199
Pluralisme Agama
Pluralisme Agama
“Agama adalah suatu inspirasi, bukan sebuah aspirasi”
Abdurrahman Wahid
1. Latar Belakang
Indonesia sering dijadikan contoh bagaimana pluralisme agama berhasil diterapkan dalam suatu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Ada banyak contoh hidup saling berdampingan dan kerja sama secara harmonis puluhan tahun antara umat Kristen dan Islam di Indonesia, sementara di
tempat-tempat lain, perbedaan agama telah memecah-belah masyarakat dan memisahkan bangsa-bangsa.
Jalinan keharmonisan yang melegenda ini mulai terurai pada tahun-tahun terakhir Orde Baru. Sejak jatuhnya Soeharto, Indonesia diguncang oleh konlik-
konlik dan kekerasan agama yang secara serius menodai citranya di mata dunia internasional sebagai benteng pluralisme agama.
Pokok dari upaya untuk mempertahankan pluralime agama di Indonesia adalah pertanyaan berikut ini: apakah pluralisme ini tak lebih dari suatu “konstruksi”
Soeharto di masa Orde Baru, yang artinya bahwa ada suatu harmoni semu yang secara artiisial dipertahankan oleh rezim militer? Jika ini masalahnya,
maka agama-agama di Indonesia, khususnya Islam dan Kristen, akan terus bertarung merebut kekuasaan dan mencari retribusi dari kesalahan di masa lalu.
Namun bagaimanapun juga tetap ada alasan untuk berharap, bahwa pandangan ini terlalu pesimistis.
2. Pluralisme Agama: Produksi Orde Baru?
Tidak ada hal yang baru dalam pengamatan bahwa Soeharto menggunakan suatu wacana pluralitas yang harmonis sebagai suatu jalan untuk mempertahankan
kontrol atas suatu masyarakat yang sangat beragam dan berbeda. Para peneliti dari luar dan dari dalam Indonesia sendiri juga telah menunjukkan bahwa Orde
Baru melanjutkan gagasan suatu kultur Jawa yang mengatasi banyak pertikaian
200
Penilaian Demokratisasi di Indonesia
kecil, untuk menyajikan suatu gambaran Indonesia sebagai suatu masyarakat yang penuh toleransi dan tak mengenal konlik.
Dalam hal ini, para ahli umumnya menunjuk pada efek simbolis dari Taman Mini, yakni taman hiburan yang dibangun isteri Soeharto pada 1975. Taman Mini
menawarkan suatu model miniatur Indonesia yang mewakili negeri ini sebagai suatu koleksi indah keragaman kebudayaan, bahasa, dan tradisi etnis, keramahan
hidup bersama, bukan sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri, namun sebagai jalinan dalam sulaman bangsa Indonesia.
Dalam kenyataannya, pluralisme agama tampil lebih dari sekedar suatu tantangan terhadap rezim Orde Baru atau pluralisme kultur. Islam mewakili mayoritas
penduduk — 88 persen dibandingkan dengan 9 persen umat Kristen, 2 persen umat Hindu dan 1 persen orang Budha, dan kenyataan ini merupakan ancaman
laten baik terhadap pluralisme agama yang sesungguhnya dan terhadap rezim Soeharto.
2.1 Orde Baru dan Tantangan Terhadap Pluralisme Agama Baik orang Indonesia beragama Islam maupun nonmuslim telah melihat
tantangan terhadap pluralisme agama dalam debat tentang diterapkan atau tidak diterapkannya Piagam Jakarta
1
, yang setuju bahwa semua muslim harus menjalankan
syari’ah atau hukum Islam, seperti juga halnya negara Indonesia harus lebih didasarkan pada
syari’ah. Bagaimanapun juga, ini bukan isu-isu baru. Sejak sebelum kemerdekaan, telah
ada perdebatan apakah negara harus didasarkan atas ajaran Islam, atau apakah Islam harus menduduki posisi yang sama seperti agama-agama lain di Indonesia.
Debat ini muncul dengan sendirinya selama rezim Soekarno dalam bentuk suatu perdebatan atas Piagam Jakarta.
Soeharto menanggapi tantangan-tantangan ini dengan sejumlah cara, mungkin untuk melindungi pluralisme agama itu sendiri dan tentu saja untuk melindungi
rezimnya. Namun tanggapan-tanggapan ini sekarang diserang sebagai suatu contoh bagaimana negara melangkahi hak prerogatifnya dengan mencampuri
urusan keagamaan.
2.2 Pembedaan Orde Baru antara Islam “Spiritual” dan Islam “Politis” Menghadapi ancaman atas pluralisme agama dan atas rezimnya oleh mereka
yang berusaha mendapatkan peran politik Islam yang lebih kuat di dalam negara, Soeharto meniru strategi Snouck Hurgronje, seorang pakar Islam dan
administrator kolonial Belanda.
201
Pluralisme Agama
Antara 1889 dan 1905, Hurgronje menciptakan pembedaan antara “Islam kultural” dan “Islam politik”, mendukung bentuk yang pertama, tetapi mengekang
gerakan bentuk yang lainnya. Dengan jalan yang hampir serupa, Soeharto mengadopsi strategi untuk
mendukung dan memfasilitasi ekspresi “spiritual” Islam, seperti halnya menyediakan dana untuk naik haji dan untuk membangun mesjid-mesjid. Pada
saat yang sama, tanda-tanda pemberontakan warga Islam politik diberangus, seperti dalam kasus pembantaian di Tanjung Priok pada 1984. Lembaga bentukan
Soeharto seperti ICMI Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia juga secara luas dapat dibaca sebagai suatu upaya untuk mengkooptasi pimpinan muslim
demi kepentingan negara.
2.3 Penggunaan Institusi Negara oleh Orde Baru Soeharto juga menggunakan pranata negara untuk menyingkirkan “Islam politik”
dan mengontrol semua ekspresi keagamaan. Menteri Agama diberi kekuasaan untuk membatasi jumlah agama yang boleh dijalankan di Indonesia menjadi lima,
dengan suatu bias terhadap agama-agama Ibrahim. Undang-Undang Perkawinan 1974 merupakan suatu upaya untuk melemahkan
pengadilan agama Islam dan untuk meniadakan poligami, yang menyebabkan kegemparan luar biasa di antara beberapa pimpinan muslim. Contoh lain dari
campur tangan negara dalam kehidupan keagamaan termasuk sistem pengadilan agama dan Hukum Perkawinan, yang mengatur perkawinan antaragama.
Jenis campur tangan ini menguatkan peran negara dalam mendefinisikan berbagai identitas agama dan memberi mereka pengakuan yang berbeda. Sering
terlihat bahwa hal itu menguntungkan satu agama dan merugikan yang lain dan dampaknya telah membuat cacat pembangunan mekanisme sosial yang otonom di
dalam setiap agama, yang nantinya akan menyejahterakan komunalisme. Lebih lanjut lagi, sikap curiga dan stigmatisasi di antara agama-agama telah menjadi
penghalang bagi dialog keagamaan. Negara menjadi jembatan antaragama, tetapi ongkosnya adalah terciptanya perbedaan di antara mereka dan pencegahan kritik
terhadap rezim. Karena terus mendapat kebaikan dari rezim dan birokrasinya, agama telah dihalangi menjadi suatu kekuatan demokrasi.
2.4 Penggunaan Pancasila oleh Orde Baru Selain menggunakan pranata negara untuk mengontrol agama, Soeharto juga
menggunakan “ilsafah negara”, Pancasila , untuk tujuan yang sama. Sila pertama
dari kelima prinsip Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa, meski itu tidak
202
Penilaian Demokratisasi di Indonesia
menjadikan negara berdasarkan atas agama tertentu. Walau diciptakan oleh Soekarno, Soeharto adalah yang membangun Pancasila
menjadi doktrin negara yang sakral. Manakala negara Pancasila dikukuhkan, agama-agama diberikan tugas-tugas nasionalis, sementara negara telah mengambil
tugas-tugas keagamaan. Prinsip-prinsip Pancasila menjadi suatu jembatan antara agama dan negara, dan di
antara agama-agama itu sendiri. Pancasila menekankan bahwa Indonesia bukanlah suatu negara yang sekuler maupun negara agama. Pendekatan serba-bukan ini
telah menunda dirumuskannya hubungan paripurna antara negara dan agama, dan akhirnya mencegah agama menjadi suatu kekuatan kritis terhadap negara.
Pada 1984, kekuasaan Pancasila berlipatganda lewat suatu keputusan yang meminta agar semua organisasi sosial-politik, termasuk organisasi keagamaan,
mengadopsinya sebagai satu-satunya dasar ilosoisnya. Langkah ini diarahkan lebih terhadap organisasi-organisasi Islam, yang terlihat sebagai benteng
pertahanan terakhir dari kekuasaan Soeharto.
2.5 Reaksi Komunitas Keagamaan terhadap Orde Baru Selama rezim Orde Baru, umat Kristen di Indonesia menemukan apa yang
mereka lihat sebagai suatu “surga yang aman”. Umat Islam, sebagai mayoritas, merasa bahwa mereka telah dipinggirkan, atau paling tidak peran mereka tidaklah
proporsional dengan fakta bahwa elite-elite umat Kristen telah diberi keuntungan ekonomi dan politis oleh rezim. Upaya pengkristenan di kalangan kaum muslim
meningkatkan rasa benci mereka. Reaksi di antara kaum muslim menumbuhkan kelompok-kelompok garis keras
dan jargon politik “proporsionalisme”. Untunglah tumbuh suatu pendekatan baru di dalam Islam, dan di dalam agama Kristen hingga tingkat tertentu, yang
melihat bahwa agama bukan suatu kekuatan politik sektarian dan lebih sebagai suatu kekuatan etis yang memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini
dipahami meliputi toleransi, keterbukaan, hak-hak asasi manusia, aturan hukum dan bahkan pemisahan antara agama dan negara.
3. Politisasi Agama Pasca-Orde Baru