Membangun Kesadaran akan Kultur Nasional tentang Pluralisme Agama

207 Pluralisme Agama bekerja bersama dalam jaringan pendidikan pemilih, dan dari pengalaman bekerja sama ini dihasilkan persepsi dan pengertian yang lebih positif di kedua belah pihak. Sejumlah ornop dan organisasi sosial Indonesia telah menerapkan metode “jambore” untuk mendudukkan anggota dari kelompok etnis dan agama yang berbeda dalam suatu periode waktu di mana pengalaman hidup berdampingan, bekerja, dan bermain bersama menjadi sarana efektif untuk melihat bahwa “mereka juga seperti saya”. Sekali lagi, kehati-hatian dalam memilih kelompok target yang spesiik sangat penting, agar bisa membawa kelompok-kelompok yang jika tidak begitu tak akan pernah sekalipun bertemu. Ini pun jelas seperti strategi pencegahan daripada suatu strategi untuk membenahi. Di wilayah-wilayah tempat terjadi konlik dan kekejaman, dapat diadaptasi cara menghimpun kelompok-kelompok korban bersama-sama dan berbagi pengalaman sebagai cara terapi yang membolehkan penyaluran rasa pedih, maupun untuk menunjukkan bahwa kedua belah pihak yang berseteru telah mengalami sejumlah trauma yang pahit. Dalam kasus ini, pembagian bantuan kemanusiaan atau bantuan medis akan menjadi “aktivitas partisipatoris” yang digunakan untuk mempertemukan anggota-anggota dan kelompok agama yang bertikai.

5.3 Membangun Kesadaran akan Kultur Nasional tentang Pluralisme Agama

Telah ditunjukkan dalam bab ini bahwa ada sejumlah tingkat komitmen kemauan politik dalam masyarakat Indonesia terhadap pluralisme. Komitmen ini dapat tumbuh subur dengan menciptakan wacana publik tentang unsur budaya nasional ini dan dengan memberi pendidikan tentang rasa harga diri di antara masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilakukan sebagaimana wacana publik diciptakan: lewat media, acara bincang-bincang, esai dan kolom, kelompok studi, dan seterusnya. Tujuannya adalah menciptakan diskusi publik tentang pluralisme agama yang akan membuat terang cara-cara bagaimana Indonesia pasca-Soeharto sudah menerimanya sebagai bagian penting dari identitas nasional. Dengan pengertian lain, ini menggunakan teknik Pancasila ala Soeharto untuk mempromosikan pluralisme agama dan bukan semata untuk suatu instrumen kontrol. Jika sikap pluralis dan toleran ini menjadi cocok dengan “menjadi orang Indonesia”, maka kaum anti-pluralis, kelompok-kelompok sektarian, akan berhadapan dengan ideologi nasionalisme yang berbobot. 208 Penilaian Demokratisasi di Indonesia Sudah jelas bahwa yang membangun demokrasi di Indonesia menghadapi tantangan yang cukup kompleks di hadapan mereka. Pluralisme agama, sebagai satu dari bangunan penting demokrasi, harus menjadi pokok perhatian utama. Melihat penggunaan pluralisme agama secara historis sebagai instrumen hegemoni Orde Baru, ini secara khusus akan menjadi upaya yang kompleks. Walau begitu, ada indikasi bahwa pluralisme agama telah berevolusi menjadi kekuatan sendiri dan telah diakui oleh masyarakat Indonesia sebagai bagian penting dari kultur nasional Indonesia. Kini tugas kekuatan-kekuataan demokratisasi di Indonesia adalah untuk merengkuh pluralisme yang masih bayi ini dan merawatnya hingga tumbuh menjadi kekuatan politik yang tak terelakkan yang dapat melawan unsur-unsur sektarian dan anti-pluralistis.

6. Mengatur Kembali Hubungan Antara Agama dan Negara