Pembangunan Sosial-Ekonomi
127
Pembangunan Sosial-Ekonomi
1. Tata Pemerintahan yang Baik: Jalan Menuju Pem- bangunan dan Reformasi di Indonesia
Berbagai krisis yang dialami Indonesia sejak akhir 1997 bernuansa politik selain ekonomi, dan Indonesia dipaksa untuk menghadapinya secara bersamaan.
Negara ini tengah berjuang untuk menciptakan sistem ekonomi berdasarkan peraturan
rule-based economy sebagai pengganti dari sistem sewenang-wenang, korup, patrimonial selama lebih dari tiga dasawarsa lalu. Negara ini juga tengah
berusaha untuk membangun demokrasi pluralistik baik untuk menyokong sistem ekonominya maupun memang untuk tujuan demokrasi itu sendiri.
Ambruknya ekonomi dan inansial Indonesia membuat bangsa ini melakukan sejumlah introspeksi dan pencaritahuan sebab-sebab terjadinya krisis, juga
hambatan-hambatan yang ada dan strategi-strategi penyelesaiannya. Arena-arena, sektor-sektor, lembaga-lembaga, dan praktek-praktek yang diidentiikasi untuk
direformasi dan direstrukturisasi dalam dialog konsultatif untuk pembangunan sosial dan ekonomi meliputi:
Letter of Intent LoI yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan Dana Moneter Internasional IMF.
Hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah dalam menjalankan otonomi daerah.
Hubungan antara investasi asing langsung dan investasi lokal. Struktur iskal.
Reformasi birokrasi dan administrasi publik. Militer dan hubungan bisnisnya.
Restrukturisasi sektor swasta dan swasta gadungan. Reformasi hubungan perburuhan.
Peran korupsi dalam meruntuhkan reformasi dan pembangunan. Pemulihan ekonomi menjadi prioritas bagi Indonesia, dan reformasi pemerintahan
harus diakui sebagai suatu modal yang dengannya pemulihan ekonomi dan pembangunan sosial-ekonomi dihadapi. Fokus reformasi pemerintahan bermakna
menggeser tekanan kebijakan pembangunan dari program-program lama, yang hanya memusatkan perhatian pada aspek ekonomi pemerintahan, ke bentuk yang
menguji langkah-langkah ekonomi dan politik secara bersamaan.
128
Penilaian Demokratisasi di Indonesia
Pendekatan ini sebuah kemajuan daripada pendekatan ekonomi terpusat, tetapi tetap saja ada keterbatasan-keterbatasan yang harus dihadapi. Parameter reformasi
pemerintahan tidak bisa ditentukan secara sederhana dengan mengkombinasikan daftar langkah-langkah ekonomi dan politik. Pemerintahan yang baik besar
kemungkinan bisa dijamin dengan cara saling memperkuat pranata-pranata dan praktek-praktek yang mendukung pemulihan ekonomi dan pertumbuhan
yang berkesinambungan, dan lembaga-lembaga dan praktek-praktek ini harus merupakan hasil akhir dari pembahasan dan partisipasi publik, dan berakhir
dengan konsensus-konsensus. Lebih jauh, lembaga-lembaga pemerintah haruslah mengakar ke bawah dan dipertahankan sepanjang waktu sebelum dampaknya
bisa dirasakan. Penekanan pada pemerintahan pada gilirannya menuntut pembongkaran
menyeluruh terhadap semua pendekatan perumusan kebijakan publik dan organisasi sosial serta pendekatan-pendekatan baru yang radikal terhadap
kebijakan pembangunan. Namun, Indonesia tengah berusaha menghadapi persoalan-persoalan ini dalam konteks rezim politik yang lemah, mata uang yang
terdepresiasi, melonjaknya kekerasan komunal dan sektarian, erosi kekuasan pusat, dan desakan kuat dari wilayah-wilayah yang menginginkan otonomi politik
atau bahkan pemisahan diri. Meski tiga tahun berlalu sejak krisis mulai meletus, kebijakan publik Indonesia
tetap harus menyelesaikan konlik kunci mengenai distribusi. Yang pertama adalah dengan masyarakat investor dan dikaitkan dengan penjualan aset dan
penyelesaian utang. Yang kedua adalah antara program dan proyek yang secara langsung mempengaruhi kesejahteraan masyarakat luas, terutama kaum miskin.
Masyarakat investor sangat peduli terhadap isu-isu iskal dan restrukturisasi keuangan, reformasi birokrasi dan peradilan, dan penanganan korupsi
. Masyarakat yang lebih luas juga terkait dengan restrukturisasi lembaga peradilan dan
birokrasi dan dengan batas-batas wilayah berdasarkan otonomi daerah. Secara khusus hal ini juga terkait dengan isu-isu pengentasan kemiskinan, manajemen
lingkungan hidup dan sumber daya alam, hubungan perburuhan, reformasi sektor swasta, dan korupsi.
Dalam tahap transisional dari rekonstruksi dan reformasi ini, sangat vital mengidentiikasi kondisi-kondisi awal yang ada pada masa krisis sebagai basis,
dan bahwa langkah-langkah dalam revisi kerangka kerja analitis ditelusuri sedemikian rupa sehingga penyebab bisa dihubungkan dengan akibat dan
instrumen kebijakan dengan hasil-hasilnya.
Pembangunan Sosial-Ekonomi
129
Penting pula untuk menyoroti poin-poin bahwa mekanisme krisis ekonomi dan penularannya mungkin berbeda dengan saluran transmisi pemulihan
ekonomi. Meski “pemerintahan yang baik” saat ini adalah konsep reformasi yang populer, itu
masih membingungkan. Seberapa banyak sebenarnya lembaga yang memberikan kontribusi pada kinerja ekonomi masihlah harus dipahami. Tidak sepenuhnya jelas
apakah lembaga yang baik serta-merta bisa mendorong pertumbuhan, atau apakah ini tergantung sifat sebuah lembaga – negara – ataukah tergantung interaksi
antara negara dan masyarakat sipil. Tanpa menentukan korelasi antara desain dan pembangunan kelembagaan dan kinerja ekonomi, banyak inisiatif politik yang
sampai saat ini dijalankan mungkin tidak sepenuhnya relevan. Tampaknya tidak ada satu pun struktur pemerintahan terbaik yang bisa
diidentifikasi secara jelas yang bisa menjadi model universal bagi negara berkembang. Bahkan tidak jelas juga apakah struktur-struktur pemerintahan
yang berbeda memang memadai pada tahapan-tahapan pembangunan yang berbeda atau apakah struktur-struktur ini terkait dengan apakah negara sanggup
menanggungnya pada tahap tersebut. Semua pendekatan praktis untuk memasukkan pemerintahan ke dalam agenda
reformasi dimulai dengan memasukan daftar sifat-sifat yang diharapkan dalam dunia ekonomi dan politik. Namun, tanpa struktur teoritis yang kuat yang
mengevaluasi kombinasi alternatif dari paket reformasi pemerintahan dan aplikasinya dalam kondisi yang ada, pendekatan daftar itu menjadi tidak lebih
berarti dari sekadar daftar niat baik. Jelas, daftar niat baik ini akan muncul sehubungan dengan dialog ini dan dalam dialog konsultatif lainnya tentang
reformasi pemerintahan di Indonesia. Tetapi akan ada usaha-usaha untuk mengaitkannya dengan sebuah evaluasi terhadap unsur-unsur vital dari paket
reformasi. Pemeriksaan awal juga mendorong diskusi-diskusi lainnya untuk melanjutkan
analisis dan evaluasi kritis terhadap paket reformasi dalam konteks transformasi sosial, ekonomi, dan politik.
Untuk mewujudkan pembangunan pranata-pranata yang saling memperkuat dan praktek-praktek yang berkesinambungan, struktur institusional yang telah
direformasi haruslah diletakkan dalam konteks politik dan ekonomi Indonesia dan harus dirancang berdasarkan faktor-faktor kritis yang telah menyebabkan
krisis. Ini berarti perhatian harus lebih banyak diberikan untuk memahami situasi national Indonesia.
130
Penilaian Demokratisasi di Indonesia
Di luar antusiasme terhadap reformasi pemerintahan, ada beberapa isu remeh yang harus tetap diingat karena implikasinya terhadap kebijakan. Ada keterbatasan-
keterbatasan baik dalam skala maupun waktu, dan tidak selalu ada hubungan analitis yang jelas antara perencanaan institusional tertentu dan kinerja ekonomi,
sebab beberapa institusi sekaligus merupakan tujuan dan alat. Sangat penting juga untuk mengurutkan reformasi secara strategis dan memadai, karena ada banyak
institusi dan proses yang saling tergantung dan reformasi haruslah dijalankan secara bersamaan jika memang diharapkan membuahkan hasil. Ada keharusan
untuk menentukan prioritas yang bisa ditangani, untuk menghindari bahaya agenda reformasi yang terlalu berat. Strategi lain yang berguna adalah mengurangi
harapan untuk meraih keuntungan-keuntungan dengan cepat yang dapat dicapai melalui reformasi pemerintahan, dan menghindari pengaitan antara reformasi
dan kondisionalitas. Peninjauan kembali kerangka kerja institusional untuk mendukung pemerintahan
yang baik hanya bisa dibuat dan dipertahankan berdasarkan konsensus sosial. Untuk keluar dari krisis berkepanjangan menuju ke arah regenerasi yang
terus-menerus, pertumbuhan, dan kohesi sosial, harus dibangun kerangka kerja institusional melalui pembahasan dan partisipasi komunitas ekonomi dan
politik Indonesia seluas-luasnya. Ini arena tempat kerja sama dan konsultasi sektor publik dengan sektor swasta sangat diperlukan. Pembahasan semacam
ini adalah buah dari sistem demokrasi yang berdasarkan aturan hukum. Ini prasyarat bagi transformasi Indonesia dan tidak dapat dipandang sebagai hasil
sampingan pembangunan. Sementara pengakuan terhadap demokrasi tidak ditentang secara luas setelah
Soeharto jatuh, masih ada persaingan di antara model-model demokrasi. Ada tanda-tanda bahwa pelaku-pelaku kunci di Indonesia menginginkan demokrasi
elitis dan menentang demokrasi yang lebih deliberatif dan parsipatoris. Demokrasi elitis memilih kontrol publik di atas proses politik dalam bentuk pemilihan umum
dan pembahasan berbagai kepentingan melalui tawar-menawar kelompok dan mediasi kepentingan. Demokrasi deliberatif, di sisi lain, fokus pada partisipasi
publik dalam menentukan kebaikan bersama dan mengembangkan keteraturan sosial dalam hubungannya dengan struktur dan proses pemerintahan. Demokrasi
ini menuntut kebebasan berbicara, wacana publik, transparansi, dan akses informasi. Mengingat adanya perbedaan-perbedaan, sangatlah penting para
perencana dan pembuat kebijakan memiliki gagasan yang jelas tentang tipe negara demokrasi dan model ekonomi pasar apa yang ingin diwujudkan dalam
reformasi pemerintah mereka. Meskipun ada rasa mawas diri setelah krisis finansial dan ekonomi terjadi,
Pembangunan Sosial-Ekonomi
131
beberapa pertanyaan tak terjawab terus mengganggu para pembuat kebijakan dan pada akhirnya mereka harus menjelaskannya panjang lebar di dalam forum
konsultatif yang lainnya. Saat ini Indonesia sedang berjuang di berbagai bidang. Perjuangannya termasuk menghadapi persoalan utang swasta yang sangat besar
dan menyelamatkan sektor perbankan yang terbebani oleh para kreditor yang gagal memenuhi kewajiban dan nilai tukar mata uang yang lemah. Pemerintah
perlu mengembangkan kebijakan-kebijakan yang kredibel untuk menjamin kepercayaan investor dan untuk menjalankan redistribusi aset dalam kerangka
kerja yang transparan dan adil. Perhatian besar juga harus diberikan pada penciptaan lapangan kerja dan penyediaan jasa-jasa pokok dengan harga
terjangkau, untuk menjamin kepercayaan masyarakat bahwa isu-isu ini dijadikan prioritas penanganan.
Nilai tukar rupiah tetap melemah meski seluruh agregat moneter dan ekonomi makro menunjukkan perkembangan positif. Hal ini menimbulkan pertanyaan
apakah lemahnya mata uang disebabkan oleh ketidakpastian politik, ekonomi, dan keamanan negara, ataukah disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti
kendornya kontrol moneter dan kurangnya kemampuan bank sentral dalam hal kebijakan moneter.
Pertanyaan lain yang juga tetap ada adalah apakah Indonesia terus berada dalam krisis karena kegagalan nasional untuk mengatasi problem-problemnya, atau
apakah ini disebabkan juga oleh faktor-faktor yang dapat membebani efektivitas otoritas regulator yang paling kompeten sekalipun. Jelas sangat penting bagi
para pembuat kebijakan nasional untuk memiliki pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu ini, terutama bagaimana pasar uang berfungsi dan implikasi
bermacam kebijakan inansial dan bentuk-bentuk intervensi dan pengetatan yang dilakukan pemerintahan. Ada keharusan untuk fokus pada rancangan maupun
penerapan kebijakan inansial.
2. Governance Agenda Pemerintah Indonesia