Strategi Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi

54 bukan lagi merupakan produk sekunder tetapi sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat. Agar kompetitif, produk ini harus dikembangkan sesuai dengan keinginan pasar, baik dalam hal kualitas, harga, dan modelnya. Faktor sumber daya manusia terkait dengan ketersediaan tenaga kerja di sekitar lokasi home industry . Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia akan mempengaruhi industri kecil dalam melakukan inovasi dan melakukan diversifikasi produk. Faktor akses teknologi terkait dengan lokasi usaha, dalam hal ini kedekatan lokasi usaha dengan sumber-sumber pengetahuan seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan universitas-universitas di wilayah tersebut. Faktor permodalan terkait dengan akses terhadap sumber-sumber finansial seperti bank dan lembaga keuangan lainnya yang dapat digunakan sebagai kekuatan industri kecil untuk memantapkan struktur permodalannya.

2.8. Strategi Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi

Terdapat beberapa strategi pertumbuhan dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi, yaitu : 1 strategi usaha minimum kritis, 2 strategi pembangunan seimbang, dan 3 strategi pembangunan tidak seimbang.

1. Strategi Upaya Minimum Kritis

Strategi upaya minimum kritis ini dikemukakan oleh Harvey Leibenstein yang menyatakan bahwa sebagian besar negara berkembang dicekam oleh lingkaran setan kemiskinan yang membuat mereka tetap berada pada tingkat keseimbangan pendapatan per kapita yang rendah. Jalan keluar dari kebuntuan ini adalah dengan melakukan suatu upaya minimum kritis critical minimum effort tertentu yang akan menaikkan pendapatan per kapita pada tingkat di mana pembangunan yang berkesinambungan sustainable dapat terjadi. Leibenstein mengatakan bahwa dalam tahap transisi dari keadaan keterbelakangan ke keadaan yang lebih maju, dengan pertumbuhan jangka panjang mantap, diperlukan suatu kondisi di mana suatu perekonmian harus mendapatkan rangsangan pertumbuhan yang lebih besar di atas batas minimum kritis tertentu. Menurut strategi ini, setiap ekonomi tunduk pada hambatan dan rangsangan . Hambatan berdampak menurunkan pendapatan per kapita dari tingkat sebelumnya, sedangkan rangsangan cenderung akan meningkatkan pendapatan per kapita. Suatu negara menjadi terbelakang jika besarnya rangsangan terlalu 55 kecil dibandingkan besarnya hambatan yang dihadapi. Jika faktor-faktor yang dapat meningkatkan pendapatan itu mendapat rangsangan yang lebih daripada faktor-faktor yang dapat menurunkan pendapatan, maka strategi minimum kritis dapat  Rangsangan zero-sum yang tidak meningkatkan pendapatan nasional tetapi hanya bersifat upaya distributif . tercapai dan suatu perekonomian akan bisa berkembang. Strategi Leibenstein didasarkan pada bukti empiris bahwa laju pertumbuhan penduduk merupakan fungsi dari laju pendapatan per kapita. Laju pertumbuhan penduduk berkaitan erat dengan berbagai tahap pembangunan ekonomi. Mula- mula, pada tingkat keseimbangan sub sisten, laju pendapatan, kesuburan dan kematian sesuai dengan tingkat kelangsungan hidup penduduk. Jika pendapatan per kapita naik di atas posisi keseimbangan tersebut maka tingkat kematian mortalitas akan turun, tetapi tanpa dibarengi penurunan tingkat kesuburan. Akibatnya pertumbuhan penduduk meningkat. Jadi, kenaikan pendapatan per kapita cenderung menaikkan laju pertumbuhan penduduk, tetapi kecenderungan ini hanya sampai titik tertentu. Melampaui titik tersebut, kenaikan pendapatan per kapita akan menurunkan tingkat kesuburan dan ketika pembangunan sudah mencapai tahap maju maka laju pertumbuhan penduduk akan menurun. Di samping pertumbuhan penduduk, terdapat beberapa faktor lain yang memerlukan pelaksanaan upaya minimum kritis. Faktor tersebut adalah skala disekonomis internal akibat tak dapat dibaginya produksi, disekonomi eksternal akibat adanya ketergantungan eksternal, hambatan budaya-kelembagaan yang ada di negara-negara berkembang. Menurut Leibenstein, apakah agen pertumbuhan itu berkembang atau tidak, akan tergantung pada besarnya rangsangan pertumbuhan. Rangsangan tersebut terdiri dari 2 macam yaitu :  Rangsangan positive sum yang menuju pada pengembangan pendapatan nasional. Hanya tipe kegiatan positive-sum yang akan menghasilkan pembangunan ekonomi. Kompleknya kondisi yang dihadapi negara berkembang membuat para pengusahanya terlibat pada kegiatan-kegiatan zero-sum. Kegiatan zero-sum tersebut mencakup : 56  Kegiatan bukan dagang non trade untuk menjamin posisi monopolistik yang lebih besar, kekuatan politik, dan prestise sosial.  Kegiatan dagang yang membawa ke posisi monopolist yang lebih besar yang tidak menambah sumber-sumber agregat.  Kegiatan spekulatif yang tidak memanfaatkan tabungan tetapi memboroskan sumber kewiraswastaan yang langka,  Kegiatan yang memang-memakai tabungan netto, tetapi investasi yang dilakukannya mencakup bidang-bidang usaha yang nilai sosialnya nihil atau lebih rendah daripada nilai privatnya. . Kegiatan zero-sum bukanlah kegiatan yang secara riil dapat menciptakan pendapatan riil tetapi sekedar pemindahan likuiditas dari pemilik yang satu ke pemilik lainnya. Untuk mengatasi pengaruh yang membuat perekonomian berada dalam keadaan keterbelakangan maka diperlukan suatu upaya minimum kritis yang cukup besar guna menopang laju pertumbuhan ekonomi yang cepat yang akan menggairahkan rangsangan positive-sum dan menciptakan kekuatan untuk menandingi kegiatan zero-sum. Sebagai hasil dari upaya minimum kritis itu pendapatan per kapita akan naik dan cenderung menaikkan tingkat tabungan dan investasi, yang pada gilirannya, akan membawa kepada:  Ekspansi agen pertumbuhan.  Meningkatnya sumbangan mereka per unit modal, begitu rasio modal output turun.  Berkurangnya keefektifan faktor-faktor yang merintangi pertumbuhan.  Penciptaan kondisi lingkungan dan sosial yang meningkatkan mobilitas ekonomi dan sosial.  Peningkatan spesialisasi dan perkembangan sektor sekunder dan tersier.  Terciptanya iklim yang cocok bagi perubahan yang lebih mendatangkan perubahan ekonomi dan sosial, khususnya lingkungan yang pada akhirnya menyebabkan menurunnya kesuburan dan laju pertumbuhan penduduk. Teori Leibenstein lebih realistis daripada teori dorongan besar-besaran big push theory dari Rosenstein - Rodan yang menjalankan strategi pertumbuhan dengan memberikan dorongan kuat kepada program industrialisasi secara 57 mendadak pada negara berkembang. Upaya minimum kritis dapat dijadwalkan secara tepat dan dapat dipecah-pecah ke dalam rangkaian upaya yang lebih kecil guna meletakkan ekonomi pada jalur pembangunan yang berkesinambungan. Teori ini juga sesuai dengan gagasan perencanaan demokratis yang dianut oleh sebagian besar negara berkembang. Namun demikian, strategi tersebut mengandung beberapa kelemahan yaitu: a. Laju pertumbuhan penduduk berkaitan dengan tingkat kematian. b. Penurunan tingkat kelahiran bukan dikarenakan kenaikan pendapatan per kapita. c. Mengabaikan usaha pemerintah untuk menurunkan tingkat kelahiran. d. Tingkat pertumbuhan lebih tinggi dari 3 tidak menyebabkan lepas landas. e. Mengabaikan unsur waktu. f. Hubungan kompleks antara pendapatan per kapita dan faju pertumbuhan. g. Dapat diterapkan pada ekonomi tertutup.

2. Strategi Pertumbuhan Seimbang

Strategi pertumbuhan seimbang bisa diartikan sebagai pembangunan berbagai jenis industri secara berbarengan simultaneous sehingga industri tersebut saling menciptakan pasar bagi yang lain. Selain itu, strategi pembangunan seimbang dapat juga diartikan sebagai keseimbangan pembangunan di berbagai sektor, misalnya antara sektor industri dan sektor pertanian, sektor luar negeri dan sektor domestik, antara sektor produktif dan sektor prasarana. Singkatnya, strategi pembangunan seimbang mengharuskan adanya pembangunan yang serentak dan harmonis di berbagai sektor ekonomi sehingga semua sektor tumbuh bersama. Dalam menjalankan strategi ini, diperlukan keseimbangan antara sisi permintaan dan sisi penawaran. Sisi penawaran memberikan tekanan pada pembangunan serentak dari semua sektor yang saling berkaitan dan berfungsi meningkatkan penawaran barang. Ini meliputi pembangunan serentak dan harmonis dari barang setengah jadi, bahan baku, sumber daya energi, pertanian, pengairan, transportasi, dan lain-lain serta semua industri yang memproduksi barang konsumen. Sebaliknya, sisi permintaan berhubungan dengan penyediaan kesempatan kerja yang lebih besar dan penambahan pendapatan agar permintaan barang dan jasa dapat tumbuh. Sisi berkaitan dengan industri yang sifatnya saling 58 melengkapi, industri barang konsumen, khususnya industri produk pertanian dan industri manufaktur. Jika semua industri dibangun secara serentak maka jumlah tenaga kerja yang terserap akan sangat besar. Dengan cara ini akan tercipta permintaan barang-barang dari masing-masing industri, dan semua barang akan habis terjual. Pembangunan seimbang dilaksanakan dengan maksud untuk menjaga agar proses pembangunan tidak menghadapi hambatan-hambatan dalam :  Memperoleh bahan baku, tenaga ahli, sumber daya energi air dan listrik, dan fasilitas-fasilitas untuk mengangkut hasil-hasil produksi ke pasar.  Memperoleh pasar untuk barang-barang yang telah dan yang akan diproduksi. Dengan demikian pembangunan seimbang dapat didefinisikan sebagai usaha pembangunan yang berupaya untuk mengatur program investasi sedemikian rupa sehingga sepanjang proses pembangunan tidak akan timbul hambatan- hambatanyang bersumber dari penawaran maupun permintaan. Istilah pembangunan seimbang diciptakan oleh Nurkse 1953. Namun demikian, teori ini pertama kali dikemukakan oleh Paul Rosenstein-Rodan 1953, dengan nama the big push theory yang menulis gagasan untuk menciptakan program pembangunan di Eropa Timur dan Eropa Tenggara dengan melakukan industrialisasi secara besar-besaran. Kedua orang ini beranggapan bahwa melakukan industrialisasi di daerah yang kurang berkembang merupakan cara yang tepat untuk menciptakan pembagian pendapatan .yang lebih merata di dunia dan untuk meningkatkan pendapatan di daerah semacam itu agar lebih cepat daripada di daerah yang lebih kaya. Dalam upaya untuk melaksanakan program tersebut berbagai industri haruslah dibangun secara berbarengan. Tujuan utama dari strategi ini adalah untuk menciptakan berbagai jenis industri yang berkaitan erat satu sama lain sehingga setiap industri akan memperoleh eksternalitas ekonomi dari industrialisasi tersebut. Scitovsky mendefinisikan eksternalitas ekonomi sebagai jasa-jasa yang diperoleh dengan cuma-cuma oleh suatu industri dari satu atau beberapa industri lainnya . Dengan demikian jika sebuah perusahaan memperoleh eksternalitas ekonomi, maka biaya produksinya dapat dikurangi dan perusahaan tersebut dapat melaksanakan kegiatannya dengan lebih efisien. 59 Menurut Rosenstein-Rodan 1953, pembangunan industri secara besar- besaran akan menciptakan 3 macam eksternalitas ekonomi yaitu:  Yang diakibatkan oleh perluasan pasar.  Karena industri yang sama letaknya berdekatan.  Karena adanya industri lain dalam perekonomian tersebut. Menurut Rosenstein-Rodan, eksternalitas yang pertama yang paling penting. Strategi pembangunan seimbang banyak mendapatkan kritikan dari para ahli. Singer dalam Arsyad 1999 mengkritisi pandangan yang menekankan tentang perlunya menciptakan pembangunan yang berbarengan pada berbagai industri. Pandangan tersebut melupakan sektor pertanian sehingga sektor pertanian akan menghadapi kesukaran untuk memenuhi pertambahan permintaan bahan pangan dan bahan baku pertanian yang akan digunakan sektor industri. Jadi, strategi pembangunan seimbang harus diperluas hingga meliputi usaha pembangunan secara besar-besaran di sektor pertanian. Dengan demikian kenaikan produktivitas dan produksi sektor pertanian akan dapat memenuhi kenaikan permintaan sektor industri. Di sisi lain, negara berkembang kurang memiliki kemampuan dalam menyediakan sumber daya untuk pembangunan besar-besaran tersebut. Strategi pembangunan seimbang tidak menyadari masalah utama yang dihadapi negara berkembang yaitu kekurangan sumber daya. Pendapat Hirschman tentang pembangunan seimbang pada hakekatnya hampir sama dengan Singer. Menurut Hirschman 1958 dalam Arsyad 1999, strategi pembangunan seimbang melupakan kenyataan historis yang menunjukkan bahwa secara gradual bertahap kegiatan industri modern telah mulai berkembang pada masa lalu, dan telah sanggup menggantikan beberapa industri rumah tangga maupun menghasilkan barang-barang yang pada mulanya diimpor. Strategi itu juga telah mengabaikan kenyataan sejarah yang menunjukkan bahwa hasil-hasil industri modern telah mengakibatkan kenaikan pengeluaran masyarakat sehingga mengurangi tabungan mereka serta mendorong mereka untuk bekerja lebih giat. Menurut Hirschman, hambatan-hambatan terhadap pembangunan terutama industrialisasi tidaklah serius seperti yang sering 60 dikemukakan orang, termasuk orang yang mencetuskan pandangan tentang perlunya pembangunan seimbang. Hirschman juga mengatakan ketidak-yakinannya apakah negara berkembang sanggup melaksanakan program pembangunan seimbang tanpa adanya bantuan dari luar, karena pelaksanaan pembangunan tersebut memerlukan tenaga-tenaga ahli dalam jumlah besar, yang notabene sangat terbatas jumlahnya di negara berkembang. Selain itu, Hirschman juga menyatakan bahwa pembangunan seimbang dapat menciptakan efisiensi dan keuntungan yang lebih tinggi kepada masing-masing industri tetapi juga dapat menimbulkan eksternalitas dis- ekonomis. Misalnya, pembangunan seimbang akan mengajarkan cara-cara bekerja pada masyarakat. Kerugiannya adalah keahlian tradisional tidak berguna lagi, corak kegiatan perdagangan yang lama hancur, dan pengangguran tercipta. Kalau keadaan demikian terjadi maka akan menimbulkan berbagai jenis |biaya sosial social cost bagi masyarakat.

3. Strategi Pembangunan Tak Seimbang

Pembangunan tak seimbang merupakan keadaan yang berlawanan dengan keadaan pada pembangunan seimbang. Istilah ini digunakan untuk menyatakan bahwa program pembangunan disusun sedemikian rupa sehingga dalam perekonomian tersebut akan timbul kelebihan dan kekurangan dalam berbagai sektor sehingga menimbulkan distorsi-distorsi ketidakstabilan dalam perekonomian. Strategi pembangunan tak seimbang dikemukakan oleh Albert Hirschman dan Paul Streeten. Pembangunan tak seimbang adalah pola pembangunan yang lebih cocok untuk mempercepat proses pembangunan di negara berkembang. Strategi pertumbuhan tak seimbang dikemukakan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :  Secara historis pembangunan ekonomi yang terjadi coraknya tidak seimbang.  Untuk memnpertinggi efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia.  Pembangunan tak seimbang akan menimbulkan kemacetan bottlenecks atau gangguan-gangguan dalam proses pembangunan tetapi akan menjadi pendorong bagi pembangunan selanjutnya. 61 Menurut Hirschman, jika kita mengamati proses pembangunan yang terjadi antara dua periode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju yang berbeda, yang berarti bahwa pembangunan berjalan tidak seimbang. Perkembangan sektor pemimpin leading sector akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Begitu pula perkembangan di suatu industri tertentu akan merangsang perkembangan industri- industri lain yang erat keterkaitannya dengan industri yang mengalami perkembangan tersebut. 2.9. Penelitian Terdahulu Tentang Pedagang Kaki Lima PKL 1. Stigma Negatif PKL Permasalahan PKL pada setiap kota di seluruh Indonesia adalah persoalan klasik. Kebanyakan Pemda memandang PKL sebagai negative problem. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan yang dikeluarkan yang pada umumnya berisikan penertiban, bukan pemberdayaan. Kompas tanggal 13 Februari 2003 menuliskan hal sebagai berikut : “Belakangan ini, Pemerintah Kota Pemkot Surabaya kembali melakukan berbagai operasi penertiban terhadap pedagang kaki lima PKL yang hingga kini masih memadati sudut-sudut Kota Surabaya. Ruas-ruas jalan protokol yang telah dinyatakan steril dari PKL, ternyata tidak bisa seratus persen bebas PKL….. ... Di mata Pemkot Surabaya, khususnya aparat penegak hukum mungkin benar bahwa keberadaan sektor informal acapkali dinilai selalu melanggar hukum dan menjadikan kota tampak kumuh...” Tindakan Pemda melakukan penertiban ini disebabkan pandangan aparat Pemda yang menganggap bahwa PKL sebagai penyebab timbulnya kemacetan sebagaimana tertuang dalam penelitian Ester 2003 yang mengungkapkan : ”...Salah satu wujud dari sektor informal adalah kegiatan Pedangang Kaki Lima, kegiatan ini timbul karena tidak terpenuhinya kebutuhan pelayanan oleh kegiatan formal yang mana kegiatan mereka sering menimbulkan gangguan terhadap lingkungannya dan sering dipojokkan sebagai penyebab timbulnya kemacetan lalu lintas di kawasan Pusat Kota Sidoarjo, yang mana Pedagang Kaki Lima menggunakan lahan-lahan umum public land...” Cara pandang yang sama juga dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung, hal ini dijelaskan oleh Suharto 2003 sebagai berikut : ”...di Kota Bandung misalnya, Pemerintah Kota terus melakukan operasi “penertiban” di tujuh wilayah terpadat dikembangkan dari lima wilayah 62 sejak tahun 2001, yaitu Jalan Sudirman, Asia Afrika, Dalem Kaum, Kepatihan, Dewi Sartika, Otista, dan kompleks Plaza Bandung Indah. Pemerintah Kota meyakini bahwa wilayah tersebut harus bebas gangguan dari pedagang kaki lima, khususnya bila ada acara-acara kenegaraan misalnya pertemuan internasional, peringatan konferensi Asia Afrika, kunjungan pejabat pemerintah pusat ke kota tersebut.” Penolakan terhadap keberadaan pedagang kaki lima dan umumnya sektor informal terjadi di semua kota di Indonesia. Sebagai dampak utama urbanisasi, PKL diakui sebagai fenomena struktural yang akan terus ada Aswindi, 2002. Sepanjang pengamatan Aswindi 2002, belum ada satu pun kota di Indonesia yang berhasil menghapuskan keberadaan PKL. Kutipan-kutipan di atas seakan menegaskan bahwa PKL menjadi sumber ketidaktertiban, kemacetan, dan ketidakaturan sebuah kota. Namun, Tempointeraktif.com 2005 melaporkan PKL di Jakarta Barat melalui Asosiasi Pedagang Kaki Lima bisa mengatur diri. Hal ini bisa dilihat di Pasar Taman Surya di Jakarta Barat.

2. PKL sebagai Alternatif Pekerjaan dan Sumber PAD

Fundamen ekonomi Indonesia yang rapuh pada tahun 1997-an mengakibatkan krisis ekonomi yang merontokkan terutama sektor properti dan perbankan. Kedua sektor ini yang paling banyak melakukan pemutusan hubungan kerja PHK. PKL sebagai salah satu wujud sektor informal, tidak hanya mendatangkan keruwetan, namun juga mendatangkan manfaat yang banyak. Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan Ke Depan yang dilakukan Bappenas menunjukan bahwa sebesar 65.40 Sakernas BPS 1998 dan kemudian meningkat menjadi 69.63 Sakernas BPS 2002. Hal ini menunjukan bahwa terjadi perpindahan lapangan usaha dari sektor formal ke sektor informal. Satu contoh terkait dengan ungkapan di atas, ditulis oleh Korompis 2005 yang menyatakan bahwa para pengangguran melakukan kompensasi positif dengan memilih bekerja di sektor informal, bahkan yang paling diminati adalah menjadi PKL. Selanjutnya, Korompis 2005 mengungkapkan bahwa PKL mempunyai potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja, terutama bagi tenaga 63 kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai untuk bekerja di sektor formal karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. Studi Bappenas menjelaskan bahwa terdapat empat keunggulan sektor informal. 1. Daya Tahan. Selama krisis ekonomi, terbukti sektor informal tidak hanya dapat bertahan, bahkan berkembang pesat. Hal ini disebabkan faktor permintaan pasar output dan faktor penawaran. Dari sisi permintaan, akibat krisis ekonomi, pendapatan riil rata-rata masyarakat turun drastis dan terjadi pergeseran permintaan masyarakat, dari barang-barang sektor formal atau impor yang harganya relatif mahal ke barang-barang sederhana buatan sektor informal yang harganya relatif murah. Dari sisi penawaran, akibat banyak PHK di sektor formal selama masa krisis, ditambah dengan sulitnya angkatan kerja baru mendapat pekerjaan di sektor formal, maka suplai tenaga kerja dan pengusaha ke sektor informal meningkat. Temuan Purwanugraha et al. 2000 memperkuat pernyataan bahwa pekerjaan sebagai PKL merupakan salah satu pekerjaan yang relatif tidak terpengaruh krisis ekonomi. 2. Padat Karya. Dibanding sektor formal, khususnya usaha skala besar, sektor informal yang pada umumnya adalah usaha skala kecil bersifat padat karya. Jumlah tenaga kerja di Indonesia yang sangat banyak menyebabkan upah relatif lebih murah jika dibandingkan di negara-negara lain dengan jumlah penduduk yang kurang dari Indonesia. 3. Keahlian Khusus Tradisional. Bila dilihat dari jenis-jenis produk yang dibuat di industri kecil IK dan industri rumah tangga IRT di Indonesia, dapat dikatakan bahwa produk-produk yang mereka buat umumnya sederhana dan tidak terlalu membutuhkan pendidikan formal, tetapi membutuhkan keahlian khusus traditional skills. Keahlian khusus tersebut biasanya dimiliki pekerja atau pengusaha secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. 4. Permodalan. Kebanyakan pengusaha di sektor informal menggantungkan diri pada uang tabungan sendiri, atau dana pinjaman dari sumber-sumber informal di luar sektor perbankankeuangan untuk kebutuhan modal kerja dan investasi mereka. 64 Manfaat lain dari keberadaan PKL dinyatakan oleh Korompis 2005 adalah : ” Pedagang kaki lima merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas kepada masyarakat, dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya. Bahkan pedagang kaki lima, secara nyata mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dengan demikian tercipta suatu kondisi pemerataan hasil- hasil pembangunan. Selain itu, kelompok pedagang kaki lima mempunyai potensi yang cukup besar untuk memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah PAD di sektor penerimaan retribusi daerah seiring dengan kebutuhan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah”. Jadi, secara lokal PKL mempunyai peranan ekonomi terhadap masayarakat dalam hal pemerataan dan peningkatan pendapatan sekaligus sebagai potensi penerimaan retribusi daerah untuk pemerintah daerah. Korompis 2005 menemukan bahwa rata-rata penerimaan PAD Pemerintah Kota Manado dari sisi retribusi pasar, restribusi kebersihan dan lainnya yang dibayarkan oleh PKL setiap bulan sebesar Rp 77.708,-PKL. Angka ini hanya berkisar 51.51 dari target yang ditetapkan dan diprediksikan setiap bulan, di mana Pemerintah Kota Manado akan dapat menyerap dana retribusi dari seluruh PKL di Kota Manado rata-rata sebesar Rp 175 juta per bulan dengan asumsi Rp 5.000,- per PKL per hari. Laporan Regulation Impact Analysis mengenai PKL di Palembang yang dilakukan oleh Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya 2004, berisi daftar penerima manfaat dari kebijakan penataan PKL melalui peraturan daerah. Daftar penerima manfaat ini disajikan pada Tabel 7. 65 Tabel 7. Penerima Manfaat dalam Pengaturan PKL melalui Peraturan Daerah Manfaat Penerima Kepastian hukum tempatlokasi berdagang Pedagang pasar PP, PKL Kesejahteraan meningkat PKL dan pedagang pasar PP Pasar tertib dan rapi Pemerintah, PKL, PP, masyarakat Lalu lintas lancar PP, PKL, pemerintah, masyarakat Keamanan kondusif PP, PKL, pemerintah, masyarakat Pasar mudah dijangkau Konsumen Saling menghargai meningkat PP, PKL, pemerintah Biaya penertiban turun Pemerintah Biaya sosial PP, PKL rendah PP, PKL, konsumen Areal parkir cukup Konsumen dan pemerintah Kewibawaan pemerintah kota baik Pemerintah, PP, PKL, masyarakat Pendapatan pemerintah naik Pemerintah Sumber : Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya 2004 Indikator-indikator manfaat dari peraturan daerah mengenai pengaturan PKL di Palembang ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8. Indikator Manfaat Pengaturan PKL melalui Peraturan Daerah Manfaat Penerima Kepastian lokasitempat berdagang PP tidak mengeluhkan PKL, PKL merasa aman berjualan Kesejahteraan PP-PKL meningkat Pendapatan per tahun meningkat Pasar rapi dan bersih Tertata baik Lalu lintas lancar Tidak macet Keamanan kondusif Keluhan keamanan makin berkurang Pasar mudah dijangkau Waktu tempuh menjadi singkat dan tidak melelahkan Saling menghargai antara PP, PKL, aparatur meningkat Sedikit mungkin terjadinya perselisihan dan pelanggaran Biaya penertiban turun Alokasi anggaran diperkecil Biaya sosial PP, PKL rendah Tidak ada pungutan liar, tidak ada denda pelanggaran Areal parkir cukup Kendaraan konsumen banyak di tempat parkir Pendapatan pemerintah naik PAD meningkat Sumber : Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya 2004 Dalam laporan ini diketahui bahwa ada perbedaan manfaat dan biaya sebagai konsekuensi dan dampak dari regulasi PKL oleh Pemda Palembang. Sebagaimana terlihat pada tabel 9 dan tabel 10 berikut : 66 Tabel 9. Manfaat dan Biaya Pengaturan PKL melalui Regulasi Peraturan Daerah Kelompok Manfaat BSK Biaya BSK Pemerintah Kota Kepastian hukum penataan PKL B Biaya penertiban S Kota Tertib B Pengadaan lokasi B Wibawa pemerintah B Moral Hazard K PKL Keabsahan lokasi tempat berdagang B Tempat baru S Perlindungan Hukum B Pungutan liar K Ketenangan berjualan B Sanksi K Prospek B Pembeli konsumen Akses ke pasar B Biaya sosial K Keamanan S Sopir angkot Ruas jalur angkot B BBM S Kelancaran lalu lintas B Keterangan : B Baik, S Sedang, K Kurang Sumber : Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya 2004 Tabel 10 : Manfaat dan Biaya Mengelola PKL tanpa Regulasi Kelompok Manfaat BSK Biaya BSK Pemerintah Kota Kepastian hukum penataan PKL K Biaya penertiban B Ketertiban K Pengadaan lokasi K Wibawa pemerintah K Moral Hazard B PKL Keabsahan lokasi tempat berdagang K Tempat baru K Perlindungan Hukum K Pungutan liar B Ketenangan berjualan K Sanksi B Prospek S Pembeli konsumen Akses ke pasar K Biaya sosial B Keamanan K Sopir angkot Ruas jalan angkot K BBM B Kelancaran lalu lintas K Keterangan : B Baik, S Sedang, K Kurang Sumber : Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya 2004 Penelitian Suharto 2003 menunjukan bahwa rata-rata manfaat berupa penghasilan PKL di Bandung mampu melebihi upah minimum regional untuk DKI Jakarta. Dengan demikian PKL Kota Bandung memiliki kontribusi yang cukup besar dalam memberikan lapangan pekerjaan layak. Sementara itu, penelitian PKL yang dilakukan oleh Bambang Wahyu 2003 di Kota Bogor menunjukan karakteristik dan sebaran PKL. Namun belum membahas pada aspek manfaat keberadaan PKL. 67

2.10. Novelty Kebaruan

Dokumen yang terkait

Kajian Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Tasikmalaya Secara Partisipatif

7 70 295

Karakteristik dan permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) serta strategi penataan dan pemberdayaannya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi wilayah di kota Bogor

1 43 649

Strategi Penataan Pedagang Kaki Lima di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor

1 15 207

Kajian Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Tasikmalaya Secara Partisipatif

0 29 145

POLA PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KOTA SURAKARTA BERDASAR PADUAN KEPENTINGAN PKL, WARGA MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH KOTA

1 3 10

STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN MANUSIAWI DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN MANUSIAWI DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (Studi Kasus Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta tentang Penataan Pedagang Kaki Lima di Kawasan Pasarkl

0 1 16

PENDAHULUAN STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN MANUSIAWI DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (Studi Kasus Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta tentang Penataan Pedagang Kaki Lima di Kawasan Pasarkliwon).

0 1 8

STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN MANUSIAWI DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN MANUSIAWI DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (Studi Kasus Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta tentang Penataan Pedagang Kaki Lima di Kawasan Pasarkl

0 2 17

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DALAM PROGRAM RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN TAMAN PINANG.

3 35 100

DAMPAK SOSIAL EKONOMI PENATAAN LINGKUNGAN BAGI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

0 0 9