206
Penilaian Demokratisasi di Indonesia
5. Strategi-Strategi untuk Membangun Pluralisme Agama
Dengan kenyataan adanya konlik dan kekerasan agama di berbagai tempat di Indonesia, apa yang dapat dilakukan oleh kekuatan pro-demokratis, baik di
tingkat nasional dan internasional, untuk mendukung pertumbuhan ideologi ini? Tiga strategi muncul: dialog, aktivitas partisipatif, dan menyuburkan
budaya nasional berdasarkan pluralisme agama.
5.1 Peranan Dialog Dialog adalah metode yang sering digunakan di Indonesia. Namun, kebanyakan
dialog antaragama terjadi di tingkat elite antara tokoh intelektual dan pimpinan agama di Jakarta, atau antara mahasiswa dan aktivis di tingkat regional.
Meskipun hal ini berguna dalam batas tertentu, banyak aktivis yang bekerja pada hubungan antar-kepercayaan atau antar-komunitas merasa bahwa tingkat
dialog ini harus diubah dari tingkat elite ke tingkat “akar-rumput” dan bahwa isi dari dialog harus difokuskan pada proses rekonsiliasi.
Kelompok pemuda, kelompok mahasiswa radikal, dan unsur-unsur masyarakat yang terpinggirkan harus diidentiikasi, diajak, dan ditarik ke dalam lingkungan
dialog jika perubahan diharapkan terjadi. Strategi-strategi untuk menjangkau kelompok-kelompok ini dan melibatkan mereka dalam dialog akan berbeda
dari strategi-strategi untuk kalangan elite, dan perlu waktu untuk meneliti dan mengembangkan strategi yang ditargetkan untuk mencapai kelompok-
kelompok ini. Ada juga kecenderungan pada dialog antaragama di Indonesia untuk memusatkan
perhatian pada agama-agama Ibrahim dan menyingkirkan Hinduisme dan Budhisme. Kecenderungan ini lebih banyak terjadi karena ketegangan hubungan
antara umat Islam dan Kristen, dan membatasi cakupan dialog yang mestinya bisa lebih kaya lagi jika bersumber dari peserta dialog yang lebih luas.
5.2 Aktivitas Partisipatoris Telah diketahui dari waktu ke waktu manakala ingin mencari cara untuk
mendobrak rintangan, baik etnis, agama, maupun kelas, bahwa kontak nyata dengan anggota dari “yang lain” merupakan satu cara yang amat efektif untuk
mengurangi stereotip, gosip yang salah, dan permusuhan. Selama pemilu 1999 di Indonesia, beberapa organisasi internasional menarik
anggota dari berbagai kelompok agama dan etnis yang berbeda yang dapat
207
Pluralisme Agama
bekerja bersama dalam jaringan pendidikan pemilih, dan dari pengalaman bekerja sama ini dihasilkan persepsi dan pengertian yang lebih positif di
kedua belah pihak. Sejumlah ornop dan organisasi sosial Indonesia telah menerapkan metode
“jambore” untuk mendudukkan anggota dari kelompok etnis dan agama yang berbeda dalam suatu periode waktu di mana pengalaman hidup berdampingan,
bekerja, dan bermain bersama menjadi sarana efektif untuk melihat bahwa “mereka juga seperti saya”.
Sekali lagi, kehati-hatian dalam memilih kelompok target yang spesiik sangat penting, agar bisa membawa kelompok-kelompok yang jika tidak begitu tak akan
pernah sekalipun bertemu. Ini pun jelas seperti strategi pencegahan daripada suatu strategi untuk membenahi. Di wilayah-wilayah tempat terjadi konlik dan
kekejaman, dapat diadaptasi cara menghimpun kelompok-kelompok korban bersama-sama dan berbagi pengalaman sebagai cara terapi yang membolehkan
penyaluran rasa pedih, maupun untuk menunjukkan bahwa kedua belah pihak yang berseteru telah mengalami sejumlah trauma yang pahit. Dalam kasus ini,
pembagian bantuan kemanusiaan atau bantuan medis akan menjadi “aktivitas partisipatoris” yang digunakan untuk mempertemukan anggota-anggota dan
kelompok agama yang bertikai.
5.3 Membangun Kesadaran akan Kultur Nasional tentang Pluralisme Agama