21
P e n d a h u l u a n
yang menjadi alasan mengapa warga Indonesia merayakannya — telah hilang di Indonesia selama Orde Baru. Perayaan yang dilakukan kini cuma memuja-muja
“nilai-nilai” tanggung jawab isteri dan ibu. Sebelum kebangkitan Orde Baru, perempuan telah terlibat perjuangan
kemerdekaan, berpartisipasi dalam Konstituante, dan mengambil peran dalam pemerintahan demokrasi liberal pada 1950-an dengan dorongan aktif
Soekarno. Namun, hal itu terhenti setelah 1965. Orde Baru membangun ide bahwa politik
bukanlah untuk perempuan dengan menghidupkan terus-menerus pandangan mengenai “perempuan politik” sebagai histeris, amoral, tak beragama, dan
pendeknya “di luar kontrol sosial”. Pandangan ini didukung oleh sebuah mitos yang sering diulang-ulang dari praduga atas peranan jahat yang dilakukan oleh
Gerwani, sayap perempuan Partai Komunis Indonesia, dalam kematian enam jenderal di Lubang Buaya dekat Jakarta pada 30 September 1965. Pembunuhan
tersebut, digambarkan sebagai kudeta yang gagal, adalah inti dari penjelasan dan pembenaran Orde Baru untuk berkuasa.
Perempuan di masa Orde Baru selalu disingkirkan dari politik, kecuali ketika dipanggil untuk mendukung kebijakan resmi dalam peran yang telah ditentukan
sebelumnya sebagai isteri dan ibu. Perlakuan terhadap perempuan inilah yang ikut membentuk sifat pemerintahan kekeluargaan dan patriarkis Orde Baru
dengan kekuasaan terkonsentrasi di atas dan laki-laki ditempatkan sebagai kepala rumah tangga dan negara. Tipe pemerintahan yang dibangun selama tahun-tahun
kekuasaan otoriter itu tidak menyediakan ruang politik yang kondusif bagi perempuan, sedangkan peran-peran sosial mereka dengan hati-hati diatur melalui
organisasi-organisasi yang didukung negara. Lingkungan pasca-Orde Baru membuka kesempatan baru bagi perempuan untuk
mengembalikan hak-hak demokrasi mereka. Namun usaha ini terhambat oleh kurangnya “gerakan perempuan” yang memiliki kemampuan mengartikulasi
dan mengejar agenda-agenda reformasi yang komprehensif dari perempuan. Dengan beban masalah-masalah yang ada di Indonesia, sering dipandang
sebagai “isu nasional yang lebih penting”, ada risiko bahwa, sekali lagi, setengah dari populasi akan tetap terpinggirkan dari perdebatan politik, baik di tingkat
nasional maupun lokal.
5. Kesimpulan
Seperti ditekankan Penilaian Demokratisasi di Indonesia, konsolidasi masa transisi
tak serta-merta terjamin. Transisi menurut deinisi adalah proses terbuka, dan baik pengkritik ataupun yang optimistis haruslah mempertimbangkan bahwa tak
22
Penilaian Demokratisasi di Indonesia
ada apa pun yang ditentukan sebelumnya mengenai kelanjutan demokrasi saat ini di Indonesia. Sama halnya, tak ada yang tak terhindarkan mengenai ambruknya
demokrasi liberal Indonesia pada 1950-an, juga tak dapat dinaikan saat ini bahwa kedigdayaan otoriterisme tak bakal kembali di masa mendatang.
Akhirnya, meski tampaknya biasa saja mengetahui bahwa sebuah garis tipis membedakan konsolidasi demokrasi yang sukses dan bangkitnya kembali
otoriterisme, ini juga berarti ada sebuah peran yang harus dimainkan oleh siapa pun yang berkomitmen terhadap Indonesia yang lebih demokratis. Informasi
yang tak lengkap dan menyesatkan, kecelakaan atas penilaian, ataupun ketepatan waktu mempengaruhi berlangsungnya demokratisasi. Karenanya sangatlah
penting jika para aktor dalam masyarakat sipil, pejabat pemerintah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat DPR bekerja sama dalam menilai perkembangan
politik nasional dan mempertimbangkan pilihan-pilihan yang tersedia untuk memajukan demokratisasi.
Penilaian Demokratisasi di Indonesia yang didukung International IDEA bertujuan memberikan kontribusi yang berharga terhadap
dialog itu.
23
M e t o d o l o g i
Metodologi
24
Penilaian Demokratisasi di Indonesia
25
M e t o d o l o g i
Metodologi
1. Latar Belakang
Jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998 membuka kesempatan bagi berlangsungnya reformasi demokratis di Indonesia. Untuk membangun momentum demokratis,
beberapa perubahan mendasar pada sistem politik telah dimulai melalui berbagai langkah yang bersifat sementara. Langkah-langkah ini termasuk membuat
amandemen Undang-Undang Dasar UUD untuk memperkuat peran parlemen, mensahkan peraturan baru tentang otonomi daerah yang telah diperluas baik
ruang lingkupnya dan juga tingkat partisipasi politik di tingkat daerahlokal, dan pembatasan masa jabatan presiden. Perubahan-perubahan ini membuktikan
bahwa tuntutan-tuntutan reformasi dan demokrasi yang mendorong runtuhnya Orde Baru bukan semata-mata menuntut perubahan rezim tetapi juga perubahan
sistem. Pemenuhan tuntutan-tuntutan semacam ini membutuhkan perubahan menyeluruh
pada semua institusi politik, sosial, dan ekonomi, dan juga perubahan pada basis hubungan antara rakyat dan negara, serta pendirian kerangka kerja yang stabil
yang menjadi tempat berakarnya praktek-praktek demokratis. Ini hanya dapat terjadi bila transisi demokrasi maupun konsolidasi lebih jauh menuju kebijakan
demokratis dapat dijaga keberlangsungannya dengan cara membangun agenda reformasi yang menyeluruh, dari hasil partisipasi yang luas dan inklusif pada
proses penetapan agenda agenda-setting.
Untuk mengembangkan agenda itu, Internasional IDEA menyelenggarakan sebuah konferensi pada Juli 1999 sebagai tempat berpartisipasi berbagai macam
pengambil keputusan nasional. Konferensi ini berfungsi sebagai forum dialog untuk memulai proses identiikasi kerangka kerja agenda reformasi. Isu-isu sentral
telah ditemukan untuk ditinjau ulang dan direformasi yaitu: Reformasi konstitusional dan reformasi hukum untuk mendukung transisi
ke arah demokrasi. Menerapakan otonomi regional untuk menjamin adanya partisipasi politik
yang inklusif dan pembangunan yang efektif di seluruh Indonesia. Mendeinisikan ulang hubungan sipil-militer untuk menjamin supremasi
wakil-wakil rakyat yang telah dipilih. Memberdayakan masyarakat madani supaya dapat berfungsi sebagai
“penjaga” watchdog maupun kontributor pada proses-proses pemerintahan
dan penggambilan keputusan. Meningkatkan peran serta aktif perempuan dalam politik dan masyarakat.
Mengedepankan ketidaksetaraan fundamental dan tekanan dalam
26
Penilaian Demokratisasi di Indonesia
masyarakat yang merupakan dampak dari keterpinggiran sosio-ekonomi dan prasangka agama.
2. Mendirikan Forum Untuk Reformasi Demokratis