83
Hubungan Sipil-Militer
2. Konteks Sejarah
Keistimewaan yang menonjol dalam sejarah politik Indonesia adalah TNI telah menjadi  pemain  kunci  sejak  awal  negara  Indonesia  berdiri.  Militer  Indonesia
berperan besar dalam memenangkan perang kemerdekaan melawan kekuasaan penjajah  Belanda  pada  1949  dan  sejak  itu  militer  memainkan  peran  politik
yang sangat menonjol. TNI mulai memainkan peran mempengaruhi kekuasaan politik pada akhir  1950-an dan mencapai puncaknya dengan pengambilalihan
kekuasaan yang kontroversial yang dilakukan Soeharto pada 1965. Pada masa pemerintahan  Soeharto,  peran  dan  intensitas  keterlibatan  sosial-politik  TNI
naik turun, namun secara keseluruhan TNI masih merupakan pusat kehidupan politik bangsa.
Awalnya militer Indonesia adalah kelompok-kelompok rakyat bersenjata yang melawan  pemerintahan kolonial Belanda sejak akhir masa Perang Dunia kedua
hingga  1949.  Kelompok-kelompok  ini  kemudian  melembagakan  diri  dalam wujud Tentara Nasional Indonesia TNI setelah proklamasi kemerdekaan pada
Agustus  1945.  Setelah  kemerdekaan  akhirnya  tercapai,  TNI  mengklaim  telah memainkan  peran  yang  lebih  besar  dalam  perjuangan  dibandingkan  dengan
usaha-usaha diplomatik yang dilakukan oleh kaum sipil. Sementara pemerintahan sipil Indonesia kian melemah oleh sentimen primordial,
dan  perpecahan  ideologi.  TNI  mengklaim  bahwa  dirinya  adalah  satu-satunya kekuatan nasional. TNI memandang dirinya  berhak mengambil kepemimpinan
jika  kaum  sipil  tidak  bisa  secara  efektif    melindungi  kepentingan  nasional, seperti yang terjadi semasa periode demokrasi parlementer pada 1950-an dan
“kudeta” pada 1965. Militer  selalu  dimanfaatkan  oleh  eksekutif  sebagai  kekuatan  penyeimbang
melawan  oposisi  politik  yang  berarti  bahwa  kemapanan  sipil  memberikan kesempatan kepada TNI untuk mencampuri politik sehari-hari. Presiden pertama
Indonesia  memanfaatkan  TNI sebagai bagian  dari tritunggal bersama  dengan komponen lain yakni Partai Komunis Indonesia dan presiden sendiri. Hal yang
sama juga terjadi di bawah kekuasaan Soeharto pada akhir 1960-an saat TNI berailiasi secara politik dengan Golkar, mesin politik sipil milik rezim. Aliansi
strategis antara eksekutif dan angkatan bersenjata ini berlaku selama lebih dari dua dasawarsa kemudian.
Di akhir 1980-an terlihat ada kemerosotan pengaruh TNI pada pemerintahan Soeharto. Meski para panglima angkatan bersenjata dan polisi tetap menikmati
status kementerian dan para perwira menduduki posisi-posisi kunci dalam kabinet, mereka ditunjuk berdasarkan loyalitas pribadi pada Soeharto. Istana juga sangat
efektif  dalam  melemahkan  kekuatan  institusional  TNI  dengan  cara  memecah korps perwira  tersebut dalam  kelompok-kelompok yang berbeda-beda. Mulai
awal 1990-an, para perwira non-muslim merasakan kesulitan untuk mendapatkan
84
Penilaian Demokratisasi di Indonesia
promosi dan merasa benar-benar disingkirkan dari keputusan-keputusan strategis. Tugas kunci dimonopoli oleh para perwira yang patuh dan tunduk pada Soeharto
dan para pengikutnya. Kemudian pada saat pengunduran diri Soeharto tanggal 21 Mei 1998, TNI telah
kehilangan banyak pengaruh pada eksekutif. Pengalihan kekuasaan pada Presiden Habibie  tidak  mengubah  persoalan  ini  secara  berarti,  sehingga  menyebabkan
banyak anggota TNI yang merasa Habibie sebagai salah satu dari orang-orang yang  telah  menyebabkan  kemerosotan  institusional  TNI  pada  masa  1990-an.
Lahirnya pemerintahan sipil di bawah Presiden Abdurrahman Wahid kemudian membuka peluang bagi TNI untuk menyelesaikan persoalan-persoalan internal
demi mencegah perpecahan institusional lebih jauh.
3. Menilai Tingkat Otoritas Sipil Atas Militer