Perdagangan lintas batas Kondisi Perbatasan Kepulauan Sangihe

jalur pelayaran dan perdagangan dari daratan Cina Selatan ke Kepulauan Maluku melalui Laut Cina Selatan, Laut Sulu, Laut Sulawesi, dan Laut Maluku. Menurut Brilman 1938 jauh sebelum bangsa Eropa berkunjung ke Nusantara, penduduk kawasan Nusa Utara telah mengenal perdagangan. Hal ini disebabkan daerah Nusa Utara sering dikunjungi pedagang dari Cina, Makasar, Jawa, Maluku dan lain-lain, terutama sejak jatuhnya Malaka tahun 1511 dan berpindahnya perdagangan rempah-rempah ke Maluku. Menurut Salindeho dan Sombowadile 2008 serta hasil pengamatan dan wawancara dan analisis dokumen lintas batas Indonesia dan Filipina tahun 1956 sampai dengan tahun 1975, terlihat bahwa sejak tahun 1966 sampai dengan tahun 1971 pemerintah mengambil langkah- langkah dalam usaha perdagangan, sebagai berikut: 1 BupatiKDH Sangihe dan Talaud memberikan nota dinas kepada O.D.T Gaghana tanggal 4 Oktober 1965, yang intinya adalah penugasan untuk menjajaki kemungkinan hubungan perdagangan dengan pengusaha Filipina; 2 Tanggal 28 Oktober 1965, di Davao Filipina, Gaghana mengadakan perundingan dengan Direktur The Joyge Enterprise, Mr. Willian Joyce, disaksikan oleh Jan Kekenusa Konsulat Indonesia di Davao; 3 Perundingan tersebut ditindaklanjuti dengan kunjungan langsung Mr. William Joyce ke Tahuna sekaligus melakukan transaksi dagang pertama dengan sistem barter; dan 4 Berdasarkan Surat Keputusan BupatiKDH Kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud No. 63Eek1966, menetapkan Tahuna sebagai sentra tempat pertukaran barang. Salindeho dan Sombowadile 2008, menyatakan bahwa dari setiap transaksi pada saat itu, pemerintah daerah mengambil retribusi berupa dana pembangunan melalui Kecamatan Tahuna. Kegiatan ini hanya berlangsung sampai dengan tahun 1971, karena pemerintah kedua negara Indonesia dan Filipina menyetujui kesepakatan yaitu: “agreement on border trade between the Government of the Republic of the Indonesia and the Government of the Philippines persetujuan perdagangan lintas batas antara pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Republik Filipina” tanggal 8 Agustus 1974 yang dituangkan dalam Keppres No. 61975 tanggal 17 Maret 1975, LN No. 11. Keputusan Presiden ini justru menaruh pembatasan-pembatasan yaitu dengan memperkecil wilayah perbatasan sebagaimana yang diatur dalam kesepakatan tahun 1956 yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia menjadi UU No. 771957. Pembatasan-pembatasan yang dilakukan sesuai Keppres No.61975 tanggal 17 Maret 1975 tentang perdagangan lintas batas, sebagai berikut: 1 Pelintas batas dibatasi hanya boleh membawa barang-barang keperluan pribadi saja dengan nilainya setara 500 pesos atau jika menggunakan perahu tidak melebihi 5000 pesos dengan kapasitas muatan dibatasi pada 200 metrik kubik; 2 Perdagangan dibatasi pada tempat-tempat yang ada pos lintas batas seperti P. Marore, P. Miangas, dan P. Balut. Aliran barang ke wilayah lainnya dijaga ketat. Meskipun demikian, kegiatan perdagangan lintas batas border trade tidak dapat dihentikan hanya dengan aturan yang ada, bahkan semakin marak baik legal apalagi yang illegal. Menurut ketentuan-ketentuan tersebut di atas secara umum dapat dikatakan bahwa perdagangan di P2K Perbatasan lebih banyak dilakukan secara illegal dan dikategorikan sebagai penyelundupan. Kegiatan ini semakin meningkat baik dari segi jenis barang, volume dan nilai transaksinya, walaupun tidak tercatat dengan baik dalam statistik perdagangan. Pemasaran barang-barang perdagangan rakyat di pulau perbatasan sudah merambah jauh dari wilayah- wilayah perbatasan seperti Tahuna, Bitung, Manado, dan Gorontalo. Bahkan sudah terbuka tidaklah dengan cara “sembunyi-sembunyi” seperti penjualan di Petta Enemawira dan di Tahuna Toko Pionier. Menurut para pedagang yang pernah dan masih melakukan kegiatan penyelundupan, harga pembelian Cocacola ditempat “penampung” hasil barang selundupan di Naha Tabukan Utara senilai Rp. 110 000 per krat jumlah 12 botol dan dijual kembali sekitar Rp. 125 000 per krat atau Rp. 12 500 per botol. Menurut informasi setiap minggu rata-rata sebanyak 150 krat Cocacola yang keluar dari Kampung Tinakareng yang dijual ke Peta, Tahuna, dan sekitarnya. Artinya dalam setiap bulan terdapat 600 krat Cocacola, dengan asumsi dilakukan selama 10 bulan maka setiap tahun terdapat 6000 krat dengan keuntungan Rp. 15 000 per krat atau Rp. 80 000 000 per tahun, yang apabila dilakukan secara legal dan dipungut retribusi sebesar 10 persen dari keuntungan maka setiap tahun dari Kampung Tinakareng menyumbang Rp. 8 juta hanya dari Cocacola. Pulau Tinakareng sangat terkenal di kalangan masyarakat Sangihe dan Manado karena di pulau ini terdapat barang-barang identik dengan barang-barang asal Filipina. P. Tinakareng berada dalam Kecamatan Nusa Tabukan yang merupakan salah satu pulau yang ditentukan dalam BCA antara Indonesia dan Filipina selain Pulau Miangas, Pulau Marore, dan Kepulauan Bukide. Kondisi kehidupan masyarakatnya tergolong makmur jika dibandingkan dengan desa lainnya di Kepulauan Sangihe, meskipun mata pencaharian mereka bercocok tanam dan nelayan tradisional. Luas pulau ini sekitar 750 ha dan kondisi tanah yang tandus, maka hasil pertaniannya hampir tidak ada Sinar Harapan 2003. Pengakuan warga Tinakareng sebagai berikut: Menurut Bewok 48 warga P. Tinakareng pandai mencari penghasilan lain supaya perekonomiannya meningkat, yaitu berdagang dengan orang dari negara tetangga, Filipina. Ada yang berbisnis secara legal, itu tidak dapat dipungkiri tetapi tidak sedikit pula yang melakukan secara illegal dengan segala resiko yang ditanggungnya. Penyelundupan barang-barang dari P. Tinakareng ke daerah-daerah Filipina dan sebaliknya, sudah jamak, bahkan seolah “halal”, meskipun pelakunya harus menghadapi resiko ditangkap oleh kapal patroli baik dari Indonesia mapun Filipina. Penyelundupan ini sudah menjadi pilihan dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Jika tertangkap karena keluar masuk secara illegal itu sudah menjadi resiko. Perdagangan lintas batas Filipina – Indonesia di kawasan Kepulauan Sangihe Talaud sudah diawali sejak berabad-abad yang lalu. Apalagi setelah kedua negara melakukan perjanjian perbatasan yang terkenal dengan BCA pada tahun 1970-an. Dalam perjanjian itu disepakati batas maksimal nilai barang yang dapat diperdagangkan secara bebas sebesar 250 dolar AS. Nusa Onthony 50 penyelundupan yang dilakukan oleh masyarakat hanyalah untuk masalah perut saja. Dari P. Tinakareng rakyat setempat membawa barang-barang seperti sabun cuci dengan menggunakan pump boat bermesin Fuso, lalu sekembalinya dari Filipina membawa barang-barang seperti sandal jepit, minuman keras berkadar alkohol tinggi seperti tanduay, london jin, serta lampu-lampu hias. Dengan menggunakan pump boat itu, waktu ditempuh dari P. Tinakareng ke daerah-daerah selatan Filipina seperti Davao, Saranggani, Lajangas dan Cotabato sekitar maksimum sebelas jam. Edison Bawelle 52, mantan Opo Lao Kepala Kampung Tinakareng, uang peso Filipina bisa laku bila dibelanjakan di pasar atau warung-warung. Belanja dengan peso bisa dikembalikan dengan rupiah. Jika dirupiahkan, 100 peso menjadi Rp. 17.000,- Masyarakat hanya menginginkan agar perdagangan antar negara itu dapat lebih terkontrol dengan baik.

5.6.5 Jalur perdagangan dan pertukaran komoditas

Pada saat ini sulit membedakan pergerakan orang dan barang sebagai pelintas illegal dan legal, karena “pintu resmi” dapat juga digunakan oleh para “pelintas batas yang illegal”. Namun untuk dapat memberikan gambaran yang lebih utuh, maka disampaikan beberapa hasil pengamatan dan wawancara dengan kesimpulan disampaikan bahwa pergerakan secara legal dapat dilakukan dalam rute sebagai berikut: 1 Rute tradisional lewat wilayah Sangihe. Rute ini biasa dilewati dari Manado melalui perjalanan laut ke pelabuhan Petta Kecamatan Tabukan Utara. Dari Petta ke Tinakareng melalui perjalanan laut, terus ke Marore sebagai Pos Imigrasi untuk mengurus surat dan dari pulau perbatasan ini berlayar ke pelabuhan Batuganding di P. Balut dan dari pelabuhan Batuganding melalui perjalanan laut ke pelabuhan General Santos Minandao. Perjalanan dari Tahuna saat ini juga sudah ada kapal laut yang berlayar menuju Filipina General Santos dengan biaya yang murah. 2 Rute tradisional lewat wilayah Talaud. Dari Manado ke Lirung, Batunuris, Bowongbaru, Salibabu, Moronge, dan singgah di Karatung, terus ke Miangas Pos Imigrasi untuk mengurus surat-surat. Dari Miangas menyeberang ke wilayah Filipina dengan tujuan Pos Tibanban, dan dari sana bisa langsung berlayar ke pelabuhan laut Santa Ana. 3 Rute pelayaran resmi dari Bitung. Jalur Bitung – Davao – Bitung yang dilayari kapal barang, juga dapat menggunakan rute lain Bitung – General Santos – Bitung yang diusahakan pengusaha Indonesia di Bitung maupun pengusaha Filipina. Jalur ini pernah semarak oleh pergerakan perdagangan barang pada saat krisis yaitu nilai kurs mencapai Rp. 10 000 sampai dengan Rp. 15 000 per dolar. Saat itu banyak pedagang Filipina berbelanja di Manado dengan barang dagangan yang dibeli adalah: sabun deterjen rinso, pasta gigi pepsodent, ban mobil, keramik dan furnitur. Kini frekuensi perdagangan ke Davao dan General Santos sudah jauh menurun sejak rupiah menguat dan stabil, walaupun masih ada muatan barang ke Davao dan General Santos dari Bitung. Secara geografis Filipina di bagian Selatan dengan Kepulauan Sangihe dan Kepulauam Talaud adalah satu, sebelumnya terpisah karena adanya penjajahan Belanda di Indonesia dan Spanyol di Filipina bagian selatan, dan kemudian bersatu kembali dalam satu wadah kerjasama BIMP EAGA pada tahun 1994. Oleh karena itu keputusan bersama para pimpinan BIMP EAGA untuk lebih meningkatkan hubungan kerjasama air linkage, sea linkage, transportasi dan mempercepat serta mendorong kerjasama pariwisata perlu memperoleh perhatian. Berdasarkan persetujuan yang diambil dalam BIMP EAGA perusahaan angkutan laut negara yaitu PT. PELNI melakukan kegiatan pelayaran dari wilayah barat Jakarta, Surabaya, dan beberapa pelabuhan di Sumatera seperti Teluk Bayur, Padang ke wilayah timur diantaranya Makasar, Bitung, Maluku, Papua bisa ke Davao atau General Santos mengikuti rute kapal PELNI, demikian pula terkait dengan komitmen BIMP EAGA dibuka penerbangan dengan rute Manado – Davao – Manado. Namun beberapa penerbangan menutup pelayanan rute tersebut karena merugi, dan saat ini dilayani oleh Philippines Air. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa untuk dapat melakukan perdagangan ke Filipina terutama ke Santa Ana dan General Santos dapat dilakukan melalui Manado. Rute ini dapat gunakan sepanjang perdagangan tersebut adalah pedagang besar bukan pedagangan rakyat antar pulau. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terjadinya pelintas batas illegal adalah untuk menghindari birokrasi BCA, imigrasi dan kepabeanan. Hal ini dimungkinkan karena para pelintas batas illegal mengerti dan memahami rute serta jadwal patroli laut. Pelintas batas illegal menggunakan P2K Perbatasan sebagai lintasan dan pelabuhan Petta Tabukan Utara sebagai titik pemberangkatan. Pada dasarnya untuk pelintas batas illegal maupun legal tujuannya adalah berdagang, wisata, dan kunjungan keluarga. Khusus untuk perdagangan di Filipina bagian selatan telah ada “agen” dari pedagang besar Filipina yang memasok barang-barang seperti rokok, tripleks, dan lain-lain, oleh karena itu mereka pedagang dari Sangihe tidak mengalami