Rezim Pengelolaan Sumber Daya Perikanan

Gambar 19 Rezim pengelolaan hasil tangkapan, effort dan rente ekonomi ikan pelagis kecil Dari Gambar tersebut di atas terlihat bahwa hasil biomas tertinggi terdapat pada kondisi MSY yaitu 6 264.16 ton menyusul kondisi MEY sebesar 4 968.54 ton dan terendah pada kondisi OA yaitu sebesar 752.32 ton. Untuk produksi tertinggi terdapat pada kondisi MSY sebesar 3 366.35 ton, kemudian MEY sebesar 3 283.60 ton dan yang terendah pada kondisi OA sebesar 821.41 ton, sedangkan untuk effort tertinggi terjadi pada OA sebanyak 25 114 trip, menyusul pada kondisi MSY sebesar 6 264 trip dan terendah pada kondisi MEY sebanyak 5969 trip. Untuk rente ekonomi ikan pelagis kecil dari ketiga rezim tersebut yang tertinggi adalah MEY senilai Rp. 11.56 miliar menyusul MSY senilai Rp. 11.39 miliar dan pada kondisi OA tidak diperoleh rente ekonomi 0. Bila dibandingkan dengan kondisi aktual, untuk hasil tangkapan, effort, dan rente ekonomi yang diterima jauh lebih besar melebihi MEY dan MSY, sepanjang periode pengamatan, namun perlu diwaspadai karena kecenderungan terkurasnya SDI pelagis kecil akan terjadi. Untuk lebih jelasnya perbandingan ke tiga rezim pengelolaan dengan nilai rata-rata ikan pelagis kecil dapat dilihat pada Tabel 40. Tabel 40 Perbandingan rezim pengelolaan MSY, MEY dan open access dengan kondisi aktual ikan pelagis kecil Selanjutnya perbandingan rezim pengelolaan pada kondisi MEY, MSY, dan OA untuk biomass, produksi, effort, dan rente ekonomi perikanan pelagis besar dapat dilihat dalam Gambar 20 dan Gambar 21. Gambar 20 Rezim pengelolaan biomass perikanan pelagis besar Rezim Pengelolaan Hasil Tangkapan ton Effort trip Nilai Rente Rp. Juta MSY 3,366.35 6264 11390.85 MEY 3.362.51 5969 11556.26 Open Access 665.77 25114 0.00 Aktual rata- rata tahun 1988 sampai 2007 3,128.45 7640 9457.99 Gambar 21 Rezim pengelolaan hasil tangkapan, effort dan rente ekonomi ikan pelagis besar Dari Gambar tersebut di atas terlihat bahwa biomass tertinggi terdapat pada kondisi MSY yaitu 2 210.97 ton menyusul kondisi MEY sebesar 1 444.61 ton dan terendah pada kondisi OA yaitu sebesar 1 021.05 ton. Untuk produksi tertinggi terdapat pada kondisi MSY sebesar 1 046.14 ton, kemudian MEY sebesar 966.70 ton dan yang terendah pada kondisi OA sebesar 878.44 ton, sedangkan untuk effort tertinggi terjadi pada OA sebanyak 3 787 trip, menyusul pada kondisi MSY sebesar 2 211 trip dan terendah pada kondisi MEY sebanyak 1 445 trip. Untuk rente ekonomi ikan pelagis kecil dari ketiga rezim tersebut yang tertinggi adalah MEY senilai Rp. 5.87 miliar menyusul MSY senilai Rp. 4.95 miliar dan pada kondisi OA tidak diperoleh rente ekonomi 0. Bila dibandingkan dengan kondisi aktual, untuk hasil tangkapan, effort, dan rente ekonomi yang diterima jauh lebih besar melebihi MEY dan MSY, sepanjang periode pengamatan, namun perlu diwaspadai karena kecenderungan terkurasnya SDI pelagis besar akan terjadi. Untuk lebih jelasnya perbandingan ke tiga rezim pengelolaan dengan nilai rata-rata ikan pelagis besar dapat dilihat pada Tabel 41. Tabel 41 Perbandingan rezim pengelolaan MSY, MEY dan open access dengan kondisi aktual ikan pelagis besar

5.6 Kondisi Perbatasan Kepulauan Sangihe

5.6.1 Ulasan umum sejarah “Nusa Utara”

Gugusan pulau yang berada di ujung utara Pulau Sulawesi adalah Kepulauan Sangihe, Talaud, dan Kepulauan Sitaro yang di masa Belanda lazim disebut sebagai “noorder-einlanden” dan apabila diterjemahkan secara harafiah berarti pulau-pulau lebih utara atau lebih populer diterjemahkan sebagai “Nusa Utara”. Gugusan pulau tersebut merupakan wilayah perbatasan Indonesia-Filipina, yaitu: Pulau Marore, Pulau Matutuang, Pulau Kawio, Pulau Kemboleng, Pulau Lipang, dan Pulau Kawaluso Kabupaten Kepulauan Sangihe, serta Pulau Makalehi Kabupaten Kepulauan Sitaro, dan Pulau Miangas, dan Pulau Marampit Kabupaten Kepulauan Talaud di Indonesia, dan di Filipina bagian selatan adalah Pulau Saranggani dan Pulau Balut. Istilah “noorder-einlanden” atau Nusa Utara sampai saat ini tahun 2009 telah berusia lebih dari 340 tahun, yang muncul terkait dengan perjalanan Gubernur Maluku Robertus Padtbrugge 16 Agustus sampai 25 Desember 1677 yang terangkum dalam laporan perjalanan Padtbrugge ke Sulawesi Utara dan pulau-pulau lebih utara. Perjalanan pejabat kompeni ini secara khusus berkaitan dengan 1 kepentingan geopolitik Belanda, dan 2 kepentingan monopoli Rezim Pengelolaan Hasil Tangkapan ton Effort trip Nilai Rente Rp. Juta MSY 751.97 2,022.07 1,930.89 MEY 731.38 1,582.32 2,014.01 Open Access 469.17 4,667.31 0.00 Aktual rata- rata 1988 – 2007 1,006.13 2,284.47 3,540.67 dagang rempah-rempah kompeni Belanda. Salindeho dan Sombowadile 2008, menyatakan bahwa jauh sebelum Belanda berlayar ke Nusantara, bangsa Spanyol tercatat sudah mapan berada di Filipina, yaitu sejak rintisan oleh Ferdinand Magellan, Lopez de Villalobos, dan Lopez de Legazpi pada awal medio abad ke-16, atau satu abad sebelum Padtbrugge diangkat G ubernur VOC di Maluku. Pada zaman itu, di Nusa Utara telah terbentuk kerajaan, yang dibangun pada abad ke 15 adalah Kerajaan Tabukan Paparang 1927, dikutip oleh Salindeho dan Sombowadile 2008, tetapi menurut kajian yang diterbitkan oleh Kyoto University Hayase et al 1998, sebelum itu sudah muncul beberapa kedatuan, baik dibawah pimpinan “datu” yang merupakan awal dari kepemimpinan komunal proto pemerintahan. Sistem ini diduga sebagai pengaruh Islam yang tersebar dari Malaka Melayu, masuk melalui Sulu dan Mindanao, dan sistem kedatuan pertama di Mindanao dibentuk oleh Syarief Muhammad. Kerajaan yang awal berdiri di Nusa Utara adalah kerajaan Tabukan dengan dua tokoh utama, yaitu Gumansalangi dan Makaampo Wawengehe. Gumansalangi disebut sebagai tokoh yang mendirikan Kedatuan Tumpangan Lawo atau Tabukan pada tahun 1300 sampai tahun 1350 yang wilayahnya meliputi Sangihe, Talaud dan Mindanao. Sedangkan Makaampo Wawengehe adalah penguasa asal Rainis Talaud yang semasa kecil, ayahnya meninggal dunia dan diasuh oleh pamannya di Salurang Sangihe dan memerintah pada tahun 1530 sampai 1575, dengan wilayah kekuasaannya, adalah: Sahabe, Tabukan, Lapango, Kuma, Kuluhe, Manalu dan Salurang. Selang kurun abad ke 17, Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda adalah para penguasa Eropa yang terlibat dalam persaingan merebut daerah-daerah Nusantara, terutama Laut Sulu- Sulawesi, Wilayah Laut Maluku, dan Wilayah Laut Banda. Kawasan Nusa Utara menjadi strategis dalam konteks kepentingan geopolitik dan geoekonomi Belanda, sebab di bagian utara Filipina telah direbut oleh bangsa Spanyol. Sesudah tahun 1663, Spanyol berkeinginan menguasai bangsa pribumi di Mindanao dan pulau-pulau selatan Filipina, dengan demikian terjadi perang Spanyol dengan orang-orang Moro, Mindanao. Perang Moro selama 333 tahun di