Perempuan, Kemiskinan dan Ekonomi

184 Penilaian Demokratisasi di Indonesia ataupun kekuasaan riil pembuatan kebijakan. Saat ini, kurang dari setengah persen anggaran nasional yang dialokasikan khusus untuk perempuan. Gender mainstreaming arus utama gender di semua departemen telah dimulai tetapi masih di tingkat yang sangat dini. Ini perlu dipercepat dan didukung oleh masyarakat meski dampaknya perlu juga diawasi. Untuk itu dibutuhkan pelatihan dan ahli-ahli untuk menilai kemajuan program-program itu. Kelompok kerja juga menunjukkan bahwa kewajiban gender mainstreaming telah tertulis sebagai mandat dari masing-masing menteri, tetapi kesadaran yang ada masih sangat sedikit dan juga tidak digunakan untuk mendorong kesetaraan gender. Mekanisme kepranataan untuk memastikan kesetaraan gender juga perlu dimasukkan dalam peraturan otonomi daerah. Rekomendasi : Meningkatkan kekuasaan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan termasuk kekuasaan dalam pembuatan kebijakan. Menunjuk penasihat khusus gender bagi presiden, yang mungkin saja adalah Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, untuk memastikan akses dan tanggung jawab yang konsisten pada lembaga tertinggi pembuat kebijakan di negara ini terhadap isu gender. Meningkatkan alokasi anggaran untuk kementerian negara untuk memastikan kementeritaan tersebut dapat dimanfaatkan secara efektif dengan melaksanakan program-program gendernya. Mempercepat gender mainstreaming dalam departemen-departemen, khususnya di daerah-daerah. Gender-mainstreaming di semua cetak biru pemerintah Rencana Induk Pembangunan Nasional RIPNAS dan Program Pembangunan Nasional PROPENAS untuk memastikan adanya kepekaan gender pada rekomendasi-rekomendasi kebijakan dan implementasinya. Menciptakan dan memperkuat mekanisme nasional dengan lembaga pemerintah lainnya dan lembaga nonpermerintah untuk memastikan pengawasan terhadap gender mainstreaming, misalnya dengan menciptakan komisi nasional untuk kesetaraan gender yang memiliki kewenangan untuk mengkritisi dan merekomendasikan alternatif-alternatif kebijakan.

3.4 Perempuan, Kemiskinan dan Ekonomi

Ketidaksetaraan gender di bidang sosial dan budaya berdampak pada hak dasar dan hak istimewa perempuan atas ekonomi. Menurut Laporan Pembangunan Manusia UNDP 2000, perempuan Indonesia merupakan 54,5 persen dari angkatan kerja dalam bidang produksi barang dan jasa pada 1999. Namun, 185 G e n d e r angka-angka pekerja dari pelayanan sipil menunjukkan bahwa perempuan cenderung menjadi pekerja-pekerja yang kebanyakan memperoleh gaji rendah dan posisi rendah pula. Akar permasalahannya adalah terdapatnya asumsi bahwa hanya pria yang menjadi pencari nafkah utama keluarga, sebuah asumsi yang kemudian mecerminkan skala gaji, pembuatan dan pemutusan hubungan kerja, kesempatan untuk memperoleh promosi, dan hak-hak untuk memperoleh tunjangan. Tunjangan ini didasarkan atas jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan pekerja, yang secara jelas dideinisikan sebagai “istri dan anak-anak”. Meskipun demikian, dari Badan Pusat Statistik diketahui bahwa asumsi “kepala rumah tangga” tidak mencerminkan realita sebenarnya: Persentase distribusi kepala keluarga berdasarkan status perkawinan Perempuan Laki-laki Belum Menikah 9,85 2,42 Menikah 7,85 94,85 Cerai 13,77 0,56 Janda 68,53 2,17 Persentase distribusi kepala keluarga berdasarkan usia Perempuan Laki-laki 25 6,46 3,31 25 – 44 22,55 53,95 45 – 59 33,80 28,32 60+ 37,19 14,43 Hanya dalam parameter tertentu, yang memasukkan status perkawinan dengan kelompok usia tertentu, yang menunjukkan jumlah laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Secara proporsional, lebih banyak perempuan yang menjadi kepala rumah tangga bagi keluarga yang orang tua tunggal dan di antara perempuan 186 Penilaian Demokratisasi di Indonesia yang lebih tua. Asumsi bahwa selalu laki-laki yang menjadi kepala keluarga memberikan efek negatif kepada kesejahteraan ekonomi dari keluarga-keluarga di mana perempuan justru memainkan peran tersebut. Industrialisasi di Indonesia membuka kesempatan untuk mempekerjakan perempuan di pabrik-pabrik di daerah pedesaan, tetapi masuknya perempuan dalam bidang industri manufaktur sama sekali tidak menjadi pertanda bahwa terdapat kesetaraan gender. Biasanya, perempuan hanya memperoleh pendapatan 60-70 persen dari total pendapatan laki-laki pada pekerjaan yang hampir sama. Tenaga kerja perempuan lebih disenangi perusahaan karena mereka dianggap lebih patuh. Sementara itu, para manajer cenderung laki-laki. Indonesia telah menandatangani konvensi internasional yang menjamin kesamaan bayaran dan hak-hak tertentu perempuan yang ada dalam peraturan-peraturan nasional, tetapi ini seringkali tidak diacuhkan. Rata-rata pendapatan bulananupah bersih rupiah ber- dasarkan area, tipe dan jenis kelamin Area Perempuan Laki-laki Laki-laki+ Perem- puan Kota 219.398 322.168 288.498 Desa 137.127 207.335 186.753 Kota+ Desa 183.042 266.826 240.732 Kelompok kerja ini juga menggarisbawahi faktor-faktor berikut ini yang telah menghalangi keterlibatan perempuan dalam pembangunan ekonomi. Kurangnya akses atas kredit usaha. Adanya penerimaan sosial terhadap perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan untuk posisi yang sama, termasuk hak-hak atas tunjangan bagi kebutuhan rumah tangga. Keberadaan banyak pekerjaan yang mengacu pada gender tertentu seperti perawat, juru tulis, pelayan, buruh bagi perempuan, dokter, penyelia supervisor dan manajer untuk laki-laki. Rendahnya jumlah perempuan di posisi manajerial. Banyaknya perempuan di sektor informal yang tidak dilindungi oleh hukum. UU No. 11951 melarang perempuan bekerja di pertambangan, mengoperasikan peralatan berat, bekerja di bawah tanah dan di malam hari. Pengecualian dapat dilakukan hanya jika pekerjaan tersebut “bermanfaat untuk kepentingan umum”, seperti menjadi perawat di rumah sakit. Pekerjaan-pekerjaan tertentu dideinisikan sebagai “kerja perempuan”, sementara 187 G e n d e r yang lainnya didominasi oleh laki-laki. Hal ini juga memberikan kontribusi pada perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan. Sebagai tambahan, kerja perempuan telah dikomodiikasikan sebagai kerja dengan upah rendah. Ini berlaku tidak hanya di industri manufaktur tetapi juga di sektor kerja migran. Ribuan perempuan Indonesia bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga dan memberikan kontribusi kepada pendapatan negara melalui uang yang mereka kirimkan ke rumah, tetapi mereka hanya menerima sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali bantuan sosial dan perlindungan hukum dari negara. Pada masa krisis ekonomi, dalam konteks globalisasi dan krisis Asia yang melebar, perdagangan perempuan Indonesia kian menjadi masalah yang serius. Adapun kelompok yang paling rentan adalah buruh migran, atau TKW tenaga kerja wanita, yang harus bekerja tanpa akses ke keluarga atau ikatan dan dukungan komunitas dan juga potensial untuk menghadapi kekerasan seksual oleh majikan mereka. Kontribusi perempuan di sektor informal haruslah diakui keberadaannya. Selama krisis ekonomi berlangsung, sektor informal yang menyangga seluruh ekonomi yang tersisa dengan menyediakan barang dan jasa ketika jalur-jalur formal distribusi yang ada selama ini menderita efek dari krisis tersebut. Meskipun demikian, nilai tambah dari sektor informal ini tidak pernah diperhitungkan. Karenanya, kontribusi nyata perempuan dalam ekonomi tidak pernah dihargai. Sebagai tambahan atas kesulitan yang dihadapi perempuan di sektor informal, program-program pemerintah untuk membantu usaha kecil lebih berguna bagi laki-laki daripada perempuan. Insiatif peningkatan pendapatan di banyak negara juga gagal dalam menargetkan dan membantu perempuan. Rekomendasi: Meninjau ulang skala upah untuk pelayanan publik dan mendorong sektor swasta untuk melakukan hal yang sama Me-evaluasi ulang kualiikasi untuk memperoleh “tunjangan”. Melaksanakan konvensi internasional tentang “upah sama untuk kerja yang sama” Mengakui kontribusi ekonomi perempuan di sektor informal dalam laporan keuangan. Rencana penghapusan kemiskinan harus dianalisis dan diformulasikan dengan perspektif gender sambungan 188 Penilaian Demokratisasi di Indonesia Menyediakan kredit kecilmudah kepada perempuan, khususnya untuk sektor usaha kecil dan menengah. Menyediakan program-program pelatihan kerja yang lebih baik untuk meningkatkan ketrampilan. Membentuk peraturan yang melarang diskriminasi dalam pembentukan dan pemutusan hubungan kerja. Menyediakan perlindungan sosial dan legal untuk para buruh migran untuk memperbaiki kondisi kerja. 3.5 Perempuan, Pendidikan dan Pelatihan Seringkali disesalkan bahwa ketika keluarga harus memilih untuk menyekolahkan laki-laki atau perempuan, maka laka-lakilah yang dipilih. Statistik menunjukkan bahwa meskipun jumlah anak laki-laki dan perempuan yang ada di pendidikan dasar hampir setara — 58 persen perempuan dan 64 persen laki-laki— tidak demikian kondisinya untuk pendidikan tinggi. Buku teks dan kurikulum juga masih mengandung nilai-nilai ketidaksetaraan gender melalui gambar-gambar dan naskah-naskah yang ada. Ini sekali lagi adalah upaya pengukuhan persepsi konservatif tentang peran dan relasi gender. Secara keseluruhan tingkat melek huruf bagi perempuan adalah 77 persen dan 89 persen untuk laki-laki. Di universitas, bidang-bidang studi juga sudah mengalami “feminisasi”. Perempuan cenderung untuk mempelajari ilmu-ilmu sosial sementara “ilmu-ilmu sulit” didominasi oleh laki-laki. Meski ini tidak merupakan kasus yang khas Indonesia, perempuan seharusnya didorong untuk juga terjun ke studi-studi teknis. Bahkan yang lebih penting, adalah untuk mendorong sarjana perempuan untuk ikut serta dalam sektor kerja formal, daripada sekedar mengikuti skenario umum yaitu menikah dan keluar dari angkatan kerja formal. Statistik resmi yang membandingkan tingkat pendidikan dengan penghasilan yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin kecil jurang perbedaan pendapatan antara laki-laki dan perempuan. Sementara angka-angka tersebut tidak menunjukkan apakah perempuan dan laki-laki memperoleh gaji yang sama untuk pekerjaan yang sama, ia mengindikasikan adanya hubungan antara pendidikan dan upah yang diterima. 189 G e n d e r Rata-rata penghasilan bulanan upah bersih rupiah berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis kelamin Tingkat Kota Desa Kota + Desa Pendidikan Perem- Laki- Perem- Laki- Perem- Laki- puan laki puan laki puan laki Tidak pernah 82.341 149.700 69.783 130.861 73.219 134.772 belum sekolah Tidakbelum 97.973 182.829 78.478 153.499 85.119 161.870 menyelesaikan sekolah Sekolah 121.771 235.921 99.151 178.653 108.769 199.044 Dasar Sekolah 166.476 243.091 134.363 209.628 156.011 228.908 Menengah Pertama Sekolah 190.474 274.942 174.454 238.049 185.494 259.681 Kejuruan Sekolah 247.046 338.527 279.934 262.097 253.750 319.370 Menengah Umum Sekolah 261.578 345.048 268.229 318.532 264.007 335.034 Menengah Kejuruan Diploma III 334.638 417.342 302.853 368.581 323.548 395.187 Diploma III 393.156 566.473 291.080 401.132 376.512 530.552 Diploma IV 452.237 634.569 260.567 428.059 420.698 598.372 Total 219.398 322.168 137.127 207.335 183.042 266.826 190 Penilaian Demokratisasi di Indonesia Rekomendasi : Meninjau ulang buku teks sekolah untuk menghapuskan bias gender atau implikasi diskriminasi lainnya. Melaksanakan kuota atau tindakan airmatif terhadap jumlah anak perempuan di sekolah. Menyediakan sumber daya yang tepat dan cukup untuk melatih dan mendidik perempuan dan anak perempuan. 3.6 Perempuan dan Kesehatan Perempuan Indonesia masih menghadapi tingkat kematian bayi yang tinggi yaitu, 390 per 100.000 kelahiran. Kelompok kerja ini merasa bahwa penting untuk memiliki pelayanan kesehatan yang semakin baik kualitas dan semakin dapat diakses. Ini termasuk penyediaan kebutuhan-kebutuhan praktis seperti akses pada air bersih. Rekomendasi: Menyediakan akses yang setara untuk pelayanan kesehatan yang baik. Meningkatkan kesadaran kesehatan melalui kampanye media yang intensif Mengadakan penelitian mengenai kemungkinan skema asuransi kesehatan berbasis komunitas. Ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode tradisional tabungan kelompok atau pengadaan sumbangan khusus untuk perawatan bagi mereka yang sakit. Mengikutsertakan komunitas bisnis untuk ikut mendanai, bersama- sama dengan pemerintah, pola kesehatan di berbagai desa yang berbeda. Dengan cara ini, bisnis memperoleh pengakuan lebih di tingkat komunitas dan pemerintah memperoleh bantuan finansial untuk inisiatif lokal. 3.7 Kekerasan terhadap Perempuan dan Konlik Bersenjata Konlik adalah sebuah konteks di mana perempuan dan laki-laki sama-sama mengalami kerugian besar. Untuk perempuan, kekhawatiran yang ada termasuk terhadap tindakan-tindakan kekerasan terhadap mereka dan keluarga mereka dan akibat-akibat lain termasuk hilangnya sumber nafkah, rumah, dan keluarga. Ketidakmampuan mencari sumber keadilaan semakin melipatgandakan ketidakamanan bagi mereka. Tak mengherankan lagi mendengar bahwa perempuan secara khusus menjadi target korban dalam konlik. Adalah juga sama 191 G e n d e r jelasnya bahwa perempuan dapat dimobilisasi sebagai para pejuang di dalam konlik. Sebagai tambahan, berbagai studi mengindikasikan bahwa di dalam masyarakat berkonlik, insiden-insiden kekerasan dalam rumah tangga terus meningkat. Secara keseluruhan, semua situasi ini menjadi satu lagi tantangan gender yang harus dikedepankan selama transisi di Indonesia berlangsung. Kekerasan terhadap perempuan terjadi di tingkat negara dan dalam wilayah rumah tangga. Lebih dari tiga dasawarsa kekuasaan otoriter dan militeristis telah menciptakan sebuah atmosir ketidakamanan bagi hak-hak individu. Ini mengakibatkan ribuan kasus kekerasan terhadap perempuan dan laki-laki yang tidak dihukum. Di daerah-daerah konlik seperti Timor Timur, Aceh, dan Ambon, ribuan perempuan menjadi korban perkosaan dan beberapa di antara mereka kemudian melahirkan. Konlik-konlik internal juga menyebabkan puluhan ribu orang menjadi pengungsi atau orang yang tidak memiliki tempat tinggal di dalam negeri, dan mayoritasnya adalah perempuan dan anak-anak. “Kelompok Khusus untuk Kekerasan Negara terhadap Perempuan di Indonesia dan Timor Timur” menyatakan bahwa perempuan-perempuan di Indonesia dan Timor Timur mengalami tingkat kekerasaan yang tidak terperikan di semua bidang kehidupan sejak 1960-an. Aktor utama yang melakukakannya adalah kekerasan oleh negara. Tindakan-tindakan represif yang dilalukan oleh militer dalam kasus pertentangan perburuhan dan sumber daya alam selalu menghasilkan kekerasan terhadap perempuan. Menggabungkannya dengan tren yang tampaknya memaafkan penggunaan kekerasan adalah upaya merumuskan rancangan undang-undang oleh lembaga-lembaga eksekutif yang memberikan kekuasaan absolut kepada negara dan militer untuk melakukan aksi-aksi represif atas nama keamanan nasional dan piagam hak asasi manusia yang tidak mengenal negara sebagai pelaku tindak pelanggarannya. Lebih lanjut, meski sudah ada upaya dan advokasi yang dilakukan oleh berbagai ornop, masih sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali perlindungan bagi korban kekerasan dan tidak ada dakwaan yang dijatuhkan kepada para pelaku akibat sistem peradilan yang lemah dan tidak efektif. Faktor “malu” juga membuat banyak kasus perkosaan, penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga tidak dilaporkan. 192 Penilaian Demokratisasi di Indonesia Rekomendasi: Menyediakan kebutuhan praktis yang peka gender dalam membangun kembali wilayah konlik di bidang perumahan, jalan, akses air bersih, dan lain sebaginya. Mengakui penganiayaan di dalam rumah tangga sebagai tindak kriminal dan menyediakan perlindungan hukum bagi perempuan. Menyediakan jaringan dukungan yang cukup bagi perempuan. Membuat mekanisme pelaporan dan pengawasan yang cukup yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan. Melawan faktor “malu” melalui pendidikan publik dan program- program pendukung.

3.8 Perempuan dan Media Media adalah salah satu alat yang paling mampu menciptakan dan mengukuhkan