Bagi peserta yang belum lulus diberi kesempatan untuk belajar kembali tanpa dipungut beaya.
7. Kelemahan-Kelemahan Pengelolaan Kursus Menjahit Berbasis Life skill di
Sanggar Kegiatan Belajar dan Strategi Pemecahan Masalah berdasarkan hasil penelitian pendahuluan.
Proses Penyelenggaraan kursus yang diharapkan oleh pemerintah dan masyarakat adalah memenuhi standar mutu yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan kebutuhan pasar tenaga kerja atau upaya memandirikan masyarakat menuju kewirausahaan yang
mandiri. Ada delapan unsur pokok dalam standar nasional pendidikan, yaitu: 1 isi; 2 proses; 3 kompetensi lulusan; 4 pendidik dan tenaga kependidikan; 5 sarana
dan prasarana; 6 pengelolaan; 7 pembiayaan, dan 8 penilaian pendidikan. Sementara itu program kursus yang dianggap sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga
kerja, yaitu: 1 lulusan terserap oleh kebutuhan tenaga kerja di perusahaan atau unit-unit usaha dan industri; 2 lulusan kursus mampu berusaha mandiri
berwirausaha. Agar lulusan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja, maka rancangan isi dan proses pembelajaran kursus harus relevan dengan kebutuhan pasar. Disain
lulusan kursus keterampilan yang sesuai kebutuhan pasar tersebut setidaknya memenuhi seperangkat kemampuan minimal yang diharapkan oleh pasar kerja, dalam
arti sekurang-kurangnya lulusan kursus yang memiliki keterampilan, sikap dan perilaku positif, kemampuan bersosialisasi serta memiliki kemampuan berpikir logis.
Dari hasil penelitian pendahuluan di lima Sanggar Kegiatan Belajar di Jawa Tengah, yakni di Sanggar Kegiatan Belajar Surakarta, Demak, Sukoharjo,
Kabupaten Semarang dan Grobogan, peneliti menemukan adanya dua kelemahan dasar dalam penyelenggaraan kursus menjahit, yaitu: 1 kelemahan dalam prosedur
pengelolaan program, yakni tidak adanya standar yang jelas yang dijadikan sebagai acuan dan jaminan mutu proses serta hasil pembelajaran, dan 2 kelemahan dalam isi
pembelajaran, yakni rata-rata pembelajaran kursus menyajikan pendidikan keterampilan vocational skill dan kurang memberikan program kecakapan lain,
seperti kecakapan personal, sosial, dan akademik personal, social and academic skill.
Kedua kelemahan dasar tersebut dapat dirinci sebagai berikut: 1 penyelenggaraan kursus tidak didahului dengan asesmen kebutuhan need
assesment pengguna lulusan users atau kebutuhan lapangan kerja. Dengan tidak dilakukan asesment kebutuhan kepada pengguna lulusan tersebut, maka kurikulum
dan bahan ajar tidak relevan dengan kebutuhan pasar kerja, yang pada gilirannya lulusan kursus sulit diserap oleh lapangan kerja; 2 kurikulum yang tidak sesuai
dengan kebutuhan pasar akan berpengaruh terhadap proses dan strategi pembelajaran serta sistem evaluasi, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan lulusan mengalami
kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan kemampuan dan budaya kerja di lapangan kerja.; 3 tidak dilakukannya analisis standar isi, proses, kompetensi lulusan,
pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, penilaian pendidikan, berakibat pada proses pembelajaran terkesan ”asal berjalan”
karena tidak dilakukan proses kendali mutu; 4 sarana penunjang pembelajaran umumnya tidak sebanding dengan jumlah warga belajar dan sebagian besar tidak
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diterapkan di masyarakat. Sarana pembelajaran yang telah ketinggalam pada akhirnya lulusan akan
mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan dunia kerja; 5 evaluasi kelulusan yang dilakukan oleh sumber belajar Sanggar Kegiatan Belajar ujian lokal
cenderung belum diakui oleh dunia usaha atau dunia industri, dan 6 tidak adanya acuan penyelenggaraan kursus yang jelas prosedur pelaksanaan berakibat pada
ketidak jelasan proses peneyelenggaraan program kursus yang diselenggarakan oleh Sanggar Kegiatan Belajar.
Beberapa kelemahan yang teridentifikasi tersebut akan terus berlangsung apabila tidak ada tindakan perbaikan dan akhirnya menjadi bumerang bagi Sanggar
Kegiatan Belajar yang lama kelamaan akan merugikan masyarakat serta pemerintah. Fenomena ini akan lebih terpuruk lagi apabila pemerintah memberlakukan program
akreditasi penyelenggaraan kursus, dimana kursus yang diselenggarakan oleh Sanggar Kegiatan Belajar akan mengalami kesulitan untuk lolos akreditasi. Dampak
lain sebagai akibat dari tidak adanya standar mutu terhadap penyelenggaraan kursus di Sanggar Kegiatan Belajar yaitu: 1 sertifikat yang diperoleh lulusan kursus tidak
diakui oleh dunia usaha atau industri, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh pekerjaan. Hal ini nampak adanya 37 orang lulusan kursus menjahit di
Sanggar Kegiatan Belajar Demak dan Semarang tidak lolos uji masuk kerja di Sari Garmen Ungaran karena tidak dapat mengoperasikan mesin high speed dan test
wawancara kepribadian, 2 keberadaan Sanggar Kegiatan Belajar sebagai penyelenggara program pendidikan luar sekolah banyak dipertanyakan oleh
masyarakat karena tidak mampu menyelenggarakan program secara bermutu. Kondisi ini nampak dari penilaian masyarakat yang lebih senang kursus di Lembaga Kursus
swasta dari pada di Sanggar Kegiatan Belajar, hal ini nampak dari data peserta kursus di Sanggar Kegiatan Belajar tiap tahunnya hanya 45 jumlahnya dibanding peserta
kursus di Lembaga Pendidikan Kursus swasta data Subdin Pendidikan Luar Sekolah Propinsi Jateng 2005 3 dukungan dana dari pemerintah semakin berkurang karena
Sanggar Kegiatan Belajar dianggap kurang mampu menunjukkan hasil nyata. Berdasarkan data Pendidikan Nasional Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006
menunjukkan bahwa dana APBD I Jateng yang dialokasikan ke Sanggar Kegiatan Belajar se Jawa Tengah 0 , sedangkan APBD II yang dialokasikan ke Sanggar
Kegiatan Belajar untuk penyelenggaraan kegiatan pendidikan luar sekolah antara Rp 25 Juta s.d Rp 100 Juta atau kurang dari 1 persen dari alokasi APBD II masing-
masing daerah untuk pengelolaan pendidikan dan 4 Pemda akan melakukan ”reposisi” bahkan ”likuidasi” bagi Sanggar Kegiatan Belajar karena dianggap
kurang bermanfaat. Data di Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Regional III Jateng sejak tahun 2002 sampai dengan 2005 mencatat dan
mempertahankan 4 Sanggar Kegiatan Belajar di Jawa Tengah yang memperoleh ancaman akan ditutup oleh Pemda yakni Sanggar Kegiatan Belajar Temanggung dan
Purworejo, tahun 2002, Sanggar Kegiatan Belajar Klaten dan Demak tahun 2003, dengan berbagai pendekatan dengan legislatif dan eksekutif setempat akhirnya dapat
dipertahankan keberadaannya. Banyaknya kelemahan atau kekurangan Sanggar Kegiatan Belajar dalam
menyelenggarakan kursus keterampilan tersebut perlu adanya langkah-langkah strategis untuk memperbaiki secara terencana, terpadu dan komprehensif.
Berdasarkan analisa hasil masalah tersebut di atas diperoleh dua strategi dasar untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut, yaitu: 1 perbaikan prosedur mutu
pengelolaan, dan 2 perbaikan proses pembelajaran. Penelitian ini diarahkan pada penerapan prosedur mutu pengelolaan yang
mengarah pada pendekatan life skill. Komponen-komponen yang tercakup di dalam prosedur mutu pengelolaan tersebut adalah: 1 prosedur mutu perencanaan kursus;
2 prosedur mutu pengorganisasian kursus; 3 prosedur mutu pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan penempatan lulusan, dan 4 prosedur mutu
pembinaan dan perbaikan mutu pengelolaan program. Penerapan prosedur mutu pengelolaan pada penyelenggaraan kursus di
Sanggar Kegiatan Belajar di dasarkan atas beberapa pemikiran, yaitu: a Sanggar Kegiatan Belajar belum memiliki acuan tentang prosedur mutu penyelenggaraan
kursus keterampilan berbasis life skill; 2 adanya prosedur mutu yang mantap, terarah dan berkesinambungan akan efektif dalam meningkatkan kualitas pengelolaan
kursus, karena kinerja input, proses, dan hasil kerja akan mudah diukur, dan 3 model pengelolaan kursus keterampilan berbasis life skill dibutuhkan oleh pengelola
kursus dan pemerintah, karena hingga sekarang belum ada pedoman atau acuan pendidikan life skill bagi pengelola atau penyelenggara kursus.
B. Pengembangan Model Pengelolaan Kursus Keterampilan Berbasis Life skill
dengan Penerapan Prosedur Mutu di Sanggar Kegiatan Belajar.
Pengembangan model pengelolaan kursus keterampilan berbasis life skill dengan menerapkan prosedur mutu di Sanggar Kegiatan Belajar ini merupakan upaya
untuk melakukan perbaikan dalam rangka meningkatkan mutu pengelolaan kursus berbasis life skill di Sanggar Kegiatan Belajar. Oleh karena itu pengembangan model
ini didasarkan atas masalah-masalah atau kelemahan yang diperoleh selama studi pendahuluan di lima Sanggar Kegiatan Belajar. Pengembangan model pengelolaan ini
dalam bentuk prosedur mutu pengelolaan yang mencakup proses perencaaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan perbaikan mutu pengelolaan yang dikemas dalam
bentuk buku panduan pengelolaan kursus keterampilan berbasis life skill di Sanggar Kegiatan Belajar yang dijadikan acuan dalam menyelenggarakan berbagai kursus
keterampilan. Model yang dikembangkan ini sebelum disebarluaskan dilakukan berbagai
tahap validasi yakni: 1 Validasi konseptual dengan menggunakan kelompok diskusi terfokus dan teknik delphi, 2 Validasi Operasional dengan melakukan ujicoba