Partisipasi Politik Perempuan Latar Belakang

20 Penilaian Demokratisasi di Indonesia adalah Partai Komunis Indonesia PKI dan Masyumi, partai yang berbasis muslim. Dengan berkuasanya Orde Baru, politik massa berhenti tiba-tiba, begitu juga perkumpulan bebas dan kemampuan mendirikan partai sesuai kehendak pendirinya. Pada pertengahan 1970-an, demokrasi Pancasila menjadi mapan, dengan hanya tiga pengelompokan politik yang diatur sebelumnya yang diizinkan salah satunya adalah Golkar yang berkuasa , yang semuanya harus menerima ideologi negara. Berkat depolitisasi masyarakat oleh negara, organisasi masyarakat sipil menjadi satu-satunya “rumah” untuk oposisi yang telah dijinakkan dan secara umum impoten. Jika selama Orde Baru kelompok-kelompok masyarakat sipil muncul sebagai “oposisi alami”, dengan runtuhnya Orde Baru dan bangkitnya kembali partai politik berbasis massa, organisasi-organisasi masyarakat sipil kehilangan tempat, menjadi tersesat dalam pencarian mereka terhadap peran dan identitas baru bagi mereka sendiri, pada saat meruyaknya pembentukan organisasi-organisasi baru. Meskipun salah satu pemikiran mengajukan pendapat bahwa organisasi, asosiasi, ataupun kelompok mana pun adalah simbol kebebasan berkumpul, dan karenanya menjadi atribut positif dalam masyarakat, yang terbaik adalah membedakan tipe-tipe organisasi, karena tak semua organisasi terlihat memberi kontribusi positif kepada masyarakat. Banyak di antaranya tampak sebagai kendaraan kepentingan pribadi, dan rumah untuk kepentingan kelas menengah perkotaan. Sebuah masyarakat sipil yang kuat dan partisipatif adalah komponen terpenting demokrasi. Tetapi di Indonesia, seperti yang disaksikan di negara-negara lain yang menjalani demokratisasi, penting memastikan organisasi-organisasi masyarakat sipil tetap di wilayah masyarakat publik, bekerja untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak membahayakan keamanan dan keselamatan kelompok lain. Buat banyak orang, mereka juga harus dibimbing oleh contoh, memberikan model peran untuk pemerintah maupun partai politik, di dalam diri mereka sendiri, yang di jiwa mereka sendiri, sering dianggap sebagai lembaga-lembaga ataupun organisasi-organisasi yang terlepas dari massa.

4.3 Partisipasi Politik Perempuan

Dua hari besar nasional yang merayakan perempuan Indonesia adalah Hari Kartini – untuk menghormati seorang perempuan pada masa penjajahan yang berjuang memperluas kesempatan hidupnya melalui pendidikan; dan Hari Ibu — penghormatan bagi kongres nasional perempuan Indonesia pertama yang diadakan 22 Desember 1928. Pertemuan ini menggariskan cita-cita kaum feminis Indonesia pada masa pra-kemerdekaan itu: kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perhatian utamanya adalah kesetaraan gender di dalam keluarga. Tujuan asli pekerjaan yang dilakukan oleh para perempuan pada dua masa itu — 21 P e n d a h u l u a n yang menjadi alasan mengapa warga Indonesia merayakannya — telah hilang di Indonesia selama Orde Baru. Perayaan yang dilakukan kini cuma memuja-muja “nilai-nilai” tanggung jawab isteri dan ibu. Sebelum kebangkitan Orde Baru, perempuan telah terlibat perjuangan kemerdekaan, berpartisipasi dalam Konstituante, dan mengambil peran dalam pemerintahan demokrasi liberal pada 1950-an dengan dorongan aktif Soekarno. Namun, hal itu terhenti setelah 1965. Orde Baru membangun ide bahwa politik bukanlah untuk perempuan dengan menghidupkan terus-menerus pandangan mengenai “perempuan politik” sebagai histeris, amoral, tak beragama, dan pendeknya “di luar kontrol sosial”. Pandangan ini didukung oleh sebuah mitos yang sering diulang-ulang dari praduga atas peranan jahat yang dilakukan oleh Gerwani, sayap perempuan Partai Komunis Indonesia, dalam kematian enam jenderal di Lubang Buaya dekat Jakarta pada 30 September 1965. Pembunuhan tersebut, digambarkan sebagai kudeta yang gagal, adalah inti dari penjelasan dan pembenaran Orde Baru untuk berkuasa. Perempuan di masa Orde Baru selalu disingkirkan dari politik, kecuali ketika dipanggil untuk mendukung kebijakan resmi dalam peran yang telah ditentukan sebelumnya sebagai isteri dan ibu. Perlakuan terhadap perempuan inilah yang ikut membentuk sifat pemerintahan kekeluargaan dan patriarkis Orde Baru dengan kekuasaan terkonsentrasi di atas dan laki-laki ditempatkan sebagai kepala rumah tangga dan negara. Tipe pemerintahan yang dibangun selama tahun-tahun kekuasaan otoriter itu tidak menyediakan ruang politik yang kondusif bagi perempuan, sedangkan peran-peran sosial mereka dengan hati-hati diatur melalui organisasi-organisasi yang didukung negara. Lingkungan pasca-Orde Baru membuka kesempatan baru bagi perempuan untuk mengembalikan hak-hak demokrasi mereka. Namun usaha ini terhambat oleh kurangnya “gerakan perempuan” yang memiliki kemampuan mengartikulasi dan mengejar agenda-agenda reformasi yang komprehensif dari perempuan. Dengan beban masalah-masalah yang ada di Indonesia, sering dipandang sebagai “isu nasional yang lebih penting”, ada risiko bahwa, sekali lagi, setengah dari populasi akan tetap terpinggirkan dari perdebatan politik, baik di tingkat nasional maupun lokal.

5. Kesimpulan