15
P e n d a h u l u a n
dan kesempatan untuk memperbaiki penyelewengan-penyelewengan dan ketidakadilan-ketidakadilan dalam sistem ekonomi bangkit kembali. Perubahan-
perubahan yang dibutuhkan menghendaki penyesuaian baik proses pengambilan keputusan dari atas ke bawah maupun praktek-praktek kerjanya. Di atas segalanya,
mereka menuntut penegakan hukum dan pelaksanaannya yang akan menciptakan kepercayaan diri masyarakat dan berfungsi sebagai landasan hukum yang kuat
yang mengikat semua aktivitas di Indonesia, bukan saja pada hal-hal yang jelas berhubungan dengan pembangunan ekonomi. Jika tercapai, ada jaminan bagi
peran seseorang sebagai wirausaha, sebagaimana juga hak kaum buruh dan warga negara. Reformasi juga dibutuhkan untuk menyegarkan birokrasi, dan
juga memperjelas peran militer, khususnya dalam aktivitas ekonomi mereka. Hubungan pusat dan daerah juga harus dinilai ulang, khususnya berdasarkan
undang-undang baru mengenai otonomi daerah yang mulai diberlakukan Januari 2001. Perubahan-perubahan ini, sebagaimana didibahas dalam bab Pembangunan
Sosio-Ekonomi, akan membantu meletakkan landasan bagi ekonomi yang lebih terbuka dan partisipatif.
2.3 Desentralisasi dan Demokratisasi
Desentralisasi menjadi penting ketika kekuasaan pusat menyadari semakin sulit untuk mengendalikan sebuah negara secara penuh dan efektif, ataupun
dipandang terlalu mencampuri urusan-urusan lokal. Dalam kedua hal tersebut, desentralisasi menjadi penting untuk pemerintahan yang bertanggung jawab dan
efektif. Pemberontakan PRRI dan Permesta pada 1950-an bukanlah usaha untuk memisahkan diri dari Indonesia, tetapi adalah usaha untuk mendapatkan kontrol
lokal atas urusan dan sumber daya lokal di Nusantara. Meskipun begitu, warisan mereka berakibat yang sebaliknya terhadap pemerintah pusat.
Di Jakarta, tuntutan lokal tidak ditanggapi dengan baik. Sikap ini bisa memunculkan ancaman disintegrasi atau tampilnya kembali orang kuat lokal dan pemerintah
pusat harus menghabiskan tahun-tahun berikutnya mengkonsolidasikan kontrol mereka terhadap daerah. Perluasan birokrasi pusat bisa terjadi berkat bantuan
besar dari TNI. Restrukturisasi teritorial TNI pada 1958 memastikan komandan militer lokal mewakili kepentingan Jakarta dan prajurit-prajurit ditempatkan
di berbagai pelosok Nusantara untuk memperluas kontrol pemerintah ke daerah-daerah yang jauh.
Walau ada kecenderungan sentralisasi yang tak meragukan semacam itu, Indonesia memiliki sejarah panjang percobaan dengan desentralisasi, dimulai pada masa
penjajahan dengan UU Desentralisasi Hindia Belanda tahun 1903 dan berlanjut secara periodik setelahnya.
Hal yang menonjol pada program-program otonomi daerah yang gagal ini adalah semuanya mengikuti pola yang sama: desentralisasi selalu dilakukan saat
kemampuan pusat untuk mengatur daerah lemah dan pelaksanaannya segera dibatalkan setelah Jakarta pulih dari kelemahan itu. Undang-undang Otonomi
Daerah Indonesia tahun 1999 menunjukkan kemauan politik pemerintah yang
16
Penilaian Demokratisasi di Indonesia
belum ada sebelumnya dan secara umum dipandang sebagai pencegah pergolakan daerah dan gerakan separatis seperti di Aceh dan Irian Jaya.
Berpaling dari kepercayaan yang dipegang lama bahwa desentralisasi adalah sama dengan disintegrasi, mayoritas orang kini yakin bahwa otonomi daerah
akan menolong mencegah disintegrasi, mengingat prospek yang semakin suram bahwa pemerintah pusat mampu mengatasi konlik-konlik lokal. Tetapi ini
menimbulkan pertanyaan apakah eksperimen mutakhir dalam desentralisasi ini akan bernasib sama dengan pendahulunya dan akan segera dicabut begitu
pemerintah pusat pulih dari kondisi lemahnya sekarang. Amandemen konstitusi pada Agustus 2000 menjadikan pelaksanaan desentralisasi
mulai 1 Januari 2001 sebagai tuntutan konstitusional. Ini memperlihatkan komit- men yang belum tampak sebelumnya dari politisi nasional untuk meninggalkan
praktek-praktek masa lalu. Meski kini prospek desentralisasi kekuasaan atas urusan dan sumber daya lokal terlihat menjanjikan, ada kekhawatiran bahwa
pelaksanaannya yang terlalu cepat dapat melampaui kemampuan pemerintah lokal untuk mengaturnya. Bahkan skenario terburuknya adalah desentralisasi
dapat berujung pada penguatan raja-raja lokal, membawa negeri ini jauh dari demokrasi pada saat sangat dibutuhkan.
3. Demokrasi dan Supremasi Hukum
3.1 Peninjauan Ulang Konstitusi