Reorientasi Produksi Hutan Implikasi Kebijakan.

196 Di samping itu penyerahan sebagian hak kelola hutan negara harus melalui suatu tahapan baik proses maupun waktu. Proses pengelolaan hutan dimulai dari perencanaan areal, penanaman, pemeliharaan, penebangan atau pemungutan hasil dan sebagainya. Oleh karena itu penyerahan sebagian hak kelola dapat dilakukan secara bertahap proses tersebut sesuai keseiapan dari komunitas masing-masing. Selanjutnya penyerahan sebagian hak kelola tersebut tidak dalam satu waktu tertentu melainkan dalam kurun waktu yang cukup agar kelompok tidak kelebihan beban.

7.2.11 Reorientasi Produksi Hutan

Aktivitas perekonomian sektor kehutanan di Provinsi Jawa Tengah didominasi oleh Perum Perhutani selaku pelaku usaha kehutanan yang mendapatkan hak pengelolaan kawasan hutan di wilayah tersebut. Sementara pelaku-pelaku aktivitas ekonomi kehutanan lain tidak mempunyai hak kelola kawasan hutan. Oleh karena itu produksi hasil dari kawasan hutan di wilayah tersebut dapat dijelaskan dengan produksi Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Meskipun demikian pelaku-pelaku ekonomi kehutanan non Perum Perhutani tidak dapat dinafikkan sebab pada umumnya memegang industri pengolahan hasil hutan misalnya industri penggergajian, industri plywood dan meubel yang mempunyai kontribusi terhadap pendapatan wilayah lebih besar dibanding Perum Perhutani. Tetapi hingga saat ini kontribusi industri-industri tersebut tercatat sebagai kontribusi non kehutanan. Jenis produksi dan nilai hasil hutan dari Perum Perhutani masih didominasi oleh hasil hutan kayu bulat 430 734.73 m3 dengan nilai sekitar Rp 430.91 miliar. Sementara itu hasil hutan non kayu sekitar 55 000 ton dengan nilai sekitar Rp 24.28 milyar, jasa wisata, air, sarang burung, dan hasil tambang galian C senilai Rp 568.32 juta. Seperti telah dije laskan pada sub Bab terdahulu bahwa produksi kayu bulat mempunyai kontribusi terhadap erosi sebesar Rp 1.354 triliun. Jika nilai erosi tersebut dikompensasikan terhadap hasil kayu maka Provinsi Jawa Tengah mengalami kekurangan minus pendapatan sebesar Rp 1.02 trilun. 197 Kenyataan tersebut di atas mengakibatkan perlu pertimbangan lebih lanjut apakah Perum Perhutani tetap mengandalkan kayu sebagai produk utamanya. Sementara itu hasil hutan non kayu serta jasa wisata, air dan sebagainya masih relatif terabaikan. Padahal produksi hasil hutan non kayu tersebut relatif ramah terhadap bahaya erosi dan sebagainya. Sehingga untuk dimasa yang akan datang kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah perlu diubah orientasi produksinya menjadi produsen utama hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan. Perubahan orientasi produksi tersebut tidak mudah dilakukan sebab Perum Perhutani selaku pengelola perlu melakukan penyesuaian tenaga manusia, teknologi, dan permodalan untuk dapat mengoptimalkan usaha kehutanan non kayu tersebut. Menurut Riyadi 2005, penyesuaian tersebut perlu dibarengi langkah-langkah yang sinergis dengan perkembangan globalisasi dan konservasi yaitu : a Melaksanakan sistem produksi sektor kehutanan yang efisien dan berdaya saing dengan memperhatikan isu lingkungan, isu kualitas, isu property right, isu hak asasi manusia, dan isu ketenaga kerjaan b Mempertimbangkan perilaku konsumsi yang lebih mementingkan kualitas dan persaingan harga barangjasa yang berbasis sumber daya alam c Menjaga proses produksi hasil hutan maupun industrinya agar tidak merusak tatanan, fungsi, dan proses ekologi, serta tidak membahayakan kehidupan manusia.

7.2.12 Rehabilitasi Hutan dan Lahan