Modal Kerja dan Pendapatan

160 Hasil ini cukup menarik dicermati. Bank atau lembaga keuangan pemerintah belum banyak dimanfaatkan untuk mendapatkan dana pinjaman. Hasil ini mengkonfirmasi salah satu karakteristik sektor informal yang disebutkan oleh Sari 2003 yaitu kurang mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan, dan sebagainya. Mitullah 2003 dalam kajian empiris PKL di Kenya, Pantai Gading, Ghana, Zimbabwe, Uganda, dan Afrika Selatan juga menemukan bahwa PKL tidak memiliki akses terhadap pembiayaan formal, dan sebagian besar tergatung pada tabungan sendiri, pembiayaan dari teman dan kerabat. Kurangnya ketergantungan PKL terhadap sumber kredit formal tidak mencerminkan kemampuan PKL dalam melakukan pembayaran pinjaman. Untuk mengetahui kemampuan pengembalian modal pinjaman maka diajukan pertanyaan berapa lama mereka mampu melunasi pinjaman. Hasil analisis terhadap responden yang memberikan jawaban menunjukkan bahwa rata-rata mereka dapat mengembalikan pinjaman kurang dari 2 bulan. Ini menunjukkan bahwa mereka sebenarnya bankable yang berarti memiliki kemampuan dalam mengembalikan pinjaman. Kurangnya penggunaan lembaga bank karena kebanyakan bank mensyaratkan agunan, perijinan, atau kepastian usaha dimana PKL relatif tidak memilikinya. Sebab lain adalah mereka tidak mau terlibat dengan proses birokratis dalam melakukan pinjaman ke bank.

5.5.3. Modal Kerja dan Pendapatan

Analisis lebih lanjut terhadap aspek keuangan dilakukan terhadap jumlah modal kerjaoperasional dan pendapatan yang merupakan variabel ekonomi penting dalam mempengaruhi kinerja usaha PKL. Dengan sifat dari data survey, maka pengukuran modal kerja dilakukan secara harian. McGee 1975 dan McGee and Yeung 1977 mengukur modal kerja dan pendapatan usaha menggunakan nilai stok dan pendapatan harian. Nilai stok didekati dengan harga barang dipandang sebagai indikator terbaik karena umumnya mencerminkan modal kerja PKL. Dalam penelitian ini, pengukuran modal kerja dilakukan dengan menanyakan langsung pada responden dan tidak menggunakan pendekatan stok barang. Pendekatan ini dipilih karena lebih simpel tanpa harus mengestimasi stok barang. PKL juga membutuhkan modal kerja harian untuk menjalankan aktivitas 161 usahanya. Dalam analisis ini ukuran yang digunakan adalah nilai uang Rp per hari karena PKL umumnya mendasarkan perhitungan profit secara harian. Hasil analisis modal kerja harian disajikan pada Tabel 91. Tabel 91. Modal Kerja Harian No. Modal Kerja Harian Rp Ya Persen 1. Tanpa modal 4 3,33 2. ≤ 100.000 31 25,83 3. 100.000-500.000 67 55,83 4. 500.000 18 15,00 Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 diolah Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden 55,83 membutuhkan modal kerja harian antara Rp 100.000,- sampai Rp 500.000,-. Urutan berikutnya adalah kurang dari atau sama dengan Rp 100.000,- 25,83 , lebih dari Rp 500.000,- 15,00 , dan tanpa modal 3,33 . Hasil ini sejalan dengan temuan Suharto 2003 dalam kajian PKL di kota Bandung bahwa mayoritas penggunaan modal kerja harian sebesar kurang dari Rp 200.000,-. Hasil serupa juga ditemukan oleh Budi 2005 dimana mayoritas PKL menggunakan modal kurang dari Rp 500.000,-. Hasil analisis mengindikasikan bahwa usaha PKL membutuhkan modal kerja yang relatif tidak terlalu besar. Hasil ini mengkonfirmasi salah satu karakteristik PKL yaitu tidak membutuhkan modal kerja yang besar sehingga sektor ini dapat dengan mudah dimasuki oleh masyarakat umum. Untuk tujuan pragmatis, pendapatan kotor omzet dapat digunakan untuk mengidentifikasi pendapatan dari usaha PKL. Pendapatan kotor pendapatan kotor harian sebelum dikurangi total biaya operasional perdagangan sehari-hari diperoleh dengan bertanya langsung kepada responden. Untuk menghindari respon jawaban yang terlalu rendah, maka dapat dilakukan pengecekan jumlah stok atau display di lapak PKL. Karena sifat fluktuatif usaha PKL, maka jumlah penjualan untuk tiga tipologi PKL dibagi ke dalam tiga kelas yaitu minimum, rata-rata dan maksimum. Hasil analisis data menunjukkan bahwa tanpa membedakan tipologinya, 162 jumlah penjualanpendapatan minimum adalah Rp 299.917,-hari, jumlah penjualanpendapatan rata-rata adalah Rp 431.833,-hari, dan jumlah penjualanpendapatan maksimum Rp 641.849,-hari. Angka ini diperoleh dengan merata-ratakan penjualan atau pendapatan untuk semua responden. Tabel 92. Omzet Kotor Harian PKL menurut Tipologi . No Tipologi Pendapatan Harian Rp Minimum Rata-rata Maksimum 1 Pasar tumpah 473.750 673.750 980.000 2 Pasar sayur malam 203.625 305.000 448.625 3 Pasar kuliner 222.375 316.750 505.375 Sumber : Data primer 2011 diolah Jika dilihat dari tipologinya, pendapatan harian rata-rata tipologi pasar tumpah Rp 673.750,- lebih tinggi dibandingkan pasar sayur malam Rp 305.000,- dan pasar kuliner Rp 316.750,-. Dilihat dari gap antara pendapatan minimum, rata-rata, dan maksimum, nampak bahwa pasar tumpah lebih fluktuatif. Ini disebabkan karena pendapatan pada pasar tumpah sangat tergantung dari jumlah pengunjung. Jumlah pengunjung akan banyak pada hari-hari libur dan biasanya sepi pada hari biasa. Manajemen keuangan sangat penting bagi seorang pelaku usaha sehingga analisis berikutnya diarahkan pada jenis pembukuan yang dilakukan responden. Tabel 93. Jenis Pembukuan Pelaku PKL No. Jenis Pembukuan Ya Persen 1. Tidak ada pembukuan 109 90,83 2. Pembukuan untuk kepentingan pribadi 8 6,67 3. Pembukuan sederhana untuk pajak 1 0,83 4. Pembukuan format yang rinci 1 0,83 5. Lainnya 1 0,83 Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 diolah Hasil analisis pada Tabel 93 menunjukkan bahwa mayoritas responden tidak memiliki pembukuan 90,83 dan sebagian kecil memiliki pembukuan untuk kepentingan pribadi 6,67 . Hanya satu responden yang menyatakan memiliki 163 pembukuan sederhana untuk pajak dan satu responden memiliki pembukuan format rinci. Responden yang memiliki tipe pembukuan format rinci adalah PKL waralaba yang memiliki format pembukuan dari pewaralabanya Hasil analisis pada Tabel 93 memiliki implikasi dari sisi pemberdayaan PKL, yaitu perlunya pelatihan pembukuan sederhana bagi pelaku PKL oleh dinas-dinas yang relevan. Pelatihan ini penting agar pelaku PKL dapat membedakan atau memilah pos-pos keuangan mereka dalam sistem akuntansi. Mereka seharusnya faham apa yang termasuk dalam komponen pendapatan, komponen pengeluaran, komponen hutang, piutang usaha, dan sebagainya. Yang sering terjadi mereka mencampur-adukkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha sehingga keuntungan yang didapat terkadang merupakan keuntungan semu.

5.5.4. Sewa Lapak

Dokumen yang terkait

Kajian Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Tasikmalaya Secara Partisipatif

7 70 295

Karakteristik dan permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) serta strategi penataan dan pemberdayaannya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi wilayah di kota Bogor

1 43 649

Strategi Penataan Pedagang Kaki Lima di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor

1 15 207

Kajian Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Tasikmalaya Secara Partisipatif

0 29 145

POLA PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KOTA SURAKARTA BERDASAR PADUAN KEPENTINGAN PKL, WARGA MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH KOTA

1 3 10

STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN MANUSIAWI DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN MANUSIAWI DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (Studi Kasus Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta tentang Penataan Pedagang Kaki Lima di Kawasan Pasarkl

0 1 16

PENDAHULUAN STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN MANUSIAWI DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (Studi Kasus Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta tentang Penataan Pedagang Kaki Lima di Kawasan Pasarkliwon).

0 1 8

STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN MANUSIAWI DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN MANUSIAWI DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (Studi Kasus Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta tentang Penataan Pedagang Kaki Lima di Kawasan Pasarkl

0 2 17

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DALAM PROGRAM RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN TAMAN PINANG.

3 35 100

DAMPAK SOSIAL EKONOMI PENATAAN LINGKUNGAN BAGI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

0 0 9