134 membawa lumpur. batuan dan humus yang tidak dapat diserap lagi oleh tanah.
Lahan menjadi miskin hara dan produktivitas tanaman pangan menurun.
3.5 Udara bersih
Nilai ekonomi udara bersih tersebut pada saat ini masih bersifat potensial, sebab dalam perhitungan output wilayah belum dapat dimasukkan.
Hal tersebut disebabkan nilai produksi udara bersih yang berasal dari alam tidak tidak dihargai sebab tidak jelas pihak produsenya maupun inputnya.
Oleh karena itu nilai udara bersih bagi konsumennya dianggap nol rupiah atau gratis. Padahal kebutuhan manusia terhadap udara bersih bersifat mutlak baik
untuk bernafas atau untuk aktifitas lain dalam pengaturan perubahan iklim global dan rekayasa sumberdaya alam guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mencantumkan penjelasan bahwa kawasan hutan memiliki 3 tiga dimensi
manfaat, yaitu manfaat ekologi yang berarti melestarik an keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; manfaat ekonomi yang berarti mampu menciptakan
peluang dan kesempatan kerja; dan manfaat sosial yang berarti mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai ekosistem alam
memiliki arti yang luas, baik menyangkut fisik lahan maupun pohon-pohon yang dapat berfungsi sebagai penentu perubahan iklim. Ekosistem hutan
mempunyai kemampuan menyerap karbon hasil pembakaran bahan bakar fosil, sehingga dapat menciptakan udara bersih oksigen yang sangat vital
bagi kesehatan. Kemampuan menyerap karbon untuk menciptakan udara bersih bagi kesehatan tersebut tentunya dapat dihitung nilai ekonominya.
Hutan di Provinsi Jawa Tengah seluas 647 596.81 ha dimana hutan primer seluas 74 354.81 ha dan hutan sekunder seluas 573 242 ha maka produktivitas
O
2
pada hutan primer sebanyak 85.7 tonhatahun dan hutan sekunder sebanyak 41.6 tonhatahun, sehingga total produksi udara bersih sebanyak
29 897 450 tontahun. Dengan menggunakan pendekatan harga karbon yang berlaku di pasar international sebesar Rp 18 000 per ton Kompas 18
September 2004, maka nilai output udara bersih yang dipruksi oleh hutan di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2003 sebesar Rp 429.24 milyar. Rincian
lengkap nilai produksi udara bersih per kabupat en sebagaima Lampiran 8.
135 Perubahan iklim global dan upaya rekayasa sumberdaya alam akan
berimplikasi terhadap produktivitas lahan untuk pertanian, perkebunan, dan lain-lain. Tetapi upaya tersebut juga mengandung resiko terjadinya degradasi
lingkungan baik pencemaran udara maupun perubahan iklim dan pemanasan global. Di Indonesia fenomena dampak perubahan iklim dan pemanasan
global sudah terindikasi dengan terjadinya berbagai peristiwa bencana alam antara lain kekeringan, kebakaran hutan, tanah longsor, berkurangan luas
lahan pertanian, penurunan produktivitas tanaman, pengurangan keaneragaman hayati, penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya air.
Bencana tersebut silih berganti sehingga mengakibatkan kemampuan produksi kegiatan perekonomian berkurang. Bahkan menurut Hidayat 2001,
perubahan iklim yang berujung pada anomali iklim sperti El-Nino, La -Nina dan sebagainya telah menyebabkan turunnya produktivitas beras sebanyak
600.000 ton per tahun. Anomali iklim tersebut membawa pengaruh dan intensitas dampak yang
cukup signifikan bagi masyarakat Indonesia. Tingkat pengaruh dan intensitas dampak tersebut tergantung pada tingkat penyimpangan iklim itu sendiri.
Menurut Haeruman 2005, dampak dari penyimpangan iklim bagi sektor kehidupan di Indonesia antara lain :
1 Terganggunya sistem produksi di kawasan budidaya pertanian akibat kegagalan panen. Keadaan ini akan berpengaruh pada terganggunya
sistem kehidupan di perkotaan. 2 Terjadinya kebakaran hutan yang mempengaruhi produksi kayu dan hasil
hutan lainnya serta mengancam kelestarian hutan lindung, cagar alam dan kawasan konservasi lain.
3 Meningkatnya acaman bencana alam yang berupa banjir, erosi, tanah longsor dan lamanya kemarau yang akan menurunkan produksi pangan.
4 Meningkatnya erosi dan abrasi serta in frastruktur di kawasan pantai yang berakibat luas mangrove berkurang sehingga kondisi ekonomi masyarakat
pantai dan pesisir menjadi lebih miskin.
136 5 Terjadinya migrasi penduduk antar wilayah akibat ketersediaan pangan
tidak berimbang dengan jumlah penduduknya. Implikasi dari hal tersebut merebaknya penyakit buruk gizi dan busung lapar.
3.6 Keberadaan, Pilihan dan Pelestarian