Ulasan umum sejarah “Nusa Utara”
dagang rempah-rempah kompeni Belanda. Salindeho dan Sombowadile 2008, menyatakan
bahwa jauh sebelum Belanda berlayar ke Nusantara, bangsa Spanyol tercatat sudah mapan berada di Filipina, yaitu sejak rintisan oleh Ferdinand Magellan, Lopez de Villalobos, dan Lopez de
Legazpi pada awal medio abad ke-16, atau satu abad sebelum Padtbrugge diangkat G ubernur
VOC di Maluku. Pada zaman itu, di Nusa Utara telah terbentuk kerajaan, yang dibangun pada abad ke 15
adalah Kerajaan Tabukan Paparang 1927, dikutip oleh Salindeho dan Sombowadile 2008, tetapi menurut kajian yang diterbitkan oleh Kyoto University Hayase et al 1998, sebelum itu sudah
muncul beberapa kedatuan, baik dibawah pimpinan “datu” yang merupakan awal dari kepemimpinan komunal proto pemerintahan. Sistem ini diduga sebagai pengaruh Islam yang
tersebar dari Malaka Melayu, masuk melalui Sulu dan Mindanao, dan sistem kedatuan
pertama di Mindanao dibentuk oleh Syarief Muhammad. Kerajaan yang awal berdiri di Nusa Utara adalah kerajaan Tabukan
dengan dua tokoh utama, yaitu Gumansalangi dan Makaampo Wawengehe.
Gumansalangi disebut sebagai tokoh yang mendirikan Kedatuan Tumpangan Lawo atau Tabukan pada tahun 1300 sampai tahun 1350
yang wilayahnya meliputi Sangihe, Talaud dan Mindanao. Sedangkan Makaampo Wawengehe
adalah penguasa asal Rainis Talaud yang semasa kecil, ayahnya meninggal dunia dan diasuh oleh pamannya di Salurang Sangihe dan memerintah pada tahun 1530 sampai 1575, dengan
wilayah kekuasaannya, adalah: Sahabe, Tabukan, Lapango, Kuma, Kuluhe, Manalu dan Salurang. Selang kurun abad ke 17, Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda adalah para penguasa
Eropa yang terlibat dalam persaingan merebut daerah-daerah Nusantara, terutama Laut Sulu- Sulawesi, Wilayah Laut Maluku, dan Wilayah Laut Banda.
Kawasan Nusa Utara menjadi strategis dalam konteks kepentingan geopolitik dan geoekonomi Belanda, sebab di bagian utara
Filipina telah direbut oleh bangsa Spanyol. Sesudah tahun 1663, Spanyol berkeinginan menguasai bangsa pribumi di Mindanao dan pulau-pulau selatan Filipina, dengan demikian
terjadi perang Spanyol dengan orang-orang Moro, Mindanao. Perang Moro selama 333 tahun di
Filipina Selatan, tidak menghasilkan penguasaan efektif Spanyol atas teritori Filipina di bagian selatan. Catatan sejarah ini membuktikan bahwa sejak awal sebelum kedatangan Spanyol di
Mindanao dan Belanda di Nusa Utara, antara Nusa Utara dan Mindanao merupakan satu kesatuan dalam wilayah kerajaan baik Kerajaan Tabukan dan Kerajaan Kendahe.
Catatan sejarah yang dapat diungkapkan adalah: 1 Gumansalangi, salah satu raja Kerajaan Tabukan adalah pangeran Sultan Cottabatu Filipina dari etnik Merano Hayase et al
1998; 2 kelompok etnik Talaud yang berasal dari Pulau Kabaruan, Pulau Salibabu, Pulau
Karakelang, Pulau Nanusa, Pulau Marampit, Pulau Kakorotan dan Pulau Miangas, masuk dan menetap di pesisir timur Pulau Mindanao, seperti: Mati, Tanjung San Agustin, Distrik Surup,
Penerose, dan Pantukan. Mereka juga terdapat di Davao, meski yang lebih dominan adalah orang Sangihe Salindeho dan Sombowadile 2008; 3 orang-orang Sangihe dari Pulau Sangihe Besar,
Pulau Kawaluso, Pulau Kawio, dan Pulau Marore, masuk dan menetap di Pulau Balut
Marulung, Pulau Sarangani, dan pesisir selatan Pulau Mindanao diantaranya di Malita, Tanjung Tinaka, Glan, dan Kiamba Makahanap 2002. Etnik Merano saat ini merupakan salah satu etnik
dari bangsa Moro di Filipina bagian selatan dalam cerita rakyat Mindanao yang berasal dari Filipina Selatan.
Kesimpulan uraian sejarah ini menyatakan bahwa kekerabatan, pertukaran barang dan jasa, serta relasi sosial lainnya antara Filipina Selatan dengan Nusa Utara telah terjadi berabad-
abad lamanya, dan kedua wilayah ini merupakan satu kesatuan sosial sebelum kedua negara yang berbatasan menyatakan kemerdekaannya.
Dengan demikian pendekatan hukum dan peraturan perundang-undangan atau pembatasan pada hakekatnya dihadapkan dengan perlawanan sejarah
dari masyarakat P2K perbatasan.