Evaluasi perjanjian lintas batas

Manado sekitar 260 mil atau jarak Pulau Marore ke Tahuna ibukota Kabupaten Sangihe sekitar 75 mil laut atau hampir 2 kali jarak Pulau Marore ke Pulau Balut Filipina. Kedekatan geografis memberikan peluang bagi interaksi sosial dan ekonomi antara masyarakat Nusa Utara dengan masyarakat di bagian selatan Filipina. Hubungan antara masyarakat Filipina di bagian selatan dengan masyarakat Nusa Utara memberikan arti yang penting jika ditinjau dari: 1 hubungan bilateral dan multilateral seperti: hubungan antarnegara, dalam Association of Southeast Asian Nations ASEAN, Brunai- Indonesia-Malaysia-Philippines East Asean Growth Area BIMP-EAGA, dan Asean Free Trade Area AFTA, dan kerjasama pemerintah lokal; 2 perdagangan lintas batas, seperti perdagangan dahulu kala, dan perdagangan masa kemerdekaan; 3 pergerakan orang, baik untuk pelintas batas legal maupun pelintas batas illegal; 4 pergerakan barang; 5 kejahatan transnasional, seperti: penyelundupan senjata, perdagangan obat-obat terlarang, pembajakan kapal, dan lain-lain; 6 orang Sangil di Filipina; dan 7 kemiskinan di perbatasan. Konteks di atas memberikan arah yang jelas bahwa perbatasan tersebut juga merupakan sabuk keamanan security belt yang berada pada lingkaran prioritas pertama dalam strategi pertahanan keamanan Indonesia terhadap segala bentuk potensi ancaman luar external threat. Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan dan mengingat potensi kerawanan yang cukup besar di wilayah perbatasan Indonesia-Filipina, sudah sepatutnya wilayah perbatasan memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh karena akan mendukung ketahanan nasional dalam kerangka NKRI. Artinya, Indonesia tidak akan memiliki keamanan nasional yang kokoh tanpa ditopang adanya keamanan perbatasan. Keamanan perbatasan yang kuat, bisa memainkan peran yang penting untuk mencegah aktivitas kejahatan trans-nasional dan juga mempertahankan negara dari berbagai ancaman. Sejak tahun 1950-an, Indonesia dan Filipina melakukan perundingan mengenai masalah perbatasan kedua negara, khususnya batas maritim ini di Laut Sulawesi dan di bagian selatan Minandao. Hubungan kekerabatan masyarakat Sangihe – Talaud dan Filipina bagian selatan ini sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu, tetapi karena sudah ada batas negara, maka telah diatur lagi lewat kesepatakan bersama dalam bentuk perjanjian perbaasan border crossing agreement, BCA. Dalam perjanjian tersebut, pembahasan perdagangan lintas batas dan repartiasi memperoleh porsi yang lebih besar sedangkan batas negara saat itu dianggap masih merupakan masalah selanjutnya. Menurut Figueroa 1994, hubungan antara negara Filipina dan Indonesia memperoleh momentum dengan dilaksanakannya Konferensi Asia Afrika tahun 1995 di Bandung, dengan mewujudkan kerja sama ASEAN yang kemudian lebih khusus dalam kerangka kerjasama BIMP- EAGA. Dalam hubungan bilateral, persetujuan dicapai pada tahun 1956, yaitu dalam rangka mengatasi masalah repatriasi pemulangan warga negara yang secara tidak sah berada di kedua wilayah negara tersebut akan diatur perjalanan lintas batas. Perjanjian lintas batas BCA, memiliki porsi yang terbesar dalam perjanjian bilateral Indonesia dan Filipina, selain persetujuan kerjasama di bidang pertahanan dan keamanan tahun 1997. Hal ini disebabkan adanya kesepakatan geografis dengan Pulau Mindanao yaitu pulau terbesar di selatan Filipina, serta pulau – pulau kecil disekitar Pulau Mindanao, terutama Pulau Balut dan Pulau Sarangani. Menurut Departemen Luar Negeri 2008 antara Indonesia dan Filipina telah melakukan berbagai program kerjasama. Dari tahun 1951 sampai dengan tahun 2007 telah menghasilkan dan menyepakati 51 perjanjian, dan setiap perjanjian dan atau kesepakatan tersebut ada yang berstatus untuk diratifikasi, tetapi ada pula yang tidak perlu diratifikasi, serta terdapat beberapa perjanjian danatau kesepakatan yang belum diratifikasi Tabel 42. Berdasarkan Tabel 42 tersebut, terlihat bahwa dari segi jenis kerjasama terlihat sebanyak 24 jenis kerjasama, yang menghasilkan 52 kesepakatan danatau perjanjian, 22 perjanjian diratifikasi, 24 perjanjian tidak diratifikasi dan 6 perjanjian belum diratifikasi. Tidak diratifikasi perjanjian dan atau kesepakatan tersebut adalah secara substansial ratifikasi tidak diperlukan. Selanjutnya dari Tabel 42 juga terlihat bahwa bidang perikanan dan bidang perdagangan mempunyai 7 tujuh perjanjian dan atau kesepakatan, bidang teknis sebanyak 6 enam perjanjian, bidang politik sebanyak 5 lima perjanjian, dan bidang ekonomi 6 enam perjanjian dan atau kesepakatan yang dibuat anatara Indonesia dan Filipina. Sedangkan bidang yang hanya mempunyai 2 perjanjian adalah bidang militer, kehutanan, maritim, penghindaran pajak berganda, dan bidang standardisasi serta bidang lainnya hanya mempunyai 1 satu perjanjian. Tabel 42 Jumlah perjanjian dan atau kesepakatan, jumlah yang diratifikasi dan tidak diratifikasi perjanjian dan atau kesepakatan antara Indonesia dan Filipina Sumber: Deplu 2008 Bidang teknis yang dimaksud dalam bentuk dan nama perjanjian nampaknya belum jelas karena terdapat perjanjian danatau kesepakatan yang memuat mengenai substansi ilmu pengetahuan dan teknologi dimasukkan dalam kategori ini, namun ada pula sebagian materi perjanjian danatau kesepakatan yang memuat butir-butir kerjasama yang secara teknis akan diatur kemudian dan substansinya masih bersifat kerjasama bilateral. Dari jenis kerjasama dalam Table 42 tersebut di atas terlihat bahwa kedua negara sangat menekankan pada kerjasama bidang No Jenis kerjasama Jumlah Status ratifikasi Ratifikasi Belum Tidak 1 Bidang politik 5 1 - 4 2 Bidang hukum 1 1 - - 3 Bidang kebudayaan 1 - - 1 4 Bidang militer 2 - 1 1 5 Bidang ekonomi 4 3 - 1 6 Bidang perdagangan 7 6 - 1 7 Bidang teknis 6 2 - 4 8 Bidang kehutanan 2 2 - - 9 Bidang perikanan 7 2 2 3 10 Bidang maritim 2 1 - 1 11 Bidang transportasi udara 1 1 - - 12 Bidang ekstradiksi 1 1 - - 13 Bidang penghindaran pajak berganda 2 1 - 1 14 Bidang joint commission 1 - - 1 15 Bidang pelayanan pos 1 - - 1 16 Bidang territorialperbatasan 1 - - 1 17 Bidang informasi 1 - - 1 18 Bidang standardisasi 2 - - 2 19 Bidang pariwisata 1 - 1 - 20 Bidang energy dan mineral 1 1 1 - 21 Bidang investasi 1 - - - 22 Bidang ketenagakerjaan 1 - 1 - 23 Bidang pendidikan 1 - - 1 Jumlah 52 22 6 24 ekonomi, perdagangan dan perikanan. Persoalan dasar tentang BCA di bidang perdagangan adalah belum mampu memakmurkan masyarakat P2K Perbatasan. Beberapa dokumen perjanjian lintas batas yang dapat direkam dalam perjanjian antara Indonesia dan Filipina, yaitu: 1 Agreement In Immigration Between the Republic of Philippines and the Republic of Indonesia. Perjanjian in i ditanda tangani di Jakarta pada tanggal 4 Juli 1956. 2 Joint Directives and Guidelines on the Implementation of the Immigration Agreement on Repatriaton and Border Crossing Arrangement between Republic of Indonesia and the Republic of the Philippines. Perjanjian ini ditanda tangani di Manila pada 16 September 1965. 3 Revised Agreement on Border Crosding between the Republic of Indonesia and the Republic of Philippines. Perjanjian ini ditanda tangani oleh Presiden Soeharta dan Presiden Marcos di Manado pada persetujuan hasil pertemuan puncak Indonesia Filipina di Manado 29 – 30 Mei 1974. 4 Joint Implementation of the Border Patrol Agreement and Border Crossing Agreement Between the Government of Indonesia and the Government of Philippines. Persetujuan ini ditanda tangani di Jakarta tanggal 11 Maret 1975. Dari analisis isi, dokumen yang disepakati kedua negara bertetangga ini, mempunyai kecenderungan membatasi kegiatan perdagangan pada suatu keadaan yang menyulitkan, yaitu ditinjau dari syarat pengangkutan barang dan penyusunan wilayah yang disebut daerah perbatasan menjadi pulau – pulau kecil. Perdagangan lintas batas disatu pihak difasilitasi namun pada sisi lain dilakukan proses limitasi atau pembatasan. Keadaan ini tidak berubah dalam persetujuan perdagangan lintas antara pemerintah Filipina dan Indonesia tanggal 29 Juli 1971. Pengurangan wilayah perbatasan yang menghapuskan Pulau Sangihe Besar dan Pulau Talaud pada dokumen lintas batas yang ditandatangani di Jakarta 11 Maret 1975 tentang revisi BCA, mempengaruhi inisiatif perdagangan lokal masyarakat Nusa Utara yang berpusat di Tahuma selang periode 1965 – 1971 tidak dilanjutkan lagi. Hal ini menarik untuk dikaji sebab dokumen tahun 1956 dikukuhkan melalui UU No.771957, tetapi dokumen berikut diwadahkan dalam produk aturan hukum setingkat Keputusan Presiden No.61975 serta keputusan Dirjen Imigrasi No.399I-Dir1975 Salindeho dan Sanbowadile 2008. Pelaksanaan kesepakatan berjalan tahun 1965, setelah tahun 1961 dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi atas kesepakatan bersama itu. Kesepakatan dibuat dan disetujui, adalah : “Joint Directives and Guidelines On The Implementation Agreement Between Republic of Indonesia and The Republic of The Philippines”. Dokumen kesepakatan pertama yang ditandatangani di Jakarta tanggal 4 Juli 1956, memuat dua masalah, yaitu : 1 soal repatriasi orang Indonesia di Filipina dan orang Filipina di Indonesia; dan 2 mengatur secara garis besar kebijakan khusus perlintasan tradisional orang dan barang di wilayah Kepulauan Sangihe – Talaud dan Kepulauan Mindanao Selatan. Selanjutnya apabila ditinjau dari tiga dokumen lintas batas Indonesia - Filipina tahun 1965, 1974 dan tahun 1975 terjadi penurunan dari sisi jumlah barang yang dapat dibawa yaitu: 1 perjanjian tahun 1965 menyatakan bahwa seorang pelintas batas diperbolehkan membawa barang-barang pokok kebutuhan hidup yang tidak melebihi nilai 500 pesos Filipina, atau barang- barang yang bisa dibawa oleh perahu atau “kompit” tidak melebihi 5.000 pesos Filipina; dan 2 perjanjian tahun 1975 hanya diperkenankan membawa barang-barang tidak melebihi 500 pesos Filipina dan tidak merinci barang-barang yang bisa dibawa oleh perahu. Menurut Mumbunan 2004, BCA adalah suatu anakronisme, sebuah ketidakcocokan zaman, tetapi masih tetap dipelihara. Sebuah nilai paradoksal yang dianut dalam berbagai diskursus globalisasi yang di awali oleh Asia Pasific Economic Cooperation APEC, AFTA, BIMP- EAGA atau kuasi Free Trade Zone FTZ seperti Kawasan Pembangunan Terpadu KAPET, namun bagi Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud, perdagangan rakyat justru mengalami pembatasan dalam aturan main, baik jumlah dan nilai barang yang diperdagangkan. Pengurangan “wilayah perdagangan” atau “trade area” hanya 1 gugus Pulau Kawio; seperti: Pulau Marore, Pulau Kemboleng, Pulau Kawaluso, Pulau Mamanuk, Pulau Matutuang, dan Pulau Dumarehe; 2 gugus Pulau Bukide; meliputi: Pulau Bukide, Pulau Liang, Pulau Salehe, Pulau Meliang, Pulau Mekuray, Pulau Bilantok dan Pulau Lipang, menyebabkan tingkat perkembangan perdagangan “tradisional” menjadi “mandek” tidak menjadi suatu aktifitas yang mendorong peningkatan perdagangan umum bahkan terkesan “mematikan” inisiatif masyarakat dan mengabaikan kekuatan pasar market power yang ada di wilayah perbatasan. Dalam kenyataannya market power tetap bekerja dengan baik bahkan semakin meningkat. Pemberlakuan ketentuan-ketentuan hukum yang didasarkan pada revisi BCA tahun 1975, menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam kegiatan perdagangan yang dikategorikan dalam kegiatan perdagangan illegal atau penyelundupan. Berbagai aksi penyelundupan jika dibiarkan menjadi liar seperti saat ini dikuatirkan akan menjadi sumber kerawanan sekaligus dapat melemahkan beragam sendi kehidupan kemasyarakatan di P2K perbatasan. Hal ini menjadi sangat relevan dengan terungkapnya sejumlah praktik penyelundupan senjata yang mengalir dari berbagai tempat di Mindanao ke sejumlah tempat di Indonesia. Sejalan dengan itu jika perdagangan lintas batas cenderung tidak terkontrol, dan nelayanpedagang Filipina sering melakukan pembelian ikan di sekitar P2K perbatasan terus dibiarkan maka bisa diperkirakan bahwa masyarakat nelayanpedagang P2K perbatasan dapat menjadi penonton dari agresivitas para nelayanpedagang Filipina. Dengan demikian akan lebih banyak lagi nelayanpedagang Filipina memanfaatkan P2K perbatasan sebagai basis perdagangan sekaligus melakukan kegiatan IUU fishing di traditional fishing ground dan cenderung merusak lingkungan perairan karena penggunaan bahan beracun seperti potas pada saat berlabuh menunggu penjual ikan dari nelayan setempat. Kegiatan “berlabuh” dan “menunggu” penjual ikan dari masyarakat setempat ini digunakan untuk menangkap ikan karang konsumsi dan pengambilan karang hidup di tempat berlabuh seperti di Pulau Kawio, Pulau Kemboleng, dan Pulau Matutuang.

5.6.3 Batas maritim yang belum disepakati

Pertemuan Komisi Perbatasan Antar Wakil Ketua yang ke 24 di Manado tanggal 27 – 30 September 2004 merupakan usaha yang dilakukan secara rutin ditingkat Panglima Angkatan Bersenjata dengan Philliphines Armed Forces. Pertemuan ini dalam rangka meninandaklanjuti Pertemuan Bilateral Tingkat Tinggi Antar Kepala Negara tersebut mengakui ketidakjelasan batas wilayah ZEE antara Indonesia – Filipina yang telah menyebabkan banyak masalah. Dalam Bab V Konvensi Hukum Laut Internasional, telah diatur tentang ZEE. Penerapan hukum tentang penarikan lebar ZEE, diakui kedua Kepala Negara menjadi hambatan bagi Indonesia – Filipina untuk membahasnya bersama-sama. Padahal jika mau dilakukan, usaha melalui pertemuan bilateral dan pertemuan Komisi Khusus, telah memakan waktu yang cukup lama sejak diumumkannya UNCLOS di tahun 1982. Apakah Pemerintah Indonesia – Filipina tidak berniat untuk membahas dan menetapkan dengan jelas dan pasti sehingga tidak ada kekosongan hukum dalam zona perbatasan yang nantinya akan membawa dampak luas seperti sekarang ini? Kiranya peluang untuk menentukan batas ZEE sudah tepat untuk saat ini, mengingat perangkat hukum internasional telah menjamin kemungkinan hal tersebut. Perlu diingat sebagai referensi, bahwa pertemuan bilateral 12 November 2001, Pemerintah Indonesia dan Filipina telah mengadakan Memorandum of Understanding Government to Government yang isinya berupa Kerjasama Perikanan Kapal Berbendera Filipina di ZEE Indonesia. Jika kita melihat ke belakang, ada perjanjian ekstradisi dilakukan Indonesia – Filipina pada 10 Januari 1976. Pada saat itu, delegasi Filipina berusaha memasukkan salah satu klausal traditional fishing trade area dengan maksud agar supaya hak pelayaran tradisonal dilindungi dan memberikan hak-hak nelayan Filipina di jalur perdagangan. Dengan demikian, usulan yang ditolak pada tahun 1976, setelah 25 tahun yakni tahun 2001 diterima dengan diadakannya MoU di atas. Dampak dari MoU 12 November 2001 selama 3 tahun terakhir menyebabkan kesulitan untuk para nelayan tradisional Indonesia dan juga untuk para penegak hukum yang melakukan tugasnya seperti Polairud, TNI-AL dan Pihak Imigrasi maupun Kejaksaan dalam hal penuntutan. Daftar kasus penangkapan oleh TNI-AL berdasarkan periode Januari – Agustus 2004 sebagaimana disajikan dalam Tabel 43. Tabel 43 Daftar kasus pidana perairan di wilayah Lantamal VI Januari – Juli 2004. Sumber: Pailah 2007 Berdasarkan data tersebut di atas, urgensi pembahasan perbatasan ZEE Indonesia – Filipina hendaknya dikedepankan dalam pertemuan selanjutnya mengingat begitu banyak masalah perbatasan yang harus diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia, tetapi kenyataannya masalah perbatasan negara yang berkaitan dengan ZEE dan landas kontinen belum terselesaikan. Delimitasi batas maritim antarnegara adalah penentuan batas wilayah atau kekuasaan antara satu negara dengan negara lainnya tetangganya di laut Arsana 2007. Penentuan batas maritim antarnegara sangat penting untuk menjamin kejelasan dan kepastian yuridiksi jurisdictional clearity and certainty Prescott dan Schofield 2005. Pentingnya klaim maritim berkaitan dengan isu keamanan, akses dan pengelolaan sumber daya laut, serta penyeimbangan antara hak dan kewajiban negara pantai yang bersangkutan. Dalam konteks yang serupa, delimitasi batas maritim bisa menjadi salah satu cara yang efektif bagi negara baru untuk menegaskan kedaulatan, kekuasaan hukum dan legitimasi negara tersebut Schofield 2003. No Nama Kasus Jumlah kasus 1 Perijinan 16 2 Ketenagakerjaan 2 3 Imigrasi 1 4 Pelanggaran pelayaran 38 5 Pelanggaran pengangkutan kayu 2 6 Perikanan 26 Total kasus 85