang besar, terutama di ZEEI. Di wilayah perairan pulau ini dan ZEEI terdapat ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi antara lain kerapu Ephinephelus spp.,, tuna Thunnus spp., cakalang Katsuwonus pelamis, layang teripang Holothruea spp, rumput laut Euchema spp., lobster kakap Lutjanus kasmira, dan lain-lain. Keberadaan berbagai jenis ikan tersebut menyebabkan banyak nelayan asing yang beroperasi di sekitar perairan pulau tersebut. Untuk mengantisipasi agar SDI tidak dieksploitasi oleh nelayan dari luar daerah dan nelayan asing, maka diperlukan penambahan dan pengembangan unit penangkapan ikan yang ramah lingkungan, terutama untuk mengoptimalkan pemanfaatan SDI di perairan ZEEI. 4 42’49”- 125 28’16” - 12528’48” Sumber : Ekspedisi Garis Depan Nusantara Foto, 2010. Gambar 6. Posisi Pulau Marore secara geografis Nasib nelayan Pulau Marore cukup memprihatinkan disebabkan dalam setahun hanya bisa melaut selama empat bulan hingga lima bulan, yaitu pada bulan Mei, Juni, Juli, Nopember dan bulan Desember. Pada bulan lainnya cuaca tidak mendukung yang diakibatkan oleh pengaruh badai Filipina, yang sekurang-kurangnya terjadi dua kali badai dalam setahun. Namun demikian potensi laut sangat menjanjikan apabila dikembangkan dengan baik. Nelayan Pulau Marore sangat ulung dalam menangkap ikan hiu cucut. Dalam memburu ikan hiu mereka menggunakan rawai cucut, pancing ulur dan senjata panah. Selain itu perahu yang digunakan dalam memburu ikan hiu adalah perahu pelang sehingga daerah jelajah hanya sampai dengan 15 mil laut. Persoalan yang mendasar bagi pengembangan potensi perikanan di Pulau Marore pada khususnya dan P2K Perbatasan pada umumnya adalah: 1 ketiadaan es untuk pengawetan ikan apabila akan dibekukan dan dijual di General Santos; 2 pemasaran ikan yang menunggu pembeli dari Filipina; dan 3 masalah bahan bakar minyak BBM; serta 4 hilangnya pulau akibat abrasi yang cukup tinggi. Krisis BBM biasanya mengakibatkan kenaikan harga BBM yang cukup tinggi antara Rp. 10 000,- sampai dengan Rp. 15 000 per liter untuk bensin dan harga berkisar Rp. 7 000,- sampai Rp. 10 000,- per liter untuk minyak tanah.

4.7.2 Pulau Kawio

Pulau Kawio merupakan salah satu pulau terluar yang secara geografis terletak pada koordinat 4º39’51”-4º40’37” LU dan 125º25’38”-125º26’21” dengan batas sebelah utara berbatasan dengan negara Filipina, sebelah timur berbatasan dengan Samudera Pasifik, sebelah selatan berbatasan dengan Pulau Kemboleng, dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Sulawesi. Jarak antara pulau Kawio dengan Manado sekitar 188.9 mil laut sedangkan untuk ke Davao, kepulauan Mindanao Filipina sekitar 147.55 mil laut. Gambar 7 memperlihatkan posisi secara geografis. Pulau Kawio mempunyai panorama yang indah dan alam bawah laut yang kaya akan terumbu karang dan ikan, pantai berkarang, tebing dan berbatu, serta hanya sedikit saja permukaan pantainya berupa pasir. Di daerah pantai yang berbatu dan berkarang umumnya kondisi pantai landai. Medan datar di pulau ini terletak di sebelah selatan dan utara pulau, dan relatif kecil dari total luasan pulau dan digunakan untuk pemukiman penduduk. Sungai di pulau ini adalah sungai buatan yang hulunya berasal dari sebuah mata air. 4 39’51” - 125 25’38”- Sumber: Ekspedisi Garis Depan Nusantara 2010 Gambar 7 Posisi Pulau Kawio Secara Geografis Pulau Kawio terletak di sebelah utara katulistiwa, menyebabkan daerah ini mempunyai iklim equatorial, yang tidak memiliki suhu yang berbeda dengan observasi di beberapa daerah di Kepulauan Sangihe. Persentase kelembaban yang tertinggi sekitar 89 dan yang terendah sekitar 82. Keadaan angin di daerah ini sangat dipengaruhi kehidupan masyarakat, dengan posisi sebagai berikut: 1 angin barat bertiup antara bulan September sampai dengan Januari dengan kecepatan rata-rata 50 kmjam sampai dengan 80 kmjam. Pada musim ini dikenal dengan ombaknya besar disertai dengan hujan lebat sehingga mempengaruhi lalu lintas pelayaran dan sering mengakibatkan kecelakaan; 2 angin utara bertiup ke selatan antara bulan Februari sampai dengan Maret dengan kecepatan 30 kmjam sampai dengan 60 kmjam. Kondisi ini menimbulkan ombak besar dengan curah hujan amat kurang, kadang-kadang angin bertiup terus menerus selama satu sampai dua minggu, kemudian selama dua atau tiga hari keadaan laut tenang kembali, demikian terus menerus berganti sampai musim berikutnya tiba; 3 angin selatan yang bertiup ke utara dengan kecepatan 20 sampai 40 kmjam dan bertiup pada bulan Juli sampai Agustus dengan keadaan laut berombak cukup besar; dan 4 angin timur bertiup ke arah barat antara bulan April sampai dengan Juni dengan kecepatan 15 kmjam sampai dengan 25 kmjam. Kadang-kadang angin tidak ada sama sekali. Keadaan laut tenang, sehingga pada musim ini baik sekali untuk pelayaran. Curah hujan tertinggi sebesar 591.2 mm dan terjadi pada bulan Februasi dan terendah sebesar 127.9 mm dan terjadi pada bulan Mei. Sedangkan musim terbagi tiga musim yaitu musim hujan September sampai Nopember, musim kemarau Juli sampai September dan musim pancaroba Februari sampai Juni. Jumlah penduduk P. Kawio sebanyak 392 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 213 jiwa dan perempuan 179 jiwa, dengan jumlah 117 KK. Mata pencaharian penduduk sebagai nelayanpetani sebesar 90 dan lain-lain sebanyak 10. Nelayan pulau ini sangat menggantungkan diri kepada alam, dan jika cuaca buruk para nelayan tersebut memilih tidak melaut dan mengolah kopra. 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe

Salah satu ukuran kuantitatif yang diperlukan untuk memberikan gambaran pembangunan ekonomi tentang keadaan pada masa lalu, masa kini, dan sasaran-sasaran yang dicapai dalam masa mendatang adalah Produk Domestik Regional Bruto PDRB. PDRB merupakan salah satu ukuran perkembangan atau kinerja ekonomi suatu daerah yang dapat dilihat pada PDRB atas dasar harga berlaku ADHB dan atas dasar harga konstan ADHK. Khusus untuk PDRB ADHK digunakan data harga konstan tahun 2000 sebagai tahun dasar berdasarkan harga konstan tahun 2000 karena dianggap kondisi harga pada saat itu relatif konstan.

5.1.1 Struktur ekonomi

Kinerja ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe selama tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 cukup menggembirakan hal ini dapat dilihat pada PDRB ADHB tahun 2005 mencapai Rp. 709 .62 miliar meningkat pada tahun 2006 sebesar Rp. 803.73 miliar, tahun 2007 sebesar Rp. 896.74 miliar tahun 2008 sebesar Rp. 1 040.34 miliar dan tahun 2009 mencapai Rp. 1 231.15 miliar sebagaimana disajikan dalam Lampiran 1. Lampiran 1 menggambarkan struktur ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe yang biasanya dilihat dengan pendekatan makro sektoral, yaitu berdasarkan kontribusi sektor ekonomi terhadap pembentukan PDRB. Secara makro sektoral, perekonomian Kabupaten Kepulauan Sangihe masih mengandalkan potensi sektor pertanian yang didukung oleh subsektor tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Data selengkapnya disajikan dalam Tabel 13. Tabel 13 Struktur perekonomian PDRB ADHB Kabupaten Kepulauan Sangihe Dalam Sumber: Hasil olahan data dari BPS Kepulauan Sangihe 2010. Lapangan Usaha 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata 1. Pertanian

29.91 29.24

31.00 32.14

32.22 30.90

a. Tabama 2.84 3.04 3.74 3.31 3.03 3.19 b. Perkebunan 17.48 17.13 18.83 20.89 21.91 19.25 c. Peternakan 2.72 2.38 2.21 2.12 1.87 2.26 d. Kehutanan 0.10 0.10 0.09 0.10 0.09 0.10 e Perikanan 6.76 6.59 6.13 5.72 5.32 6.10

2. Pertambangan dan Penggalian 3.58

3.61 3.51

3.53 3.28

3.50 a. Pertambangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 b. Penggalian 3.58 3.61 3.51 3.53 3.28 3.50

3. Industri Pengolahan 7.17

7.16 6.70

6.24 5.80

6.62 4. Listrik, Gas dan Air

0.58 0.55

0.53 0.50

0.45 0.52

a. Listrik 0.47 0.45 0.43 0.41 0.37 0.42 b. Air Bersih 0.11 0.10 0.10 0.09 0.08 0.09

5. Bangunan 8.23

8.25 8.51

9.37 9.60

8.79 6. Perdagangan, Hotel Restoran

16.13 15.75

16.03 16.01

16.34 16.05

a. Perdagangan besar eceran 14.95 14.55 14.87 15.00 15.41 14.96 b. Hotel 0.26 0.25 0.24 0.24 0.22 0.24 c. Restoran 0.92 0.95 0.93 0.77 0.70 0.85

7. Pengangkutan Komunikasi 11.42

11.19 10.80

9.63 10.08

10.63 a. Angkutan 11.04 10.82 10.43 9.29 9.77 10.27 b. Komunikasi 0.38 0.37 0.37 0.34 0.32 0.36

8. Keuangan Jasa Perusahaan 5.96

6.58 6.47

7.20 7.08

6.66 a. Bank 3.98 4.75 4.72 5.58 5.60 4.93 b. Lembaga keuangan non bank 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 c. Sewa rumah 1.86 1.71 1.64 1.50 1.36 1.61 d. Jasa perusahaan 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 9 Jasa-jasa 17.03

17.67 16.44

15.40 15.15

16.34 a. Pemerintahan 14.09 14.92 13.72 12.69 12.50 13.59 b. Swasta 2.94 2.75 2.72 2.71 2.65 2.75 PDRB 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Kontribusi sektor pertanian relatif cukup besar yaitu pada tahun 2005 sebesar 29.91, tahun 2006 sebesar 29.24, tahun 2007 sebesar 31, tahun 2008 sebesar 32.14 dan tahun 2009 sebesar 32.22, dengan rata-rata selama lima tahun kontribusinya sebesar 30.90. Kontribusi sektor pertanian yang cukup tinggi terhadap PDRB-ADHB Kabupaten Kepulauan Sangihe dipengaruhi oleh suksektor perkebunan dan perikanan. Kontribusi subsektor perkebunan terhadap PDRB-ADHB Kabupaten Kepulauan Sangihe pada tahun 2005 sebesar 17.48, tahun 2006 sebesar 17.13, tahun 2007 sebesar 18.83, tahun 2008 sebesar 20.89 , dan tahun 2009 sebesar 21.91, dengan rata-rata selama lima tahun sebesar 19.25. Selain sektor pertanian, terdapat beberapa sektor yang memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembentukan struktur ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe pada tahun 2009 meliputi: 1 sektor jasa-jasa sebesar 15.15; 2 perdagangan, hotel dan restoran sebesar 16.34; 3 pengangkutan dan komunikasi sebesar 10.08; 4 keuangan dan jasa perusahaan sebesar 7.08; dan 5 industri pengolahan sebesar 5.80. Tabel 13 juga memberikan arah bahwa nilai tambah value added kegiatan ekonomi pada subsektor perdagangan disebabkan oleh perkembangan subsektor tanaman perkebunan yaitu perdagangan hasil bumi berupa kopra, pala, fuli, dan cengkih. Oleh karena itu diduga pembentukan kontribusi subsektor perdagangan besar sangat didominasi oleh produk tanaman perkebunan. Keterkaitan ini dapat dijelaskan bahwa peningkatan produksi tanaman perkebunan akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan perdagangan karena input terbesar dalam perhitungan nilai tambah bruto subsektor perdagangan di Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah output subsektor perkebunan. Sumbangan subsektor perkebunan terhadap subsektor perdagangan belum diikuti oleh subsektor perikanan. Menurut informasi subsektor perdagangan telah melakukan ekspor langsung ke Filipina dari Tahuna, terutama untuk komoditas kopra namun kontinuitasnya belum signifikan. Subsektor perikanan juga telah melakukan kegiatan “ekspor” yang dilakukan secara tradisional yaitu para pedagang Filipina melakukan kegiatan perdagangan di P2K perbatasan dengan pusat perdagangan ikan dengan pedagangnelayan Filipina berada di Pulau Matutuang yang sebelumnya berada di Pulau Tinakareng, atau penjualannya dilakukan oleh nelayan P2K perbatasan ke General Santos Filipina, baik secara legal maupun illegal, dan belum tercatat dalam statistik Kabupaten Kepulauan Sangihe.

5.1.2 Pertumbuhan ekonomi

Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 ditunjukkan oleh PDRB atas dasar harga konstan ADHK pada harga konstan tahun 2000. Nilai PDRB Kabupaten Kepulauan Sangihe ADHK pada tahun 2005 sebesar Rp. 570.79 miliar memiliki kecenderungan meningkat pada tahun 2009 menjadi Rp. 697.31 miliar, sebagaimana disajikan dalam Lampiran 2. Nilai PDRB ADHK menunjukkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe. Pada tahun 2005 pertumbuhan ekonomi mencapai 3.48, tahun 2006 mencapai 4.43, tahun 2007 sebesar 5.92, tahun 2008 sebesar 5.49, dan dan terus meningkat pada tahun 2009 menjadi 5.80 dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi selama lima tahun sebesar 4.92. Data pertumbuhan ekonomi secara sektoral Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 disajikan dalam Tabel 14. Sektor pertanian memiliki nilai PDRB ADHK harga konstan tahun 2000, pada tahun 2005 senilai Rp. 183.95 miliar yang apabila dibandingkan dengan nilai PDRB ADHK dengan nilai tahun konstan yang sama untuk periode tahun 2004 diperoleh hasil pertumbuhan ekonomi sektoral sebesar 3.38, tahun 2006 sebesar 3.68, tahun 2007 sebesar 0.45, dan tahun 2008 sebesar 2.14, serta tahun 2009 mencapai 3.04 dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sektor pertanian selama lima tahun tersebut sebesar 2.54 . Pertumbuhan ekonomi sektor pertanian secara umum telah mengalami perlambatan, bahkan pada tahun 2007 terdapat dua subsektor yang memiliki pertumbuhan negatif yaitu subsektor peternakan dengan pertumbuhan -0.51 dan subsektor kehutanan dengan pertumbuhan -1.60. Perlambatan juga terjadi pada subsektor perkebunan pada tahun 2007, 2008 dan tahun 2009 dengan masing-masing pertumbuhannya sekitar 0.16, 0.05, dan 1.95. Tabel 14 Pertumbuhan Ekonomi PDRB ADHK Kabupaten Kepulauan Sangihe Dalam Sumber: Hasil olahan data dari BPS Kepulauan Sangihe 2010. Lapangan Usaha 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata 1. Pertanian

3.38 3.68

0.45 2.14

3.04 2.54

a. Tabama 8.64 4.66 10.33 7.74 3.94 7.06 b. Perkebunan 1.70 6.34 0.16 0.06 1.96 2.04 c. Peternakan 2.24 0.10 -0.51 1.25 1.41 0.90 d. Kehutanan 2.87 4.61 -1.60 3.48 2.97 2.47 e Perikanan 6.51 0.02 2.13 5.96 6.46 4.22

2. Pertambangan dan Penggalian 6.76

7.96 6.95

9.02 7.29

7.60 a. Pertambangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 b. Penggalian 6.76 7.96 6.95 9.02 7.29 7.60

3. Industri Pengolahan 1.47

0.70 0.91

1.43 1.66

1.23 4. Listrik, Gas dan Air

4.80 6.82

8.33 3.63

3.91 5.50

a. Listrik 6.16 7.72 8.64 3.26 3.52 5.86 b. Air Bersih 2.85 1.85 6.49 6.87 6.19 4.85

5. Bangunan 7.83

8.98 7.48

9.08 9.47

8.57 6. Perdagangan, Hotel Restoran

2.99 4.91

5.82 7.73

7.93 5.88

a. Perdagangan besar eceran 3.06 4.86 5.98 7.82 8.03 5.95 b. Hotel 3.76 3.08 3.24 7.43 7.82 5.07 c. Restoran 1.65 0.89 3.76 6.27 6.12 3.74

7. Pengangkutan Komunikasi 4.42

5.86 7.56

8.77 8.55

7.03 a. Angkutan 4.24 5.68 7.42 8.56 8.38 6.86 b. Komunikasi 9.27 10.52 11.01 13.72 12.24 11.35

8. Keuangan Jasa Perusahaan 5.59

8.50 9.30

9.00 7.55

7.99 a. Bank 6.65 10.70 11.05 9.73 8.46 9.32 b. Lembaga keuangan non bank 4.41 5.80 7.87 8.45 8.52 7.01 c. Sewa rumah 2.85 3.01 4.70 6.92 4.83 4.46 d. Jasa perusahaan 9.40 6.84 5.28 8.54 6.57 7.33 9 Jasa-jasa 1.15

1.94 2.32

5.17 5.51

3.22 a. Pemerintahan 0.52 1.23 1.14 4.48 5.07 2.49 b. Swasta 4.12 5.21 7.54 8.04 7.26 6.43 PDRB 3.48

4.43 5.42

5.49 5.80

4.92 Pertumbuhan sektoral yang cenderung lebih baik adalah: 1 sektor pertambangan dan penggalian; 2 listrik, gas dan air; 3 bangunan; 4 perdagangan, hotel dan restoran; 5 pengangkutan dan komunikasi; 6 keuangan dan jasa-jasa perusahaan; dan 7 sektor jasa-jasa. Sedangkan sektor yang mengalami pertumbuhan sektoral yang rendah selain sektor pertanian adalah sektor industri pengolahan. Sektor ini tumbuh pada tahun 2005 sebesar 1.47, tahun 2006 sebesar 0.70, tahun 2007 sebesar 0.91, tahun 2008 sebesar 1.43, dan tahun 2009 sebesar 1.66. Sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh dengan kecenderungan yang meningkat. Pertumbuhan sektor ini pada tahun 2005 mencapai 4.80, tahun 2006 sebesar 6.82, tahun 2007 sebesar 6.95, tahun 2008 sebesar 9.02, dan tahun 2009 sebesar 7.93. Apabila dicermati secara mendalam terlihat bahwa kecenderungan pertumbuhan sektor perdagangan ini didukung oleh sektor angkutan dan komunikasi serta subsektor perkebunan dan perikanan. Lalu lintas barang dan jasa serta wisatawan baik domestik maupun manca negara, yang masuk ke dan keluar dari Kabupaten Kepulauan Sangihe merupakan inti pertumbuhan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Perusahaan perdagangan barang dan jasa di Kabupaten Kepulauan Sangihe pada tahun 2009 berjumlah 122 unit usaha, yang didominasi oleh perdagangan barang dan jasa berskala kecil sebanyak 100 unit usaha, berskala menengah 17 unit usaha, serta usaha perdagangan barang dan jasa berskala besar hanya 5 unit usaha. Dari hasil pengamatan dan hasil FGD memmberikan kesan yang menarik untuk dikaji, yaitu bahwa: 1 kebutuhan sehari-hari seperti tomat, cabe, hasil hortikultura lainnya sebagian besar didatangkan dari luar Kepulauan Sangihe yaitu dari Manado; 2 seluruh bahan pokok seperti beras, gula pasir, minyak tanah, sabun cuci, tekstil, dan batik didatangkan dari luar Kepulauan Sangihe, kecuali minyak goreng crude coconut oil yang sebagian kecil di produksi di Sangihe dalam skala yang relatif kecil; 3 semua bahan penting seperti tepung terigu, semen, tripleks dan lain-lain didatangkan dari luar Kepulauan ini; dan 4 pengeluaran antar pulau hasil bumi dan laut yang tercatat dalam data statistik hanyalah kopra, cengkih, pala, dan fulli, sedangkan ikan sebagai produksi hasil tangkapan nelayan yang dipasarkan di luar Kabupaten Kepulauan Sangihe tidak tercatat dalam data statistik. Informasi tersebut di atas menggambarkan permasalahan yang mendasar dalam perekonomian Kabupaten Kepulauan Sangihe, yaitu: 1 keterbatasan lahantanah untuk pengembangan tanaman hortikultura; 2 SDM pertanian hortikultura relatif belum banyak tersedia walaupun secara relatif wilayah agronomi hortikultura dapat dikembangkan antara lain di Desa Lenganeng; 3 walaupun tersedianya lahan pengembangan hortikultura tetapi apabila dikembangkan di Kepulauan Sangihe, harga jual akan lebih mahal jika dibandingkan dengan komoditas yang sama didatangkan dari Manado; 4 budaya pertanian hortikultura belum dimiliki secara utuh oleh petani Kepulauan Sangihe jika dibandingkan dengan budaya perkebunan kelapa, pala dan cengkih; dan 5 budaya “perdagangan impor” lebih kuat jika dibandingkan dengan etos kerja industri pertanian hortikultura. Tingginya laju pertumbuhan sektor bangunan terkait erat dengan laju pertumbuhan sektor perdagangan dan subsektor jasa pemerintah. Proses pembangunan sarana dan prasarana di Kabupaten Kepulauan Sangihe seperti pembuatan talud pencegah abrasi atau pemecah ombak, pembuatan jalan di pantai, pembuatan jalan produksi dan lain-lain memerlukan semen, cat, dan besi serta seng. Selain itu laju pertumbuhan sektor bangunan juga memerlukan pasir dan batu, sehingga penggalian pasir dan batu untuk bahan bangunan terus meningkat dan mendorong pesatnya laju pertumbuhan subsektor penggalian. Namun demikian tingginya laju pertumbuhan subsektor penggalian tidak diikuti oleh perkembangan subsektor pertambangan. Pertambangan emas di desa Lapango Kecamatan Manganitu Selatan sampai saat ini masih dalam proses eksplorasi 1 . Menurut Dinas Pertambangan dan Kehutanan 2009, proses eksplorasi juga 1 Menurut anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Sangihe Bapak Sem Junior Tadete, tingkat eksplorasi yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan perlu dievaluasi karena proses eksplorasi ini cukup lama. Proses eksplorasi ini telah berumur lebih dari 15 tahun, jangan sampai menunggu hasil tambang emas habis dan perusahaan mengatakan tidak laik untuk dikembangkan serta menunggu sampai terjadinya kerusakan lingkungan sebab sampel tanah yang diuji di luar Sangihe dikeluarkan dari Desa Lapango dalam jumlah yang cukup besar. dilakukan untuk bahan tambang yang berada pada beberapa lokasi, seperti: 1 emas di Kecamatan Tabukan Selatan Tenggara; dan 2 pasir besi di Kecamatan Tabukan Utara, Kedahe, Tabukan Selatan dan Kecamatan Tabukan Selatan Tengah.

5.2 Analisis SektorSubsektorKomoditas Unggulan Kabupaten Sangihe

5.2.1 Analisis

location quotient LQ Model analisis sektorsubsektorkomoditas basis adalah location quotient LQ. LQ adalah salah satu teknik untuk menghitung kapasitas ekspor suatu perekonomian wilayah dan juga untuk mengetahui derajat kemandirian sektorsubsektorkomoditas di perekonomian wilayah tersebut. Dalam proses perhitungannya analisis LQ menggunakan perbandingan antara kondisi perekonomian suatu wilayah dengan perekonomian wilayah acuan yang melingkupi daerah yang lebih besar. Dalam beberapa hal, model LQ merupakan pelengkap terhadap metode perhitungan yang lain yakni metode shift share. Perbedaannya adalah analisis LQ tidak mensyaratkan data pada dua titik yang berbeda. Penerapan model perhitungan analisis LQ untuk menghitung LQ dan faktor pengganda dari suatu ekonomi wilayah lokal. Subyek yang dianalisis dalam penelitian ini adalah perekonomian Kabupaten Kepulauan Sangihe sedangkan wilayah acuannya adalah perekonomian Provinsi Sulawesi Utara. Data yang digunakan adalah data PDRB ADHK Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Provinsi Sulawesi Utara untuk tahun 2005 sampai tahun 2009, sebagaimana disajikan dalam Lampiran 2 dan Lampiran 3. Dari data tersebut, subsektor pertambangan tanpa minyak dan gas tidak dihitung sebab unit usaha tersebut belum tercatat dalam data PDRB kabupaten Kepulauan Sangihe. Nilai LQ masing-masing sektorsubsektorkomoditas dihitung dengan menggunakan persamaan 3.3. Sebelum menggunakan persamaan 3.3 dilakukan perhitungan nilai dari nilai tambah PDRB-ADHK Kabupaten Kepulauan Sangihe Lampiran 4, kemudian menghitung perbandingan nilai tambah sektoral untuk Provinsi Sulawesi Utara dengan rumus sebagaimana disajikan dalam Lampiran 5. Hasil lampiran tersebut dianalisis dengan menggunakan persamaan 3.3 diperoleh nilai LQ sebagaimana disajikan dalam Tabel 15. Tabel 15 Hasil perhitungan LQ menurut lapangan usaha Dari hasil perhitungan tersebut terlihat bahwa terdapat empat sektor di Kabupaten Kepulauan Sangihe yang memiliki nilai LQ 1, dan lima sektor lainnya memiliki nilai LQ 1. Sektor-sektor yang memiliki nilai LQ yang rendah adalah: pertambangan dan penggalian 0.645, Lapangan Usaha 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata 1. Pertanian 1.49019 1.51282 1.49780 1.51558 1.55961 1.51426 a. Tabama 0.50273 0.51019 0.57943 0.54577 0.57912 0.54345 b. Perkebunan 2.42193 2.45666 2.35535 2.52344 2.62420 2.47631 c. Peternakan 1.43570 1.41979 1.32210 1.28993 1.25159 1.34382 d. Kehutanan 0.31008 0.31885 0.31184 0.34934 0.36167 0.33036 e Perikanan 1.38456 1.40778 1.39171 1.43743 1.45952 1.41620

2. Pertambangan dan Penggalian 0.62968

0.63943 0.63522 0.64916 0.67295 0.64529 a. Pertambangan 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 b. Penggalian 0.87206 0.89034 0.88035 0.88842 0.92593 0.89142

3. Industri Pengolahan 0.81017

0.77718 0.74495 0.72966 0.70651 0.75370

4. Listrik, Gas dan Air 0.90973

0.92291 0.95565 0.86954 0.80167 0.89190 a. Listrik 0.99492 1.00334 1.03846 0.93971 0.84881 0.96505 b. Air Bersih 0.61569 0.62740 0.64660 0.60529 0.60892 0.62078

5. Bangunan 0.47189

0.49066 0.49503 0.50009 0.52595 0.49672

6. Perdagangan, Hotel Restoran 1.18527

1.17181 1.16108 1.14031 1.11703 1.15510 a. Perdagangan besar eceran 1.35145 1.35236 1.33159 1.32654 1.32070 1.33653 b. Hotel 0.20367 0.17621 0.17661 0.15899 0.13890 0.17088 c. Restoran 0.65236 0.63870 0.63979 0.63899 0.61890 0.63775

7. Pengangkutan Komunikasi

0.87865 0.88460 0.90677 0.91101 0.86238 0.88868 a. Angkutan 0.94561 0.95899 0.98205 0.99336 0.93926 0.96385 b. Komunikasi 0.31617 0.30902 0.32605 0.32092 0.31322 0.31708

8. Keuangan Jasa Perusahaan 0.95213

0.95126 0.99324 1.03408 1.05386 0.99691 a. Bank 1.35333 1.33357 1.42294 1.49516 1.55833 1.43267 b. Lembaga keuangan non bank 0.15116 0.15262 0.15456 0.15969 0.15308 0.15422 c. Sewa rumah 0.80907 0.80293 0.80402 0.82525 0.82156 0.81257 d. Jasa perusahaan 0.08715 0.08650 0.08534 0.08482 0.08311 0.08538 9 Jasa-jasa 1.00881 0.99995 1.00613 1.02934 1.03609 1.01606 a. Pemerintahan 1.16093 1.15378 1.16069 1.18732 1.19879 1.17230 b. Swasta 0.63044 0.62985 0.64831 0.67133 0.67591 0.65117 PDRB 1.00000 1.00000 1.00000 1.00000 1.00000 1.00000 sektor industri pengolahan 0.753, sektor listrik, gas dan air bersih 0.891, sektor bangunan 0.496, sektor pengangkutan dan komunikasi 0.888, dan sektor keuangan dan jasa perusahaan 0.996. Sektor-sektor yang memiliki nilai LQ 1, secara berturut-turut adalah: sektor pertanian 1.514, sektor perdagangan, hotel dan restoran 1.155, dan sektor sektor jasa-jasa 1.016. Selanjutnya subsektorkomoditas yang memiliki nilai LQ 1 secara berturut-turut adalah: subsektor perkebunan 2.476, subsektor peternakan 1.343, subsektor perikanan 1.416, subsektor perdagangan besar dan eceran 1.336, subsektor bank 1.432 dan subsektor jasa pemerintahan 1.016. Dari hasil identifikasi, maka sektor basis di Kabupaten Kepulauan Sangihe yang dilihat dari LQ berdasarkan pendapatan adalah subsektor perkebunan, perikanan, peternakan, perdagangan, perbankan, dan subsektor jasa pemerintah. Sektor basis ini menghasilkan barang dan jasa selain mampu memenuhi kebutuhan permintaan pasar di dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe juga dapat diekspor ke luar wilayah, baik melalui perdagangan antarpulau maupun perdagangan antarwilayah maupun perdagangan luar negeri. Hal yang menarik untuk dikaji adalah bahwa subsektor perikanan memiliki nilai LQ 1.416 lebih kecil dari subsektor perkebunan yang memiliki nilai LQ 2.476, sedangkan dari sisi luas wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe memiliki lebih dari 95 wilayahnya adalah laut, bahkan apabila ditambah dengan laut teritorial dan ZEE maka dapat dikatakan kekayaan sumber daya kelautan dan perikanan akan mampu menjadi pendorong perekonomian wilayah ini. Hasil ini dapat dijelaskan bahwa secara statistik pengeluaran barang dan jasa dari subsektor perkebunan seperti kopra, pala, cengkih, dan fuli, tercatat di Dinas Perdagangan Kabupaten Kepulauan Sangihe bahkan di Badan Pusat Statistik BPS Kepulauan Sangihe. Hal ini disebabkan wilayah daratan terluas yang memiliki luas lahan dan produksi subsektor perkebunan memiliki pelabuhan Tahuna sebagai pelabuhan muat antarpulau atau antarwilayah.