Restrukturisasi Birokrasi untuk Mendukung Reformasi Sosial-Ekonomi

148 Penilaian Demokratisasi di Indonesia sambungan Memprioritaskan pembangunan proses penyusunan anggaran publik yang demokratis, misalnya dengan memungkinkan berlangsungnya perencanaan dan persiapan anggaran dalam beberapa tahun. Kendala waktu yang berjalan sangat mengganggu rencana jangka panjang, dan rentang waktu 18 bulan akan lebih memadai. Untuk mengurangi efek crowding out negatif di pasar modal lokal, pemerintah harus mengumumkan sebelumnya sebuah jadwal yang cocok untuk menerbitkan obligasi, agar sektor swasta masih bisa menghimpun dana modal.

7. Restrukturisasi Birokrasi untuk Mendukung Reformasi Sosial-Ekonomi

Indonesia dikenalkan sebagai sebuah negara dengan korupsi yang merajalela, tetapi dulu para pejabat senior pemerintah menolak mengakuinya. Sebagai usaha untuk menangkis kritik terhadap birokrasi, mereka sebaliknya mengklaim bahwa kepercayaan investor tercermin pada laju pertumbuhan yang tinggi dan investasi luar negeri. Meskipun demikian, biaya korupsi sangatlah tinggi. Di samping membuat lemah pranata-pranata pemerintah, dan menjatuhkan kredibilitas dan legitimasi pelaku-pelaku pengerak negara, korupsi juga memungut harga ekonomis yang nyata. Birokrasi Indonesia saat ini kelebihan tenaga kerja dan jelas bergaji rendah. Meskipun ada usaha-usaha restrukturisasi birokrasi dari periode Orde Baru sampai sekarang, produktivitas pegawai negara tidak meningkat. Setiap pegawai melayani 50 orang, angka yang bertahan hingga lebih dari 25 tahun. Gaji resmi pejabat negara belum dinaikkan dan gaji minimum untuk pegawai negara saat ini lebih rendah dari upah minimum regional yang ditetapkan oleh aturan yang berlaku. Sejak 1983 peran sektor swasta dalam ekonomi meningkat cukup besar berkat usaha-usaha deregulasi oleh pemerintah. Tetapi pemerintah tidak melakukan banyak untuk merestrukturisasi birokrasi dan berlaku menjadikannya mitra sektor swasta. Pemerintah melihat peranannya sebagai penyedia lingkungan yang memungkinkan berbisnis, dan mengakui bahwa ini hanya bisa dicapai melalui Pembangunan Sosial-Ekonomi 149 birokrasi, tetapi transformasi yang penting untuk birokrasi tidak dilakukan. Fungsi pemerintah dalam ekonomi telah berubah dari menyediakan jasa, seperti mengontrol dan memasok barang-barang kebutuhan publik dan menyeleksi barang-barang pribadi, ke fungsi-fungsi yang tidak langsung seperti formulasi kebijakan, pemberian fasilitas, dan koordinasi. Pemerintah juga sudah membatasi fungsi langsungnya hanya dalam memasok barang-barang publik tertentu. Konsekuensi dari perubahan-perubahan tersebut, struktur birokrasi menjadi lebih terdesentralisasi dan sekarang menghadapi harapan-harapan yang berbeda. Perubahan-perubahan ini tercermin dalam penekanan pada fungsi-fungsi kunci dan menjadi lebih profesional, transparan, mendukung, dan adil. Melihat negara-negara maju di Asia Timur, pertumbuhan berkelanjutan melalui sektor swasta didukung oleh birokrasi yang kuat, eisien, dan jujur. Ada tiga indikator utama bahwa sebuah birokrasi itu jujur dan eisien, yakni: Rekrutmen dan promosi berdasarkan prestasi dan melalui sebuah proses yang kompetitif. Pemberian imbalan yang memadai, yaitu upah dan insentif yang kompetitif dengan yang ditawarkan oleh sektor swasta. Jenjang karir yang jelas. Di negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang, dan Singapura, persaingan untuk memasuki posisi pelayanan publik sangat tinggi dan para pegawai mendapat keuntungan dari upah yang kompetitif, bahkan sering sebanding dengan sektor swasta. Pegawai bisa mendapatkan beasiswa untuk pendidikan yang lebih tinggi dan pelatihan, yang lebih jauh meningkatkan prestise sektor yang bersangkutan dan kualitas sumber daya manusianya. Sebuah pola karir yang jelas juga merupakan perangsang untuk meningkatkan semangat pekerja eselon satu di birokrasi. Sebagai contoh di Indonesia, beberapa perusahaan negara seperti PLN, perusahaan listrik negara, dan Bank Indonesia, bank sentral, membayar upah yang kompetitif dengan sektor swasta. Penyandang gelar insinyur yang bekerja di PLN akan menerima, setelah pelatihan, upah sekitar Rp 800.000 per bulan, yang jauh lebih baik dari beberapa perusahaan sektor swasta. Tetapi posisi tidak dijenjang secara jelas, dan staf merasa terganggu oleh prospek campur tangan politik. Di negara seperti Singapura ada mekanisme yang mempromosikan integritas. Di samping upah yang baik, ada pencegahan korupsi melalui sistem hukuman yang tegas. Di Singapura, setiap tindakan korupsi, tidak peduli sekecil apa pun, akan dihukum dengan larangan bekerja untuk negara. Lebih jauh, pemerintah 150 Penilaian Demokratisasi di Indonesia secara terbuka akan mempublikasikan nama-nama pegawai yang dipecat, membuat pegawai sulit mendapatkan pekerjaan alternatif. Kasus di Indonesia sangatlah berbeda. Meskipun tingkat pertumbuhan dalam jumlah pegawai negara berkurang dari 6-8 persen setahun di waktu lalu menjadi rata-rata 3-4 persen setahun saat ini, masih ada ketidaksebandingan antara kebutuhan birokrasi dan kapasitas. Di beberapa lembaga pemerintah, perubahan peran pemerintah pada sektor tertentu telah menimbulkan kelebihan kapasitas, sementara bisa saja masih terjadi kekurangan pada tingkat implementasi. Beberapa posisi menghendaki pendidikan yang lebih maju, tetapi ada sejumlah terbatas orang dengan gelar kesarjanaan yang berniat mengambil posisi itu. Sebuah contoh ketidaksebandingan antara kapasitas dan tuntutan adalah Departemen Industri dan Perdagangan, di mana ada kelebihan kapasitas karena terjadinya deregulasi. Toh pemerintah masih saja enggan untuk mengurangi jumlah pegawai yang tidak perlu karena secara politik tidak populer. Data memperlihatkan bahwa secara menyeluruh kualitas pegawai negeri cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Rasio pegawai negeri dengan pendidikan minimum setingkat STLA meningkat pada 19911992. Tetapi, kualitas pegawai yang tersedia untuk dilatih sebagai pengambil keputusan dan perencana masa depan sangatlah kurang dan jumlahnya juga sangat sedikit. Sarjana dari universitas terkemuka seperti Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung enggan melamar sebagai pegawai negeri. Akibatnya, sarjana dari universitas kelas dualah yang biasa melamar sebagai pegawai negeri. Kalaupun ada pegawai yang berasal dari universitas kelas satu, mereka hanya bertahan sebentar dalam rangka untuk memenuhi syarat-syarat mendapatkan beasiswa. Setelah menyelesaikan kewajiban, mereka akan mengundurkan diri dan bekerja di sektor swasta. Alasannya adalah sistem upah yang tidak kompetitif. Dengan deregulasi ekonomi pada akhir 1980, upah pada sektor swasta meningkat secara dramatis sementara banyak tunjangan yang diterima oleh pegawai negeri dipotong. Akibatnya, pegawai negeri dibayar jauh di bawah pekerja-pekerja sektor swasta. Lulusan baru hanya digaji Rp 125.000 per bulan di sektor negara setelah masa percobaan selama delapan bulan. Di sektor swasta, seorang sarjana bisa mengharapkan untuk mendapatkan upah minimum antara Rp 350.000-Rp 800.000. Semakin tinggi posisi, jurang perbedaannya semakin lebar. Sebagai hasilnya, sangat sulit untuk merekrut pegawai dengan tingkat kompetensi yang tinggi dan untuk memastikan bahwa mereka tetap jujur dan tidak korup. Sebagai tambahan, sistem rekrutmen yang tidak transparan mengurangi minat terhadap pekerjaan pelayanan publik.Bukan rahasia lagi bahwa nepotisme dan praktek-praktek sogokan telah menyusup ke dalam sistem rekrutmen dan merembet Pembangunan Sosial-Ekonomi 151 ke sistem promosi dan mutasi ke jabatan karir yang “basah”, yang berarti bahwa posisi ini menawarkan kesempatan untuk menghasilkan uang secara ilegal. Sebagai konsekuensi dari merosotnya kualitas pegawai negeri kunci, banyak jabatan karir yang diisi para profesional akademis. Tetapi ini justru merugikan universitas-universitas yang kehilangan dosennya. Di samping itu, tipe rekrutmen semacam ini lebih jauh mengikis kepercayaan terhadap birokrasi sebagai sebuah lembaga yang memberikan kemungkinan untuk membangun karir. Birokrasi adalah salah satu pelaku ekonomi utama yang memfasilitasi arus mekanisme pasar. Reformasi struktural birokrasi Indonesia harus dimulai sebagai masalah prioritas. Ini menuntut lebih dari sekedar inisiatif untuk meningkatkan insentif dalam rekrutmen. Ini juga harus menciptakan sebuah lingkungan yang lebih kondusif dan transparan di mana pegawai negeri bisa membangun karirnya. Tanpa reformasi di sektor administrasi publik, reformasi ekonomi yang direncanakan pemerintah tidak akan efektif. 7.1 Masa Depan Birokrasi dan Pembaharuan Politik Birokrasi adalah penyedia jasa dan harus bergerak berdasarkan permintaan. Di Indonesia tidak demikian, di mana di masa lalu pemegang kekuasaan sering secara korup memberikan hak-hak istimewa kepada para pengusaha untuk mengeksploitasi kepentingan ekonomi mereka, menghancurkan kepentingan konsumen dan masyarakat. Ekonomi dan konsumen menderita kerugian sebagai akibatnya. Praktek-praktek macam ini sudah biasa. Contohnya termasuk pemberian lisensi dalam perdagangan tepung, cengkih, gula, minyak palem, beras, dan premix; dalam kasus-kasus jalan tol, Industri Pesawat Terbang Nasional IPTN sekarang dikenal dengan PT Dirgantara Indonesia, pesawat penerbangan komersial Sempati dan pelabuhan Batam, dan lain-lain. Alokasi sumber daya sub-optimal mendistorsi ekonomi dan perlahan-lahan memperlemah potensi ekonomi. Ini tereleksi dalam pola pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang lebih rendah dari negara-negara di kawasan yang sama. Nilai kerugian ekonomi karena korupsi dan bentuk-bentuk distorsi yang lain bisa dihitung, dan estimasi konservatif akan memperkirakannya hingga mencapai trilyunan rupiah. Alokasi sumber daya sub-optimal bisa juga melemahkan pilar- pilar ekonomi karena mempromosikan pembangunan “palsu” dan penghimpunan laba yang tidak punya basis riil. Tambahan pula, ini mendorong distribusi pendapatan yang timpang dan tidak adil. Ketika Indonesia mulai memperkuat otonomi daerah, birokrasi mempunyai peran menantang yang harus dimainkan. Ia harus menjadi mitra dalam proses ini dan 152 Penilaian Demokratisasi di Indonesia tidak menghancurkannya lewat korupsi atau dengan merintanginya. Birokrasi harus menjadi kekuatan independen. Tetapi semata memperbaiki birokrasi juga tidak cukup. Diperlukan lebih banyak basis reformasi untuk memastikan pranata-pranata yang ada dan menunjang dalam masyarakat juga dapat mewujudkan potensi dan fungsi mereka. Mustahil menciptakan sebuah pemerintahan otoritatif dan bersih jika pranata seperti birokrasi, dan militer jalin menjalin dalam ikatan yang terdistorsi. Reformasi birokrasi haruslah dibarengi evaluasi ulang peran militer. Perubahan bisa dibuat secara bertahap, pada waktu yang paling memadai dan dalam tahap yang tepat. Tetapi yang paling dituntut adalah komitmen dan kemauan politik untuk memulai perubahan semacam itu. Rekomendasi: Merasionalisasi dan mereformasi administrasi publik agar efisien dan efektif. Upah perlu ditingkatkan untuk pegawai pemerintah agar insentif dari sogokan dan korupsi bisa ditiadakan. Mengurangi rasio pegawai pemerintah dengan publik pada umumnya hingga ke tingkat yang realistis. Melatih kembali para administator publik untuk lebih responsif pada paradigma baru di Indonesia. Meninjau proses rekrutmen dan promosi dalam birokrasi untuk memastikan bahwa prestasi dan eisiensi adalah kriteria rekrutmen. Menjamin birokrasi bisa dimintai pertanggungjawaban di depan masyarakat, sebagai sebuah pranata dengan orientasi melayani dan bekerja berdasarkan tuntutan. Memberikan upah yang kompetitif dan menjamin bahwa orang-orang yang direkrut bisa membangun karir yang berarti di dalam birokrasi.

8. Militer dan Peranannya di Bisnis