Batas maritim yang belum disepakati

Dampak dari MoU 12 November 2001 selama 3 tahun terakhir menyebabkan kesulitan untuk para nelayan tradisional Indonesia dan juga untuk para penegak hukum yang melakukan tugasnya seperti Polairud, TNI-AL dan Pihak Imigrasi maupun Kejaksaan dalam hal penuntutan. Daftar kasus penangkapan oleh TNI-AL berdasarkan periode Januari – Agustus 2004 sebagaimana disajikan dalam Tabel 43. Tabel 43 Daftar kasus pidana perairan di wilayah Lantamal VI Januari – Juli 2004. Sumber: Pailah 2007 Berdasarkan data tersebut di atas, urgensi pembahasan perbatasan ZEE Indonesia – Filipina hendaknya dikedepankan dalam pertemuan selanjutnya mengingat begitu banyak masalah perbatasan yang harus diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia, tetapi kenyataannya masalah perbatasan negara yang berkaitan dengan ZEE dan landas kontinen belum terselesaikan. Delimitasi batas maritim antarnegara adalah penentuan batas wilayah atau kekuasaan antara satu negara dengan negara lainnya tetangganya di laut Arsana 2007. Penentuan batas maritim antarnegara sangat penting untuk menjamin kejelasan dan kepastian yuridiksi jurisdictional clearity and certainty Prescott dan Schofield 2005. Pentingnya klaim maritim berkaitan dengan isu keamanan, akses dan pengelolaan sumber daya laut, serta penyeimbangan antara hak dan kewajiban negara pantai yang bersangkutan. Dalam konteks yang serupa, delimitasi batas maritim bisa menjadi salah satu cara yang efektif bagi negara baru untuk menegaskan kedaulatan, kekuasaan hukum dan legitimasi negara tersebut Schofield 2003. No Nama Kasus Jumlah kasus 1 Perijinan 16 2 Ketenagakerjaan 2 3 Imigrasi 1 4 Pelanggaran pelayaran 38 5 Pelanggaran pengangkutan kayu 2 6 Perikanan 26 Total kasus 85 Menurut UNCLOS 1982, sebuah negara pantai baik itu negara benua continental state maupun negara kepulauan archipelagic state seperti halnya Indonesia berhak mengklaim wilayah maritim tertentu yang diukur dari garis pangkalnya. Wilayah maritim yang bisa diklaim tersebut meliputi perairan pedalaman internal waters, perairan kepulauan archipelagic waters khusus untuk negara kepulauan, laut teritorial territorial sea sejauh 12 mil laut, zona tambahan contiguous zone sejauh 24 mil laut, zona ekonomi eksklusif, ZEE exclusive economic zone, EEZ sejauh 200 mil laut, dan landas kontinen continental shelf. Penyelesaian batas maritim dengan tujuh negara tetangga hingga saat ini menghasilkan 18 perjanjian yang ditandatangani. Ke delapan belas perjanjian tersebut disepakati oleh Indonesia dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Papua Nugini, dan Australia. Batas maritim yang belum disepakati adalah antara Indonesia dan Palau, Indonesia dengan Timor Leste, dan Indonesia dengan Filipina. Dilihat dari jenis batas maritim yang harus diselesaikan, masih terdapat dua jenis batas maritim yang belum disepakati yaitu Landas Kontinen dan ZEE. Batas maritim landas kontinen adalah antara Indonesia: a dengan Malaysia di Laut Cina Selatan dan Laut Sulawesi; b dengan Filipina di Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik; dan c dengan Timor Leste di Selat Ombai, Selat Wetar dan Laut Timor. Sementara itu, batas maritim ZEE antara Indonesia dengan negara-negara tetangga, hingga kini baru terselesaikan sekitar 35 yaitu dengan Papua Nugini dan Australia yang panjangnya 1 330 mil laut dan itupun masih dalam bentuk Memorandum of Understanding MoU. Batas maritim Indonesia dan Filipina belum disepakati sampai saat penelitian ini dilaksanakan tahun 2008. Menurut catatan terdapat dua permasalahan pokok dalam delimitasi batas maritim kedua negara Arsana 2007; Deplu 2003; Hadiwijoyo 2009; Pailah 2007; Susanto 2004, yaitu: 1 berlaku dan dianutnya Traktat Paris 1898 dan Traktat 1930 oleh Filipina yang merupakan wilayah Filipina berupa kotak, tidak menganut prinsip jarak dari garis pangkal seperti yang ditegaskan oleh hukum internasional; dan 2 kepemilikan Pulau Palmas atau Pulau Miangas yang diklaim menjadi milik negara Filipina. Persoalan wilayah maritim Filipina yang berbentuk kotak karena berlakunya Traktat Paris 1898 dan Traktat 1930 saat ini sudah terselesaikan. Filipina sudah menyepakati untuk mengacu kepada UNCLOS 1982 dalam menyelesaikan batas maritim dengan Indonesia. Menurut Waluyo 2006, Indonesia dan Filipina masih memiliki perbedaan secara fundamental mengenai penetapan batas wilayah laut, meskipun Filipina juga menganut konsep negara kepulauan seperti Indonesia. Perbedaannya adalah, Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 melalui produk hukum nasional UU No.171985. Atas dasar acuan UNCLOS 1982, Indonesia mengeluarkan UU No. 61996 tentang Wilayah Perairan Indonesia sebagai pengganti Perpu No.41960. Menurut UU No. 171985, Indonesia tidak mengalami kesulitan dalam menetapkan batas ZEE ke wilayah laut bebas, namun untuk batas laut yang berhadapan dengan wilayah negara-negara tetangga dengan jarak yang kurang dari 400 mil dari garis pangkal masing-masing harus ditetapkan lewat perundingan bilateral. Meskipun pada tahun 2003, akhirnya Filipina mengakui Pulau Miangas sebagai milik Indonesia, namun pengakuan itu tidak memicu tuntasnya perundingan batas laut Indonesia – Filipina. Akibatnya sampai saat ini, ZEE dan BLK kedua negara bertetangga ini tak kunjung disepakati secara bilateral sebagaimana aturan UNCLOS 1982. Menurut Pailah 2007 perundingan dalam hal menetapkan ZEE di pihak Indonesia mengusulkan penggunaan prinsip proporsionalitas sedangkan Filipina mengusulkan prinsip sama jarak. Menurut Izuddin 2006 penggunaan prinsip proporsionalitas menunjukkan wilayah yang lebih luas bagi Indonesia apabila dibandingkan dengan prinsip sama jarak equdistance. Secara prinsip hukum internasional menyiapkan mekanisme penyelesaian batas ZEE antara negara pantai yang berhadapan atau berdampingan sebagaimana Indonesia dan Filipina. Penetapan batas ZEE ini, akan memberikan kepastian hukum baik pihak negara, masyarakat setempat dan pihak ketiga dalam melakukan aktivitas dan pelayaran di ZEE.

5.6.4 Perdagangan lintas batas

border trade Indonesia – Filipina Sejak lama kawasan Nusa Utara menjadi lintasan perdagangan. Artinya orang-orang di Nusa Utara sudah lama terlibat sebagai pelaku perdagangan, namun saat ini sulit diperoleh data yang dapat memberikan jawaban, mengapa perdagangan itu hilang dari realitas kehidupan sehari- hari orang Nusa Utara. Diperkirakan hampir 80 persen masyarakat Nusa Utara sebagai petani dan nelayan, sedangkan sisanya sekitar 11 persen dalam sektor perdagangan. Perdagangan di Kabupaten Sangihe saat ini dikuasai oleh pedagang dari komunitas Cina dan Arab, dan kalangan usaha dagang mikro banyak diperan oleh orang Sangihe Salindeho dan Sombowadile 2008. Hasil pengamatan dan wawancara dapat disimpulkan bahwa realitas sebagai pelaku perdagangan hilang dari kehidupan masyarakat Nusa Utara, salah satu sebabnya adalah tidak banyaknya alternatif pasar yang menampung produk-produk yang diperdagangkan. Akibatnya peluang ekonomi di Kepulauan Sangihe semakin terbatas, maka terjadilah migrasi ke daerah lain. Migrasi tersebut dapat bersifat sementara juga dapat bersifat permanen, serta pada umumnya adalah bersekolah, mencari nafkah sebagai pekerja, dan lain-lain. Pekerjaan yang dilakoni adalah buruh pabrik, buruh bangunan, tenaga pramuniaga, pembantu rumah tangga dan sebagai pelaut. Kaunang 2003, menyebutkan terdapat beberapa catatan sejarah yang mengakibatkan perdagangan di Nusa Utara berkembang dengan baik pada abad tersebut di atas, antara lain: 1 Hubungan perdagangan antara wilayah-wilayah bagian utara Indonesia seperti Sangihe, Talaud, Ternate, dan Maluku sudah berlangsung sejak lama; 2 Kawasan Nusa Utara terletak dalam beberapa lintasan pelayaran rempah-rempah; 3 Kawasan Nusa Utara memiliki produk-produk andalan saat itu seperti: minyak kelapa, kopra, cengkeh, pala dan fuli, dan persediaan makanan bagi pelayar; 4 Kawasan Nusa Utara merupakan titik pertemuan yang menghubungkan antara Ternate Maluku Utara di timur dan Filipina di bagian utara. Posisi Nusa Utara strategis dalam jalur pelayaran dan perdagangan dari daratan Cina Selatan ke Kepulauan Maluku melalui Laut Cina Selatan, Laut Sulu, Laut Sulawesi, dan Laut Maluku. Menurut Brilman 1938 jauh sebelum bangsa Eropa berkunjung ke Nusantara, penduduk kawasan Nusa Utara telah mengenal perdagangan. Hal ini disebabkan daerah Nusa Utara sering dikunjungi pedagang dari Cina, Makasar, Jawa, Maluku dan lain-lain, terutama sejak jatuhnya Malaka tahun 1511 dan berpindahnya perdagangan rempah-rempah ke Maluku. Menurut Salindeho dan Sombowadile 2008 serta hasil pengamatan dan wawancara dan analisis dokumen lintas batas Indonesia dan Filipina tahun 1956 sampai dengan tahun 1975, terlihat bahwa sejak tahun 1966 sampai dengan tahun 1971 pemerintah mengambil langkah- langkah dalam usaha perdagangan, sebagai berikut: 1 BupatiKDH Sangihe dan Talaud memberikan nota dinas kepada O.D.T Gaghana tanggal 4 Oktober 1965, yang intinya adalah penugasan untuk menjajaki kemungkinan hubungan perdagangan dengan pengusaha Filipina; 2 Tanggal 28 Oktober 1965, di Davao Filipina, Gaghana mengadakan perundingan dengan Direktur The Joyge Enterprise, Mr. Willian Joyce, disaksikan oleh Jan Kekenusa Konsulat Indonesia di Davao; 3 Perundingan tersebut ditindaklanjuti dengan kunjungan langsung Mr. William Joyce ke Tahuna sekaligus melakukan transaksi dagang pertama dengan sistem barter; dan 4 Berdasarkan Surat Keputusan BupatiKDH Kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud No. 63Eek1966, menetapkan Tahuna sebagai sentra tempat pertukaran barang. Salindeho dan Sombowadile 2008, menyatakan bahwa dari setiap transaksi pada saat itu, pemerintah daerah mengambil retribusi berupa dana pembangunan melalui Kecamatan Tahuna. Kegiatan ini hanya berlangsung sampai dengan tahun 1971, karena pemerintah kedua negara Indonesia dan Filipina menyetujui kesepakatan yaitu: “agreement on border trade between the Government of the Republic of the Indonesia and the Government of the Philippines persetujuan perdagangan lintas batas antara pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah