Politisasi Agama Pasca-Orde Baru

202 Penilaian Demokratisasi di Indonesia menjadikan negara berdasarkan atas agama tertentu. Walau diciptakan oleh Soekarno, Soeharto adalah yang membangun Pancasila menjadi doktrin negara yang sakral. Manakala negara Pancasila dikukuhkan, agama-agama diberikan tugas-tugas nasionalis, sementara negara telah mengambil tugas-tugas keagamaan. Prinsip-prinsip Pancasila menjadi suatu jembatan antara agama dan negara, dan di antara agama-agama itu sendiri. Pancasila menekankan bahwa Indonesia bukanlah suatu negara yang sekuler maupun negara agama. Pendekatan serba-bukan ini telah menunda dirumuskannya hubungan paripurna antara negara dan agama, dan akhirnya mencegah agama menjadi suatu kekuatan kritis terhadap negara. Pada 1984, kekuasaan Pancasila berlipatganda lewat suatu keputusan yang meminta agar semua organisasi sosial-politik, termasuk organisasi keagamaan, mengadopsinya sebagai satu-satunya dasar ilosoisnya. Langkah ini diarahkan lebih terhadap organisasi-organisasi Islam, yang terlihat sebagai benteng pertahanan terakhir dari kekuasaan Soeharto. 2.5 Reaksi Komunitas Keagamaan terhadap Orde Baru Selama rezim Orde Baru, umat Kristen di Indonesia menemukan apa yang mereka lihat sebagai suatu “surga yang aman”. Umat Islam, sebagai mayoritas, merasa bahwa mereka telah dipinggirkan, atau paling tidak peran mereka tidaklah proporsional dengan fakta bahwa elite-elite umat Kristen telah diberi keuntungan ekonomi dan politis oleh rezim. Upaya pengkristenan di kalangan kaum muslim meningkatkan rasa benci mereka. Reaksi di antara kaum muslim menumbuhkan kelompok-kelompok garis keras dan jargon politik “proporsionalisme”. Untunglah tumbuh suatu pendekatan baru di dalam Islam, dan di dalam agama Kristen hingga tingkat tertentu, yang melihat bahwa agama bukan suatu kekuatan politik sektarian dan lebih sebagai suatu kekuatan etis yang memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini dipahami meliputi toleransi, keterbukaan, hak-hak asasi manusia, aturan hukum dan bahkan pemisahan antara agama dan negara.

3. Politisasi Agama Pasca-Orde Baru

Semenjak Soeharto jatuh dari kekuasaannya, organisasi-organisasi keagamaan meledak menjadi apa yang sering dicap “euforia” aktivitas politik. Ini khususnya terjadi pada organisasi-organisasi muslim, yang merasa telah diikat secara 203 Pluralisme Agama opresif. Dari 143 partai politik yang dibentuk pada bulan-bulan setelah Soeharto jatuh, lebih dari 40 didasarkan atas Islam. Wacana publik tiba-tiba dipenuhi dengan diskusi-diskusi Islam “politik” di dalam media cetak dan elektronik seperti juga pada pertemuan-pertemuan publik dan dalam diskusi kalangan intelektual. Debat atas syari’ah dan Piagam Jakarta, yang tak terdengar sejak 1968, tiba-tiba menjadi topik populer di dalam diskusi. Politisasi ini tak hanya terbatas pada Islam. Aktivis dan pimpinan umat Kristen juga membentuk partai dan terlibat di dalam arena politik. Tetapi karena jumlahnya yang mayoritas, dan kemampuan untuk mengangkat topik Islam “politik”, kelihatan politisasi Islam-lah yang mendominasi wacana publik. Setelah itu, belum tentu menjadi sebab akibatnya, konlik-konlik agama yang serius mulai muncul di berbagai wilayah dan terus berlanjut hingga hari ini, seperti di kepulauan Maluku, sebagian Sulawesi, dan kepulauan di Nusa Tenggara. Tempat-tempat umat Islam dan Kristen tinggal bersebelahan selama puluhan tahun kini menjadi tempat meletupnya konlik yang brutal dan kejam di mana perbedaan agama merupakan faktor yang paling menentukan. Penyebab dari konlik-konlik yang sedang berjalan ini tak mudah ditunjuk. Yang paling umum dan penjelasan yang dapat dipercayai adalah yang berlapis-lapis yang harus memperhatikan pola-pola historis sejak Orde Baru, lalu Orde Lama, hingga ke zaman kolonial. Ketegangan telah terjadi antara komunitas Kristen dan Islam, khususnya di berbagai tempat yang kemudian diisi oleh kaum imigran dari tempat lain di Indonesia. Kedua komunitas telah mendengar dari waktu ke waktu mengenai tidak proporsionalnya jumlah bantuan dan keuntungan dari pemerintah, yang mengakibatkan sikap bermusuhan yang berjangka waktu lama dan kemarahan bagai dipupuk. Ketimpangan sosial ini dan pergantian kekuasaan dari elite-elite umat Kristen ke Islam mendasari berbagai tindakan provokasi oleh aktor-aktor politik tak terkenal yang telah mempunyai kepentingan dalam menciptakan kerusuhan dan kekacauan di berbagai bagian di Indonesia. Sementara realitasnya masih belum jelas, jelas tampak bahwa pencabutan harmoni keagamaan yang secara artiisial dipaksakan di era Soeharto, setidaknya, telah menciptakan suatu iklim di mana amarah yang sudah lama ditekan dapat meledak tanpa rasa takut akan balas dendam. 204 Penilaian Demokratisasi di Indonesia

4. Masa Depan Pluralisme Agama: Beberapa Indikator yang Memberi Harapan