35
Konstitutionalisme dan Aturan Hukum
mengenai Indonesia tak lagi berkisar di seputar bagaimana menyeimbangkan hak-hak ekonomi dan atau hak-hak politik. Ini juga tentang bagaimana menyadari
hak-hak dan kemerdekaan politik dan ekonomi.
1.3 Peran Konstitusi
Konstitusi diakui sebagai kerangka kerja yang dengannya isu-isu ini ditentukan. Sebuah konstitusi menjadi sumber dari segala sumber hukum. Konstitusi
mengatur bunyi, semangat, dan kerangka kerja menyeluruh yang menjadi dasar legitimasi seluruh ketentuan hukum yang lain dan seluruh bentuk pemerintahan.
Konstitusi ini menjamin kerangka kerja sistem hukum dan politik dan igur mendasar. Adalah konstitusi yang menentukan dan mengatur kekuasaan dan
hubungan antara kepresidenan, lembaga legislatif, dan lembaga peradilan. Dalam hal
pemerintahan bersifat desentralisasik, konstitusi juga mengatur hubungan
antara pemerintahan pusat dan daerah, dan antara pemerintah di daerah. Konstitusilah yang menyediakan dan mengamankan kerangka kerja bagi
demokrasi, desentralisasi, dan deregulasi untuk tujuan-tujuan pembangunan negara. Ketika sulit untuk diamandemen, ia memberikan rasa aman dan jaminan
bagi masyarakat. Dengan menyatakan kembali aspirasi orang banyak, ia juga menjadi dasar bagi identitas nasional yang baru. Diharapkan agar hukum-
hukum dasar itu jelas tujuannya, dan sesuai dengan kebutuhan, aspirasi, dan semangat negeri ini.
1.4 Kesempatan bagi Reformasi Konstitusional
Konstitusi-konstitusi yang diadopsi pada satu situasi tertentu akan kehilangan relevansinya dalam situasi yang lain, seperti halnya yang terjadi di Indonesia.
Undang-Undang Dasar UUD Indonesia dirancang sebagai konstitusi sementara pada 1945 setelah perjuangan kemerdekaan yang sangat berkepanjangan.
Lima tahun kemudian, undang-undang itu digantikan oleh konstitusi lain yang memberikan lebih banyak peran kuat bagi parlemen daripada versi tahun 1945 dan
sangat dipengaruhi oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB di 1948. Konstitusi ini juga berlangsung sementara, dan setelah sembilan tahun gejolak di
dalam demokrasi parlementer sebelum akhirnya diganti oleh Presiden Soekarno dengan mengembalikan UUD 1945 yang lebih otoriter. Putusan Soekarno juga
mengakhiri diskusi selama empat tahun di antara partai politik, yang dikenal sebagai Konstituante, tentang konstitusi yang tetap untuk Indonesia. UUD 1945
telah menjadi referensi selama lebih dari empat dasawarsa, dan kini secara luas disadari bahwa konstitusi Indonesia harus direvisi secara menyeluruh sebagai
suatu pelopor untuk mendukung konsolidasi demokratis. Di antara para anggota Forum, ada pandangan yang berbeda mengenai isu dan
proses reformasi konstitusional. Beberapa anggota mengadvokasikan penyusunan
36
Penilaian Demokratisasi di Indonesia
suatu dokumen konstitusional baru lewat suatu proses yang terbuka seperti halnya suatu Konvensi Konstitusional atau Dewan yang dibentuk oleh MPR.
Yang lain menerima perlunya melakukan pengkajian mendasar tetapi berharap mempertahankan hal-hal dan pranata-pranata mendasar dari Undang-Undang
Dasar 1945, misalnya pembukaan dan perwakilan kelompok-kelompok fungsional maupun partai politik.
Namun ada persetujuan umum di antara para peserta proses ini bahwa konstitusi yang kini ada tidak mencukupi untuk menentukan dengan jelas peran institusional
dari kekuasaan badan-badan legislatif, eksekutif, dan hubungan kesaling- tergantungan di antara mereka. UUD ini tidak juga memberi petunjuk arah yang
cukup atau memberi jaminan berlangsungnya pemerintahan demokratis. Para peserta membahas beberapa masalah pemerintahan yang paling penting
yang dihadapi Indonesia dan berusaha mengidentiikasinya dalam kerangka prinsip-prinsip pemerintahan yang membutuhkan dukungan atau kompensasi
lewat konstitusi. Maka, rekomendasi-rekomendasi reformasi konstitusional ini mengkaji masalah-masalah pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip
konstitusional. Seorang sarjana hukum Afrika Selatan menggambarkan sebuah konstitusi sebagai
“otobiograi suatu bangsa”. Karenanya, konstitusi tidak saja harus mencerminkan cerita suatu bangsa tapi juga ditulis oleh bangsa itu. Rakyat Indonesia berada pada
saat-saat yang menantang itu ketika mereka menulis sejarah bangsanya untuk meyakinkan bahwa hal itu akan menjadi dokumen yang siap untuk berhadapan
dengan tantangan pemerintahan di abad ke-21. Diskusi kelompok kerja mengidentiikasi beberapa isu mendasar yang harus
diamandemen di dalam kerangka kerja konstitusional. Hal ini meliputi: Pendeinisian kembali peranan dan hubungan antara lembaga eksekutif
dan legislatif. Memperkuat proses demokratis lewat penerapan otonomi daerah yang
efektif. Memperkuat aturan hukum dan peran lembaga peradilan.
Mendukung dan melindungi prinsip-prinsip demokrasi lewat sarana institusi-institusi yang independen dan tak terpisahkan.
Membicarakan peran partai-partai politik dan sistem pemilihan. Mengundang-undangkan hak-hak dan kewajiban dasar negara dan
warga negara.
37
Konstitutionalisme dan Aturan Hukum
2. Lembaga Legislatif dan Eksekutif: Mendefinisikan Peran dan Hubungan Antar-Lembaga