219 Kemudahan sistem registrasi 0,08 sangat diperlukan dalam mengelola PKL.
Perda No. 13 Tahun 2005 telah mengatur tata cara sistem registrasi seperti mengatur mekanisme perizinan dan persyaratan permohonan izin menjadi PKL.
Kemudahan sistem registrasi akan membuat pelaku PKL secara sukarela mendaftar ke Disperindagkop.
b. Kelemahan Weakness
Beberapa kelemahan yang diidentifiksikan terkait dengan pengelolaan PKL di kota Bogor mencakup pertumbuhan angka pengangguran, perilaku free rider
PKL, sektor informal inferior dibandingkan sektor lain, keinginan menggunakan lahan secara permanen, pertumbuhan ekonomi yang rendah, sektor “abu-abu”
lahan korupsi, ketidakberpihakan dinasinstitusi terkait, kemacetan dan kekumuhan wajah kota, dan perbedaan persepsi aktor. Hasil perhitungan bobot
VP terhadap faktor-faktor kelemahan disajikan pada Tabel 128. Tabel 128. Hasil Perhitungan Bobot Faktor Internal Kelemahan
Kelemahan VE
VP VA
VB λ-
max CI
RI CR
Pertumbuhan angka pengangguran
0,99 0,11 1,07 9,86
9.86 0.11 1.40 0.08
Perilaku free rider dari PKL
1,10 0,12 1,29 10,70 Sektor informal
inferior dibandingkan sektor lain
1,20 0,13 1,51 11,40
Keinginan menggunakan lahan
secara permanen 0,80 0,09 0,72
8,19
Pertumbuhan ekonomi yang rendah
0,95 0,10 0,96 9,18
sektor abu-abu lahan korupsi
1,11 0,12 1,36 11,12
Ketidakberpihakan dinasinstitusi terkait
1,01 0,11 1,07 9,69
Kemacetan dan kekumuhan wajah kota
0,77 0,08 0,62 7,35
Perbedaan persepsi aktor
1,17 0,13 1,45 11,27
Total 9,10 1,00
88,75
Sumber : Data primer, 2011 diolah, n= 8 responden
220
Keterangan : CR = Konsistensi rasio, CR 0,1 menunjukkan konsistensi yang baik, CR 0.1 menunjukkan
data perlu direvisi VE = Perkalian baris
VP = Vektor prioritas atau vektor Eigen. VA = Vektor antara
VB = Vektor baris λ
max
Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain 0,13. Keberadaan PKL khususnya di perkotaan dianggap sebelah mata oleh pemerintah daerah setempat
karena mereka menjalankan aktivitas usaha bukan pada tempat dan menyebabkan kesemerawutan, kemacetan, yang merupakan salah satu problematika
pembangunan kota maupun modernisasi kota, padahal salah satu image dari suatu kota yang baik adalah tertib dan nyaman bagi masyarakat kota itu. PKL juga
dianggap merupakan salah satu penyakit kota yang harus bisa disembuhkan oleh kebijakan Perda yang diusulkan oleh pemerintah daerah dan disetujui oleh wakil
rakyat anggota DPRD tanpa mendengar serta memperhatikaan keinginan atau
= Nilai Eigen maksimum CI = Indeks konsistensi
CR = Rasio Konsistensi
Pertumbuhan angka pengangguran 0,11 dapat menjadi ancaman dalam pengelolaan PKL di kota Bogor. Dengan meningkatnya angka pengangguran,
masyarakat yang masuk dalam angkatan kerja akan mencari sumber-sumber pekerjaan alternatif dan usaha sebagai PKL prospektif untuk dimasuki karena
kemudahannya untuk entry. PKL membutuhkan modal, skill, dan pengetahuan yang relatif rendah dan dapat dimasuki semua jenjang pendidikan.
Akintoye 2008 dalam studi mengenai sektor informal di Nigeria menemukan bahwa sektor informal sebagai media dalam menurunkan
pengangguran di Nigeria. Mitullah 2003 menemukan bahwa PKL penting sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja.
Kelemahan lain adalah perilaku free rider PKL sendiri 0,12. Perilaku free rider
adalah pelaku PKL yang memanfaatkan fasilitas publik tanpa kepedulian terhadap lingkungan sekitar seperti kebersihan, keindahan, dan ketertiban.
Sebagian PKL bahkan membangun bangunan semi dan permanen di tempat tersebut dan merasa memiliki sehingga melakukan perlawanan bila ditertibkan .
Sebagian mereka juga memanfaatkan usaha PKL untuk menghindari pajak, menjual barang-barang hasil pencurian, dan sebagainya.
221 kebutuhan dari PKL dan masyarkatnya. Pemerintah kota harus menyadari bahwa
tidak mungkin PKL dapat hidup tanpa adanya konsumen sehingga dalam pembuatan kebijakan tentang PKl terlebih dulu pemerintah harus melihat,
mencermati dan mengkaji lebih dalam dari berbagai aspek Ekonomi, Sosial dan Politik yang melatarbelakanginya.
Banyak PKL yang memiliki keinginan menggunakan lahan secara permanen 0,09. Di beberapa lokasi publik lapangan Sempur, Papandayan, Gunung Gede
PKL membangun lahan semi permanen untuk aktivitas usaha, bahkan sebagai tempat tinggal. Kondisi tersebut akan mengancam pengelolaan PKL karena tidak
jarang terjadi bentrok fisik antara Satpol PP dengan PKL ketika dilakukan penertiban dan pembongkaran.
Gambar 18. Pembongkaran Kios PKL Semi Permanen di Pomad oleh Satpol PP
Sumber : BogorNews.com 2011
Pertumbuhan ekonomi rendah juga mengancam pengelolaan PKL. Berdasarkan data BPS Biro Pusat Statistik laju pertumbuhan ekonomi kota
Bogor tahun 2009 berada pada kisaran 6,02 , lebih baik dari tahun 2008 yang mencapai 5,98 . Pertumbuhan ekonomi kota Bogor juga tergambar dari
pertumbuhan angka PDRB atas dasar harga yang berlaku tahun 2009 yang mencapai Rp 12,294 triliyun. Peningkatan makro pembangunan tergambar dari
total investasi tahun 2009 yang mencapai Rp 869,51 miliar, naik sebesar Rp 1,09 miliar dari tahun 2008 yang mencapai Rp 868,42 miliar. Inflasi berhasil ditekan
pada tingkat 6 dibandingkan tahun 2008 sebesar 14,20 . Dari gambaran di atas, perekonomian kota Bogor mengalami pertumbuhan,
namun belum mampu menekan angka pengangguran.
222 Dengan dikeluarkannya Perda No. 13 Tahun 2005, maka sejak 30 September
2009 legalitas PKL di Kota Bogor sudah dicabut. Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah DPPKAD Kota Bogor tak lagi memungut retribusi
PKL sehingga kontribusi mereka untuk PAD adalah nihil. Berdasarkan pengakuan para PKL, mereka dikenakan setoran Rp 2.000,- sampai Rp 3.000,-
setiap hari, tetapi mereka tak tahu penggunaan dana tersebut. Ini menunjukkan bahwa pada sektor PKL terdapat sektor abu-abu lahan korupsi bagi oknum-oknum
tertentu. Kondisi ini akan melemahkan upaya pengelolaan PKL, karena oknum- oknum tersebut tentu tidak mau kehilangan lahan.
Ketidak berpihakan dinas atau institusi terkait 0,11 juga menjadi kelemahan dalam upaya pengelolaan PKL di kota Bogor. Berbagai institusi terlibat dalam
pengelolaan PKL. Dalam prakteknya, pengelolaan lebih diterjemahkan sebagai penggusuran tanpa solusi bagi PKL. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan
Koperasi Kota Bogor tidak pernah melakukan upaya pembinaan PKL yang telah digusur atau ditertibkan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa PKL menyebabkan kemacetan dan kekumuhan wajah kota 0,08 meski tidak sepenuhnya demikian. Keberadaaan angkutan
umum dan kendaraan pribadi yang melebihi kapasitas jalan juga turut menjadi penyebab kemacetan. Persepsi terhadap penyebab kemacetan dan kekumuhan
kota adalah kelemahan dalam mengelola PKL. PKL cenderung ditindak represif tanpa memperhatikan hak-hak mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Dari sisi aktor yang terlibat dalam masalah PKL, perbedaan persepsi aktor 0,13 dapat menjadi sumber kelemahan dalam pengelolaannya. Pemerintah Kota
berpersepsi bahwa PKL perlu ditertibkan karena menempati ruang publik. DLLAJ memandang bahwa PKL menyebabkan kemacetan. Toko-toko formal
memandang PKL menyebabkan berkurangnya pendapatan dan menjadi pesaing usaha. LSM memandang PKL sebagai sumber mata pencaharian bagi rakyat kecil
sehingga perlu diperlakukan manusiawi. Oknum-oknum pelaku pungli memandang PKL sebagai ”sumber basah” untuk korupsi, dan sebagainya.
Perbedaan pandangan ini akan menyebabkan benturan-benturan kepentingan dalam pengelolaan PKL sehingga akan memperlemah upaya pengelolaan PKL di
kota Bogor.
223 Selanjutnya, identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal ini digunakan
untuk merumuskan strategi penataan dan pemberdayaan PKL di kota Bogor dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan cara sistematis
untuk mengidentifikasi faktor-faktor eksternal dan internal dan merumuskan strategi yang menggambarkan kecocokan yang paling baik di antara faktor-faktor
tersebut. Analisis ini didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif akan memaksimalkan kekuatan dan peluang yang ada serta meminimalkan
kelemahan dan ancaman yang dimiliki. Bila diterapkan secara akurat, asumsi ini mempunyai dampak yang sangat besar bagi keberhasilan rancangan suatu strategi
Pearce Robinson, 1997.
8.2. Strategi Penataan dan Pemberdayaan PKL