190 tarif masih undervalue. Oleh karena itu di masa yang akan datang upaya
optimalisasi PSDH dan DR harus terus ditingkatkan.
7.2.5 Pengenaan Denda Perusak Hutan dan Lingkungan
Denda pada dasarnya instrumen pajak khusus yang dikenakan terhadap perusak sumberdaya hutan dan lingkungan. Besarnya denda tersebut harus lebih
besar dibanding pajak biasa. Denda tersebut dimaksudkan untuk mencegah dan menurunkan tingkat kerusakan hutan yang dilakukan oleh pelaku pengelolaan
hutan swasta, koperasi, badan hukum, maupun perorangan dengan cara menginternalkan biaya lingkungan yang semula ditanggung oleh masyarakat.
Biaya lingkungan tersebut sebesar biaya eksternal dari penurunan kualitas lingkungan, produktivitas sumberdaya lahan maupun sumberdaya manusia
Suparmoko, 2000. Di Provinsi Jawa Tengah terdapat aktivitas manusia yang merusak hutan
yaitu perambahan hutan, perusakan tanaman, penggembalaan liar, kebakaran hutan dan illegal logging. Laju perusakan hutan selama perio de tahun 2000 –
2004 sekitar 4200- 6500 hektar per tahun dan denda perusak hutan sekitar Rp 50 juta – Rp 10 miliar Undang -Undang nomor 41 tahun 1999 maka dana yang
terkumpul karena denda cukup besar. Pengenaan denda tidak boleh diskrinatif, maka jika pelakunya dapat dibuktikan maka dikenakan kepada siapa saja
termasuk Perum Perhutani. Di samping itu di Provinsi Jawa Tengah terdapat bahaya perusakan
lingkungan yaitu aktivitas pembukaan lahan untuk tebangan hutan, pertanian, pertambangan, perkebunan, perumahan dan sebagainya yang berdampak
timbulnya erosi. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan tingkat erosi yang ditimbulkan oleh masing-masing aktivitas pembukaan lahan tersebut. Selanjutnya
setiap pelakunya dikenakan denda sesuai ketentuan yang berlaku.
7.2.6 Asuransi Kerusakan dan Kebakaran Hutan
Hutan sebagai asset yang mempunyai nilai yang cukup besar misalnya hutan tanaman yang nilai perolehannya berkisar Rp 5 – 7 jutahektar harus
dijamin keberadaannya dengan polis asuransi. Penjaminan hutan tanaman sudah
191 lazim dilakukan oleh beberapa perusahaan di Indonesia. Penjaminan tersebut
dilakukan untuk menjaga resiko hilangnya asset hutan tersebut dari bahaya kerusakan alam, kebakaran, dan sebagainya. Di Provinsi Jawa Tengah terdapat
asset hutan jati tanaman Perum Perhutani Unit I seluas 573 241.63 hektar yang layak untuk diasuransikan. Namun sampai saat ini asuransi tersebut belum
dilakukan.
7.2.7 Pemanfaatan Dana Internasional
Hutan mempunyai peranan global dalam menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan hidup. Ekosistem lingkungan tersebut tidak mengenal
batas, sehingga dampak positif ataupun negatif di suatu wilayah maka mempengaruhi wilayah ataupun negara lain. Contoh kongkrit adalah pembakaran
hutan dan lahan di Sumatera akan akan terjadi pencemaran udara asap ke negara-negara tetangga Singapore, Malaysia dan Thailand. Dengan adanya
pencemaran udara di wilayah -wilayah tersebut maka akan terjadi gangguan penerbangan internasional. Oleh karena itu negara-negara maju telah
menyisihkan sebagian anggaran belanjanya untuk membentuk dana lingkungan global global environmental fund. Dengan demikian karena Provinsi Jawa
Tengah yang memiliki kawasan hutan seluas 647 596.81 hektar berpeluang untuk
mendapatkan alokasi dana lingkungan global tersebut.
7.2.8 Efisiensi Bahan Baku Kayu
Industri primer kehutanan yang terdiri dari industri penggergajian, industri kayu lapis, industri meubel dan bahan bangunan, dan industri pengolahan dengan
bahan baku kayu memberikan nilai output sebesar Rp 5.2 triliun per tahun. Industri-industri tersebut memerlukan bahan baku kayu yang diproduksi oleh
Provinsi Jawa Tengah maupun kayu yang didatangkan dari luar provinsi. Kayu yang berasal dari produksi Perum Perhutani dan kayu rakyat di Provinsi Jawa
Tengah diperkirakan hanya mampu memberikan pasokan 50 dati total keperluan industri di wilayah ini. Oleh karena itu untuk mempertahankan produktifitas
industri primer kehutanan di Provinsi Jawa Tengah perlu mendatangkan kayu dari luar provinsi terutama dari luar Pulau Jawa. Namun demikian untuk menambah
192 produksi maupun mendatangkan kayu dari luar daerah tidak mudah karena
sumber-sumber produksinya juga sudah sangat terbatas. Oleh karena itu industri primer kehutanan dihadapkan tantangan efisiensi bahan baku yang optimal untuk
mempertahankan operasionalnya. Di samping efisiensi bahan baku, industri primer kehutanan di Provinsi
Jawa harus mampu menyerap seluruh produksi hasil hutan di wilayah tersebut sehingga nilai tambah hasil hutan tidak keluar dan dapat dinikmati oleh
masyarakat setempat. Dengan adanya efisiensi bahan baku dan pengolahannya akan berdampak terhadap pengurangan luas dan volume tebangan per tahunnya di
wilayah tersebut.
7.2.9 Alokasi Penggunaan Lahan