Distribusi Pendapatan Faktor Produksi

163 kerugian erosi tidak pernah dibayar. Oleh karena itu nilai kerugian erosi merupakan nilai negatif dalam perekonomian. Sebagaimana telah diuraikan pada Sub Bab terdahulu bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kebocoran pendapatan di Provinsi Jawa Tengah adalah illegal logging . Menurut Yulianto 2002, latar belakang atau penyebab illegal logging di Provinsi Jawa Tengah antara lain : 1 kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih sangat rendah, 2 sistem pengawasan dan pengamanan hutan yang kurang efektif, 3 struktur pasar dan industri kayu yang tidak seimbang dimana permintaan jauh lebih tinggi dibanding produksi, 4 penegakan hukum yang tidak tegas dan kurang adil, 5 penyelewengan atau moral hazard aparat pemerintah baik sipil maupun militer, 6 terbatasnya akses masyarakat untuk ikut mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan , dan 7 karakteristik potensi hutan di Jawa Tengah yang mudah dicuri.

6.3. Manfaat Hutan Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat

Kontribusi pendapatan dari sektor kehutanan terhadap perekonomian dianalisis dengan metode Sistem Neraca Sosial Ekonomi SNSE Provinsi Jawa Tengah tahun 2003 sebagaimana Lampiran 17. Tabel SNSE Provinsi Jawa Tengah 2003 tersebut telah mamasukan perhitungan manfaat hutan secara keseluruhan baik yang bersifat positif maupun negatif. Untuk menjelaskan manfaat hutan terhadap sosial ekonomi masyarakat sampai di tingkat rumah tangga dapat digunakan analisis distrbusi faktor produksi dan distribusi pendapatan pada Tabel SNSE tersebut.

6.3.1 Distribusi Pendapatan Faktor Produksi

Faktor produksi yang berupa tenaga kerja di Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2003 berjumlah 15.4 juta orang, baik yang bekerja dengan mendapat upah dan gaji maupun mereka yang bekerja dengan tidak mendapat upah dan gaji yang bekerja sendiri atau pekerja keluarga atau yang sejenisnya. Tenga kerja tersebut terdiri dari tenaga kerja kehutanan, kelompok tenaga kerja pertanian selain kehutanan, kelompok tenaga buruh kasar, operator alat angkut dan operator manual, kelompok tenaga tata usaha jasa, tata usaha perdagangan dan tata usaha, serta kelompok tenaga kerja kepemimpinan, ketatalaksanaan, profesional dan 164 militer. Masing-masing kelompok tenaga kerja tersebut dibagi menjadi pekerja dibayar buruh dan tenaga kerja tidak dibayar pekerja keluarga. Pekerja sektor kehutanan sebanyak 12 538 orang atau sekitar 0.08 dari total pekerja Jawa Tengah. Pekerja sektor kehutanan tersebut terdiri dari buruh hutan sebanyak 1 858 orang 6.84 dan 10 780 orang 93.16 keluarga hutan. Dengan demikian masyarakat Provinsi Jawa Tengah tidak tergantung pada lapangan pekerjaan yang disediakan oleh sektor kehutanan. Hal ini terjadi karena masyarakat provinsi tersebut lebih menyenangi bekerja disektor pertanian tanaman pangan secara luas persawahan, perkebunan, perdagangan, dan industri. Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tanaman pangan sebesar sekitar 6 juta orang lebih 39, perdagangan sekitar 3.6 juta orang lebih 18 dan industri sekitar 1.5 juta orang lebih 10. Sedikitnya masyarakat Provinsi Jawa Tengah yang bekerja di sektor kehutanan juga disebabkan oleh cara memperoleh hasil atau manfaat hutan yang bersifat sampingan. Cara tersebut antara lain masyarakat sambil menggarap lahan pertanian yang lokasi dekat dengan hutan maka dapat langsung memungut atau memanfaatkan hasil-hasil hutan misalnya kayu rencek, makanan ternak, madu hutan, bambu, rotan dan sebagainya. Bahkan untuk mengambil air hutan, masyarakat petani tinggal mengalirkan ke sawah atau ladangnya. Hal ini dimungkinkan karena lokasi hutan di Provinsi Jawa Tengah pada umumnya dekat dengan pemukiman masyarakat pertanian. Meskipun jumlah masyarakat yang bekerja disektor kehutanan sedikit dibanding sektor-sektor lain, tetapi jika dilihat dari balas jasa terhadap tenaga kerja yang berupa gaji dan upah sektor kehutanan lebih besar dibanding sektor lain terutama pertanian dan perkebunan. Besarnya balas jasa terhadap tenaga kerja sektor kehutanan seki tar Rp 8 283 sd Rp 10 535 per tenaga kerja per hari, sedangkan tenaga kerja sektor pertanian dan perkebunan hanya sekitar Rp 4 621 sd Rp 5 556 per tenaga kerja per hari. Oleh karena itu dari sisi pendapatan tenaga kerja, sektor kehutanan dimasa yang akan datang akan lebih menarik di banding sektor pertanian dan perkebunan. Rincian penyerapan dan distribusi pendapatan tenaga kerja dapat dilihat Lampiran 18, Lampiran 19, dan Lampiran 20. 165

6.3.2 Distribusi Pendapatan Rumah Tangga