227
Alternatif Strategi Nilai
Prioritas
• Konsolidasi Program pemodalan dan perkreditan S1, 2, 3, 7 : O2, 3,6
0,07 10
• Pengendalian dan pengawasan berkesinambungan dan terpadu W1, 2, 8,9 : O1,2,3,4
-0,44 11
• Pelatihan-pelatihan ekonomi, hukum, kesejahteraan sosial dan lain- lain
S1,2,3,5,6,7 : T1,2,3,4,6 -0,53
12 • Penguatan kelembagaan PKL
S1,2, 5 : T6, 7, 8,9 -0,44
13 • Penguatan sektor riil
W5,7 : T1, 2,7 -0,16
14
Agar upaya penataan dan pemberdayaan PKL di kota Bogor lebih terfokus maka strategi yang telah disusun menggunakan matrik SWOT dibagi menjadi
strategi prioritas dan strategi alternatif. Sebanyak 7 strategi dengan nilai tertinggi ditetapkan sebagai strategi prioritas dan sebanyak 7 strategi ditetapkan sebagai
strategi alternatif
8.2.1 Strategi Prioritas
Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu memperoleh strategi penataan dan pemberdayaan PKL di Kota Bogor sehingga peneliti membatasi pembahasan
hanya sampai pada strategi. Peneliti tidak membahas mendalam sampai dengan tehnis pelaksanaan., karena untuk keperluan tersebut penulis menganggap masih
perlu adanyaa penelitian lanjutan. Untuk menentukan strategi prioritas ini peneliti mendasarkan kepada hasil analisis
ASWOT yang pembobotan untuk masing-masing strategi tidak dilakukan secara kualitatip oleh peneliti tetapi atas dasar pilihan para responden dengan
menggunakan metode perbandingan berpasangan yang selanjutnya diolah dengan menggunaakaan matrix QSPM..
Hasil pembobotan menggunakan matrik QSPM menunjukkan bahwa terdapat tujuh strategi yang dapat dijadikan strategi prioritas dalam pengelolaan dan
pemberdayaan PKL yaitu : Registrasi dan pembuatan database PKL, Pemberdayaan ekonomi pelaku PKL, Menyatukan persepsi dalam pengelolaan
PKL, Penundaan penggusuran dialog dengan pemda, Pembatasan jumlah
228 pedagang dalam satu lokasi, Mensyaratkan setiap pengelola
gedungpabrikkompleks perumahan untuk menyediakan lokasi tertentu bagi PKL, dan Penataan lokasi PKL.
Mengingat bahwa masing-masing strategi ini merupakan seperangkat formulasi yang komprehensif, sehingga dalam implementasinya strategi-strategi
ini tidak dilakukan satu persatu atau tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus bersamaan agar dapat memperoleh hasil yang optimal.
Untuk lebih jelasnya di bawah ini diuraikan masing-masing strategi tersebut
Strategi registrasi dan pembuatan database PKL.
Strategi ini layak mendapatkan prioritas utama karena registrasi dan database yang ada saat ini belum seperti yang diharapkan. Keputusan Walikota Bogor No.
511.23.45.23 tahun 2007 tentang penunjukan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor untuk menandatangani penggunaan ijin lokasi
pembinaan dan penataan usaha PKL. Disperindag mencatat hanya sebanyak 267 PKL yang teregistrasi sampai 29 Juli 2008, sementara database PKL yang ada di
Disperindag adalah data tahun 2005 yang tentunya telah mengalami perubahan signifikan. Database tersebut masih berbentuk hardcopy dan belum dibuatkan
softcopy -nya. Untuk dapat menata dan memberdayakan PKL diperlukan data
dasar yang valid yang merupakan hasil survei komprehensif dan selalu di-update setiap tahun.
Strategi ini dapat dilakukan dengan beberapa program sebagai berikut : 1. Sosialisasi syarat-syarat registrasi sesuai Perda No. 13 Tahun 2005.
2. Melakukan sistem jemput bola dengan mendatangi PKL untuk melakukan registrasi agar mendapatkan ijin sebagai PKL sambil melakukan survei PKL
secara komprehensif. 3. PKL yang sudah diregistrasi diwajibkan memasang foto dan Surat Ijin Usaha
di tempat usahanya. Bila tidak, maka dianggap sebagai PKL ilegal. 4. Membuat hardcopy dan softcopy hasil survei PKL. Untuk selanjutnya
dilakukan update per tahun untuk mendapatkan data yang valid mengenai jumlah PKL, khususnya PKL yang masuk dan keluar.
5. Registrasi PKL juga perlu memasukkan mereka sebagai wajib pajak melalui pembuatan NPWP.
229 Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah didapatkan data PKL yang up
to date sehingga pergerakan PKL selalu dapat diamati dan dikontrol. Dengan
memasukkan mereka sebagai wajib pajak, PKL akan mampu memberikan kontribusi positif bagi pembangunan kota Bogor. Dari sisi kebijakan, Henley et
al, 2009 menyarankan pengambil kebijakan harus jelas mengenai sub-group
dalam sektor informal untuk mendesain kebijakan yang tepat.
Strategi pemberdayaan ekonomi pelaku PKL.
Dengan adanya database PKL maka dapat disusun strategi pemberdayaan ekonomi PKL, dengan memberikan pelatihan-pelatihan kepada pelaku PKL
terkait masalah usaha seperti pelatihan pembukuan, manajemen, pasar, dan investasi. Tabel 82 menunjukkan bahwa PKL lemah dalam hal pembukuan
sehingga diperlukan pelatihan pembukuan agar akuntansi keuangan usahanya lebih baik. Mitullah 2002 menemukan bahwa PKL menghadapi masalah pasar
dan investasi sehingga diperlukan pelatihan pemasaran dan investasi. Akharuzama 2010 menemukan bahwa PKL menjalankan usaha secara temporer
tanpa sistem manajemen berkelanjutan sehingga diperlukan pelatihan manajemen usaha. Walsh 2010 menemukan bahwa mayoritas PKL lemah dalam konsep
marketing atau nilai tambah produk sehingga diperlukan pelatihan pemasaran dan
nilai tambah produk. Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah pelaku PKL yang sudah
teregistrasi semakin kuat dari sisi kewirausahaan sehingga mereka mampu menjalankan usahanya secara lebih efektif dan efisien. Melalui pemberdayaan
ekonomi, ada harapan bahwa dengan berkembangnya usaha, pelaku PKL akan bertransformasi dari informal menjadi formal, misalnya mereka mampu menyewa
kios resmi di dinas-dinas pasar. Gonec and Tanrivermis 2007 menemukan bahwa transformasi struktur informal menjadi formal dapat dilakukan dengan
memfasilitasi integrasi usaha dengan pasar.
Menyatukan persepsi dalam pengelolaan PKL.
Prioritas strategi berikutnya adalah menyatukan persepsi dalam pengelolaan PKL. Strategi ini menjadi prioritas mengingat banyaknya stakeholder yang
berhubungan langsung dengan penataan dan pemberdayaan PKL. Para stakeholder
harus duduk bersama dengan pelaku PKL atau wakilnya sehingga
230 ditemukan kesamaan persepsi dalam mengelola PKL. Nitisudarmo 2009
menyarankan perlunya kerjasama antar stakeholder termasuk Pemkot, LSM, universitas, komunitas PKL dan pemimpin lokal. Akintoye 2008 menyarankan
bahwa pemerintah dan semua stakeholder yang relevan harus berusaha menurunkan pengangguran dengan memberikan dukungan keberadaan sektor
informal. Dalam penyatuan persepsi terhadap penataan dan pemberdayaan PKL, perlu
dipikirkan langkah yang lebih berani. Pemerintah kota Bogor perlu merestrukturisasi lembagadinas yang selama ini mengkoordinasikan pengelolaan
PKL. Penataan kelembagaan dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: 1 menyederhanakan dan mengkonsolidasikan badan atau institusi yang mengurusi
kegiatan fasilitasi PKL, 2 membentuk komite yang berfungsi sebagai think tank untuk tugas-tugas policy formulation, yang wewenang keputusan akhimya berada
di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan 3 merevisi peraturan daerah PKL yang benar-benar serius menangani sektor informal di level lokal.
Strategi ini diharapkan menghasilkan upaya yang lebih fokus dalam penataan dan pemberdayaan PKL, menghindari pemborosan dana dan duplikasi program.
Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi lebih difungsikan sebagai pelaksana kebijakan bukan sekedar koordinasi dengan fokus pada penataan dan
pemberdayaan PKL.
Penundaan penggusuran dialog dengan Pemda.
Strategi ini perlu dilakukan karena pemerintah belum mampu menurunkan angka pengangguran dan menciptakan lapangan kerja yang mencukupi.
Akaruzama 2009 menyatakan bahwa penggusuran dan kekerasan dalam pengelolaan PKL. tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan menciptakan
pengangguran-pengangguran baru karena hilangnya pekerjaan di sektor formal. Greenidge et al, 2009 menyarankan untuk tidak menghilangkan sektor informal
melalui penggusuran atau penertiban, tetapi perlahan-lahan memformalkannya. Rahmawati 2007 menemukan bahwa PKL kembali ke lokasi yang sama
beberapa saat setelah penggusuran dan penertiban. Ini menunjukkan bahwa penggusuran hanya efektif sementara waktu, namun tidak efektif jika digunakan
sebagai program jangka panjang. Hasil ini sesuai dengan Takim 2011 yang
231 menemukan bahwa kebijakan jangka pendek bukanlah penyelesaian permanen
untuk ekonomi informal. Semua hasil penelitian tersebut menjustifikasi perlunya penundaan penggusuran dan dialog antara Pemerintah Kota dan PKL.
Melalui dialog diharapkan tercipta penyelesaian yang memberikan manfaat bagi semua pihakyang berkepentingan. Penyelesaian ini akan dapat
mengakomodasi kepentingan Pemerintah Kota Bogor dan kepentingan PKL. Konsensus yang dicapai harus dihormati bersama dan secara konsekuen
dijalankan sehingga tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirugikan. Patut kiranya keberhasilan Pemda Solo dalam merelokasi PKl dijadikan pembelajaran,
dimana sebelumnya Walikota Solo telah melakukan puluhan kali dialog dengan PKL kota Solo. Pelaksaanaan dialog inipun diperlukan sejak sebelum pendataan
dilakukan agar dapat dicegah kemungkinan salah pengertian dari PKl dan fihak- fihak terkait yang dapat merugikan semua fihak.
Pembatasan jumlah pedagang dalam satu lokasi.
PKL merupakan aktivitas yang dapat mengurangi pengangguran dan terbatasnya lapangan kerja di sektor formal. Akan tetapi jika pertumbuhannya
melebihi daya tampung kota, akan berdampak buruk juga bagi perkembangan perkotaan. Schneider 2002 menemukan bahwa besaran ekonomi informal di
sebagian besar negara transisi dan OECD cenderung meningkat selama dekade terakhir. Greenidge et al, 2009 menemukan bahwa sektor informal cukup besar
dan tumbuh sepertiga dari besaran ekonomi formal. Pertumbuhan sektor informal, khususnya PKL, perlu dicermati dan dikontrol.
Kontrol dilakukan terkait dengan beberapa hasil penelitian. Widodo 2006 menemukan bahwa kontribusi positif sektor informal mempunyai batas tertentu.
Jika batas itu sudah terlewati maka kontribusinya akan menurun. Nitisudarmo 2009 menyimpulkan bahwa penempatan PKL di pedestrian tidak sesuai dengan
konsep place for people dan PKL yang beroperasi di ruang publik tidak mendukung dan memotivasi pembangunan landskap urban yang berimbang dalam
hal elemen alami lingkungan urban. Takim 2011 menyatakan bahwa untuk mengontrol ekonomi informal, terlebih dahulu harus dibangun kebijakan yang
mengarah kepada penurunan volume ekonomi informal sampai pada level minimum yang dapat diterima.
232 Strategi pembatasan jumlah PKL dalam satu lokasi dapat dikaitkan dengan
strategi prioritas pertama yaitu registrasi dan pembuatan database PKL. Tersedianya database PKL pada lokasi tertentu membuat jumlah PKL dapat
dikelola dan dipantau. Selain itu, perlu dilakukan kajian tentang daya tampung suatu lokasi sehingga jumlah PKL tidak melebihi ambang batas yang berdampak
negatif bagi perkembangan perkotaan. Registrasi tidak akan dikeluarkan lagi jika jumlah PKL sudah melebihi ambang batas yang ditetapkan.
Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah pemerintah kota akan mendapatkan kontribusi positif dari keberadaan PKL, untuk Pendapatan Asli
Daerah. Di sisi lain, dampak negatif seperti kemacetan, kekumuhan, dan kesremawutan dapat dihindari. PKL akan lebih nyaman berusaha, kompetisi
berlebihan tidak terjadi, dan tingkat profit dapat terjaga.
Mensyaratkan setiap pengelola gedungpabrikkompleks perumahan untuk menyediakan lokasi tertentu bagi PKL.
Harus ada keberanian Pemkot untuk mensyaratkan setiap pengelola gedungruko memberikan ruang bagi PKL. Alternatif strategi ini akan
memberikan tiga keuntungan, yaitu: PKL tetap dapat menjalankan usaha, ruang publik yang digunakan PKL akan berkurang, dan masalah utama kemacetan
dapat diturunkan. Strategi ini diperlukan bukan saja untuk menampung konsumen dari luar,
tetapi terutama adalah untuk menampung kebutuhan atau permintaan dari pegawai atau penduduk dari lokasi itu sendiri. Sebagai contoh di depan garment di jalan
Sudirman yang menjadi macet pada saat-saat waktu istirahat dan waktu pulang pegawainya. Demikian pula disekitar lokasi Botanic Square di Baranang Siang
tumbuh PKL kuliner yang kebanyakan adalah menampung permintaan dari karyawan pertokoan serta hotel di Botanic Square sendiri, hal ini dikarenakan
tidak mungkin para karyawan tersebut setiap makan atau berbelanja di restauran atau di toko yang ada di Botanic Square sendiri. Dengan demikian terjadi
simbiosis mutualistis antara sektor informal PKL dengan sektor formal. Patut dicontoh penampungan pedagang kecil yang ada di dalam kampus IPB
Dramaga dan Universitas Ibn Khaldun Bogor.
233
Penataan lokasi PKL.
Strategi ini dicapai dengan penetapan kawasan-kawasan khusus yang diperbolehkan untuk aktivitas PKL. Berdasarkan Keputusan Walikota Bogor No.
511.23.45.146 Tahun 2008 tanggal 19 Mei 2008 telah ditetapkan daftar lokasi pembinaan dan penataan usaha PKL, namun belum mencantumkan jumlah PKL
maksimal yang diperbolehkan di kawasan tersebut. Konsistensi pelaksanaan strategi ini sangat diperlukan sehingga ada kepastian bahwa apa yang sudah
diputuskan benar-benar dijalankan. Lokasi sebagaimana dimaksud dalam keputusan Walikota Bogor di atas,
masih menceminkan lokasi yang umum terjadi untuk sebuah lokasi PKL, yaitu kumuh, kotor becek dan semrawut. Dengan demikian penetapan lokasi tersebut
perlu ditindak lanjuti dengan penataan ruang dan infrastrukturnya. Disamping itu perlu di bentuk suatu entitas sendiri yang dapat mengelola masing-masing lokasi
tersebut dan dapat mereduksi penambahan PKL yang terus menerus Over capacity. Hal sama untuk lokasi-lokasi yang tidak termasuk dalam Keputusan
Walikota di atas, namun di bawah kapasitas, dan masih bisa ditolerir keberadaan PKL perlu dilakukan penataan ruang dan infrastrukturnya.
Sedangkan untuk lokasi yang sudah tidak bisa ditolelir lagi maka tidak ada jalan lain harus di relokasi , apakah ketempat yang sudah ada atau ke tempat yang
baru. Strategi ini akan terlaksana dengan baik apabila pemda sudah punya data PKL serta melakukan dialog yang intensif.
8.2.2 Alternatif Strategi Lainnya