Toleransi Beragama dan Kehidupan Damai Bersama

18 Penilaian Demokratisasi di Indonesia langsung. Biarpun seorang presiden yang terpilih langsung bisa dipercaya sampai batas tertentu, ada juga potensi bahaya karena pemilihan presiden secara langsung menghapuskan pengawasan nyata terhadap eksekutif dan sudah lama dikaitkan dengan rezim otoriter. Reformasi pemilihan umum di negeri-negeri yang baru saja mengalami demokratisasi menunjukkan bahwa pemilihan yang dijalankan dengan benar sama pentingnya dengan pilihan-pilihan sistem pemilihan. Karenanya, jika sebuah negeri memutuskan untuk menjalankan reformasi pemilihan umum, perubahan semacam itu akan lebih mungkin menciptakan lembaga perwakilan yang lebih baik jika komisi pemilihan dapat melaksanakan pemilihan dengan tepat. 4. Demokrasi dan Budaya Demokrasi

4.1 Toleransi Beragama dan Kehidupan Damai Bersama

Sekali lagi, isu Piagam Jakarta muncul dalam perdebatan tentang konstitusi dalam Sidang Tahunan MPR Agustus 2000. Piagam Jakarta sendiri hanyalah sebuah kalimat tujuh kata, tetapi dapat mengubah sifat dasar negara Indonesia. Jika diterapkan, ia akan membuat kepatuhan kepada hukum syariah wajib bagi semua muslim Indonesia, yang bisa menghapus sifat sekuler dari negara. Perdebatan mengenai Piagam Jakarta telah berlangsung semenjak kemerdekaan. Para pendukungnya mengharapkan piagam tersebut dimasukkan ke dalam “Pidato Pancasila” tanggal 1 Juni 1945, ketika Soekarno memproklamasikan lima prinsip yang diharapkan menjadi dasar negara baru yang akan dibentuk. Akan tetapi, pada saat-saat akhir, piagam tersebut tidak dimasukkan, hanya menjadi bahan perdebatan di Indonesia. Isu tersebut diangkat oleh delegasi-delegasi muslim dalam Konstituante 1950-an. Usaha mereka dalam menghidupkan Piagam Jakarta gagal di hadapan penentangan kaum nasionalis dan komunis, membuat partai-partai muslim merasa dikhianati sekali lagi. Kesempatan untuk menghadirkan isu itu kembali diperkecil secara dramatis selama Orde Baru berkuasa. Rezim Soeharto menindas unsur-unsur tertentu “Islam politis” dan mengendalikan semua ekspresi keagamaan agar menggunakan Pancasila, ideologi negara yang merangkum semua ideologi. Menjadi perdebatan bahwa dengan berakhirnya rezim tersebut dan mekanisme kontrolnya yang ketat, pertarungan antaragama akan muncul kembali di tempat ia menghilang. Akan tetapi, kondisi sosial telah berubah secara dramatis selama Soeharto berkuasa ketika perbedaan agama sering menjadi alasan untuk konlik daripada penyebab utama dari konlik. Di balik perbedaan-perbedaan permukaan semacam ini sering terdapat isu-isu pertentangan lainnya, seperti persaingan untuk sumber daya ekonomi dan kekuasaan politik dalam lingkungan transisi, seperti terlihat di Maluku, yang menjadi sebab utama konflik; bukan menyalanya kembali perbedaan agama yang dulu diredam. 19 P e n d a h u l u a n Sebenarnya masih terdapat sisa dari rezim Soeharto, yaitu sebuah budaya pluralisme agama. Melihat rangkaian konlik yang ada, ini mungkin tak lebih dari sebuah topeng. Tetapi itu tetap citra yang diinginkan kembali oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Pemisahan yang saat ini ada telah berakar sangat dalam walaupun sering sebab utamanya dengan sendirinya terlupakan. Karenanya, membuka jalan untuk sebuah penyelesaian perlu dilakukan dengan hati-hati. Ketika seluruh lingkungan politik mengalami perubahan, isu toleransi beragama tentu saja akan kembali diuji. Transisi sering menjadi masa yang sangat membingungkan dan menantang identitas orang-orang mengingat perubahan terjadi dalam kecepatan tinggi ketika tatanan politik yang lama digantikan dengan yang baru. Satu konsekuensi besarnya adalah kemungkinan akibat mundur yang bersifat primordial, karena orang mencari kepastian dari tradisi. Yang tetap penting kemudian adalah bagaimana tradisi-tradisi tersebut hidup berdampingan dengan prinsip-prinsip demokratis. Sangat ironis, salah satu dari target-target awal melonjaknya kekerasan antaragama yang dimulai pada akhir 1996 adalah Rengasdengklok. Di tempat inilah para pendiri bangsa Indonesia, Soekarno dan Hatta, menghabiskan jam-jam terakhirnya sebelum proklamasi kemerdekaan, menekankan kesucian toleransi beragama. 4.2 Masyarakat Sipil dan Advokasi Masyarakat sipil memiliki sebuah sifat paradoks, yaitu bahwa ia dapat menjadi sebuah aset sekaligus sebuah ancaman bagi demokrasi. Menurut pandangan- pandangan yang ada mengenai masyarakat sipil, organisasi-organisasi masyarakat sipil memelihara kepercayaan dan timbal balik di antara rakyat, membuat mereka lebih “sipil” dalam tindakan-tindakan politik. Pada kenyataannya, masyarakat sipil juga membangkitkan organisasi-organisasi yang kegiatannya dapat bersifat antidemokrasi dan antitesis terhadap demokrasi. Yang terakhir dapat terlihat dari kekerasan antar masyarakat di daerah-daerah Nusantara. Ada dua sisi persoalan bagi masyarakat sipil: satu positif dan satu negatif. Untuk yang pertama, masyarakat perlu memastikan organisasi-organisasi dan perhimpunan-perhimpunan bekerja demi kontribusi positif kepada masyarakat dan untuk terlibat dalam proses konsolidasi demokrasi. Di lain pihak, masyarakat sipil harus berusaha mencegah pecahnya organisasi-organisasi menjadi faksi-faksi yang saling bertarung, menjadi pencari rente, ataupun bekerja dengan cara-cara yang tidak cocok dengan norma-norma dan praktek-praktek demokrasi, ataupun membahayakan perdamaian, keamanan, dan harmoni. Karakter masyarakat sipil Indonesia telah sangat berubah selama bertahun-tahun. Pada 1950-an terdapat sebuah masyarakat sipil yang kuat dan bersemangat, dengan gerakan massa dan politik massa. Contoh-contoh yang paling terkenal 20 Penilaian Demokratisasi di Indonesia adalah Partai Komunis Indonesia PKI dan Masyumi, partai yang berbasis muslim. Dengan berkuasanya Orde Baru, politik massa berhenti tiba-tiba, begitu juga perkumpulan bebas dan kemampuan mendirikan partai sesuai kehendak pendirinya. Pada pertengahan 1970-an, demokrasi Pancasila menjadi mapan, dengan hanya tiga pengelompokan politik yang diatur sebelumnya yang diizinkan salah satunya adalah Golkar yang berkuasa , yang semuanya harus menerima ideologi negara. Berkat depolitisasi masyarakat oleh negara, organisasi masyarakat sipil menjadi satu-satunya “rumah” untuk oposisi yang telah dijinakkan dan secara umum impoten. Jika selama Orde Baru kelompok-kelompok masyarakat sipil muncul sebagai “oposisi alami”, dengan runtuhnya Orde Baru dan bangkitnya kembali partai politik berbasis massa, organisasi-organisasi masyarakat sipil kehilangan tempat, menjadi tersesat dalam pencarian mereka terhadap peran dan identitas baru bagi mereka sendiri, pada saat meruyaknya pembentukan organisasi-organisasi baru. Meskipun salah satu pemikiran mengajukan pendapat bahwa organisasi, asosiasi, ataupun kelompok mana pun adalah simbol kebebasan berkumpul, dan karenanya menjadi atribut positif dalam masyarakat, yang terbaik adalah membedakan tipe-tipe organisasi, karena tak semua organisasi terlihat memberi kontribusi positif kepada masyarakat. Banyak di antaranya tampak sebagai kendaraan kepentingan pribadi, dan rumah untuk kepentingan kelas menengah perkotaan. Sebuah masyarakat sipil yang kuat dan partisipatif adalah komponen terpenting demokrasi. Tetapi di Indonesia, seperti yang disaksikan di negara-negara lain yang menjalani demokratisasi, penting memastikan organisasi-organisasi masyarakat sipil tetap di wilayah masyarakat publik, bekerja untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak membahayakan keamanan dan keselamatan kelompok lain. Buat banyak orang, mereka juga harus dibimbing oleh contoh, memberikan model peran untuk pemerintah maupun partai politik, di dalam diri mereka sendiri, yang di jiwa mereka sendiri, sering dianggap sebagai lembaga-lembaga ataupun organisasi-organisasi yang terlepas dari massa.

4.3 Partisipasi Politik Perempuan