169
G e n d e r
Gender
1. Latar Belakang
1.1 Gender dan Transisi Demokratis
Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan masih sangat lemah baik pada demokrasi yang sudah mapan maupun yang baru tumbuh. Di Indonesia pun,
meski perempuan mewakili sedikit lebih dari 50 persen populasi, keterwakilan mereka tidak proporsional pada semua tingkat pengaruh dan pengambilan
keputusan, serta mereka tidak memiliki akses yang setara atas sumber daya dan keuntungan yang dapat diperoleh dari sumber daya itu. Ketimpangan keterwakilan
demokrasi yang besar ini harus diakui dan diperbaiki. Sementara demokrasi yang baru tumbuh sering kekurangan sumber daya yang
dibutuhkan untuk membantu perempuan mengemudikan diri dalam dunia politik, kesetaraan gender sama sekali bukan hal mewah yang dapat ditangguhkan bagi
negara dan masyarakat. Indonesia perlu meletakkan kesetaraan gender sebagai prioritas jika ingin berevolusi menuju demokrasi yang benar-benar berfungsi dan
menyadari tujuan-tujuan sosial, politik, dan ekonominya. Menghadapi tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan dalam relasi
gender sekarang juga sangat vital selama masa transisi Indonesia menuju demokrasi saat ini. Adalah juga penting untuk mengkonseptualisasikan strategi-
strategi reformasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan relasi gender dalam suasana seperti ini.
1.2 Tantangan untuk Gender selama Transisi menuju Demokrasi
Relasi-relasi gender sering berubah selama masa transisi demokratis. Persamaan hak dalam segala bidang adalah hal yang “alamiah” dan merupakan bagian
terpadu dari berbagai tuntutan sebagian besar aktivis yang sadar masalah gender. Sebuah konstitusi dan anggaran nasional yang ramah gender adalah unsur-unsur
yang dibutuhkan dalam transisi seperti itu. Unsur-unsur ini akan memastikan bahwa hukum-hukum nasional juga akan dibuat, dan semua sumber dayanya
dialokasikan dengan memperhitungkan semua pihak dan tidak meninggalkan sedikit pun ruang untuk ketidaksetaraan.
Transisi di Indonesia membukakan “pintu gerbang peluang” bagi perempuan. Tuntutan-tuntutan yang sebelumnya diabaikan dapat disuarakan kembali dengan
kekuatan dan keyakinan yang lebih besar. Ruang politik juga lebih terbuka bagi perempuan dan bagi laki-laki serta terdapat dukungan yang terus bertambah
dari dunia internasional, dalam wujud dana dan program, untuk meningkatkan
170
Penilaian Demokratisasi di Indonesia
pemberdayaan dan partisipasi perempuan dalam proses demokratisasi. Tetapi relasi-relasi gender tetap sensitif dan merasuk ke dalam hubungan-hubungan
sosial, agama, dan budaya, dan untuk mengubah semua itu berarti secara langsung berhadapan dengan kepentingan yang sedemikian mengakar dan
sulit untuk dijangkau. Karena alasan ini, sulit bagi unsur reformasi ini untuk diprioritaskan.
Dikotomi politik terdapat hampir di belahan dunia mana pun, walaupun ada beberapa konteks yang lebih tegas daripada yang lainnya, yang mengasosiasikan
apa yang disebut “isu-isu perempuan” dengan “politik remeh”. Contoh-contoh dari isu-isu ini adalah kesehatan, kesejahteraan, keluarga, dan masalah yang
berhubungan dengan anak dan perawatan untuk para manula — atau singkatnya politik tentang perawatan. Sisi lain dari dikotomi ini adalah isu-isu seperti
pertahanan, militer, dan kebijakan luar negeri serta anggaran nasional yang terlihat seolah-oleh mewakili “politik riil”.
Dikotomi ini jelas salah dan menyesatkan. Ini salah karena perempuan sama menderitanya akibat perang, kelaparan, atau kurangnya sumber daya, dan karena
laki-laki juga menjadi bagian terpadu dari keluarga, perawatan anak, dan para manula. Menyesatkan karena dikotomi ini mempengaruhi persepsi politik sampai
derajat tertentu bahwa isu-isu penting untuk memajukan komunitas manusia menjadi bukan prioritas dalam agenda-agenda politik nasional.
Di tengah-tengah keruhnya masalah ekonomi dan ketidakpastian politik Indonesia saat ini, terdapat kekhawatiran bahwa tuntutan atas kesetaraan
gender akan tersisihkan oleh isu-isu “riil” dari “kepentingan nasional”. Karena transisi mencakup perubahan struktur kekuasaan dan pemegang kekuasaan,
ada kemungkinan lebih banyak orang yang lebih ingin mempertahankan keuntungan-keuntungan patriarkis dengan cara apa pun. Karenanya, risiko
nyata bahwa isu gender akan dipinggirkan sampai “suasana sudah lebih stabil atau lebih baik”.
Dengan semua tantangan yang terpikirkan ini, kelompok kerja “Gender dan Demokratisasi” yang terdiri atas aktivis-aktivis, akademisi, dan politisi yang
sudah dikenal, secara bersama-sama mendiskusikan topik-topik yang dipandang rawan untuk memastikan bahwa perempuan adalah bagian sekaligus yang akan
diuntungkan dari proses demokratisasi ini. Kelompok kerja ini bersepakat bahwa diskusi dan rekomendasi-rekomendasi selanjutnya diarahkan pada “perempuan”
secara khusus daripada “gender”. Bagaimanapun, kecondongan ini diadopsi karena bias gender masih sangat menguasai perempuan sehingga hak-hak,
status, dan akses atas kekuasaan dan sumber daya perlu dikedepankan secara sistematis. Ini bukanlah sebuah usaha untuk menghilangkan hak dasar atau
hak-hak istimewa laki-laki, menggantikan patriarki dengan matriarki. Lebih tepatnya, ini upaya untuk mengedepankan relasi gender yang seiimbang dalam
konteks demokratisasi.
171
G e n d e r
2. Strategi-Strategi Reformasi