144 langsung ke masyarakat, ilegal logging, ilegal trading, kehilangan nilai tambah,
dan rehabilitasi hutan dan lahan, deforestasi, penggantian erosi, keberadaan hutan, kelembagaan, dan udara bersih telah dilakukan aplikasi hasil valuasi dengan
metode yang telah ditetapkan pada Bab terdahulu. Sementara itu 7 tujuh variabel lain yaitu kayu nilai hasil kayu, non kayu, industri penggergajian, industri kayu
lapis, industri bahan bangunan dari kayu, dan industri lain bahan bakunya dari kayu digunakan data lapangan usaha atau klasifikasi pada Tabel Input-Output
Provinsi Jawa Tengah standar.
6.2.3 Analisis Output
Bagian ini akan menjelaskan tentang keterkaitan antar kegiatan ekonomi lapangan usaha terutama yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya hutan di
Provinsi Jawa Tengah. Sesuai dengan konsep pendekatan, keterkaitan antar kegiatan ekonomi lapangan usaha ini dibagi menjadi 2 dua kelompok, yaitu
analisis produksi dan analisis dampak dengan menggunakan teknik kajian deskriptif. Analisis produksi merupakan analisis berdasarkan data dan informasi
yang terdapat dikuadran-kuadran dalam tabel I-O, sedangkan analisis dampak menggambarkan bagaimana dan sejauh mana pengaruh yang ditimbulkan akibat
adanya perubahan suatu variabel peubah terhadap variabel lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks ini kelompok variabel yang
mempengaruhi disebut sebagai “exogeneous variabel” sedangkan variabel yang akan dipengaruhi disebut sebagai “endogenous variabel”.
Kondisi makro ekonomi suatu negara berkembang memerlukan suatu aliran pendapatan yang berkesinambungan agar proses pembangunan dapat berjalan
sesuai yang direncanakan Todaro, 2000. Aliran pendapatan dapat berkesinambungan apabila terdapat sumberdaya yang dimanfaatkan untuk
menggerakan kegiatan atau aktivitas perekonomian. Salah satu sumberdaya yang potensial yang dimiliki oleh Provinsi Jawa Tengah adalah kawasan hutan.
Berdasarkan pengalaman empiris, ternyata sumberdaya hutan di Provinsi Jawa Tengah telah memberikan kontribusi yang relatif signifikan karena sumberdaya
hutan merupakan salah satu kekayaan alam natural capital yang dapat dimanfaatkan untuk dapat memberikan aliran pendapatan bagi pemerintah
provinsi maupun masyarakat. Sumbangan sumberdaya hutan bagi perekonomian
145 provinsi tersebut biasanya diukur dengan ukuran Produk Domestik Regional
Bruto PDRB. Berdas arkan nilai tambah dari setiak sektor perekonomian maka dapat diketahui PDRB. Selanjutnya PDRB dapat digunakan untuk melihat dan
mengevaluasi besarnya pendapatan regional yang dapat diciptakan olek suatu wilayah.
Selain dapat melihat keterkaitan antar kegiatan ekonomi kuadran I dari tabel I-O juga dapat dilihat perolehan pendapatan masyarakat termasuk
rumahtangga yang diciptakan oleh berbagai sektor ekonomi yaitu pada kuadran III, sedangkan rincian permintaan akhir termasuk konsumsi rumahtangga dapat
dilihat pada kuadran II. Selanjutnya hubungan antara pendapatan dan konsumsi tersebut termasuk transaksi-transaksi ekonomi lainnya yang digambarkan dalam
tabel I-O dapat dilihat pada Lampiran 15. Untuk melihat manfaat sektor kehutanan yang lebih lengkap, maka sektor
tersebut dalam analisisnya meski digabung ke dalam aktifitas sektor kehutanan. Ada beberapa aktifitas sektor kehutanan yang memang belum diperhitungkan
dalam penghitungan pendapatan regional. Kegiatan ekonomi tersebut adalah nilai hasil langsung kehutanan, kegiatan illegal logging, kehilangan nilai tambah sektor
kehutanan, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, serta nilai illegal trading. Selain kegiatan sektor kehutanan, ada juga aktifitas yang muncul akibat
adanya kawasan hutan, yang biasa juga disebut dengan fungsi non ekonomi kawasan sumberdaya hutan. Sehingga aktifitas sektor kehutanan secara langsung
maupun tidak akan berdampak pada nilai kegiatan tersebut. Manfaat non ekonomi kawasan hutan ini biasanya bersifat berbanding terbalik dengan eksploitasi
sumberdaya hutan. Kegiatan atau manfaat yang dimaksud antara lain adalah nilai penggantian deforestasi, nilai penggantian erosi, nilai keberadaan kawasan hutan,
nilai manfaat air kawasan hutan, serta nilai udara bersih kawasan hutan. Disamping itu juga ada nilai kelembagaan yang mengurusi sektor kehutanan.
Manfaat non ekonomi tidak dapat dimasukkan ke dalam transaksi tabel input output. Faktor non ekonomi tersebut nantinya menjadi persediaan atau parameter
koefisien perubahan biaya yang harus dikeluarkan jika sektor ekonomi mengalami perubahan.
146 Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, sektor kehutanan hanya
berkontribusi sebesar Rp 1.80 trliun atau sekitar 0.52 terhadap total output Provinsi Jawa Tengah. Setelah dilakukan disagregasi sekaligus memasukkan
nilai-nilai yang belum terhitung hasil langsung ke masyarakat, ilegal logging, kehilangan nilai tambah, rehabilitasi hutan dan lahan, serta ilegal trading dan
juga menempatkan kembali sektor industri primer kehutanan dan jasa wisata hutan sesuai posisinya maka total output Propinsi Jawa Tengah meningkat dari
Rp 342.15 triliun menjadi Rp 354.19 triliun, atau meningkat sebesar Rp 12.04 triliun yaitu sekitar 3.51. Total peran sektor kehutanan yang berpengaruh
sebagai faktor ekonomi sebesar Rp 14.49 triliun atau sekitar 4.23 dari total output provinsi. Peningkatan output tersebut didapatkan dari manfaat-manfaat
hutan yang belum diperhitungkan pada PDRB standar. Manfaat hutan tersebut menyebabkan terciptanya nilai tambah bruto PDRB baru tambahan sebesar Rp
6.06 triliun. Dengan demikian, PDRB propinsi Jawa Tengah meningkat dari Rp 171.31 triliun menjadi Rp175.29 trilun. Perubahan nilai PDRB tersebut dapat
dilihat pada tabel 45. Tabel 45 PDRB Sebelum dan Sesudah Ada Tambah an Penghitungan
Kegiatan Sektor Kehutanan juta Rp
PDRB PDRB
PDRB Lapangan Usaha
Awal Tambahan
Total Kayu
438 813 - 438 813
Hasil hutan lainnya 694 138 -
694 138 Komoditi
Domestik Kehutanan
Jasa lingkungan 3 719 -
3 719 Nilai hasil langsung
- 6 586
6 586 Illegal Logging
- 1
1 Kehilangan nilai tambah
- 218
218 Rehabilitasi hutan dan lahan
- 16 039
16 039 Nilai ilegal trading
- 106 810
106 810 Manfaat air
- 5 505 896
5 505 896 Sektor
Kehutanan Lainnya
Nilai Udara bersih -
429 243 429 243
Sektor Non Kehutanan 170 172 953
- 170 172 953 PDRB
171309 623 6 064 793 177 390 454
Peran sektor kehutanan yang berpengaruh sebagai faktor ekonomi sebesar Rp 14.49 triliun atau sekitar 4.23 dari total output provinsi. Sehingga selama
ini pada penyusunan Tabel Input-Output Provinsi Jawa Tengah terjadi mis- calulation
dari output sektor kehutanan sebesar Rp 12.04 triliun atau 3.93 dari total output provinsi. Disamping pada sektor kehutanan terjadi mis-calulation
147 lain yang bersumber dari variabelsektor kehutanan yang bukan faktor ekonomi.
Sektor ini juga masih memiliki peran sebagai penyediastock yaitu nilai-nilai deforestasi, penggantian erosi, keberadaan hutan, dan kelembagaan sebesar Rp.
14.69 triliun atau sekitar 4.29 dari total output provinsi. Namun mengingat kegiatan deforestasi dan erosi telah mengangkibatkan penurunan produktifitas
lahan maka nilai kedua sektor tersebut bersifat negatif atau biaya ekonomi, sehingga nilai stock berkurang dari Rp. 9.49 triliun menjadi sebesar Rp 5.73
triliun atau sekitar 1.68 dari total output provinsi. Nilai persediaan atau stock non ekonomi dari sektor kehutanan tersebut pada dasarnya nilai potensial
ekonomi yang dapat digali untuk menjad i penerimaan wilayah sepanjang jelas perolehannya dan siapa yang memanfaatkannya. Dengan demikian apabila seluruh
manfaat hutan di Provinsi Jawa Tengah diperhitungkan sebagai kontribusi terhadap pendapatan wilayah maka nilai total manfaat ekonominya sebes ar Rp
20.22 trilun atau sekitar 5.91 dari total output provinsi. Kontribusi manfaat hutan tersebut jauh lebih besar dibanding kontribusi sektor perkebunan,
peternakan, perikanan masing -masing 1.16 , 3.33 , dan 1.55 . Sektor kehutanan mempunyai kontribusi terhadap PDRB aktual sebesar Rp.
8.42 triliun atau sekitar 4.65 dari total PDRB aktual Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp. 177.39 triliun. Secara umum kontribusi kehutanan tersebut sudah
hampir sama dengan dibanding sektor-sektor lain seperti pertanian tanaman pangan, industri makanan dan minuman, perdagangan dan restoran yang nilai
kontribusinya sekitar 5 – 15 . Hal tersebut disebabkan sub sektor kehutanan yang meliputi hasil kayu bulat, hasil non kayu, jasa wisata, hasil langsung ke
masyarakat, industri-industri yang bahan bakunya hasil hutan, kegiatan rehablitasi hutan dan lahan, serta kegiatan ilegal logging dan trading secara
regional banyak yang tidak tercatat. Di samping itu juga ikut berpengaruh dalam menentukan besarnya kontribusi tersebut adalah balas jasa baik terhadap kapital
hutan relatif kecil. Sub sektor atau kegiatan ilegal logging, ilegal trading, hasil langsung kemasyarakat yang hampir tidak ada pajak tak langsungnya. Hal
tersebut disebabkan Sedangkan untuk sub sektor hasil hutan kayu, non kayu dan jasa wisata meskipun volumenya kecil tetapi persentase balas jasanya relatif besar
yaitu mencapai sekitar 98.
148 Dari Lampiran 15 dapat dilihat bahwa dari seluruh nilai produksi bruto
yang dihasilkan di Provinsi Jawa Tengah sebesar 354.19 triliun rupiah baris 190 kolom 600, sekitar Rp 177.39 triliun baris 209 kolom 180 atau sebesar 50.08
diturunkan dalam bentuk nilai tambah bruto. Sementara itu bila dilihat dari aspek pendapatan nilai tambah bruto yang sebesar Rp 177.39 triliun adalah merupakan
balas jasa atau kompensasi yang dibayarkan ke faktor produksi tenaga kerja adalah sebesar Rp110.98 triliun baris 201 kolom 180, dan sebesar Rp 56.66
triliun merupakan kompensasi yang dibayarkan terhadap penggunaan kapital, serta pajak tak langsung sebesar Rp 9.76 triliun, dan termasuk didalamnya
keuntungan usaha surplus usaha dari air dan udara bersih sebesar Rp 5.94 triliun. Dengan adanya penambahan output maupun nilai tambah akibat
memperhitungkan manfaat hutan secara lebih akurat maka daerah akan lebih memperhatikan pembangunan kehutanan lebih besar. Penambahan output dan
juga nilai tambah tersebut tidak mengurangi kontribusi sektor lain, sehingga pemerintah daerah dapat lebih intensif untuk mengelola sumberdaya hutan.
Namun demikian pengelolaan hutan mempunyai andil dalam kerusakan lingkungan terutama bahaya erosi. Oleh karena itu dalam perhitungan PDRB
seharusnya juga memperhatikan biaya kerusakan lingkungan seperti erosi dan deforestasi.
Besarnya nilai tambah pada masing-masing sektor akan ditentukan oleh besarnya output nilai produksi yang dihasilkan dan perbandingan antara nilai
tambah terhadap outputnya. Oleh sebab itu, suatu sektor yang memiliki output yang besar belum tentu memiliki nilai tambah yang besar pula karena penciptaan
nilai tambah juga ditentukan oleh perbandingan nilai tambah terhadap output yang disebut dengan efisiensi. Setiap sektor mempunyai nilai balas jasa terhadap
tenaga kerja dan kapital serta nilai pajak tak langsung. Mengingat nilai erosi dan deforestasi bersifat negatif terhadap PDRB maka nilai PDRB aktual akan
berkurang. Nilai akhir setelah dikurangi dampak erosi dan deforestasi menjadi PDRB hijau Green PDRB.
Nilai tambah yang tercipta merupakan balas jasa faktor produksi karen a adanya aktivitas produksi. Sehingga struktur nilai tambah penyusun PDRB aktual
setiap sektor terdiri dari balas jasa terhadap tenaga kerja berupa upah dan gaji,
149 balas jasa terhadap kapital berupa surplus usaha sewa tanah, bunga dan
keuntungan, dan penyusutan, serta pajak tak langsung. Untuk aktivitas sektor kehutanan, balas jasa terhadap kapital dan pajak tak langsung yang dapat berupa
pajak pemasaran hasil hutan, provisi sumber daya hutan PSDH dan retribusi lain misalnya dana reboisasi DR. Oleh karena itu agar sektor kehutanan dapat
menghasilkan nilai tambah yang lebih besar maka aktivitasnya pengelolaan hutan harus banyak menyerap tenaga kerja, diversifikasi hasil hutan yang dipungut, dan
peningkatan efektifitas pemungutan pajak tak langsung. PDRB aktual Provinsi Jawa Tengah setelah memperhitungkan seluruh
manfaat hutan sebesar Rp 177.39 triliun tersebut sebenarnya masih mengandung resiko kerusakkan lingkungan khususnya sumberdaya alam hutan sebesar Rp
8.94 triliun. Resiko tersebut berupa kerusahan hutan dan erosi. Total nilai erosi dan deforestasi di Propinsi Jawa Tengah sebesar Rp 8.94 triliun atau sekitar
4.94 dari PDRB Provinsi Jawa Tengah. Mengingat terjadinya erosi dan deforestasi pada lahan di semua sektor maka PDRB setiap sektor juga harus
dikurangi sesuai besarnya nilai erosi dan deforestasi tersebut. Pengurangan PDRB per sektor sebesar biaya erosi dan deforestasi yang harus ditanggung oleh
masing-masing sektor. Perhitungan biaya erosi dan deforestasi per sektor didasarkan pada proporsi luas lahan terbuka dan tingkat erosifitas lahan pada
masing-masing sektor sebagaimana Tabel 46. Tabel 46. Proporsi Luas Lahan Terbuka dan Tingkat Kekritisan dalam
Perhitungan PDRB Hijau di JawaTengah Tahun 2003 Sektor
Luas Lahan terbuka ha
Tingkat kekritisan
Proporsi
Hasil kayu 560
Kritis 2.41
Hasil non kayu 24
Potensial kritis 27.98
Jasa lingkungan 15
Potensial kritis 2.12
Industri Kayu Gergajian 12
Agak kritis 6.17
Industri Kayu Lapis 9
Agak kritis 4.92
Industri bhn bangunan dr. kayu 8
Agak kritis 8.17
Industri barang-lainnya dari kayu 11
Agak kritis 0.17
Ilegal logging 123
Kritis 1.79
Rehabilitasi lahan hutan 61
Agak kritis 0.05
Tanaman bahan makanan 47
Agak kritis 6.10
Perkebunan 50
Agak kritis 5.08
Peternakan 37
Agak kritis 5.29
Perikanan 30
Potensial kritis 1.59
Pertambangan dan Penggalian 78
Sangat kritis 44.75
Industri Makanan dan Minuman 24
Potensial kritis 1.28
Air Minum 18
Agak kritis 5.17
Konstruksi 12
Sangat kritis 22.61
Lain-lain 29
Potensial kritis 12.94
150 Tabel 47. PDRB berdasarkan nilai tambah per sektor tahun 2003
juta Rp Lapangan Usaha
Sektor Balas
Jasa Tk
Balas Jasa
Kpl Pajak
Tak Lsg
PDRB Aktual
Biaya Erosi
Defrst Green
PDRB
Hasil kayu
131 333 299 419
8 062 438 813
1 467 915 1 029 102
Hasil non kayu
402 024 289 877
2 237 694 138
255 782 438 355
Jasa lingkungan
2 540 166
1 012 3 719
2 180 1 462
Industri Kayu Gergajian
285 084 238 256
26 162 549 502
66 070 483 432
Industri Kayu Lapis
247 978 2 722
7 829 258 528
39 527 219 001
Industri bhn bangunan dr. ky
361 040 8 630
11 542 381 212
58 277 322 935
Industri barang- lainnya dr kayu
9 211 6 420
761 16 393
1 705 14 688
Nilai hasil lasng ke masy.
6 586 6 586
1 323 5 262
Illegal logging
5 270 10 770
16 040 223 600
207 560
Nilai tambah kayu olahan
73 140
5 218
28 190
Rehabilitasi lahan hutan
14 328 830
881 16 039
2 143 13 895
Nilai ilegal trading
49 644 57 166
106 810 3 420
103 390
Nilai air
5 505 896 5 505 896
- 5 505 896
Nilai Udara bersih
429 243 429 243
- 429 243
K E
H U
T A
N A
N
Jumlah Kht
1 508 525 6 856 882
57 703 8 423 137
2 131 970 6 291 167
Tanaman bahan makanan
22 270 064 1 825 496
199 603 24 295 163
255 845 24 039 318
Perkebunan
1 282 667 365 747
14 971 1 663 385
226 844 1 436 541
Peternakan
3 811 430 1 845 470
70 877 5 727 777
169 197 5 558 580
Perikanan
1 253 981 1 007 802
23 800 2 285 582
31 991 2 253 591
Pertambangan dan Penggalian
1 400 949 290 741
52 761 1 744 450
6 268 938 4 524 487
Industri Mknan dan Minuman
10 301 757 8 523 565
4 294 960 23 120 283
20 682 23 099 600
Industri Migas
1 292 052 12 677 850
167 250 14 137 151
- 14 137 151
Industri olahan Lainnya
8 335 555 5 122 547
958 062 14 416 164
- 14 416 164
Listrik dan Gas
417 006 1 249 188
25 799 1 691 994
- 1 691 994
Air Minum
79 750 282 594
5 378 367 722
83 094 284 628
Konstruksi
5 773 704 843 278
355 050 6 972 032
519 363 6 452 669
Perdagangan, Restn, dan Hotel
31 881 810 6 636 024
2 859 077 41 376 912
- 41 376 912
Angkutan dan Komunikasi
5 229 433 4 503 060
166 517 9 899 010
- 9 899 010
Bank, Lembaga Keuangan
1 472 154 4 606 135
370 178 6 448 467
- 150 039 931
N O
N K
E H
U T
A N
A N
Jasa lainnya
14 665 482 22,290
133 453 14 821 225
- 14 821 225
Jumlah Total
110 907 004 50 647 278
9 755 342 177 390 454
8 948 263 168 442 191
151 Keterbukaan lahan yang luas dan kondisi lahan kritis cenderung memiliki
proporsi distribusi kerugian erosi dan deforestasi semakin besar. Hal tersebut dimungkinkan karena dengan lahan yang terbuka dan mudah erosi maka laju erosi
akan semakin besar. Sehingga, laju penurunan produktivitas lahan yang terbuka tersebut akan semakin besar, yang pada akhirnya penurunan pendapatan
masyarakat akan semakin nyata. Proporsi luas lahan terbuka dan tingkat erosifitas tersebut menentukan distribusi besarnya nilai pengurangan PDRB aktual menjadi
PDRB bersih Green PDRB sebagaimana Tabel 47. Resiko akibat erosi dan deforestasi oleh masing masing individu tidak
langsung berdampak penurunan pendapatan karena tidak dirasakan secara jelas. Deforestasi dan erosi berdampak langsung terdapat difisiensi hara dan
pengurangan lapisan top soil, sehingga tanaman menjadi tidak subur. Selanjutnya, masyarakat akan merasakan penurunan produksi tanaman. Dampak
tersebut tidak hanya berhenti pada penurunan produktivitas lahan, erosi dan deforestasi juga akan mengakibatkan terjadinya banjir ataupun tanah longsor jika
hujan tiba secara besar. Sehingga kerugian yang harus ditanggung masyarakat tersebut diatas akan meningkat lagi. Oleh karena itu penurunan produktivitas
lahan dan kerugian masyarakat lainnya tersebut harus dicerminkan dalam perhitungan PDRB Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 177.39 triliun berkurang
menjadi Rp 168.44 triliun. Berdasarkan perhitungan PDRB untuk setiap aktivitas perekonomian
Provinsi Jawa Tengah yang terkait dengan pengelolaan lahan secara langsung atau mempunyai dampak terhadap kerusakan lahan maka PDRB aktualnya akan
mengalami pengurangan menjadi PDRB hijau. Aktivitas atau sub sektor yang mengalami penurunan mencolok hingga bernilai negatif adalah penebangan kayu,
illegal logging , dan pertambangan dan penggalian. PDRB hijau ketiga aktivitas
ekonomi tersebut masing-masing minus Rp 1.02 triliun, Rp 207.56 miliar, dan Rp 4.52 triliun. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan
di masa yang akan datang ketiga aktivitas tersebut dapat dipertimbangkan untuk tidak dilaksanakan. Ketiga aktivitas tersebut dapat dipertahankan untuk tetap
dilaksanakan sepanjang telah dilakukan upaya-upaya untuk mengatasinya secara efektif. Dengan demikian pelaksanaan ketiga aktivitas tersebut memerlukan
152 pengawasan yang ketat dari pemerintah dan dibarengi dengan pemberian sanksi
yang tegas dari aparat penegak hukum. Secara keseluruhan dalam perekonomian Provinsi Jawa Tengah, komponen
terbesar dalam pembentukan nilai tambah berasal dari upah dan gaji yaitu mencapai 54.83, terbesar kedua terbesar berasal dari surplus usaha dan
penyusutan yang mencapai porsi 29.60. Sementara komponen pajak tak langsung neto mencapai porsi 5.57. Tetapi pola yang berbeda diperlihatkan oleh
sektor kehutanan dalam penyusunan nilai tambahnya, dimana komponen terbesarnnya berasal dari surplus usaha dan penyusutan sebesar 51.83,
komponen upah dan gaji sebesar 47.17, dan pajak tak langsung sebesar 1. Komponen surplus usaha dan penyusutan sektor kehutanan lebih besar dibanding
sektor lain non kehutanan. Tingginya surplus usaha di sektor kehutanan tersebut disebabkan antara lain terdapat hasil hutan yang bersifat sampingan tetapi nilainya
sangat besar. Sebagai contoh hasil air dan udara bersih merupakan hasil sampingan dari kegiatan menanam pohon atau reboisasi yang harapan utamanya
adalah kayu. Oleh karena itu hasil sampingan tersebut berjumlah besar titapi tidak memerlukan input tersendiri.
Sedangkan komponen pajak tak langsung neto mempunyai porsi yang relatif kecil yaitu sebesar 1.00 dari nilai tambah sektor kehutanan atau sekitar
20 dari pajak tak langsung sektor-sektor non kehutanan. Hal in menunjukkan bahwa sektor kehutanan belum optimal dalam mendukung penerimaan negara
yang berupa pajak. Penerimaan negara dari sektor kehutanan yang besar justru yang bukan pajak seperti provisi sumberdaya hutan PSDH, dana reboisasi DR
dan juga iuran ijin usaha lisen fee kehutanan. Berdasarkan tarif penerimaan negara bukan pajak sektor kehutanan yang berlaku saat ini antara lain PSDH
berkisar Rp 50 000 sd Rp 150 000 per m3 tergantung jenis kayu, DR berkisar 12 US sd 16 US per m3 tergantung jenis kayu dan wilayah kerja, dan Iuran Ijin
Usaha Kehutanan berkisar Rp 15 000 sd Rp 50 000 per ha tergantung jenis usahanya. Dengan demikian untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor
kehutanan tidak digali dari pajak melainkan dari yang bukan pajak.
153 Tabel 48. Komposisi Nilai Tambah Sektor Kehutanan di Jawa Tengah
Tahun 2003
Sektor Sektor Kehutanan
Seluruh Perekonomian
Upah dan gaji 47.17
54.83 Surplus usaha dan penyusutan
51.83 29.60
Pajak tak langsung neto 1.00
5.57
Jumlah 100.00
100.00
Surplus usaha belum tentu dapat langsung dinikmati oleh masyarakat karena surplus usaha tersebut sebagian ada yang tersimpan atau ditanam
perusahaan dalam bentuk laba yang ditahan. Dengan rendahnya komponen upah dan gaji tersebut di sektor kehutanan, mengindikasikan bahwa tenaga kerja di
sektor kehutanan sebagai fak tor produksi belum memperoleh penghasilan yang memadai atas balas jasa yang dihasilkannya.
Upah dan gaji menjadi pendorong utama bagi manusia untuk bekerja oleh karena manusia perlu memenuhi kebutuhan dasarnya bahkan bila mungkin
meningkatkan standar hidupnya, maka upah yang layak sangat mereka butuhkan. Namun perlu juga dicermati bahwa perusahaan dalam menentukan upah dan gaji
juga mempertimbangkan berbagai aspek seperti masa kerja, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, keahlian dan ketrampilan yang dimiliki pekerja, serta variabel
lainnya. Konsep pengupahan perlu juga mempertimbangkan produktivitas pekerja.
6.2.4 Analisis Input