Ringkasan Hasil KESIMPULAN DAN SARAN

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

8.1. Ringkasan Hasil

Pada tahun 2003, Provinsi Jawa Tengah memiliki sumberdaya hutan seluas 647 596.81 ha negara dan hutan rakyat 550 773.8 ha. Dengan menggunakan klasifikasi standar baku, peranan ekonomi kehutanan di Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 1.73 triliun atau sekitar 0.51 dari total output provinsi tersebut yang berjumlah Rp 342.15 triliun Klasifikasi standar baku sektor kehutanan terbatas komoditi hasil kayu, non kayu getah, madu, bambu dan sebagainya. Sedangkan hasil hutan dan aktivitas industri primer kehutanan penggergajian, kayu lapis, bangunan kayu, dan industri yang berbahan baku kayu, dan jasa wisata hutan bernilai sebesar Rp 5.31 trilun sekitar 1.55 dari total output provinsi, diklasifikasikan sebagai hasil sektor non kehutanan. Klasifikasi tersebut kurang tepat dan bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Indonesia nomor 34 Tahun 2002. Dengan melakukan perhitungan kembali yang menggunakan aplikasi hasil perhitungan dari intitusi resmi maupun berbagai penelitian, serta mengembalikan klasifikasi manfaat hutan yang tidak tepat, maka peranan ekonomi sektor kehutanan meningkat dari Rp 1.73 triliun menjadi Rp 14.49 triliun atau sekitar 4.23 dari total output provinsi, sehingga outpout Provinsi Jawa Tengah meningkat dari Rp 342.15 triliun menjadi Rp 354.19 triliun dan Produk Domestik Regional Bruto PDRB meningkat dari Rp 171.13 triliun menjadi Rp 177.39 triliun . Peningkatan peranan ekonomi tersebut berasal dari hasil yang langsung dikonsumsi masyarakat sebesar Rp 16.62 miliar, illegal logging sebesar Rp 61.65 miliar, illegal trading sebesar Rp 106.81 miliar, nilai tambah sebesar Rp 217 juta, air sebesar Rp 5.51 triliun, dan udara bersih sebesar Rp 429.33 miliar. Di samping peranan ekonomi tersebut, sektor kehutanan juga memiliki potensi peranan ekonomi lain yang berupa manfaat positif yaitu efisiensi kelembagaan dan keberadaanpelestarian hutan sebesar Rp 5.73 triliun, serta manfaat yang bersifat negatif berupa deforestasi dan erosi sebesar Rp 9.87 triliun. Dengan adanya manfaat hutan yang bersifat negatif tersebut maka PDRB bersih Green PDRB Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 168.44 triliun. 200 Berdasarkan analisis derajat kepekaan backward linkage dan daya penyebaran forward linkage, sektor hasil hutan dan aktivitas kehutanan memiliki keterkaitan input dan output sebesar 1.00 sd 2.56. Dengan nilai keterkaitan 1.00 tersebut maka sektor hasil hutan dan aktivitas kehutanan mempunyai peran yang penting dalam menggairahkan perekonomian Provinsi Jawa Tengah. Bahkan untuk sektor jasa wisata hutan koefisien kepekaan sebesar 2.56, maka akan dapat mendorong sektor-sektor lain untuk bergerak secara signifikan. Lebih lanjut berdasarkan biaya faktor at faktor costs, pendapatan sektor kehutanan sebesar Rp 8.42 triliun terdapat kebocoran sebesar Rp 2.54 triliun atau sekitar 30.17. Kebocoran pendapatan sektor kehutanan tersebut lebih tinggi dibanding sektor-sektor lain yang besarnya sekitar 22.0. Hal ini dapat dipahami sebab sektor kehutanan mempunyai kontribusi kebocoran yang sangat besar yang berasal dari erosi. Kebocoran erosi di sektor kehutanan sebesar Rp 2.31 triliun atau sekitar 25 dari seluruh kebocoran kehutanan. Oleh karena itu guna meningkatan pendapatan dari sektor kehutanan tersebut maka prioritas utamanya adalah mengatasi erosi. Rumah tangga kehutanan sebanyak 12 538 orang menikmati pendapatan sektor kehutanan sebesar sekitar 11 dari total pendapatan sektoral yang berjumlah Rp 8.42 triliun. Dengan demikian sekitar 89 dari pendapatan sektor kehutanan dinikmati industri dan pengusaha kehutanan serta sektor lain non kehutanan. Sementara itu pengeluaran rumah tangga kehutanan di Provinsi Jawa Tengah untuk pemenuhan kebutuhan barang jasa yang dikonsumsi akhir sebesar 53.58, pembayaran pajak sebesar 1.63, tranfer sebesar 9.25 dan ditabung sebesar 35.54. Rasio pendapatan per kapita terendah dengan yang tertinggi dari rumah tangga kehutanan sebesar Rp 8.23 juta per tahun dibanding Rp10.53 juta per tahun atau sekitar 8 : 10, sementara rasio pendapatan per kapita rumah pertanian non kehutanan sebesar Rp 4.52 juta per tahun disbanding Rp 10.31 juta per tahun. Ketimpangan pendapatan rumah tangga d i Provinsi Jawa Tengah pada umumnya sekitar 1 : 2.5. Dengan skenario memberantas kegiatan illegal kehutanan sampai dengan tidak terjadi sama sekali 0 maka terjadi penurunan output sebesar sampai Rp 201 492.78 miliar dan jika membiarkan kegiatan illegal dihitung seluruhnya memberikan tambahan output sebesar Rp. 340.74 miliar. Dengan demikian Dengan demikian pilihan memberantas kegiatan illegal kehutanan tetap baik dibanding membiarkan kegiatan illegal tersebut berlangsung. Pilihan-pilihan kebijakan kehutanan yang terkait dengan peningkatan peranan ekonomi kehutanan dan penanggulangan kebocoran pendapatan di Provinsi Jawa Tengah pada masa mendatang agar difokuskan pada 1 penghargaan terhadap total manfaat hutan, 2 pembiayaan pengelolaan hutan, 3 pengenaan pajak dan retribusi air dan udara bersih, 4 optimalisasi PSDH dan DR, 6 pengenaan denda perusak hutan, 7 asuransi kerusakan dan kebakaran, 8 pemanfaatan dana internasional, 9 efisiensi bahan baku kayu, 10 alokasi penggunaan lahan, 11 pemerataan hak kelola hutan, 12 reorientasi produksi hutan, dan 13 rehabilitasi hutan dan lahan..

8.2. Kesimpulan