197 Kenyataan tersebut di atas mengakibatkan perlu pertimbangan lebih
lanjut apakah Perum Perhutani tetap mengandalkan kayu sebagai produk utamanya. Sementara itu hasil hutan non kayu serta jasa wisata, air dan
sebagainya masih relatif terabaikan. Padahal produksi hasil hutan non kayu tersebut relatif ramah terhadap bahaya erosi dan sebagainya. Sehingga untuk
dimasa yang akan datang kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah perlu diubah orientasi produksinya menjadi produsen utama hasil hutan non kayu dan jasa
lingkungan. Perubahan orientasi produksi tersebut tidak mudah dilakukan sebab Perum Perhutani selaku pengelola perlu melakukan penyesuaian tenaga manusia,
teknologi, dan permodalan untuk dapat mengoptimalkan usaha kehutanan non kayu tersebut. Menurut Riyadi 2005, penyesuaian tersebut perlu dibarengi
langkah-langkah yang sinergis dengan perkembangan globalisasi dan konservasi yaitu :
a Melaksanakan sistem produksi sektor kehutanan yang efisien dan berdaya saing dengan memperhatikan isu lingkungan, isu kualitas, isu property right,
isu hak asasi manusia, dan isu ketenaga kerjaan b Mempertimbangkan perilaku konsumsi yang lebih mementingkan kualitas dan
persaingan harga barangjasa yang berbasis sumber daya alam c Menjaga proses produksi hasil hutan maupun industrinya agar tidak merusak
tatanan, fungsi, dan proses ekologi, serta tidak membahayakan kehidupan manusia.
7.2.12 Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Kondisi hutan dan lahan Indonesia saat ini telah menjadi keprihatinan banyak pihak di dalam negeri maupun masyarakat global. Proses degradasi
sumberdaya hutan dan lahan terus meningkat baik kualitas maupun kuantitas, sehingga pada akhir -akhir ini terjadi kecenderungan peningkatan bencana alam
hidrometeorologi yaitu bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. Bencana tersebut telah mengakibatkan kegagalan panen, kebakaran hutan dan lahan,
kekurangan gizi dan kelaparan baik penduduk maupun ternak. Kerusakan hutan dan lahan yang mengakibatkan terjadinya bencana hidrometeorologi tersebut
disebabkan oleh aku mulasi berbagai sebab mulai dari lemahnya peraturan dan
198 penegakan hukum, pengendalian pengusahaan hutan, praktek perladangan
berpindah, pembukaan hutan untuk keperluan pembangunan lain pertambangan, dan industri, perambahan, kebakaran hutan, lemahnya kesadaran dan perhatian
terhadap ekosistem daerah aliran sungai DAS terutama di daerah hulu yang berfungsi sebagai daerah resapan dan juga tangkapan hujan catchment area .
Oleh karena itu upaya penanggulangan yang diperlukan adalah mengembalikan fungsi daerah hulu sebagai daerah yang dapat menahan limpasan air permukaan
run off dan menghindari terjadinya erosi yang tidak terkendali. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan secara terpadu,
menyeluruh dan terkoordinasi dengan melibatkan seluruh potensi sumberdaya yang ada baik pemerintah, swasta, masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan,
dan pengendalian sehingga mampu menjadi penggerak perekonomian wilayah. Di samping itu kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan juga menciptakan lapangan
usaha masyarakat terutama untuk pengelolaan lahan, penyediaan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan lain-lain. Dana untuk membiayai kegiatan
Rehabilitasi hutan dan lahan di Propinsi Jawa Tengah bersifat impor, sebab berasal dari DR yang dipungut dari propinsi-pro pinsi di luar pulau Jawa. Dengan
adanya kegiatan rehabilitasi di Propinsi Jawa Tengah maka kontribusi sektor kehutanan terhadap pendapatan wilayah meningkat. Kegiatan Rehabilitasi hutan
dan lahan tersebut dapat disinergikan dengan pelestarian air melalui langkah - langkah :
a. Menjaga Daerah Aliran Sungai agar dapat tetap berfungsi secara hidroekologis yang optimal dengan cara rehabilitasi hutan dan lahan,
bangunan sipil teknis dan membentuk masyarakat yang cinta pelestarian alam b. Memanfaatkan air secara bijaksana baik untuk masyarakat perkotaan, industri
maupun pedesaan pertanian. c. Menghindari aktivitas yang dapat mencemari air.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Ringkasan Hasil
Pada tahun 2003, Provinsi Jawa Tengah memiliki sumberdaya hutan seluas 647 596.81 ha negara dan hutan rakyat 550 773.8 ha. Dengan menggunakan
klasifikasi standar baku, peranan ekonomi kehutanan di Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 1.73 triliun atau sekitar 0.51 dari total output provinsi tersebut
yang berjumlah Rp 342.15 triliun Klasifikasi standar baku sektor kehutanan terbatas komoditi hasil kayu, non kayu getah, madu, bambu dan sebagainya.
Sedangkan hasil hutan dan aktivitas industri primer kehutanan penggergajian, kayu lapis, bangunan kayu, dan industri yang berbahan baku kayu, dan jasa
wisata hutan bernilai sebesar Rp 5.31 trilun sekitar 1.55 dari total output provinsi, diklasifikasikan sebagai hasil sektor non kehutanan. Klasifikasi
tersebut kurang tepat dan bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Indonesia nomor 34 Tahun 2002.
Dengan melakukan perhitungan kembali yang menggunakan aplikasi hasil perhitungan dari intitusi resmi maupun berbagai penelitian, serta mengembalikan
klasifikasi manfaat hutan yang tidak tepat, maka peranan ekonomi sektor kehutanan meningkat dari Rp 1.73 triliun menjadi Rp 14.49 triliun atau sekitar
4.23 dari total output provinsi, sehingga outpout Provinsi Jawa Tengah meningkat dari Rp 342.15 triliun menjadi Rp 354.19 triliun dan Produk Domestik
Regional Bruto PDRB meningkat dari Rp 171.13 triliun menjadi Rp 177.39 triliun . Peningkatan peranan ekonomi tersebut berasal dari hasil yang langsung
dikonsumsi masyarakat sebesar Rp 16.62 miliar, illegal logging sebesar Rp 61.65 miliar, illegal trading sebesar Rp 106.81 miliar, nilai tambah sebesar Rp 217 juta,
air sebesar Rp 5.51 triliun, dan udara bersih sebesar Rp 429.33 miliar. Di samping peranan ekonomi tersebut, sektor kehutanan juga memiliki
potensi peranan ekonomi lain yang berupa manfaat positif yaitu efisiensi kelembagaan dan keberadaanpelestarian hutan sebesar Rp 5.73 triliun, serta
manfaat yang bersifat negatif berupa deforestasi dan erosi sebesar Rp 9.87 triliun. Dengan adanya manfaat hutan yang bersifat negatif tersebut maka PDRB bersih
Green PDRB Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 168.44 triliun.