174
kontribusi sewa lapak terhadap pembangunan diperlukan strategi lebih lanjut agar dana tersebut tidak dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu bagi kepentingan
pribadi.
5.8. Persepsi Pesaing, Pemasok, dan Masyarakat terhadap Keberadaan PKL
Persepsi pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap keberadaan PKL menjadi salah satu komponen penting dalam penelitian ini. Hal ini menjadi unsur
yang membedakan bila dibandingkan dengan penelitian lain tentang PKL di Indonesia. Suharto 2003 dalam penelitian PKL di kota Bandung, Jawa Barat
dan Brata 2008 di Yogyakarta tidak membahas persepsi masyarakat terhadap PKL. Budi 2006 dalam kajian lokasi PKL di kota Pemalang hanya
menggunakan persepsi masyarakat umum terhadap keberadaan PKL. Dalam penelitian ini, jumlah responden yang digunakan adalah pemasok 9
responden, pesaing 6 responden dan masyarakat umum 45 responden. Jumlah masyarakat lebih banyak mengingat mereka adalah pihak yang terkena dampak
langsung dan tidak langsung dari keberadaan PKL.
Usaha PKL informal tidak berlangsung tanpa kompetisi. Mereka
berkompetisi dengan PKL sejenis dan toko-toko formal yang ada di sekitarnya. Walsh 2010 dan Timalsina 2011 menyatakan bahwa PKL mampu
menyediakan harga produk lebih murah sehingga” menguntungkan” konsumen masyarakat umum tetapi menjadi pesaing bagi usaha toko-toko di sekitarnya.
Dengan demikian maka perlu memasukkan persepsi pesaing dalam analisis. Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 97 menunjukkan bahwa mayoritas
pesaing 55,56 memandang bahwa keberadaan PKL tidak mengganggu mereka dalam berusaha, tetapi proporsi yang terganggu juga cukup besar yaitu
44,44 . Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan PKL di sekitar warungtoko mereka dipandang sebagai pesaing bila barang yang dijual adalah barang sejenis.
Tabel 107. Persepsi Gangguan PKL terhadap usaha Pesaing dan Pemasok
No. Gangguan Usaha
Pesaing Pemasok
Jumlah Persen
Jumlah Persen
1. Ya
4 44,44
1 16,67
2. Tidak
5 55,56
5 83,33
Total 9
100,00 6
100,00
Sumber : Data primer 2011 diolah
175
Dari sisi pemasok, mayoritas responden 83,33 menyatakan bahwa keberadaan PKL tidak mengganggu aktivitas usaha mereka. Pemasok adalah
penyedia suplai PKL sehingga PKL bukan dipandang sebagai gangguan usaha. Eksplorasi lebih lanjut terhadap pesaing yang merasa terganggu menunjukkan
bahwa mayoritas 23,08 mengalami penurunan omzet penjualan. Hal ini tekait dengan keberadaan PKL yang mengganggu parkir konsumen 15,38 dan
menyebabkan tempat usaha kurang dapat dilihat konsumen 15,38 . Tabel 108. Bentuk Gangguan usaha PKL terhadap Pesaing
No. Bentuk Gangguan usaha
Ya Persen
1. Menurunkan omzet penjualan
3 23,08
2. Menyebabkan konsumen enggan berbelanja
1 7,69
3. Mengganggu parkir konsumen
2 15,38
4. Menyebabkan tempat usaha kurang bisa dilihat konsumen
2 15,38
5. Lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi
2 15,38
6. Jalanan menjadi sesak dan macet
2 15,38
7. Merasa kurang aman
1 7,69
8. Lainnya
0,00
Jumlah jawaban 13
100,00
Sumber : Data primer 2011 diolah
Berdasarkan data Persepsi Pesaing B3 menunjukkan bahwa adanya PKL sejenis dengan usaha pesaing menyebabkan penurunan omzet penjualan pesaing
rata-rata sekitar Rp. 377.778,- per bulan. Angka ini sebaiknya diverifikasi lebih
lanjut dengan sampel pesaing lebih banyak untuk memastikan apakah keberadaan PKL menyebabkan penurunan omzet pesaing atau toko di sekitarnya.
PKL dipandang memberikan manfaat bagi pemasok. Mayoritas responden pemasok 83,33 menyatakan bahwa keberadaan PKL menambah rantai
pemasaran dan sebagian kecil 16,67 menyatakan bahwa PKL memberikan manfaat lain seperti mitra usaha dan sebagainya.
176
Tabel 109. Manfaat Keberadaan PKL bagi Pemasok
No. Manfaat Keberadaan PKL
Ya Persen
1. Menambah rantai pemasaran
5 83,33
2. Meningkatkan jumlah barang yang dipasok
diversifikasi produk 0,00
3. Lainnya
1 16,67
Total 6
100,00
Sumber : Data primer 2011 diolah
Penelitian lebih lanjut diarahkan pada manfaat aktivitas PKL bagi pesaing, pemasok, dan masyarakat umum. Hasil analisis disajikan pada Tabel 110.
Tabel 110. Manfaat Aktivitas PKL bagi Pesaing, Pemasok, dan Masyarakat Umum
No. Manfaat keberadaan PKL
Pesaing Pemasok
Masyarakat Jml
Jml Jml
1. Tidak Ada
2 11,76
0,00 2
3,39 2.
Lokasi menjadi lebih ramai
3 17,65
0,00 3
5,08 3.
Mudah mendapatkan kebutuhan
5 29,41
2 33,33
21 35,59
4. Meningkatkan
perekonomian masyarakat kecil
1 5,88
2 33,33
19 32,20
5. Mengurangi
pengangguran 6
35,29 1
16,67 13
22,03 6.
Lainnya 0,00
1 16,67
1 1,69
Total 17
100,00 6
100,00 59
100,00
Sumber : Data primer 2011 diolah
Mayoritas pesaing 35,29 menyatakan bahwa keberadaan PKL dapat menurunkan jumlah pengangguran di masyarakat. Mayoritas pemasok 33,33
dan masyarakat umum 35,59 menyatakan bahwa keberadaan PKL membuat mereka mudah mendapatkan kebutuhan. Hasil untuk masyarakat ini sejalan
dengan temuan Budi 2005 pada kajian PKL di Pemalang bahwa aktivitas PKL memiliki manfaat yang bervariasi bagi konsumennya. Intinya adalah aktivitas
PKL memberikan kemudahan karena keberadaan mereka yang cenderung dekat dengan aktivitas masyarakat. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa rata-rata
177
frekuensi berbelanja masyarakat umum ke PKL adalah 14,33 ∼15 kali dalam
sebulan. Ini menunjukkan ketergantungan masyarakat umum terhadap aktivitas PKL di sekitarnya.
Ketergantungan masyarakat terhadap aktivitas PKL terkait dengan beberapa alasan. Alasan mereka berbelanja ke PKL sangat beragam. Hasil analisis alasan
masyarakat memilih berbelanjamakan di lokasi PKL disajikan pada Tabel 111. Tabel 111. Alasan Masyarakat Berbelanja di PKL
No. Alasan Berbelanja
Ya Persen
1. Harga lebih murah dibanding yang lain
35 64,81
2. Lokasinya dekat
14 25,93
3. Suasana lebih santai
1 1,85
4. Produk dan jasa yang ditawarkan beragam
3 5,56
5. Kualitas produkjasa sesuai
1 1,85
6. Lainnya, sebutkan.............
0,00
Total 54
100,00
Sumber : Data primer 2011 diolah
Mayoritas responden 64,81 menyatakan bahwa mereka berbelanja karena harganya lebih murah dibandingkan yang lain. Alasan ini dapat dicontohkan
dalam harga kran air. Harga level PKL adalah Rp 5.000,- sampai Rp 7.500,- sedangkan harga level toko kelontong atau toko bangunan antara Rp 10.000,-
sampai Rp 15.000,-. Jika kualitas yang menjadi ukuran, barang di toko tentunya lebih bagus, namun ukuran yang digunakan masyarakat menengah ke bawah
umumnya adalah adalah harga dibandingkan kualitas. Kedekatan lokasi juga menjadi pertimbangan utama konsumen 25,93 ,
khususnya untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu seperti rokok, sabun, shampo, dan sebagainya. Sebagai contoh, ketika seseorang ingin membeli rokok maka dia
akan mencari warung terdekat yang menjual rokok yang biasanya adalah toko kelontong PKL.
Meskipun bermanfaat bagi masyarakat, keberadaan PKL sering dianggap mengganggu kepentingan umum. Untuk itu persepsi pemasok, pesaing dan
masyarakat terhadap gangguan aktivitas PKL perlu dikaji. Hasil analisis disajikan pada Tabel 112.
178
Tabel 112. Persepsi Keberadaan PKL untuk Kepentingan Umum
No. Persepsi Keberadaan
PKL untuk Kepentingan Umum
Pesaing Pemasok
Masyarakat Jml
Jml Jml
1. Tidak ada 3
18,75 0,00
6 9,09
2. Mengganggu aktivitas pejalan kaki
1 6,25
0,00 12
18,18 3. Parkir menjadi sulit
2 12,50
2 33,33
5 7,58
4. Lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi
3 18,75
2 33,33
14 21,21
5. Jalanan menjadi sesak dan macet
6 37,50
1 16,67
28 42,42
6. Merasa kurang aman 1
6,25 1
16,67 1
1,52
Total Jawaban 16
100,00 6
100,00 66
100,00
Sumber : Data primer 2011 diolah
Dari hasil analisis pada Tabel 112 terlihat bahwa persepsi pesaing dan pemasok menunjukkan hasil yang cenderung sama. Mayoritas pesaing 37,50
dan masyarakat 42,42 menyatakan bahwa PKL menyebabkan jalanan menjadi sesak dan macet. Banyak pesaing 18,75 dan masyarakat 21,21
menyatakan bahwa PKL menyebabkan lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi. Bagi pemasok, PKL menyebabkan parkir menjadi sulit 33,33 , lingkungan
menjadi kotor dan kurang rapi 33,33 . Jika hasil di atas dicermati, baik pesaing, pemasok maupun masyarakat
sedikit sekali yang menyatakan bahwa keberadaan PKL membuat mereka menjadi kurang aman masing-masing 1 . Terkait dengan hasil ini, Budi 2005
menemukan bahwa mayoritas masyarakat berpendapat PKL menyebabkan gangguan sebagai berikut : ketidaknyamanan pejalan kaki kerena sempitnya
trotoar 18 , parkir menjadi sulit 10 , lingkungan kotor 10 , jalanan yang macet 18 , merasa tidak aman 4 , dan alasan lain 6 . Yang dimaksud
dengan gangguan lain adalah gangguan secara visual karena tampilan PKL yang tidak teratur dan tidak tertib. Sebanyak 18 masyarakat menganggap bahwa
kehadiran PKL tidak memberi gangguan yang berarti. Umumnya masyarakat yang berpendapat demikian adalah masyarakat yang lokasi aktivitasnya belum dipenuhi
oleh aktivitas PKL sehingga mereka beranggapan bahwa aktivitas PKL yang ada belum terlalu mengganggu.
179
Analisis selanjutnya diarahkan pada persepsi terhadap perlunya pengaturan khusus untuk aktivitas PKL di Kota Bogor Tabel 113. Hasil analisis
menunjukkan bahwa mayoritas pesaing 88,89 , pemasok 66,67 maupun masyarakat 84,44 menyatakan bahwa keberadaan PKL perlu diatur secara
khusus. Tabel 113. Persepsi Pengaturan untuk Aktivitas PKL
No. Persepsi Penataan
PKL Pesaing
Pemasok Masyarakat
Jml Jml
Jml
1. Ya
8 88,89
4 66,67
38 84,44
2. Tidak
1 11,11
2 33,33
7 15,56
Total 9
100,00 6
100,00 45
100,00
Sumber : Data primer 2011 diolah
Beragam bentuk pengaturan bisa dilakukan seperti pengelompokan usaha, pengaturan sarana dan prasarana usaha, pengaturan waktu usaha, relokasi usaha,
registrasi usaha, dan bentuk-bentuk pengaturan lainnya. Hasil analisis persepsi pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap bentuk pengaturan disajikan pada
Tabel 114. Tabel 114. Persepsi terhadap Bentuk-Bentuk Pengaturan
No. Bentuk Pengaturan
Pesaing Pemasok
Masyarakat Jml
Jml Jml
1. Pengelompokan usaha
4 36,36
0,00 7
12,73 2.
Sarana dan prasarana usaha 5
45,45 2
50,00 28
50,91 3.
Waktu usaha 0,00
0,00 4
7,27 4.
Relokasi usaha 1
9,09 2
50,00 14
25,45 5.
Registrasi usaha 1
9,09 0,00
2 3,64
Total Jawaban 11
100,00 4
100,00 55
100,00
Sumber : Data primer 2011 diolah
Hasil analisis menunjukkan bahwa pesaing memandang perlunya pengaturan sarana dan prasarana usaha 45,45 , pengelompokan usaha 36,36 , relokasi
usaha 1 , dan registrasi usaha 1 . Bagi pemasok, bentuk pengaturan yang perlu dilakukan adalah sarana dan prasarana usaha 50,00 dan relokasi usaha
50,00 . Bagi masyarakat, hal yang paling perlu diatur adalah sarana dan
180
prasarana usaha 50,91 , relokasi usaha 25,45 , pengelompokan usaha 12,73 , waktu usaha 7,27 , dan registrasi usaha 3,64 .
Bentuk pengaturan sarana dan prasarana dapat dicontohkan di Blitar dimana pemerintah menyediakan tenda-tenda dengan warna tertentu sehingga
memberikan keunikan sendiri pada wajah kota. Tenda tersebut dapat dimiliki PKL dengan cara pembayaran angsuran yang besarannya disesuaiakan dengan
kemampuan PKL. Dalam konteks pengaturan PKL, Pemerintah Kota Bogor sering melakukan
penggusuran di lokasi-lokasi tertentu sehingga persepsi terhadap penggusuran perlu diketahui. Penggusuran pada dasarnya merupakan penerapan Perda, namun
terkadang bersifat represif sehingga menimbulkan bentrok fisik antara PKL dan petugas Satuan Polisi Pamong Praja, Polisi, Dinas Tata Kota, dan sebagainya.
Hasil analisis persepsi pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap penggusuran disajikan pada Tabel 115.
Tabel 115. Persepsi terhadap Penggusuran
No. Perlunya
Penggusuran Pesaing
Pemasok Masyarakat
Jml Jml
Jml
1. Ya
7 87,50
4 66,67
30 68,18
2. Tidak
1 12,50
2 33,33
14 31,82
Total 8
100,00 6
100,00 44
100,00
Sumber : Data primer 2011 diolah
Hasil analisis menunjukkan bahwa, baik pesaing 87,50 , pemasok 66,67 , dan masyarakat 68,18 memandang perlu dilakukan penggusuran pada
lokasi-lokasi tertentu yang peruntukannya bukan untuk PKL. Agar penggusuran tidak menimbulkan bentrok fisik yang terkadang merenggut korban jiwa,
diperlukan mekanisme yang tepat sehingga masing-masing pihak merasa tidak dirugikan. Persepsi pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap mekanisme
penggusuran yang seharusnya, disajikan pada Tabel 116.
181
Tabel 116. Mekanisme Penggusuran
No. Mekanisme
Penggusuran Pesaing
Pemasok Masyarakat
Jml Jml
Jml
1. Tanpa sosialisasi dan
tanpa kompensasi 0,00
0,00 0,00
2. Dengan sosialiasi tapi
tanpa kompensasi 2
28,57 0,00
1 20,00
3. Dengan sosialiasi, dengan
kompensasi, tanpa relokasi
0,00 0,00
2 40,00
4. Dengan sosialisasi,
dengan kompensasi dan relokasi
5 71,43
5 100,00
26 20,00
5. Lainnya
0,00 0,00
1 20,00
Total Jawaban 7
100,00 5
100,00 30
100,00
Sumber : Data primer 2011 diolah
Hasil analisis menunjukkan bahwa baik pesaing, pemasok, dan masyarakat mayoritas berpendapat bahwa sosialisasi, kompensasi, dan relokasi adalah
mekanisme penggusuran yang sesuai. Mekanisme ini pernah dilakukan dalam pengaturan PKL di Solo, Jawa Tengah dimana Pemerintah Kota melakukan
pemberitahuan sebelumnya sosialisasi, menyediakan tempat relokasi, menyediakan angkutan secara gratis ditambah modal awal untuk berusaha di
lokasi baru kompensasi. Bentuk pengaturan ini terbukti tidak menimbulkan konflik antara petugas dan PKL karena PKL secara sukarela bersedia pindah ke
lokasi baru.
BAB VI KONTRIBUSI PKL TERHADAP EKONOMI WILAYAH
Pembahasan tentang kontribusi PKL terhadap ekonomi wilayah difokuskan pada faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL di kota Bogor dan kajian
deskriptif kontribusi PKL terhadap ekonomi wilayah, baik pada level lokal, nasional, maupun global. Kajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
pendapatan PKL di kota Bogor dianalisis menggunakan analisis regresi berganda dan kajian deskriptif kontribusi PKL terhadap ekonomi wilayah dianalisis secara
empiris menggunakan literatur yang tersedia.
6.1. Kontribusi PKL terhadap Ekonomi Wilayah
Timalsina 2011 menyatakan bahwa PKL mampu memberikan peran krusial dalam menyediakan lapangan kerja dan mata pencaharian bagi penduduk miskin
urban dan pedesaan. Meski demikian perannya masih kurang banyak diakui dalam strategi pengentasan kemiskinan dan dalam program kebijakan perkotaan.
1. PKL sebagai Mata Pencaharian Urban
Mata pencaharian penduduk miskin ditentukan oleh konteks dimana mereka tinggal, kendala, dan peluang pada tempat tinggalnya. Ini karena konteks
ekonomi, lingkungan, sosial dan politis menentukan aset-aset yang dapat diakses oleh warga, bagaimana mereka dapat menggunakannya Meikle, 2002, dan
kemampuannya dalam mendapatkan matapencaharian yang aman. Penduduk desa melihat peluang baru di wilayah urban dalam konteks lapangan kerja, fasilitas
fisik, dan sebagainya. Akibatnya, pekerja pertanian pedesaan memiliki insentif kecil untuk tetap di sektor pertanian. Mereka lebih memilih bermigrasi ke kota-
kota mencari lapangan kerja non pertanian yang lebih menjanjikan. Mata pencaharian migran urban ini bervariasi menurut level pendidikan dan skill yang
dimiliki. Migran yang kompeten dan memiliki skill dapat menemukan pekerjaan formal, sementara yang kurang kompeten dan tidak ber-skill bekerja di sektor
informal. Di antara beragam aktivitas informal, PKL tumbuh cepat selama beberapa
dekade terakhir. Di kota Bogor, meski keabsahan datanya masih diragukan, dari