Tantangan-Tantangan Pada Masa Transisi

132 Penilaian Demokratisasi di Indonesia Agenda politik governance Indonesia meliputi pengenalan tindakan-tindakan antikorupsi, pembentukan lembaga otonom termasuk lembaga peradilan berdasarkan ketentuan hukum, reformasi layanan sipil, dan desentralisasi otoritas administrasi pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Selain itu ada usaha untuk mengkaji ukuran negara yang optimal, memberdayakan masyarakat sipil sebagai alat yang sangat diperlukan untuk menciptakan kesetaraan sosial, dan menjamin kontribusi masyarakat menuju pemerintahan yang baik.

2.1 Tantangan-Tantangan Pada Masa Transisi

Ada bahaya bahwa saat negara sedang lemah pada masa transisi, kekosongan kekuasaan yang terjadi akan membuka kesempatan bagi para elite lokal yang dapat terlibat langsung dalam praktek-praktek korupsi dan melemahkan negara. Pada saat yang sama, jatuhnya rezim Soeharto yang tak terduga telah membuka ruang politik dan dalam masa peralihan pemerintahan ini muncul banyak perdebatan, diskusi, dan penolakan luas untuk tunduk pada pandangan-pandangan pemimpin mereka. Akibatnya, kebijakan-kebijakan menghadapi tantangan dan menjadi makin sulit untuk diimplementasikan lewat perintah eksekutif. Kepemimpinan politik harus meyesuaikan diri dengan realitas baru ini. Meskipun terkadang hal ini tampak seperti sebuah situasi anarkis, pada gilirannya ini merupakan latihan demokrasi dalam pengambilan keputusan. Kejatuhan ekonomi menyebabkan meningkatnya pengangguran dan kemiskinan. Terkait dengan ini adalah peningkatan kemiskinan menyebabkan problem kurang gizi dan kelaparan, peningkatan masalah keseehatan, dan menurunnya jumlah murid sekolah. Masalah-masalah sekunder tersebut memberikan konsekuensi sosial politik negatif jangka panjang. Ambruknya ekonomi ini juga meningkatkan kerentanan sejumlah besar orang Indonesia, terutama penduduk kota besar yang tergantung pada sektor industri. Tanpa pekerjaan yang mapan, banyak orang yang tak mampu untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, dan mereka juga tak bisa mengandalkan negara untuk menyediakan jaminan sosial. Intensitas dan skala keadaan hancur-hancuran ini terkurangi oleh kenyataan bahwa populasi Indonesia sebagian besar tetaplah agraris dan tinggal di pedesaan, dan desa-desa mampu menampung banyak orang yang kembali dari kota. Hal ini memang membantu untuk sementara untuk memperbaiki masalah-masalah di daerah perkotaan, walaupun hal ini justru ikut memperburuk kondisi di daerah pedesaan. Krisis Indonesia berhubungan dengan problem struktural yang terkait dengan lembaga pengambil keputusan ekonomi dan proses-proses yang dibangun selama periode Orde Baru. Selama masa itu, bisnis terkonsentrasi di tangan sejumlah kecil elite kaya dan mempunyai koneksi pribadi yang lebih bergantung pada patronase politik dibandingkan kemampuan bisnis. Pembangunan Sosial-Ekonomi 133 Bisnis tidak dijalankan berdasarkan kekuatan pasar sejati dan ekonomi disetir oleh para rentenir dan bukan oleh wirausaha. Korupsi dan rintangan dalam perdagangan menghalangi pembentukan kelas pengusaha besar yang aktivitasnya justru bisa menghasilkan lapangan pekerjaan, dan Indonesia juga didera oleh keadaan pasar yang tidak berdasarkan keragaman aktivitas ekonomi yang bisa memanfaatkan sumber daya dengan eisien. Malah sebaliknya, semangat kewirausahaan dicekik oleh dukungan terang-terangan bagi pengusaha yang disukai. Pada kenyataannya ongkos sampingan berbisnis di Indonesia terlalu tinggi untuk menjadikannya kompetitif. Basis terbatas yang semu dari ekonomi Indonesia membuka jurang perbedaan ekonomi yang lebar di antara yang kaya dan yang miskin, antara sektor pedesaan dan perkotaan. Jurang ekonomi juga termanifestasikan secara regional, menimbulkan masalah-masalah sosial yang serius seperti ketimpangan yang ditandai oleh perpecahan agama dan etnis, dan antara masyarakat pedesaaan tradisional dan kelompok-kelompok transmigran. Tambahan pula, ada beberapa jurang perbedaan yang lebar dalam kesempatan kerja dan pendapatan antara laki-laki dan perempuan. Aspek positif dari krisis ekonomi adalah bahwa krisis ini melahirkan perubahan politik. Hal ini memberikan kesempatan bagi rakyat Indonesia untuk membentuk dan merancang kembali infrastruktur ekonomi dan politik mereka. Ini termasuk pranata negara, prosedur pembuatan kebijakan pada tingkat national sampai tingkat lokal, dan praktek-praktek bisnis. Perubahan macam ini, jika dirancang dengan baik dan diterapkan dengan sukses, akan meningkatkan prospek partisipasi yang lebih luas di semua aspek ekonomi di Indonesia dan akan membangkitkan keterlibatan dan keterpaduan sosial yang lebih besar. Untuk keluar dari krisis ekonomi, Indonesia harus mengambil langkah memperbaiki kepercayaan publik dalam ekonomi dan potensinya untuk mencapai pertumbuhan yang stabil. Ini menuntut penyusunan dan penerapan rencana pemulihan ekonomi bersama-sama dengan agenda pemerintahan. Pada bidang ekonomi harus diusahakan bisa membawa kembali modal seraya mengatasi jurang perbedaan ekonomi di antara kelompok-kelompok sosial untuk mencegah terjadinya alienasi, marjinalisasi, dan ketidaksetaraan struktural. Kebijakan ekonomi harus melihat ke depan dan menjangkau tingkat nasional dan lokal. Norma dan prosedur standar praktek bisnis yang baik, dengan dukungan aturan hukum, harus diperkenalkan dengan hukuman yang efektif bagi pelanggarnya. Perencanaan ekonomi dan pengambilan keputusan haruslah diambil dalam sebuah lingkungan yang bersih dan terbuka, bebas dari korupsi. Ini bisa terjadi hanya dengan meningkatkan stabilitas politik dan kepastian ekonomi. 134 Penilaian Demokratisasi di Indonesia

3. Prinsip-prinsip Pedoman untuk Restrukturisasi Sosial-Ekonomi